Translate

Minggu, 28 Juli 2024

Kajian Wulangreh (1:1): Pambuka

Pupuh ke 1, pada ke-1 Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Pamedare wasitaning ati, 

cumanthaka aniru Pujangga. 

Dhahat mudha ing batine, 

nanging kedah ginunggung. 

Datan wruh yen akeh ngesemi. 

Ameksa angrumpaka,

basa kang kalantur, 

tutur kang katula-tula.

Tinalaten rinuruh kalawan ririh, 

mrih padhanging sasmita.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Diuraikannya nasehat dari hati ini,

bermula dari kelancangan hati berniat meniru para pujangga. 

Walau masih muda,

belum matang dalam pemikiran,

tetapi karena ingin disanjung.

Tidak tahu jika kelak banyak yang mencibir. 

Memaksakan diri merangkai kata,

dengan bahasa yang kacau-balau, 

serta nasehat yang sia-sia.

Dikerjakan dengan telaten diperbagus dengan sabar, 

agar terangnya isyarat yang disampaikan.


Kajian per kata:

Pamedare (diuraikannya) wasitaning (petuah, nasehat) ati (hati), cumanthaka (lancang) aniru (meniru) pujangga (pujangga, kaum cerdik pandai).Diuraikannya nasehat yang keluar dari hati ini, dengan lancang berniat meniru para pujangga.

Diuraikannya nasihat ini sebagai ungkapan dari hati yang dalam. Dengan lancang memberanikan diri meniru para pujangga yang sudah ahli menulis serat (kitab).

Sri Pakubuwana IV adalah raja pinandita. Selain raja beliau juga seorang cendekia yang mumpuni dalam kasusatraan, budaya, seni dan agama. Walau paham keagamaan beliau kenthal dengan aroma lokal atau kejawen tetapi penguasaan ilmu beliau amatlah luas. Hal ini dapat ditilik dari karya-karya beliau yang lain, seperti serat Wulang Putri, serat Wulang Sunu, dll

Walau seorang raja dalam menulis beliau tidak aji mumpung pegang  kuasa. Lihatlah bait pertama serat Wulangreh ini. Penuh dengan kata-kata rendah hati khas seorang cendekiawan. Dalam hal ini beliau patut diacungi jempol karena mampu memisahkan antara jabatan raja dan hobi sastra.

Dhahat (walau amat) mudha (muda, belum pengalaman) ing batine (dalam pemikiran), nanging (tetapi) kedah (harus, ingin) ginunggung (disanjung). Walau masih muda belum matang dalam pemikiran, namun karena ingin mendapat sanjungan.

Kata mudha dalam bahasa Jawa bisa diartikan bodoh atau belum berpengalaman. Di sini Pakubuwana IV mengaku belum berpengalaman dalam olah kebatinan, dalam pemikiran, dan hanya ingin tampil demi mendapat pujian semata-mata. Sekali lagi ini adalah ungkapan kerendahan hati, sebagai pernyataan bahwa karyanya belum berbobot dan hanya karena ingin dipuji saja.

Datan (tidak) wruh (tahu) yen (kalau) keh (banyak) ngesemi (mencibir, melihat sambil tersenyum karena memperolok, mencibir). Tidak tahu  kalau banyak yang mencibir.

Ngesemi adalah memberi senyuman. Kalau orang Jawa melihat sesuatu yang dirasa belum pantas tidak lantas mentertawakan, karena mentertawakan orang adalah tanda dangkal dalam budi. Namun mereka cukup tersenyum. Arti senyuman itu dalam bahasa yang lebih lugas adalah sama dengan mentertawakan. Namun orang Jawa selalu berusaha menahan perasaan supaya tidak berlebihan. Senyuman adalah isyarat yang cukup bahwa orang itu tidak berkenan.

Ameksa (memaksakan diri) angrumpaka (merangkai kata), basa (bahasa) kang (yang) kalantur (kacau balau), tutur (perkataan, nasihat) kang (yang) katula-tula (sia-sia). Memaksakan diri merangkai kata, dengan bahasa yang kacau-balau serta nasehat yang sia-sia.

 Ini juga ungkapan rendah hati lagi, mengaku bahwa merangkai kata baginya sangat sulit, tetapi memaksakan diri, sekuat upaya walau dengan bahasa yang kacau-balau, menyampaikan nasihat yang sia-sia (tak berbobot). Padahal jelas bahwa serat Wulangreh ini termasuk karya sastra yang bermutu tinggi dari segi bahasa dan amat tinggi kandungan  filosfinya.

Tinalaten (dikerjakan dengan telaten) rinuruh (diperbagus) kalawan (dengan) ririh (sabar), mrih (agar) padhanging (terangnya) sasmita (isyarat). Dikerjakan dengan telaten diperbagus dengan sabar, agar terangnya isyarat yang disampaikan.

Walau dengan susah payah karena kurangnya pengalaman tadi, dengan telaten karena bahasa yang kacau balau tadi, penyusunan nasihat ini dikerjakan dengan sabar agar isyarat yang disampaikan menjadi jelas, terang benderang (padhang).

Setelah kita cermati bait pertama ini, isinya tak lain adalah ungkapan kerendahan hati penulis serat Wulangreh. Hal ini menjadi bukti bahwa Sri Paku Buwana IV adalah raja cendekia yang mampu memisahkan antara peran raja dan komitmen beliau pada sastra. Meski punya jabatan beliau tidak serta-merta menitahkan serat ini sebagai pedoman hidup, tetapi tetap dengan rendah hati berusaha menyajikan karya ini sebagai upaya intelektual untuk memajukan pendidikan masyarakat yang sifatnya opsional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...