Translate

Sabtu, 27 Juli 2024

Kajian Darmaduhita (21-26)

  Menghadapi Poligini

Pupuh Kinanthi (metrum: 8u, 8i, 8a, 8i, 8a,8i), bait 21-26, Serat Darmaduhita.

Poma-poma wêkas isun, marang putraningsun èstri, iku padha dèn anggoa, wuruke si bapa iki. Yèn dèn lakoni sadaya, anganggo pitutur iki,

si bapa ingkang ananggung, yèn dèn anggo kang wêwêling, wus pasthi amanggih mulya, ing dunya tuwin ing akir. Lan aja manah nalimpang, dipun tumêmên ing laki.

Dèn bandhunga sanga likur, tyasira aja gumingsir, lair batin aja êsak, angladèni maring laki, malah sira ngupayakna, wanodya kang bêcik-bêcik.

parawan kang ayu-ayu, sira caosna ing laki. Mangkono patrape uga, ngawruhi karsaning laki, pasthi dadi ingkang trêsna, yèn wong lanang dèn turuti.

Yèn wong wadon ora asung, bojone duwea sêlir, miwah lumuh dèn wayuha, yaiku wadon panyakit, miwah tan wruh tatakrama, dalil kadis tan udani.

Pêpadhane asu buntung, cèlèng gotèng pamanèki, nora pantês pinêdhakan, nora wurung mêmarahi, dèn dohna pitung bêdahat, aja nêja duwe pikir.

 

Kajian per kata:

Serat ini memang ditujukan kepada para anak-anak perempuan sang penggubah serat ini. Maka pesan-pesannya disesuaikan dengan konteks masa itu, ketika praktik poligami dan perseliran masih menjadi gaya hidup utama bagi bangsawan kraton. Maka beliau juga memberi nasihat kepada putri-putrinya, karena sadar akan potensi yang akan menimpa mereka. Meski bait ini membuat trenyuh, terharu, tetapi merupakan nasihat yang realistis pada masa itu.

Poma-poma (ingat-ingat) wêkas (pesan) isun (aku), marang (kepada) putraningsun (anak-anakku) èstri (perempuan), iku (itu) padha (semua) dèn anggoa (pakailah), wuruke (ajaran) si bapa (si bapak) iki (ini). Ingat-ingatlah pesanku, kepada anak-anakku perempuan, itu semua pakailah, ajaran si bapak ini.

Ingat-ingatlah pesanku, kepada semua anak-anakku perempuan. Pakailah nasihat si bapak ini.

Yèn (kalau) dèn (di) lakoni (jalani) sadaya (semua), anganggo (memakai) pitutur (nasihat) iki (ini), si bapa (si bapak ini) ingkang (yang) ananggung (menanggung), yèn (kalau) dèn (di) anggo (pakai) kang (yang) wêwêling (pesan), wus (sudah) pasthi (pasti) amanggih (menemui) mulya (kebahagiaan), ing (di) dunya (dunia) tuwin (serta) ing (di) akir (akhirat). Kalau dijalani, memakai nasihat ini, si bapak ini yang menanggung, kalau dipakai pesan ini, sudah pasti menemui kebahagiaan, di dunia serta di akhirat.

Kalau engkau semua menjalani seluruh nasihat itu, memakai ajara ini, bapak yang akan menanggung, kalau dipakai nasihat ini, sudah pasti akan menemui kebahagiaan. Baik di dunia ini maupun di akhirat.

Dalam nasihat pada serat ini, dari awal sampai akhir tidak ada opsi untuk keadaan yang diluar rencana atau keadaan yang tidak sesuai harapan. Misalnya, jika sang anak perempuan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Hal tersebut karena memang ini kitab nasihat, tentu yang diharapkan adalah kebaikan semata. Ini bukan buku pedoman perilaku, tetapi semata-mata harapan orang tua kepada kebahagiaan anak-anak perempuan. Walau demikian dalam serat ini terselip nasihat jika sang anak menjadi istri dari suami yang poligami. Namun harus dicatat bahwa poligami hal yang lumrah di masa itu, bukan suatu perkara yang memancing kontroversi seperti sekarang. Jadi sangat mungkin sang anak kelak juga akan mengalaminya.

Lan (dan) aja (jangan) manah (berhati) nalimpang (menyimpang), dipun (harap) tumêmên (sungguh-sungguh) ing (pada) laki (suami). Dan jangan berhati menyimpang, harap bersungguh-sungguh pada suami.

Dan jangan pernah sekalipun menyimpang, harap bersungguh-sungguh komitmennya pada suami, pada keluarga yang hendak dibangun bersama-sama ini.

Dèn (di) bandhunga (rangkap) sanga likur (dua puluh sembilan), tyasira (hatimu) aja (jangan) gumingsir (berubah, bergeser), lair (lahir) batin (batin) aja (jangan) êsak (sakit hati), angladèni (melayani) maring (kepada) laki (suami), malah (malah) sira (engkau) ngupayakna (mencarilah), wanodya (wanita) kang (yang) bêcikbêcik (baik-baik), parawan (perawan) kang (yang) ayuayu (cantik-cantik), sira (engkau) caosna (berikan) ing (pada) laki (suami).

Dirangkap dua puluh sembilan pun, hatimu jangan berubah, lahir batin jangan sakit hati, melayani kepada suami, malah engkau mencarilah, wanita yang baik-baik, perawan yang cantik-cantik, engkau berikan pada suami.

Walau engkau nanti dimadu sampai dua puluh sembilan pun, hatimu jangan berubah. Tentu saja ini kiasan karena poligami sesuai tuntunan syariat Islam hanya sampai empat istri. Jika sampai seperti itu, lahir batin jangan sakit hati dan ngambek dalam melayani suami.

Bila perlu tanggaplah dengan keinginan suamimu, layanilah dengan baik. Jika dia ingin mencari wanita lagi, carikan, pilihkan wanita yang cantik-cantik dan baik-baik, kemudian engkau berikan dengan tulus pada suamimu.

Mangkono (demikian)  patrape (tindakannya) uga (juga), ngawruhi (mengetahui) karsaning (kehendak) laki (suami), pasthi (pasti) dadi (menjadi) ingkang (sebab) trêsna (cinta), yèn (kalau) wong (seorang) lanang (suami) dèn (di) turuti (turuti). Demikian tindakannya juga, mengetahui kehendak suami, pasti akan menjadi sebab rasa cinta, kalau seorang suami dituruti.

Demikian tindakan yang selayaknya dilakukan oleh seorang istri. Mengetahui kehendak suami dan mengikhlaskannya, pasti akan menjadi sebab datangnya rasa cinta. Kalau si istri ikhlas suaminya mengambil istri lagi pasti sang suami akan bertambah sayang padanya. Lain halnya kalau belum-belum si istri sudah curiga dan menghalangi, si suami akan jengkel sekali. Begitulah lelaki, kalau kehendaknya dituruti dia akan semakin sayang padamu, dan sebaliknya jika dilarang akan semakin menjadi-jadi.

Yèn (kalau) wong (seorang) wadon (wanita) ora (tidak) asung (memberi), bojone (suaminya) duwea (mempunyai) sêlir (selir), miwah (serta) lumuh (tak mau) dèn (di) wayuha (madu), yaiku (yaitu) wadon (wanita) panyakit (penyakit), miwah (serta) tan (tidak) wruh (mengethui) tatakrama (tatakrama), dalil (dalil) kadis (hadits) tan (tak) udani (mengetahui). Kalau seorang wanita tidak memberi, suaminya mempunyai selir, serta tak mau dimadu, yaitulah wanita berpenyakit, serta tak mengetahui tatakrama, dalil hadits tan memahami.

Praktik poligami memang sudah lazim pada zaman itu, dan didukung dengan argumen keagamaan dalil Quran dan Hadits. Seorang wanita yang menentang akan dicap sebagai seorang wanita yang tidak berpendidikan, tak tahu ilmu agama. Wong Quran-haditsnya sudah jelas membolehkan. Wanita yang seperti itu tidak akan dihargai dalam masyarakat. Meski dalam praktiknya poligami di masa itu rawan diselewengkan dari ajaran Islam. Contohnya, iya praktik perseliran itu sendiri. Apakah adanya istri selir itu sesuai dengan ajaran Islam? Mana dalil dan haditsnya?

Pêpadhane (ibaratnya) asu (anjing) buntung (buntung), cèlèng (celeng) gotèng (kerdil) pamanèki (umpamanya), nora (tidak) pantês (pantas ) pinêdhakan (didekati), nora (tak) wurung (urung) mêmarahi (mengajari, menulari), dèn dohna (jauhkan) pitung (tujuh) bêdahat (bedahat), aja (jangan) nêja (bermaksud) duwe (mempunyai) pikir (pikiran). Ibaratnya seperti anjing buntung, atau celeng kerdil umpamanya, tidak pantes didekati, tak urung akan menulari, jauhkan tujuh bedahat, jangan beermaksud mempunyai pikiran seperti itu.

Inilah sikap atau cap terhadap perempuan yang menolak poligami di zaman itu. Seolah diserupakan dengan asu buntung atau celeng gotheng, hewan yang cacat dan wajib disingkiri. Oleh karena pandangan masyarakat yang demikian praktik perseliran subur menjamur di zaman itu. Perseliran menjadi ajang melampiaskan nafsu hedonis bagi kalangan priayi, strata utama dalam masyarakat yang merasa mempunyai hak atas klaim sebagai ngawirya, ksatria.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/22/kajian-tematik-darmaduhita-121-26-menghadapi-poligini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...