Translate

Selasa, 01 Oktober 2024

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

 Pada (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Ing sabarang prakara dipun kadulu,
wiwitan wekasan.
Bener lan luput den esthi,
Ana becik wekasane dadi ala.

Dipun weruh iya ing kamulanipun,
kalawan wekasanira.
Puniku dipunkalingling,
ana ala dadi becik wekasanya.

Ewuh temen babo wong urip puniku,
apan nora kena,
kinira-kira ing budi.
Arang temen wijile basa raharja.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dalam semua perkara dilihat,
di permulaan dan akhir.
Benar dan salah dipikirkan,
ada kebaikan yang akhirnya menjadi buruk.

Dipahami juga di awalnya,
dengan akhirnya.
Itu harus dilihat dengan jelas,
ada keburukan menjadi baik pada akhirnya.

Sungguh repot, Duhai orang hidup di dunia ini,
tak bisa dikira-kira,
dalam pikiran.
Amat jarang yang sungguh terlahir serba selamat.


Kajian per kata:

Ing (dalam) sabarang (semua) prakara (perkara) dipun (di) kadulu (lihat), wiwitan (permulaan) wekasan (akhir). Dalam semua perkara dilihat, di permulaan dan akhir.

Dalam semua perkara lihatlah secara keseluruhan, jangan dilihat sepotong-sepotong. Lihatlah dari awal sampai akhir, agar mendapat gambaran yang utuh. Baik dalam hal membaca cerita seperti pada bait sebelumnya, atau ketika melihat fenomena di kehidupan nyata. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan atau bereaksi sebelum jelas perkaranya dari awal sampai akhir.

Bener (benar) lan (dan) luput (salah) den (di) esthi (pikirkan), ana (ada) becik (baik) wekasane (akhirnya) dadi (menjdi) ala (buruk). Benar dan salah dipikirkan, ada kebaikan yang akhirnya menjadi buruk.

Jika sudah mendapat gambaran yang menyeluruh, barulah diambil kesimpulan tentang benar dan salah. Jangan sampai terkecoh, karena ada yang awalnya baik pada akhirnya menjadi buruk.

Dipun (di) weruh (pahami) iya (juga) ing (di) kamulanipun (awalnya), kalawan (dengan) wekasanira (akhirnya). Dipahami juga di awalnya, dengan akhirnya.

Itulah sebabnya mengapa harus dilihat dari awal sampai akhir, karena bisa jadi awal dan akhirnya tidak sama. Yang kelihatan baik pada awalnya bisa jadi akan terbongkar kedoknya pada akhirnya.

Puniku (itu) dipunkalingling (dilihat dengan jelas), ana (ada) ala (keburukan) dadi (menjadi) becik (baik) wekasanya (pada akhirnya). Itu harus dilihat dengan jelas, ada keburukan menjadi baik pada akhirnya.

Maka harus diperhatikan dengan jelas. Lingling biasanya dipakai untuk menyebut cara melihat seorang bayi dan membuatnya tertawa. Kalingling adalah melihat dengan jelas seperti pada saat membuat tertawa seorang bayi, mesti diperhatikan dari dekat agar tampak jelas.

Kebalikan dari kejadian di atas, ada hal-hal yang tampak buruk pada awalnya tetapi menjadi baik pada akhirnya. Terhadap fenomena seperti ini kita akan menjadi salah mengambil kesimpulan manakala tidak memperhatikan dari awal sampai akhir.

Ewuh (repot) temen (sungguh) babo (duhai) wong (orang) urip (hidup) puniku (ini), apan (memang) nora (tidak) kena (bisa), kinirakira (dikira-kira) ing (dalam) budi (pikiran). Sungguh repot, Duhai orang hidup di dunia ini, tak bisa dikira-kira dalam pikiran.

Aduh! Inilah repotnya dunia. Akhirnya tak bisa dikira-kira. Tak bisa ditebak dan diterka dengan pikiran semata-mata. Mesti awas dan teliti dalam melihat berbagai kejadian, jika tidak ingin terjebak dalam kekeliruan.

Ini pun juga berlaku untuk diri kita sendiri. Andai kita merasa bahwa kita sekarang ini baik, maka belum tentu berkesudahan baik pula, maka jangan takabur dulu. Sebaliknya jika kita merasa sekarang ini buruk, bukan tak mungkin esok kita kan menjadi baik. Oleh karena itu janganlah berputus asa.

Arang (jarang) temen (sungguh) wijile (terlahirnya) basa (bangsa) raharja (selamat). Amat jarang yang sungguh terlahir serba selamat.

Karena sesungguhnya amat jarang orang yang terlahir selamat dari awal sampai akhir. Berhati-hati, waspada dan selalu ingat adalah kunci menuju keselamatan. Kata wijil dalam gatra ini juga menjadi isyarat bahwa akan masuk ke pupuh Mijil pada bait berikutnya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-165167-bener-luput-den-esthi/

Kajian Wulangreh (168;169): Watak Satriya Iku

 Pada (bait) ke-168;169, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Poma kaki padha dipun eling,
ing pituturingong.
sira uga satriya arane.
Kudu anteng jatmika ing budi,
luruh sarta wasis,
samubarang tanduk.

Dipun nedya prawira ing batin,
nanging aja katon.
Sasabana yen durung masane.
Kekendelan aja wani mingkis,
wiweka ing batin,
den samar ing semu.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Perhatikan anakku, harap semua ingat,
pada nasihatku,
engkau juga seorang satria.
Harus tenang dan halus dalam berpikir,
sareh serta pintar,
dalam semua perbuatan.

Di upayakan keberanian dalam hati,
tetapi jangan sampai terlihat.
Tutupilah kalau belum saatnya.
Keberanian jangan diperlihatkan.
berhati-hatilah dalam batin,
samarkan dalam isyarat.


Kajian per kata:

Poma (perhatikan) kaki (anakku) padha (harap semua) dipun (di) eling (ingat), ing (pada) pituturingong (nasihatku), sira (engkau) uga (juga) satriya (satria) arane (namanya). Perhatikan anakku, harap semua ingat, pada nasihatku, engkau juga seorang satria.

Perhatikan dan selalu ingatlah! Engkau adalah ksatria, bersikaplah layaknya seorang ksatria. Dalam setiap berpikir dan berbuat, dalam diam dan bicara, dalam memberi dan menerima, dalam segala tindak tanduk dan perilaku.

Kudu (harus) anteng (tenang) jatmika (halus) ing (dalam) budi (berpikir), luruh (sareh) sarta (serta) wasis (pintar), samubarang (sembarang, semua) tanduk (perbuatan). Harus tenang dan halus dalam berpikir, sareh serta pintar, dalam semua perbuatan.

Harus bisa bersikap tenang dan halus dalam berpikir, tidak tergesa-gesa memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan. Sabar, hati-hati, perlahan-perlahan serta pintar, tanggap cekatan, dalam semua perbuatan.

Dipun (di) nedya (ingin, kehendak) prawira (berani) ing (dalam) batin (hati), nanging (tapi) aja (jangan) katon (terlihat), Di upayakan keberanian dalam hati, tetapi jangan sampai terlihat.

Dipun nedya, artinya hendaknya dalam hati ada kehendak. Kehendak adalah niat yang hampir diwujudkan, artinya sudah ada gerak melaksanakannya. Prawira artinya keberanian, jadi dalam hati sudah ada kehendak untuk berani, tetapi jangan sampai kelihatan.

Sasabana (tutupilah) yen (kalau) durung (belum) masane (saatnya). Tutupilah kalau belum saatnya.

Keberanian dalam hati tadi tidak perlu diperlihatkan, karena seorang ksatria tidak perlu memamerkan keberanian. Bahkan semestinya ditutupi kalau belum saatnya diungkap.

Kekendelan (keberanian) aja (jangan) wani (berani) mingkis (perlihatkan), wiweka (berhati-hati) ing (dalam) batin (batin), den (di) samar (samarkan) ing (dalam) semu (isyarat, mimik muka). Keberanian jangan diperlihatkan, berhati-hatilah dalam batin, samarkan dalam isyarat.

Keberanian tadi cukup disimpan dalam hati sebagai sikap berjaga-jaga, tidak perlu diperlihatkan, namun batin harus selalu berhati-hati, siaga setiap saat. Adapun sikap lahirnya harus disamarkan dalam isyarat.

Jadi seorang ksatrian adalah orang yang selalu berani dalam hati dan selalu siaga terhadap ancaman yang mungkin timbul, tetapi secara lahir harus bersikap tenang. Tidak perlu petentang-petenteng, berlagak berani, melotot ke sana-sini.

Lha tapi kok kita sering melihat orang yang melotot dan petentang-petenteng? Itu jelas bukan ksatria, tetapi pengecut yang menyembunyikan ketakutannya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-168169-watak-satriya-iku/

Kajian Wulangreh (170;171): Aja Selang Surup.

 Pada (bait) ke-170;171, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Lan dèn sami mantêp maring bêcik,
maneh wekasingong,
aja kurang iya panrimane.
Yen wis tinitah ing Hyang Widhi,
ing badan punika,
pan wus pepancenipun.

Kang narima satitah Hyang Widhi,
temah dadi awon.
Lan ana wong tan narima titahe,
wekasane iku dadi becik.
Kawruhana ugi,
aja selang surup.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Dan harap semua mantap kepada kebaikan,
ada lagi pesanku,
jangan kurang juga rasa menerimanya.
Kalau sudah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Benar,
(semua yang) dalam diri ini,
memang sudah ketentuanNya.

Yang menerima segala ketetapan Tuhan,
akhirnya menjadi buruk.
Dan ada orang tak menerima ketetapanNya,
akhirnya menjadi baik.
Ketahuilah juga,
jangan salah pengertian.


Kajian per kata:

Lan (dan) dèn (harap) sami (semua) mantêp (mantap) maring (kepada) bêcik (kebaikan), maneh (ada lagi) wekasingong (pesanku), aja (jangan) kurang (kurang) iya (iya, juga) panrimane (rasa menerima). Dan harap semua mantap kepada kebaikan, ada lagi pesanku, jangan kurang juga rasa menerimanya.

Harap semua memantapkan hati menuju kepada kebaikan. Jangan ragu-ragu dan bimbang. Ada lagi pesanku: jangan kurang dalam sikap menerima segala ketentuan Tuhan. Antara memantapkan hati dan sikap menerima memang sering kali bertentangan, namun kali ini mesti disatukan dalam satu bingkai. Kadang orang menjadi ragu-ragu untuk menuju kebaikan hanya karena belum rela menerima ketentuan Tuhan atas dirinya. Hati rasanya ingin protes kok nasibku seperti ini, kok aku serba kesulitan dalam hidup, kok usahaku selalu gagal, dsb.

Jika kita sudah mantap untuk menuju kebaikan hati kita harus juga menerima segala ketentuannya. Dua sikap ini satu paket dan biasanya selalu beriring-sejalan. Bila hanya salah satu yang ada, akan berakhir menjadi buruk. Mengapa demikian? Marilah kita kaji lebih lanjut makna yang tersembunyi dari bait ini.

Yen (kalau) wis (sudah) tinitah (diciptakan) ing (oleh) Hyang Widhi (Tuhan), ing (dalam) badan (badan, diri) punika (ini), pan (memang) wus (sudah) pepancenipun (ketentuanNya). Kalau sudah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Benar, (semua yang) dalam diri ini, memang sudah ketentuanNya.

Kalau sudah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Benar, maka bagaimana bentuk dan wujudnya harus diterima. Memang sudah seperti itu ketentuanNya. Namun janganlah hanya berhenti sampai di situ penerimaan kita. Menerima bukan berarti pasrah bongkokan, menyerah kepada apa yang telah ditetapkanNya di masa kini. Manusia adalah makhluk yang diberi pilihan untuk mengupayakan kebaikan pada dirinya. Mencari yang lebih baik dari yang diterima sekarang adalah sebuah pilihan yang dibolehkan dan itu juga merupakan ketentuan Tuhan.

Kang (yang) narima (menerima, syukur) satitah (segala ketetapan) Hyang Widhi (Tuhan), temah (akhirnya) dadi (menjadi) awon (buruk).  Yang menerima segala ketetapan Tuhan, akhirnya menjadi buruk.

Dalam hal yang disebut terakhir, menerima ketentuan Tuhan secara jumud, tidak mau berupaya untuk memperbaiki diri akan menjadi keburukan pada akhirnya. Misalnya seseorang yang diciptakan dalam keadaan bodoh, IQ rendah sekali. Apabila dia merasa cukup dalam kebodohannya dan hanya pasrah saja, tanpa ada sebuah upaya menuju kebaikan maka yang demikian itu adalah keburukan.

Lan (dan) ana (ada) wong (orang) tan (tak) narima (menerima) titahe (ketetapanNya), wekasane (akhirnya) iku (itu) dadi (menjadi) becik (baik). Dan ada orang tak menerima ketetapanNya, akhirnya menjadi baik.

Dan orang yang tidak menerima begitu saja ketentuannya, bisa jadi akan baik pada akhirnya. Misal orang ber-IQ rendah tadi, walau sudah tahu dirinya bodoh tapi tetap semangat belajar, tak apalah jika harus menghabiskan lebih banyak waktu daripada orang lain karena kebodohannya itu. Dia tetap semangat dan berupaya keras. Akhirnya walau hanya pas-pasan dapat menguasai bidang ilmu tertentu dengan baik. Itulah penerimaan yang baik atas ketentuannya. Singkatnya jangan terlalu cepat mupus dan menyerah sebelum berusaha maksimal.

Kawruhana (ketahuilah) ugi (juga), aja (jangan) selang (salah) surup (pengertian). Ketahuilah juga, jangan salah pengertian.

Yang demikian itu ketahuilah, jangan sampai salah pengertian. Menerima ketentuan Tuhan bukanlah sikap statis, jumud dan pasrah saja. Satu hal yang harus dipahami: usaha untuk menjadi lebih baik adalah ketentuan Tuhan juga yang dikhususkan untuk manusia.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-170171-aja-selang-surup/

Kajian Wulangreh (172-174): Narima Kang Becik

 Pada (bait) ke-172-174, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Yen wong bodho datan nedya ugi,
tetakon tetiron,
anarima ing titah bodhone,
iku wong narima norabecik.
Dene ingkang becik,
wong narima iku.

kaya upamane wong angabdi,
amagang Sang Katong.
Lawas-lawas katekan sedyane,
dadi mantri utawa bupati,
miwah saliyaning,
ing tyase panuju.

Nuli narima terusing batin,
tan mengeng ing Katong,
tan rumasa ing kanikmatane.
Sihing gusti tekeng anak rabi,
wong narima becik,
kang mangkono iku.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau orang bodoh tak berupaya juga,
bertanya-tanya atau meniru-niru,
hanya menerima pada takdir kebodohannya,
itu orang menerima yang tak baik.
Adapun yang baik,
orang menerima itu,

seperti seumpama orang mengabdi,
magang kepada Raja.
Lama-lama tercapai keinginannya,
menjadi mantri atau bupati,
serta selainnya,
sesuai yang diinginkan hatinya.

Kemudian menerima sampai ke batin,
tak membantah pada Raja,
dan mengakui kenikmatannya.
Belas kasih Raja sampai anak cucu,
orang menerima yang baik,
yang seperti itu.


Kajian per kata:

Yen (kalau) wong (orang) bodho (bodoh) datan (tak) nedya (berupaya) ugi (juga), tetakon (bertanya-tanya) tetiron (meniru-niru), anarima (hanya menerima) ing (pada) titah (takdir, ketetapan) bodhone (kebodohannya), iku (itu) wong (orang) narima (menerima) nora (tidak) becik (baik). Kalau orang bodoh tak berupaya juga, bertanya-tanya atau meniru-niru, hanya menerima pada takdir kebodohannya, itu orang menerima yang tak baik.

Kalau orang terlahir bodoh kemudian tidak berupaya juga, dengan cara bertanya-tanya mencari pengetahuan atau mencontoh orang lain yang sudah bisa, tetapi hanya menerima kebodohannya saja, itu adalah penerimaan yang tidak baik. Seperti yang sudah kami singgung dalam bait sebelumnya, penerimaan terhadap ketetapan Tuhan apabila tidak dibrengi usaha untuk memperbaiki keadaan adalah sebuah sikap yang tidak baik.

Dene (adapun) ingkang (yang) becik (baik), wong (orang) narima (menerima) iku (itu), kaya (seperti) upamane (seumpama) wong (orang) angabdi (mengabdi), amagang (magang) Sang Katong (raja). Adapun yang baik, orang menerima itu, seperti seumpama orang mengabdi, magang kepada Raja.

 Adapun sikap yang baik dalam menerima ketentuan Tuhan adalah sikap yang ditunjukkan orang yang mengabdi, atau magang pada Raja. Pengabdian pada raja diawali dari suwita yang artinya sudah kami jelaskan berulang kali pada bait yang lalu. Kemudian magang sebagai sarana latihan memikul tugas dan tanggung jawab. Setelah selesai magang kemudian diangkat menjadi abdi dalem kraton. Ini adalah proses yang sangat panjang dan memerlukan ketekunan luar biasa. Seseorang yang ditakdirkan terlahir sebagai wong cilik yang tidak berpangkat jika mau ikut mengabdi kepada raja dengan melalui suwita-magang akhirnya mendapat kedudukan yang sepantasnya. Inilah yang dimaksud mau berupaya untuk memperbaiki keadaan atau nasib yang telah ditetapkan Tuhan.

Lawaslawas (lama-lama) katekan (tercapai) sedyane (keinginannya), dadi (menjadi) mantri (mantri) utawa (atau) bupati (bupati), miwah (serta) saliyaning (selainnya), ing tyase (hati) panuju (diinginkan). Lama-lama tercapai keinginannya, menjadi mantri atau bupati, serta selainnya, sesuai yang diinginkan hatinya.

Setelah lama menjalani proses pengabdian kepada raja dan diangkat sebagai abdi dalem kemudian karena ketekunannya dapat diangkat menjadi mantri, kaliwon, panewu dan bupati. Bahkan menjadi pejabat tinggi sesuai dengan apa yang dituju oleh hatinya.

Nuli (kemudian) narima (menerima) terusing (sampai) batin (batin), tan (tak) mengeng (menolak, membantah) ing (pada) Katong (Raja), lan (dan) rumasa (mengakui) ing (pada) kanikmatane (kenikmatannya). Kemudian menerima sampai ke batin, tak membantah pada Raja, dan mengakui kenikmatannya.

Kemudian menerima dengan ikhlas sampai ke dalam batin. Tidak menolak atau membantah Raja dan mengakui berbagai kenikmatan yang diterimanya. Sadar bahwa semua itu adalah karena belas kasih raja yang telah memberi kesempatan kepadanya.

Sihing (belas kasih) gusti (Raja) tekeng (sampa pada) anak (anak) rabi (istri) , wong (orang) narima (menerima) becik (baik), kang (yang) mangkono (seperti) iku (itu). Belas kasih Raja sampai anak cucu, orang menerima yang baik, yang seperti itu.

Belas kasih raja dihargai dan dimanfaatkannya untuk keperluan yang baik, sampai kepada anak-istri, tidak diselewengkan untuk hal-hal lain. Yang demikian itu sebuah penerimaan yang baik. Inilah arti menerima dengan sukacita atau disebut juga bersyukur.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-172-174-narima-kang-becik/

Kajian Wulangreh (175-177): Datan Eling Ing Mulane

 Pada (bait) ke-175-177, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Nanging arang ing mangsa samangkin,
kang kaya mangkono.
Kang wus kaprah iyo salawase,
yen wis ana lungguhe sathithik,
apan nuli lali,
ing wiwitanipun.

Pangrasane duweke pribadi,
sabarang kang kanggo,
datan eling ing mula mulane.
Awiting sugih sangkaning mukti,
panrimaning ati,
kaya nggone nemu.

Tan ngrasa kamurahaning Widdhi,
jalaran Sang Katong.
Jaman mengko ya iku mulane,
arang turun wong lumakweng kardi,
tyase tan saririh,
kasusu ing angkuh.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tetapi jarang pada zaman kini,
yang seperti demikian.
Yang sudah lazim selama ini,
kalau sudah mendapat kedudukan sedikit saja,
segera lupa,
pada awal mulanya.

Anggapannya kepunyaan sendiri,
semua yang dipakai,
tidak ingat pada awal mulanya.
Awal dari kekayaan dan asal mulanya hidup berkecukupan,
penerimaan hatinya,
seperti dirinya menemukan saja.

Tidak merasa sebagai kemurahan Tuhan,
karena perantaraan sang Raja.
Zaman sekarang itu awalnya,
jarang terlahir orang yang melakukan (seperti itu) dalam pekerjaan,
hatinya tidak halus,
tergesa-gesa bersikap angkuh.


Kajian per kata:

Nanging (tetapi) arang (jarang) ing (pada) mangsa (zaman) samangkin (kini), kang (yang) kaya (seperti) mangkono (demikian). Tetapi jarang pada zaman kini, yang seperti demikian.

Pada kajian yang lalu disebutkan tentang sikap menerima ketentuan yang baik, yakni dengan menerima keadaan yang ada lalu berupaya untuk mencapai yang lebih baik. Sesudah itu perlihatkanlah rasa penerimaan dengan penuh kegembiraan kepada Tuhan dan kepada yang membantu dalam usaha itu. Itulah yang disebut bersyukur. Tetapi di zaman sekarang sikap seperti ini jarang ditemukan.

Kang (yang) wus (sudah) kaprah (lazim) iya (iya) salawase (selamanya), yen (kalau) wis (sudh) ana (ada) lungguhe (kedudukan, jabatan) sathithik (sedikit), apan nuli (segera) lali (lupa), ing (pada) wiwitanipun (awal mulanya). Yang sudah lazim selama ini, kalau sudah mendapat kedudukan sedikit saja, segera lupa, pada awal mulanya.

Yang umum dilakukan orang manakala sudah mendapat kedudukan barang sedikit saja kemudian lupa asal muasalnya. Lupa bahwa yang dicapainya berkat pertolongan orang lain, juga atas anugrah Yang Kuasa.

Pangrasane (anggapannya) duweke (kepunyaan) pribadi (sendiri), sabarang (semua) kang (yang) kanggo (dipakai), datan (tidak) eling (ingat) ing (pada) mula (awal) mulane (mulnya). Anggapannya kepunyaan sendiri, semua yang dipakai, tidak ingat pada awal mulanya.

Dianggapnya semua miliknya sendiri. Tak ingat lagi jika itu semua adalah anugrah  dari Tuhan dan dari Raja. Lupa bahwa kedudukannya kini juga diperoleh atas ijin dari para atasan dan usulan dari mereka. Ibarat kacang lupa pada kulitnya.

Awiting (awal dari) sugih (kaya) sangkaning (asal mulanya) mukti (berkecukupan), panrimaning (penerimaan) ati (hati), kaya (seperti) nggone (dirinya) nemu (menemukan). Awal dari kekayaan dan asal mulanya hidup berkecukupan, penerimaan hatinya seperti dirinya menemukan saja.

Kata mukti dari bukti yang artinya pangan, mukti artinya berkecukupan dalam pangan. Gatra ini menyorot tentang perilku terhadap kekayaan dan kecukupan akan kebutuhan. Mereka tidak ingat lagi dari mana mendapatkan itu semua. Bagaimana dia sampai pada kedudukannya kini, mereka lupa. Seolah-olah apa yang mereka punya kini hanya yang menemukan saja. Karena hanya menemukan lantas berlaku seperti rejeki nomplok, berhambur-hambur dalam membelanjakannya, tanpa ingat amanat yang menyertainya.

Tan (tidak) ngrasa (merasa) kamurahaning (kemurahan) Widdhi (Tuhan), jalaran (karena perantaraan) Sang Katong (Raja). Tidak merasa sebagai kemurahan Tuhan, karena perantaraan sang Raja.

Tidak menampakkan hartanya sebagai kemurahan Tuhan dengan perantaraan Raja. Jika dia menyadari bahwa semua kekayaan adalah anugrah dari Tuhan lewat sang Raja, tentu akan lain cara membelanjakannya. Dia akan membelanjakan sebagaimana yang sudah disebutkan dalam bait yang lalu, yakni bermanfaat kepada anak-istri dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi karena dia merasa hanya “menemukan” maka membelanjankannya pun sekehendak hatinya.

Jaman (zaman) mengko (sekarang) ya iku (yaitu) mulane (awalnya), arang (jarang) turun (keturunan, terlahir) wong (orang) lumakweng (melakukan dalam) kardi (pekerjaan), tyase (hatinya) tan (tidak) saririh (sabar, halus), kasusu (tergesa-gesa) ing (dalam) angkuh (angkuh). Zaman sekarang itu awalnya, jarang terlahir orang yang melakukan (seperti itu) dalam pekerjaan, hatinya tidak halus, tergesa-gesa bersikap angkuh.

Zaman sekarang memang jarang terlahir orang yang melakukan itu dalam pekerjaannya. Yang ada adalah orang yang hatinya tidak halus, tergesa-gesa bersikap angkuh. Tak sabar untuk mempertontonkan kekuasaan, umuk dan sok kuasa, sok kaya, sok hebat. Mereka lupa hanya seorang abdi.

Zaman sekarang yang dimaksud dalam bait ini adalah pada masa serat Wulangreh ini ditulis, bukan zaman now!


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-175-177-datan-eling-ing-mulane/

Kajian Wulangreh (178;179): Anganggowa Sabar Rereh Ririh

 Pada (bait) ke-178;179, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Arang kang sedya males ing sih,
Ing gusti Sang Katong.
Lan iya ing kabehing batine,
nora nedya narimeng Hyang Widdhi.
Iku wong tan wruh ing,
kanikmatanipun.

Yeku wong kurang narima ugi,
luwih saka awon.
Barang gawe aja age-age,
anganggoa sabar rereh ririh.
Dadi barang kardi,
resik tur rahayu.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Jarang yang berkehendak membalas belas kasihi,
gusti sang Raja.
Dan juga dalam segenap batinnya,
tidak berkehendak bersyukur kepada Tuhan.
Itulah orang yang tak mengetahui pada,
kenikmatannya.

Orang yang kurang bersyukur itu juga,
lebih (buruk) dari buruk.
Dalam sembarang pekerjaan jangan tergesa-gesa,
lakukanlah dengan sabar tenang dan perlahan.
Menjadikan semua pekerjaan,
bersih dan baik.


Kajian per kata:

Arang (jarang) kang (yang) sedya (berkehendak) males (membalas) ing (pada) sih (belas kasih), ing (pada) gusti Sang Katong (gusti sang Raja). Jarang ada yang berkehendak membalas belas kasih gusti, yakni sang Raja.

Jarang orang berkehendak membalas belas kasih Raja. Balasan yang sesuai sebenarnya hanyalah tunduk dan patuh kepada segala perintah Raja, yang telah memberi kenikmatan berupa hadiah kedudukan dan pangkat kepadanya.

Ini adalah konsep relasi Raja dan kawula yang mirip relasi Tuhan dan manusia. Oleh karena memang sistem yang dipakai pada masa itu adalah sistem kawula-gusti, yang dalam sistem ini rakyat memang diposisikan sebagai kawula dan raja sebagai gusti. Bahkan untuk para pejabat negara mereka harus lebih patuh lagi kepada raja, oleh karena itu disebut sebagai abdi. Relasi antara rakyat dan raja, lambat laun mengalami pergeseran menjadi raja dan wong cilik. Ini terjadi menjelang kemerdekaan RI. Dr. Kuntowijoyo dalam berbagai bukunya mengulas hal ini secara detail. Silakan merujuk ke karya-karya cendekiawan asal Jogja tersebut untuk lebih jelasnya.

Lan (dan) iya (iya, juga) ing (dalam) kabehing (seluruh, segenap) batine (batinnya), nora (tidak) nedya (berkehendak) narimeng (beersyukur) Hyang Widdhi (kepada Tuhan). Dan juga dalam segenap batinnya, tidak berkehendak bersyukur kepada Tuhan.

Karena konsep wakil Tuhan itulah, posisi Raja pararel dengan Tuhan. Yang dalam hatinya ada keengganan untuk patuh dan menerima segala perintah Raja juga berarti dalam hatinya terbersit rasa tidak bersyukur kepada Tuhan.

Iku (itulah) wong (orang) tan (tak) wruh (mengetahui) ing (pada), kanikmatanipun (kenikmatannya). Itulah orang yang tak mengetahui pada, kenikmatannya.

Itulah orang yang tak tahu nikmat, tak tahu budi, tak ingat bagaiman asal mulanya dari setiap yang diperolehnya. Tak ingat awal kejadiannya.

Yeku (yaitu) wong (orang) kurang (kurang) narima (bersyukur) ugi (juga), luwih (lebih) saka (dari) awon (buruk). Orang yang kurang bersyukur itu juga, lebih (buruk) dari buruk.

Orang yang kurang menerima, kurang bersyukur tadi lebih buruk dari buruk. Atau buruk kuadrat. Karena sudah ingkar nikmat dari Raja juga tak mau bersyukur kepada Tuhan.

Barang (sembarang) gawe (pekerjaan) aja (jangan) ageage (tergesa-gesa), anganggoa (lakukanlah) sabar (dengan sabar) rereh (tenang) ririh (perlahan). Dalam sembarang pekerjaan jangan tergesa-gesa, lakukanlah dengan sabar tenang dan perlahan.

Sekarang kita akan beralih ke topik lain. Dalam setiap pekerjaan janganlah tergesa-gesa, lakukanlah dengan sabar, tenang dan perlahan-lahan. Ada tiga kata yang sering dipakai secara bersamaan, rarah, rereh, ririh. Rarah adalah mengira-ira hasil atau akibat dari tindakan. Rereh adalah cara melakukan tindakan dengan hati tenang, tidak tergesa-gesa. Ririh adalah melakukan pekerjaan dengan perlahan. Ini bukan dalam arti lemot, tetapi terukur, tidak grusa-grusu.

Dadi (menjadi) barang (semua, sembarang) kardi (pekerjaan), resik (bersih) tur (dan) rahayu (baik, selamat). Menjadikan semua pekerjaan, bersih dan baik.

Jika dilakukan dengan cara demikian maka akan menghasilkan pekerjaan yang bersih dari kesalahan, tidak perlu mindho-gaweni lagi. Juga hasil pekerjaan akan lebih baik. Yang melakukan juga akan mendapat keuntungan berupa pengalaman dan keahlian, ketrampilan dan kepercayaan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-178179-anganggowa-sabar-rereh-ririh/

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...