Abstract
Dari karya-karya sastra masa Jawa Kuno terdapat gambaran bahwa pada masa itu telah dikenal strategi perang yang disebut byūha atau wyūha. Strategi perang yang disebutkan dalam karya-karya sastra itu hanya empat berasal dari Arthaśāstra (India) dan sisanya adalah strategi perang Jawa asli.
Berdasarkan beberapa kasus peperangan yang terjadi pada masa Jawa Kuno dapat diketahui bahwa strategi perang berupa serangan mendadak merupakan strategi yang paling banyak dipakai oleh raja-raja Jawa.
Kata kunci: perang, wyūha, Jawa Kuno, Kadiri, Singhasāri, Majapahit
Based on the cases of war which were happened in the past, we had known that the frontal strategy was the most used by the kings of Old Javanese kingdoms.
Keywords: war, wyūha, Old Javanese, Kadiri, Singhasāri, Majapahit
Dari data prasasti masa Jawa Kuno diperoleh gambaran bahwa sejak berdirinya kerajaan Matarām Kuno, tahun 717 M sampai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16 Masehi, sering terjadi peperangan, baik peperangan yang terjadi antarkerajaan, peperangan antara kerajaan pusat dengan kerajaan vasal, maupun peperangan di dalam kerajaan itu sendiri. Ada pun motivasi terjadinya peperangan dapat saja karena perebutan takhta, perluasan wilayah (ekspansi), maupun karena balas dendam.
Menurut pengertian populer, perang ialah suatu konflik antara beberapa kelompok politik yang terlibat dalam suatu permusuhan yang lama dan dalam skala besar, sedangkan menurut Carl von Clausewitz (1780-1831) perang ialah perkembangan social dan tindakan politik. Perang bukan hanya tindakan politik melainkan juga sebuah alat politik yang konkrit, suatu kelanjutan kebijaksanaan yang dilanjutkan ke yang lain (Lapian t.t.:1, 20). Dilihat dari beberapa teori tentang perang, dalam dua aliran pemikiran, yaitu teori yang menghubungkan perang dengan faktor biologis dan psikologis tertentu yang melekat pada manusia, dan teori yang menghubungkan perang dengan hubungan sosial dan pranata sosial tertentu.
Berbicara mengenai perang maka tidak terlepas dari strategi perang yang dipakai dalam suatu peperangan. Kata strategi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani strategos, yang secara sempit dirumuskan sebagai “seni seorang jenderal”. Istilah itu muncul karena pada mulana strategi berkaitan dengan siasat militer bagaimana seorang jenderal berusaha mengelabui musuh, dan membagi-bagi pasukannya dalam perang. Dalam teori perang, strategi dan taktik umumnya ditempatkan dalam dua kategori yang berbeda. Dua bidang ini secara tradisional dirumuskan menurut dimensi yang berbeda. Strategi berkenaan dengan raung yang luas, jangka waktu yang lama, serta gerak militer besar-besaran; sedangkan taktik merupakan aplikasi dari strategi. Dengan demikian, strategi diartikan prelude (pendahuluan) sebelum terjun ke medan pertempuran, sedangkan taktik adalah kegiatan di medan perang. Oleh karena itu, lanjut Lapian (t.t.:12–14), kebanyakan pustaka dan teori mengenai strategi di masa lampau memusatkan perhatian kepada persiapan yang sebaik-baiknya sebelum berangkat ke medan perang, bagaimana memimpin pasukan sampai saatnya bertemu musuh. Keadaan ini menjelaskan mengapa lebih banyak perhatian diberikan kepada manuver strategis, yang ditujukan untuk menempatkan pasukan sendiri dalam posisi yang menguntungkan agar memaksa musuh berada dalam posisi yang merugikan dan membatasi musuh untuk bergerak secara bebas.
Dari kesusateraan Jawa Kuno terdapat bukti bahwa orang pada masa itu telah mengenal strategi perang, antara lain dari kakawin Bhāratayūddha, yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Jayabhaya dari Kerajaan Kadiri pada tahun 1019 Śaka (1157 M.)*1. Kakawin ini menuliskan tentang bermacam-macam jenis byūha/wyūha (strategi perang) yang dilakukan oleh Pandawa dan Kaurawa dalam peperangan yang langsung berhadapan dengan musuh atau serangan frontal (lihat gambar di bawah ini).
Ada pun inti ajaran yang dikemukakan dalam sāma-bheda-dańůa adalah: pertama, setiap raja yang ingin membinasakan musuh-musuhnya wajib mencari sekutu (sāma) di antara kerajaan-kerajaan yang berhubungan baik, dengan perhitungan bahwa jika terjadi perang maka kerajaan yang menjadi sekutunya diharapkan memberikan bantuan atau setidak-tidaknya bersikap netral; kedua, dengan memecah belah (bheda); dan terakhir apabila memecah belah kerajaan-kerajaan musuh telah tercapai maka yang dilakukan ialah memukul (dańůa) musuhnya yang telah lemah (Wirjosuparto, 1968:22).
Untuk masa lebih kemudian kita mendapatkan keterangan mengenai beberapa strategi perang dari Dagh-Register VOC antara strategi militer Jawa dalam berperang, yaitu: (1) penyerbuan secara tiba-tiba (surprises attack); (2) merubuhkan pohon-pohon ke jalan raya sehingga jalan tertutup dan menghalangi serangan musuh, terutama menghalangi konvoi kereta barang; (3) memutuskan suplai makanan yang merupakan titik lemah sehingga dapat memaksa musuh menyerah karena kelaparab; dan (4) memutuskan suplai air dari bendungan sungai (Schrieke, 1957:132-135).
Sehubungan dengan itu, maka dalam tulisan makalah ini akan dicoba membuktikan asumsi Wirjosuparto yang menyebutkan bahwa strategi dan taktik perang sāma-bheda-dańůa telah dikenal dan dipelajari di Jawa, yang dalam kasus ini akan diterapkan pada raja-raja Jawa pada abad ke-8 hingga 15 Masehi. Di samping itu, juga akan dibicarakan mengenai beberapa strategi perang yang dipakai pada masa Jawa Kuno. Untuk keperluan tersebut dipakai data tekstual berupa prasasti, karya sastra, dan berita Cina dari masa yang sezaman.
2. Strategi Perang Raja-raja Jawa pada Abad ke-8-15 Masehi
Seperti telah diutarakan sebelumnya, dari data prasasti diketahui adanya peperangan, baik karena perebutan takhta, perluasan wilayah, atau balas dendam. Dalam peperangan-peperangan tersebut dapat dilihat strategi-strategi perang yang dipakai pada masa Jawa Kuno. Pertama, strategi yang dipakai adalah serangan yang mendadak atau surprise attack. Sebagai contoh ialah peperangan yang terjadi antara Śrī Dharmmawangśa Těguh Anantawikramottunggadewa (991–1016 M.) dari kerajaan Matarām Kuno dengan Raja Wurawari*3 yang merupakan salah satu raja bawahannya.
Serangan Raja Wurawari terjadi tidak lama setelah perkawinan putri Dharmmawangśa Těguh dengan Airlangga, sehingga para pakar Sejarah Kuno memperkirakan bahwa Raja Wurawari tadinya memunyai ambisi untuk menikah dengan putri mahkota dan menggantikan Dharmmawangśa Těguh. Akan tetapi yang dipilih oleh Dharmmawangśa Těguh sebagai menantu adalah kemenakannya yang berasal dari Bali. Seperti disebutkan dalam sumber tertulis, Airlangga adalah putra Mahendradattā Guńapriyadharmmapatnī, adik Dharmmawangśa Těguh yang menikah dengan Raja Udāyana dari wangsa Warmmadewa di Bali. Oleh karena tidak berhasil menikahi putri Dharmmawangśa Těguh, Raja Wurawari merasa kecewa dan dalam melampiaskan kekecewaannya, ia melakukan serangan mendadak ke istana Dharmmawangśa Těguh. Adanya serangan mendadak menyebabkan Dharmmawangśa Těguh tidak berdaya dan menemukan ajalnya dalam peperangan itu, sedangkan Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan ditemani pelayannya yang setia bernama Narottama*4.
Contoh serangan mendadak lainnya ialah peperangan yang terjadi antara Kěrtanagara (1268–1292 M.), raja terakhir Kerajaan Singhasāri, dengan Jayakatwang (1271–1293 M.) dari Kerajaan Gělang-gělang atau Gěgělang*5. Kěrtanagara tidak menyangka akan adanya serangan mendadak dari Raja Jayakatwang yang merupakan raja bawahannya dan juga masih iparnya. Pada saat adanya serangan, Kěrtanagara sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman Kubhilai Khan dari Mongol. Ada pun sebabnya ia berseteru dengan Mongol ialah ketika utusan Kubhilai Khan bernama Meng-ch’i datang ke Singhasāri pada 1298 M untuk minta pengakuan tunduk kepada Kerajaan Kubhilai Khan, permintaan itu ditolak dan Meng-ch’i dilukai mukanya. Penganiayaan terhadap utusannya itu oleh Kubhilai Khan dianggap sebagai penghinaan besar dan pernyataan perang dari Kěrtanagara. Maka pada awal 1292 M berangkatlah tentara Mongol untuk menaklukkan Jawa yang dipimpin tiga panglima perang, yaitu Shih-pi, Ike Mese (Iseh-mi-shih), dan Kao-hsing.
Pada saat itulah Jayakatwang menyerang Kěrtanagara. Atas hasutan patihnya, Arya Wiraraja, yang mengatakan bahwa kewajiban seorang kesatria adalah menghapus aib seperti yang diderita oleh leluhurnya. Seperti ditulis dalam Sěrat Pararaton*6 , Kěrtajaya atau Dandang Gěndis, raja Kadiri terakhir, dikalahkan oleh Ken Angrok dari Tumapel pada 1144 Śaka (1222 M). Pada tahun itu juga Ken Angrok mendirikan Kerajaan Singhasāri, dan Kadiri menjadi bagian dari Kerajaan Singhasāri. Dengan adanya hasutan Arya Wiraraja, Jayakatwang, bertekad membalas dendam kematian leluhurnya (Kěrtajaya) oleh leluhur raja Kěrtanagara (Ken Angrok). Sebenarnya Jayakatwang adalah salah satu raja daerah Kerajaan Singhasāri yang berkuasa di Wurawan. Ia juga adik ipar Kěrtanagara karena ia menikah dengan putri dari Wisnuwarddhana yang bernama Turuk Balī.
Menurut Sěrat Pararaton, dalam usaha meruntuhkan Kerajaan Singhasāri, Arya Wiraraja atau Banyak Wide tadinya adalah pejabat tinggi yang berkedudukan di pusat, akan tetapi karena ia memunyai pandangan politik yang berbeda dengan Kěrtanagara, oleh Kěrtanagara ia dipindahkan menjadi asipati di Sumenep, Madura. Ia merasa sakit hati oleh perlakuan Kěrtanagara tersebut sehingga ia menghasut Jayakatwang untuk membalas dendam kepada Kěrtanagara dan berjanji akan memberitahu Jayakatwang saat yang tepat untuk menyerang Singhasāri. Pada waktu sebagian kekuatan tentara Singhasāri sedang berada di Malayu, Arya Wiraraja menulis surat kepada Jayakatwang sebagai berikut:
“Pukulun, patih aji matur ing paduka aji, aněnggěh paduka aji ayun abuburu maring těgal lama, mangke ta paduka aji abuburua, duwěg kaladeçanipun tambontěn wontěn baya, tambontěn macanipun, tambontěn bańőengipun, muwah ulanipun, rinipun, wontěn macanipun anging guguh” (Brandes 1826:18).
Artinya:
Hamba, patih Yang Mulia, memberitahukan Paduka Raja, apabila Paduka ingin berburu ke tegal lama, sekaranglah saat yang tepat Paduka berburu, pada saat ada kesempatan baik. Tidak ada bahaya, tidak ada harimau, tidak ada banteng, juga ular (dan) musuh, ada harimau tapi giginya sudah ompong.
Jayakatwang tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam penyerangannya ia memakai siasat makara wyūha (Sumadio 1993:418, cat. no, 89) yaitu dengan melancarkan serangan dari dua arah, dari utara dan selatan. Pasukan yang menyerang dari utara hanya merupakan siasat yang memancing agar pasukan Kerajaan Singhasāri keluar dari keraton. Siasatnya ini berhasil, karena dengan adanya serangan dari utara, maka pasukan Singhasāri di bawah pimpinan Raden Wijaya*7 dan Arddharaja, anak Jayakatwang yang juga menantu Kěrtanagara, menyerbu ke utara dan mengejar musuh yang selalu bergerak mundur. Pada waktu kekuatan di keraton Singhasāri lemah lalu pasukan Jayakatwang yang berada di selatan menyerang keraton dan dapat membunuh Kěrtanagara yang sedang melakukan upacara keagamaan*8.
Bahwa Kěrtanagara tidak menyangka dapat serangan mendadak dari Jayakatwang, terlihat dari ketidakpercayaannya ketika diberitahu ada serangan dari Daha, ia malah berkata: “kadi pira sirāji Jaya Katong mangkonon ring isun, apan sira huwus apakenak lawan isun” (betapa tega Jayakatong berbuat begitu kepadaku, padahal ia bersaudara denganku) (Brandes, 1896:19).
Selain strategi yang melakukan serangan secara tiba-tiba, juga ada strategi perang yang dilakukan secara frontal, yaitu serangan yang dilakukan dengan berhadap-hadapan dan terbuka. Dari kesusatraan Jawa Kuno didapatkan gambaran bahwa dalam perang frontal, pasukan yang maju ke medan perang diiringi oleh tetabuhan. Sebagai contoh dalam kakawin Arjunawiwāha pupuh 23.2–3 digambarkan situasi bagaimana di antara ramainya suara barisan tentara yang bersorak-sorak terdengar bunyi gendang, ketipung (terompet), gong, dan gemuruh tambur (Poerbatjaraka, 1926: 45-46; Wiryamartana, 1990: 104,160).
Selama peperangan, tabuh-tabuhan tersebut terus dibunyikan, ini terlihat dari kalimat pada pupuh 25.5 yang menggambarkan bagaimana bunyi gong dan riuh genderang tidak lagi terdengar karena terkalahkan oleh oleh bunyi perisai berdentang-dentang, gemerincingnya golok, dan gelegar konta mengenai gajah. Ditambah dengan lenguhan orang yang menghembuskan nyawa, yang mengaduh, dan pekikan orang yang menyerang (Poerbatjaraka, 1926: 49; Wiryamartana, 1990: 107,164).
Gambaran adanya pasukan perang yang sedang berjalan menuju medan perang dengan membawa tetabuhan digambarkan pada Candi Panataran (abad 12–14 M.). Dalam relief yang menceritakan kisah Rāmayana terdapat adegan pasukan kera yang akan berperang dengan pasukan raksasa dari Alengka, di antara pasukan kera itu ada dua ekor kera yang membawa tetabuhan yang berupa gong.
Foto 1. Pasukan kera yang membawa gong
Peperangan secara frontal ini dapat dilihat dalam perebutan takhta Kerajaan Matarām yang terjadi sekitar abad ke-9 M. antara Rakai Pikatan (850-856 M.) dan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Menurut Prasasti Siwagěrha yang berangka tahun 778 Saka (856 M), peperangan ini berjalan selama satu tahun. Dalam peperangan ini, anak bungsu Rakai Pikatan yang bernama Rakai Kayuwangi Dyah Lokapāla (856-882) sebagai pemimpin pasukan yang gagah berani berhadapan dengan pasukan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Sekali waktu Rakai Kayuwangi berhasil memukul mundur Rakai Walaing yang menyebabkan Rakai Walaing mengungsi sampai ke atas bukit Ratu Baka dan membuat benteng di sana. Lokasi bukit ini sangat strategis sehingga Rakai Kayuwangi mengalami kesulitan untuk menggempurnya. Tetapi berkat keuletannya, akhirnya ia berhasil menggempur pertahanan Rakai Walaing di bukit Ratu Baka.
Dalam kesusastraan Jawa Kuno disebutkan adanya strategi perang frontal yang disebut wyūha. Misalnya kakawin Bhāratayūddha menyebutkan adanya 10 macam wyūha, yaitu (1) wukir sagara wyūha (susunan pasukan berbentuk bukit dan samudra), (2) wajratikśna wyūha (susunan pasukan berbentuk wajra), (3) kagapati/garuda wyūha (susunan pasukan berbentuk garuda), (4) gajendramatta/gajamatta wyūha (susunan pasukan berbentuk gajah ngamuk), (5) cakra wyūha (susunan tentara berbentuk cakra), (6) makara wyūha (susunan pasukan berbentuk makara), (7) sūcimukha wyūha (susunan pasukan yang ujungnya seperti jarum), (8) padma wyūha (susunan pasukan berbentuk bunga teratai), (9) ardhacandra wyūha (susunan pasukan berbentuk bulan sabit), dan (10) kānannya wyūha (susunan pasukan berbentuk lingkaran berlapis) (Wiryosuparto, 1968: 30-40). Menurut Kats dan Wirjosuparto, jumlah wyūha yang disebutkan dalam kakawin Bhāratayūddha berbeda dengan yang disebutkan dalam karya sastra Kamandaka yang hanya menyebutkan 8 macam wyūha, yaitu (1) garuda wyūha, (2) singha wyūha (susunan pasukan berbentuk singa), (3) makara wyūha, (4) cakra wyūha, (5) padma wyūha, (6) wukir sagara wyūha, (7) arddhacandra wyūha, dan (8) wajratikśna wyūha (Wirjosuparto, 1968: 29; Kats, 1923: 240)*9.
No | Arthaśāstra | Bhārātayūddha | Kamandaka |
1 | dańůa | ||
2 | bhoga | ||
3 | mańůala | ||
4 | asamhata | ||
5 | pradara | ||
6 | ůŕůhaka | ||
7 | asahya | ||
8 | garuůa | garuůa | garuůa |
9 | sañjaya | ||
10 | wijaya | ||
11 | sthūlakarńna | ||
12 | wiśālawijaya | ||
13 | camūmukha | ||
14 | jhashāsya | ||
15 | sūcimukha | sūcimukha | sūcimukha |
16 | walaya | ||
17 | ajaya | ||
18 | sarpāsarīi | ||
19 | gomūtrika | ||
20 | syandana | ||
21 | godha | ||
22 | wāripatantaka | ||
23 | sarwatomukha | ||
24 | sarwatobhadra | ||
25 | ashőānīkā | ||
26 | wajra | wajratikśna | wajratikśna |
27 | udyānaka | ||
28 | ardhacandrika | ardhacandra | |
29 | karkāőakaśrěnggi | ||
30 | ariśőa | ||
31 | acala | ||
32 | śyena | ||
33 | apratihata | ||
34 | chāpa | ||
35 | madhya chāpa | ||
36 | wukir sagara | wukir sagara | |
37 | gajendramatta | – | |
38 | padma | padma | |
39 | cakra | cakra | |
40 | makara | makara | |
41 | kānannya | – | |
42 | – | singha |
Strategi perang lainnya ialah strategi perang yang dilakukan oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya ialah kemenakan sekaligus menantu Kěrtanagara, karena ia menikahi keempat putri Kěrtanagara. Setelah Kěrtanagara berhasil dibunuh oleh Jayakatwang, atas saran Arya Wiraraja, ia berpura-pura tunduk kepada Jayakatwang. Setelah mendapatkan kepercayaan penuh dari Jayakatwang, ia meminta hutan di daerah Trik*11 sebagai pertahanan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui Sungai Brantas. Kemudian, setelah permohonannya dikabulkan ia membuka daerah itu dengan bantuan Arya Wiraraja menjadi desa yang dinamakan Majapahit. Di tempat itu, ia secara diam-diam memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk menyerang Kadiri. Di Madura, Arya Wiraraja sudah bersiap-siap pula dengan pasukannya untuk membantu Majapahit melawan Jayakatwang.
Pasukan Cina menyerang Daha yang menjadi ibukota Kadiri dalam tiga gelombang. Gelombang pertama dilakukan pada awal bulan ketiga (April-Mei) di muara Kali Mas (Pa-tsieh), pasukan Cina menyerang pasukan Daha yang selalu siap menghadapi musuh dari luar. Dalam pertempuran ini pasukan Daha dapat dikalahkan. Setelah mendapatkan kemenangan, pasukan Cina dibagi menjadi dua: sebagian berjaga-jaga di muara Kali Mas dan sebagian lagi menyerang Daha. Akan tetapi, sebelum mereka berangkat ke Daha, datang utusan Raden Wijaya yang meminta bantuan karena Majapahit akan diserang oleh pasukan Daha. Pada tanggal delapan bulan ketiga, terjadi pertempuran di Majapahit yang berakhir dengan kekalahan pasukan Daha. Tidak puas dengan kesuksesan yang dicapainya, pasukan Cina bergerak menuju Daha, dan pada tanggal 19 bulan yang sama mereka menyerang Daha. Jayakatwang telah siap menghadapi musuh dengan pasukan yang terdiri dari seratus ribu orang. Setelah pertempuran berjalan dengan dahsyatnya, akhirnya Jayakatwang menyerahkan diri dan ditawan bersama semua anggota keluarganya serta para pejabat tinggi kerajaan (Groeneveldt, 1960: 33-4; Sumadio dkk., 1993: 425).
Dari data tekstual, tidak pernah ada keterangan yang menyebutkan Raden Wijaya melakukan strategi perang sāma-bheda-dańůa, akan tetapi dari tahapan-tahapan perang yang dilakukan oleh Raden Wijaya, ia menjalankan strategi itu. Dalam menjalankan strateginya, pertama kali yang dilakukan oleh Raden Wijaya ialah berteman dengan Arya Wiraraja, dalam hal ini strategi yang dijalankan ialah mencari pendukung agar ada yang membantu ketika ia menyerang Jayakatwang (sāma). Lalu ia menghasut tentara Cina dengan mengatakan bahwa Jayakatwanglah musuh yang dicari oleh balatentara tersebut (bheda), dan setelah terjadi peperangan antara Jayakatwang dengan pasukan Cina yang diakhiri dengan kekalahan Jayakatwang, tindakannya yang terakhir adalah memukul balatentara Cina (dańůa).
3. Penutup
Dari beberapa contoh peperangan yang terjadi pada masa Jawa Kuno dapat diambil kesimpulan bahwa strategi perang yang berupa serangan mendadak pada umumnya dilakukan oleh raja-raja yang memunyai motivasi balas dendam, seperti yang dilakukan oleh Raja Wurawuri terhadap Dharmmawangsa Těguh atau Jayakatwang terhadap Kěrtanagara. Tampaknya alasan mereka melakukan serangan mendadak adalah karena jika memakai strategi perang frontal, mereka pasti kalah sebab musuh yang dihadapinya jauh lebih kuat. Ada pun strategi serangan frontal biasanya terjadi dalam perang saudara yang kekuatannya seimbang, seperti peperangan yang terjadi antara Rakai Kayuwangi an Rakai Walaing Pu Kumbhayoni atau Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhūmi.
Mengenai strategi perang sāma-bheda-dańůa, seperti telah diutarakan sebelumnya, mungkin dilakukan oleh Raden Wijaya. Akan tetapi, yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah Raden Wijaya melakukan strategi itu karena dia mempelajari strategi tersebut ataukah hanya kebetulan tahapan-tahapan dalam menjalankan strategi perangnya sesuai dengan sāma-bheda-dańůa. Karena jika kita teliti kembali kakawin Arjunawiwāha dan Nitiśāstra maka dapat diketahui bahwa dalam kedua kakawin tersebut, sāma-bheda-dańůa tidak khusus menjelaskan mengenai strategi perang. Dalam Arjunawiwāha pupuh 21.1 terdapat kata sāma-bheda-dańůa dan bukan sāma-bheda-dańůa yang menjelaskan Niwatakawaca yang sudah tidak mau lagi mau berdamai, yaitu perdamaian yang didamaikan dengan uang, akan tetapi hanya mau menyelesaikan masalahnya dengan perang; sedangkan Nitiśāstra, menekankan pentingnya uang/harta benda (dhana) dalam menjalankan sāma-bheda-dańůa, tanpa dhana maka sāma-bheda-dańůa tidak berhasil. Oleh karena itu, asumsi Wirjosuparto yang menyebutkan sāma-bheda-dańůa telah dikenal dan dipelajari di Indonesia harus diuji kembali dan harus dicari bukti-bukti yang lebih kuat dan akurat untuk mendukung asumsi tersebut.
Jika dilihat faktor-faktor yang menjadi pemicu perang, maka dapat disebutkan terjadinya perang pada masa Jawa Kuno terutama disebabkan oleh faktor-faktor biologis dan psikologis. Faktor-faktor biologis ini dapat disebabkan oleh persaingan untuk memiliki sesuatu, pelanggaran oleh orang luar, atau frustasi dalam kegiatan tertentu; sedangkan faktor psikologis didasarkan oleh sifat manusia yang secara lahiriah agresif (Lapian t.t.:5–6). Dari faktor-faktor itulah maka Kěrtanagara untuk menyatukan Nusantara melakukan ekspansi dengan peperangan. Atau perang antarsaudara karena memperebutkan takhta kerajaan, seperti peperangan yang terjadi antara Rakai Kayuwangi yang dipimpin oleh anaknya, Rakai Kayuwangi dengan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni, atau antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhūmi; sedangkan faktor psikologisnya lebih menyangkut pada balas dendam, seperti yang dilakukan oleh Raja Wurawuri terhadap Dharmmawangsa Těguh.
Faktor biologis maupun psikologis tersebut menunjukkan bahwa kehidupan pada masa Jawa Kuno menggambarkan adanya interest (kepentingan) yang tidak dapat diselesaikan melalui kompromi yang bersifat konsensus. Oleh karena itu, terlihat adanya unsur pemaksaan kepentingan dari satu pihak terhadap pihak lain.
Dari kondisi seperti itu, perang yang menjadi salah satu bentuk penyaluran kepentingan dari satu pihak terhadap pihak lain, adalah juga merupakan bentuk konflik yang termasuk dalam kriteria yang paling tinggi dan fatal. Dengan demikian, esensi konflik yang diimplementasikan melalui perang agaknya sejak masa lalu merupakan gejala yang paling efektif, daripada mengandalkan cara-cara perundingan atau pencapaian kesepakatan antara dua pihak yang bermusuhan, dan menyangkut persoalan di antara mereka yang berseteru tersebut.
Dari pembahasan mengenai peperangan yang terjadi pada masa Jawa Kuno dapat diambil kesimpulan bahwa perang yang terjadi karena dorongan psikologi maupun biologis mengandung suatu interaksi yang tidak selalu menguntungkan antara aspek kekuasaan (realitas) dan moral (idealis). Seharusnya aspek moral dapat mengawasi ambisi yang terlalu berlebihan dari kekuasaan. Tetapi ternyata aspek moral itu agak terabaikan. Secara argumentatif memang harus diakui bahwa aspek moral selalu menghadapi banyak persoalan, termasuk persoalan sangsi atau ganjaran yang tidak pernah jelas jika kita membicarakan efektifitas moral dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia. Akhirnya, masih lebih efektif bagi manusia atau sekelompok manusia untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya melalui jalan kekerasan, yaitu perang.
Djafar, Hasan. 1978. Girīndrawarddhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.
Kartoatmodjo, M.M. Soekarto. 1984. “Sekitar Masalah Sejarah Kadiri Kuna”, dalam Simposium Sejarah Kadiri Kuna, Yogyakarta, 28-29 September.
Kats, J. 1923. Het Javaansche Tooneel I. Wayang Poerwa. Weltevreden.
Lapian, A.B. t.t. “Perihal Perang”. Tidak terbit.
Magetsari, Nurhadi dkk. 1979. Kamus Arkeologi Indonesia 2. Jakarta: Proyek Penelitian Bahsa dan Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1926. Arjuna-wiwāha. Teks en Vertaling. s’-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Penerbit Djambatan.
Schrieke, B. 1959. Indonesian Sosiological Studies Jilid II. Brussel: Uitgevermaatschappij A. Manteau N.V.
Shamasastry, R. 1923. Kauttilya’s Arthaçāstra. Mysore. Cetakan kedua.
Sumadio, Bambang dkk. 1993. “Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dkk (ed.), Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
Wirjosuparto, Sutjipto. 1968. Kakawin Bharata-Yuddha. Jakarta: Bharata.
Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. “Arjunawiwāha”. Seri ILDEP. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar