Translate

Senin, 22 Juli 2024

Paribasan 51-60

 

Paribasan (51): Asu gedhe menang kerahe

Arti harfiahnya adalah anjing besar menang berkelahi. Maknanya adalah orang yang berkuasa akan menang selalu dalam perselisihan.

Ki Basri sejatinya sudah menjual tanah itu kepada Ki Tambakbaya. Peristiwanya sudah lama, waktu keluarga Ki Basri belum menjadi keluarga kaya dan berkuasa. Sekarang hal itu memang tampak mustahil. Lebih-lebih setelah anak Ki Basri menjadi seorang camat di kota.

Entah siapa yang lalai waktu itu, surat-surat tanah itu tak segera diurus. Mungkin kendalanya zaman itu lebih karena persoalan teknis. Tanah tak bisa dipecah-pecah. Menjual tanah harus seluruhnya. Maka mereka sepakat bahwa jual-beli itu cukup dibuat perjanjian dengan disaksikan saja oleh tetangga sekitar.

Lama berlalu, tanah itu menurun kepada anak cucu mereka. Celakanya cucu Ki Basri yang sekarang menempati sebagian tanah itu mengingkari kalau kakek mereka telah menjual tanah sebagian itu.

“Mana buktinya?” katanya.

Maka gegerlah seluruh kampung. Banyak tokoh tua yang melihat bahwa tanah itu memang telah dijual. Itu sudah menjadi berita heboh di zaman dahulu. Bahkan tanah itu juga sudah dtempati.

Cucu Ki Basri tetap ngeyel, dia minta bukti. Secarik kertas diajukan sebagai bukti. Sayangnya orang yang bertanda tangan di kertas itu sebagai saksi telah meninggal semua. Akhirnya keluarga Ki Tambakbaya menggugat ke pengadilan. Sekarang mereka saling mencari saksi untuk memenangkan perkara. Tapi keluarga Basri adalah keluarga kuat yang punya koneksi pejabat di pengadilan. Segala cara ditempuh untuk menang, dari mulai mencari saksi palsu sampai menyuap aparat pengadilan. Akhirnya cucu Ki Basri menang. Memang susah kalau melawan orang berkuas, di sini masih berlaku: Asu gedhe menang kerahe!

Paribasan (52): Kaya klinthing disampar kucing

Arti harfiahnya seperti lonceng ditendang kucing. Maknanya adalah orang yang selalu cerewet, suaranya membuat gaduh dan jengkel.

Sudah satu minggu kakek Wardi tidak bekerja. Pekerjaan sebagai tukang batu memang tidak pasti. Kadang ada yang membutuhkan jasanya, kadang tidak. Kadang pekerjaan bertumpuk-tumpuk, kadang lama tidak ada yang butuh jasanya.

Maka sudah seminggu ini pula dapur nenek Wardi tidak mengepul. Mereka hanya tinggal berdua dan kakek Wardi suka sekali meminta makanan yang enak-enak. Namun tiap pagi hanya merokok di teras sambil ngopi, sudah seminggu ini.

Semula nenek Wardi sabar, tapi kata orang sabar ada batasnya. Sebatas apa? Sebatas tabungannya habis.

“Sana to kek, cari-cari pekerjaan. Jangan hanya merokok dan ngopi saja tiap hari. Masak gak malu dilihat orang, tiap pagi cuma klepas-klepus saja!”

Kakek Wardi tak mau kalah, “Apa ada orang membuang pekerjaan, kok suruh nyari!”

Nenek Wardi semakin jengkel mendengar jawaban bercanda itu.

“Namanya kerjaan ya harus dicari keluar sana. Kalau di rumah saja ya tidak ada pekerjaan mampir!”

Kakek Wardi diam, sambil menikmati kepulan asap rokoknya yang membentuk huruf “O”.

Nek Wardi semakin menjadi.

“Lelaki pemalas. Tidak kerja malah kesenangan menganggur, biar bisa klepas-klepus santai di rumah!”

Kakek Wardi ikut jengkel sekarang, dia mendekat dan berkata.

“Diam kamu! Dari tadi berisik kaya klinthing disampar kucing!”

Paribasan (53): Macan guguh

Arti harfiahnya harimau yang pikun. Maknanya adalah orang berkedudukan tinggi walau sudah tidak berkuasa tetap berpengaruh.

Jenderal HM Soeharto adalah presiden sebuah negara berkembang yang berkuasa amat lama. Tiga puluh dua tahun berturut-turut. Itupun kekuasaannya berhenti secara paksa, setelah muncul gerakan reformasi.

Walau demikian setelah lengser kekuasaannya tak habis begitu saja. Karismanya tetap melekat pada sebagian orang Indonesia. Maka tak aneh tatkala ingatan orang tentang keburukannya sudah hilang partainya kembali mendominasi. Berturut-turut selalu keluar sebagai pemenang kedua pemilu.

Selain itu juga anak-anak beliau mencoba mendirikan partai baru, dan juga cukup mendapat sambutan. Ada pula anak-anaknya yang berhasil kembali masuk parlemen. Itu semua berkat karisma sang ayah.

Soeharto begitu dirindukan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya politisi dan praktisi hukum, pengamat atau birokrat. Sopir truk pun merindukannya. Coba tengok bak belakang truknya, ada gambar Soeharto mesem dan tulisan, “Pye kabare? Enak jamanku to?”

Soharto ibarat macan guguh, walau tak berkuasa tetap menakutkan.

Paribasan (54): Kekudhung walulang macan

Arti harfiahnya adalah memakai kedok kulit macan. Maknanya adalah bersembunyi di balik orang yang berkuasa.

Thakur bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau konglomerat. Dia hanya satpam di rumah dinas Bupati. Tapi siapa sangka pengaruhnya terhadap perolitikan di Kabupaten Silong luar biasa. Bagaimana tidak? Dia punya tiga bego ilegal, kasino ilegal dan delapan warung remang-remang yang tentu saja juga ilegal.

Tapi walau begitu tidak ada yang berani menumpas usaha Thakur. Dia selalu memakai kedok sebagai “orang suruhan bupati” sehingga tak satupun berani menganggu usahanya.

Namun lama-lama ada juga yang risih dan berani mempertanyakan. Seorang pengusaha tambang pasir yang banyak dirugikan oleh ulah Thakur. Tidak tanggung-tanggung dia memprotes sendiri kepada Bu Bupati.

“Bu Bupati, mengapa sampeyan punya usaha tidak taat aturan dan tak pakai ijin. Tidak pula pakai kuota setiap mengeluarkan pasir dari depo. Juga tidak pakai istirahat, masa  24 jam ngeduk pasir terus?”

Bu Bupati kaget bukan kepalang. Dia merasa tidak punya usaha tambang pasir dan juga usaha yang lain.

“Lho itu yang tiap malam ditunggui Thakur, apa bukan punya ibu Bupati?”

Bupati marah dan memanggil, “Thakuuuuurr!!!”

Yang dipanggil menghadap sambil kencing di celana.

“Kurang ajar kamu ya! Memakai nama saya untuk membuat usaha ilegal. Tega kamu memakai saya untuk kekudhung walulang macan! Sekarang juga saya pecat dan kamu saya laporkan ke polisi. Pergi sana!”

Thakur hendak keluar tanpa mampu mengucap kata pamit.

Bu Bupati kembali berteriak, “Dipel dulu ompolnya!”

Paribasan (55): Singidan nemu macan

Arti harfiahnya bersembunyi malah ketemu macan. Maknanya adalah bersembunyi malah ketemu bahaya.

Lontong punya motor baru. Dengan bangga dia tunjukkan motor barunye kepada Indah, guru TK yang sudah lama ditaksirnya. Lontong bermaksud mengajak Indah untuk piknik ke Bunbin Gembira Loka. Berboncengan berdua, dhuh asyiknya.

“Lha apa kamu punya SIM mas Lontong?” Tanya Indah manja.

“Tenang Dik! Nanti kita lewat jalur tikus melaui Srowot lalu ke arah Piyungan. Aman dik dari razia petugas!”

Akhirnya mereka berangkat berdua berboncengan. Wuih jalanan bagai milik berdua. Inilah saat yang sudah lama Lontong idam-idamkan.

Stasiun Srowot berhasil dilalui dengan aman. Mereka telah melewati Sengon, terus ke Pereng, sebentar melalui jalan besar di Taman Wisata Boko paling 200 meter saja, terus melalu jalur tikus lagi di Berbah. Aman wis pokoke.

Baru saja mau masuk jalan besar 50 ke depan meter mendadak Lontong mengerem motor. Indah kaget dan menubruk Lontong. “Adhuh!” Pekik Lontong ketika kuku Indah mencubit pahanya.

“Nakal kamu! Sengaja ya?” Teriak Indah.

“Bu..bukan! Itu di depan ada razia. Wah kita nggak bisa balik lagi!”

Wah kena mereka berdua. Maksud hati bersembunyi di jalan tikus malah begitu keluar pas kena razia. Ibarat singidan nemu macan. Apes!

Paribasan (56): Sadumuk bathuk sanyari bumi

Arti harfiahnya menyentuh dahi, sejengkal tanah. Maknanya kalau masalah kehormatan walau hanya disentuh dahinya atau diduduki sejengkal tanahnya orang akan melawan.

Pangeran Dipanegara bukan pangeran biasa. Sejak kecil dia sudah meninggalkan keraton dan hidup sederhana di desa Tegalreja. Tempat tinggalnya jauh di luar benteng dan menyatu dengan rakyat jelata.

Walau demikian Pangeran Dipanegara tidak kehilangan trah awirya, darah pemberaninya. Ketika Kumpeni Belanda hendak membuat jalan kereta api melewati pedukuhan tempat tinggalnya tanpa ijin Dipanegara marah besar.

Asisten Residen Chevalier mencoba membujuk dengan mengatakan, “Wong yang kena rel kereta api cuma dikit aja marah. Mbok jangan sumbu pendek to. Gampang marah bikin cepat tua lhoh! Hehehe…”

Dipanegara tak pedulu. Pokoknya satu jengkal pun tak kurelakan. Sadumuk bathuk sanyari bumi. Walau satu jengkal kau rebut, kita perang. Dan Dipanegara serius. Pecahlah Perang Jawa yang terkenal itu. Akibat perang kas Kumpeni akhirnya kobol-kobol, jebol-bol.

Paribasan (57): Mrucut saka gendhongan

Arti harfiahnya adalah terlepas dari gendongan. Maknanya adalah anak yang karena salah pergaulan menjadi jauh dari harapan orang tuanya.

Niatnya sih baik, agar anak mendapat pendidikan yang sempurna. Maka kedua orang tua Karin rela mengirim anaknya menyeberang pulau ke kota besar. Gadis lugu berjilbab itu masuk ke SMA Favorit di kota.

Namun kedua orang tua Karin harus menelan pil pahit ketika tiga tahun kemudian mendapati anaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Karin pulang dengan rambut terurai berwarna blonde, sepati hak tinggi selutut, memakai rok mini dan aduhai bajunya pun tak berlengan.

Para sanak saudara dan tetangga pun kaget bukan kepalang. Mereka berbisik-bisik, “Lihat tuh si Karin jadi kayak gitu! Dia ibarat mrucut saka gendhongan!”

Paribasan (58): Cincing-cincing klebus

Arti harfiahnya adalah sudah menyingsingkan kain akhirnya basah juga. Maknanya adalah berencana hanya dilakukan dengan sederhana ternyata malah banyak biaya.

Seyogyanya orang menikah memang harus dipersaksikan para sanak saudara dan tetangga. Namun karena waktunya mendesak takkan cukup kalau harus mengadakan pesta besar. Calon mempelai pria harus segera bertugas sebagai anggota pasukan perdamaian di Libanon. Sedangkan calon pengantin wanita ngebet ingin segera kawin, tak mau menunggu dua tahun lagi sepulang calon suaminya bertugas.

Apa boleh buat, Pak Darmo terpaksa melakukan pesta pernikahan ala kadarnya. Dan karena belum punya tabungan serta tidak ingin berhutang Pak Darmo merancang pesta pernikahan kecil-kecilan saja.

“Hanya mengundang satu RT saja.”

Begitu katanya ketika seoran sahabatnya bertanya kok belum mendapatkan undangan.

Namun untung memang tak dapat ditolak. Tamu yang datang banyak sekali. Pak Darmo memang populer dan bersahabat kepada siapa saja sehingga yang tak diundang pun berdatangan. Mau tidak mau terpaksa harus mendatangkan sarana dan prasarana untuk menjamu tamu. Acara yang semula dirancang sederhana malah menjadi pesta besar.

Tapi Pak Darmo senang kok, bukti bahwa dia dicintai para sahabat dan tetangganya. Ya walaupun harus cincing-cincing klebus.

Paribasan (59): Asu arebut balung

Arfi harfiahnya anjing yang berebut tulang. Maknanya adalah dua orang yang bertengkar memperebutkan hal sepele.

Dr. Durjo dan Dr. Durmo adalah kolega satu kantor. Sama-sama memegang mata kuliah teknik Pondasi. Keduanya seringkali terlihat bersama-sama, juga seringkali membimbing mahasiswa bersama-sama.

Yang tak banyak diketahui orang, keduanya sebenarnya saling bersaing dan selalu ingin menjadi yang nomer satu. Saling ingin mengalahkan dan tak mau dikalahkan di antara keduanya.

Jika sudah demikian yang pusing adalah mahasiswa yang menjalani bimbingannya. Karena dosen pembimbing harus dua dan salah satunya menjadi asisten maka seringkali menjadi problem tersendiri, seperti yang dialami Paijo, mahasiswa yang mengambil tugas akhir penelitian daya dukung tanah gambut.

Semula dari ketua jurusan mengarahkan agar Dr. Durjo yang menjadi pembimbing dan Dr. Durmo yang menjadi asisten pembimbing. Namun Dr Durmo tidak mau. masalah dapat diatasi dengan menulis keduanya sebagai dosen pembimbing saja tanpa embel-embel asisten.

Namun masalah kembali timbul ketika kedua nama harus dituliskan urut. Semula Dr. Durjo ditulis duluan dan Dr. Durmo ditulis belakangan. Namun lagi-lagi Dr Durmo tidak mau.

 “Itu sama saja menomor duakan saya!” kata Dr. Durmo.

Persoalan itu diatasi dengan menuliskan nama keduanya sejajar, dengan demikian harus ditulis atas dan bawa dalam tanda kurung. Lagi-lagi keduanya minta ditulis di atas.

“Sama saja dik, kalau ditulis di bawah berarti menomorduakan juga. Maaf dik saya tak mau!”

Paijo akhirnya mundur, memilih ganti dosen. Dia meninggalkan kantor keduanya sambil berguman, “Dosen wis tuwa-tuwa kok isih kaya asu rebutan balung. Kakrekane tenan!”

Paribasan (60): Asu belang kalung wang

Arti harfiahnya anjing belang berkalung uang. Maknanya orang nistha tapi banyak uang.

Semua orang meremehkannya dalam hal keuangan, bahkan menganggapnya orang terlantar. Pengemis tua itu selalu mengundang belas kasih yang melihat.

“Siapa sih keluarganya kok tak ada yang peduli?”

“Kok tega ya anak cucunya menelantarkannya?”

“Setua itu masih meminta-minta di jalan?”

“Biadab orang yang menelantarkannya!

Begitulah celetukan orang melihat kakek tua, lumpuh, bisu dan kayaknya juga tuli itu.

Namun mereka sungguh terkejut ketika si kakek tua itu tiba-tiba sakit. Terkejutnya bukan karena sakitnya. Sakitnya sih biasa saja, hanya sedikit terlambat ditangani. Maka perlu dibawa ke RS untuk mondok beberapa hari. Yang membuat terkejut adalah ketika orang-orang telah bersiap urunan untuk membayar biaya RS. Mereka terkejut ketika si kakek itu ke RS dengan tetap memegang tas bututnya, seolah tak mau berpisah dengannya. Orang-orang menjadi penasaran dan kemudian berhasil memisahkan kakek dari tasnya. Mereka terbelalak ketika melihat isinya: uang kertas seratus ribuan yang diikat dengan karet yang setelah dihitung berjumlah 150 juta. Alamak! Si kakek ini sudah punya segitu banyak kok masih menggelandang di jalan hidup dengan cara orang fakir.

Ibaratnya asu belang kalung wang.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/23/paribasan-51-60-asu-gedhe-menang-kerahe/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...