Translate

Senin, 22 Juli 2024

Paribasan 71-80

 

Paribasan (71): Beras wutah arang mulih marang takere

Arti harfiahnya adalah beras tumpah jarang yang kembali ke tempatnya semula. Maknanya adalah sembarang yang sudah berubah dari asalnya sulit untuk kembali seperti semula.

Pole adalah pelawak papan atas yang sangat terkenal. Bersama istrinya Poni, dia merintis menjadi komedian sejak pengantin baru. Keduanya sering main bersama sebagai pasangan babu miskin. Logatnya yang kocak dan ekspresif membuat keduanya menjadi tenar. Sekarang Pole dan Poni sudah tidak lagi memainkan peran pasangan babu. Mereka sudah lupa cara menjadi orang miskin.

Pole lalu mengambil peran sebagai juragan kaya, sedang istrinya sekarang sering menjadi Nyonya Direktur. Celakanya Pole sering main bareng dalam satu adegan dengan Inem, pelayan seksi yang bersuara manja. Entah siapa yang memulai keduanya menjadi saling suka. Mengetahui hal itu Poni tak terima, kemudian dia minta cerai dan keluar dari group lawak.

Rumah tangga Pole dan Inem tidak langgeng karena Inem kepergok juga menyukai Paimo, yang sering memerankan drakula. Pole dan Inem akhirnya bercerai juga.

Pole kini sendiri lagi dan merasa kesepian. Tiba-tiba kenangan bersama Poni hadir di pelupuk mata. Bagaimana mereka berdua dulu bersusah payah merintis jalan menuju sukses. Pole menyesal dan ingin kembali. Namun apa jawaban Poni?

“Tidak bisa mas. Hatiku terlanjur luka. Sudahlah kita lebih baik berteman saja. Toh kita takkan mampu mengulang semua keindahan yang telah lalu. Ibarat beras wutah arang mulih marang takere, begitu pula cinta kita yang terlanjur tumpah, takkan mampu kembali ke hati kita masing-masing.”

Puitis ya jawaban Poni. Sayang Pole malah mewek mendengarnya..

Paribasan (72): Mburu kidang lumayu

Arti harfiahnya adalah mengejar kijang yang lari. Maknanya adalah mengejar sesuatu yang belum pasti.

Pak Kancil sudah lama ingin punya rumah. Kebetulan ada tanah yang mau dijual, murah, strategis dan sudah ada bangunan kecil di atasnya. Ya kalau nrimo bangunan itu sudah bisa dipakai sebagai tempat tinggal sederhana.

Persoalannya, pemilik tanah ingin segera mendapat uang penjualan tanah itu. Jadi harus cepat-cepat. Pak Kancil sudah merasa cocok dengan tanah itu. Namun uangnya belum cukup. Khawatir tanah terlepas darinya dia memberi DP, 25 juta.

“Lha yang 75 juta sisanya kapan? Saya butuh cepat lho.” Kata si penjual.

“Saya belum bisa bilang kapan, tapi jelas jadilah itu tanah kubeli.”

“Jangan begitu, uang itu segera kupakai untuk bayar anak kuliah. Bulan depan!”

“Ya sudah bulan depan!” Kata Kancil.

Pemilik tanah tampak tak yakin, dia kemudian membuat syarat, “Kalau bulan depan kamu gagal uangmu hilang dan tanah kujual pada yang lain.”

“Setuju!”

Sekarang Kancil yang pusing sendiri. seminggu lagi uang harus ada. sementara uang yang diharapkan dari komisi menjualkan sawah depan rumah tak kunjung cair. Sudah seminggu ini dia mondar-mandir mencari pembeli sawah depan rumah yang menjanjikan komisi 75 juta. Namun hasilnya nihil.

“Orangnya ke Belanda mas!” Kata satpam rumahnya.

“Lha kapan pulangnya?” Tanya Kancil.

“Mungking nanti kalau lebaran kuda.” Kata satpam.

Aduh, kasihan Pak Kancil, seminggu uangnya hilang kalau lebaran kuda tak jadi ada. Kemana lagi dia harus mengejar orang itu, serba gelap seperti memburu kidang mlayu.

Paribasan (73): Ciri wanci lelai ginawa mati

Arti harfiahnya adalah ciri atau kelemahan akan dibawa mati. Maknanya adalah kelemahan pada seseorang kadang tak bisa hilang dan terbawa sampai mati.

“Katanya sudah hijrah ke jalan yang benar, kok masih memaki?” Itu kataku padanya sebulan lalu, ketika aku bertemu dengan Senton, saat takziyah meninggalnya ayah Joko.

Dia hanya tertawa, “Sudah watak mas. Kadang meluncur sendiri makian itu.” katanya malu.

Memang dia dikenal bermulut ember dan bocor lagi. Sedikit-sedikit, akan keluar nama-nama binatang dari mulutnya. Yang paling populer adalah “asu”, atau kalau sedang sedikit waras ya “anjing”. (podo ae rek..).

Oleh kyai yang mengajarinya ngaji, yang membuatnya mampu hijrah dari dunia kegelapan, dia diajari dengan membiasakan kalimat thoyibah.

“Wah bagus itu!” kataku.

“Ya mas. Tapi yang sulit, mulut itu bisa bicara sendiri mas. Tanpa berpikir.” Katanya ngelak.

Di tengah pembicarakan kami, seoran teman kami datang dari arah belakang Senton dan menepok pundaknya.

“Astaghfirullah. Asu tenan kowe, gawe kaget!” kata Senton spontan.

Aku tak dapat menahan tawa. Tampaknya watak Senton yang ini takkan sembuh kalau orangnya tidak mati. Benar kata pepatah Jawa, ciri wanci lelai ginawa mati.

Asem!

Paribasan (74): Dahwen ati open

Arti harfiahnya adalah mencela tapi ingin merawat. Maknanya adalah banyak mencela tapi ingin memiliki barang yang dicelanya itu.

Pak Khusen pusing tujuh keliling menghadapi pembeli yang satu ini. Sudah sejak pukul 7 dan sekarang sudah pukul 9, pembeli ini masih sibuk meneliti barang-barang dagangannya. Meja kursi dan lemari diteliti satu persatu. Begitu dia menemukan cacat kecil dia pindah ke barang lain. Kalau barang yang lain ada cacatnya, dia pindah lagi ke barang lainnya lagi, dan seterusnya.

Tadi pagi dia datang untuk mencari meja makan. Hanya tersisa satu buah di showroom.

“Wah gak mau, ini ada retak dikit nih di pojok.” Katanya.

“Di bagian kaki juga ada sedikit lubang.” Katanya sambil terus meneliti.

“Lha ini di top daun, ada plituran yang kasar.”

“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan jamur ini.”

Kemudian dia pergi meneliti barang-barang lain.

Di saat yang sama seorang pembeli datang mencari meja makan juga. Tadinya sudah hampir membeli meja makan yang tadi, eh kok ya pembeli yang datang pertama ikut campur.

“Awas,  ada retak dikit nih di pojok.” Katanya.

“Di bagian kaki juga ada sedikit lubang.” Katanya sambil nujukin.

“Dan ini di top daun, ada plituran yang kasar.”

“Terus ini di bagian bawah kayaknya kayunya agak gapuk. Bisa dimakan jamur itu.”

Akhirnya pembeli kedua gak jadi beli. Pak Khusen kesal bukan main.

Hampir saja dia mengusir pembeli pertama. Namun kemudian dia memutuskan untuk mengambil meja yang tadi, dengan syarat: diberi potongan harga yang besar.

“Toh mebel itu banyak cacatnya kan?”

Entah mengapa Pak Khusen mau-mau saja. Mungkin agar pembeli gila itu segera pergi. Pembeli yang dahwen ati open itu.

Paribasan (75): Dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk

Arti harfiahnya dipeluk seperti kain, disuapi seperti burung. Maknanya adalah sangat dikasihi sehingga semua kebutuhannya dipenuhi.

Mbok Dariyah hanya punya satu anak, itupun sudah besar. Maka dia girang bukan main ketika adiknya hendak menitipkan anaknya untuk tinggal bersama Mbok Dariyah.

“Wah itung-itung jadi anak perempuanku yang bungsu.” Begitu pikirnya.

Maka Mbok Dariyah begitu sayang dengan keponakannya. Disekolahkan di TK favorit yang pulangnya jam 3 sore. Diberi pakaian yang bagus-bagus. Pokoknya diistimewakan layaknya seorang yang lama tak punya anak. Maklum memang Mbok Dariyah sudah lama tidak merawat anak, anaknya sendiri sudah bekerja dan jarang pulang.

Maka ketika ada anak kecil sayangnya bukan main. Ibaratnya kemanapun selalu dikempit kaya wade, dijuju kaya manuk.

Paribasan (76): Dolanan ula mandi

Arti harfiahnya bermain dengan ular berbisa. Maknanya adalah sengaja melakukan pekerjaan yang beresiko.

Gun adalah pemuda desa yang kuat dan kekar. Namun Gun punya sifat yang amat dibenci oleh bapaknya, dia tidak mau ke sawah mencangkul. Tentu saja Pak Dunadi, bapaknya, amat jengkel. Siapa yang akan diharapkan untuk menggarap tujuh hektar sawahnya itu kalau  bukan Gun.

Kejengkelan Pak Gunadi makin menjadi ketika Gun malah ikut menjadi driver permainan bola maut. Ajang pertunjukkan mengadu nyawa itu dilakoni sudah setahun lalu.

Satu ketika Pak Gunadi dilapori bahwa Gun terjatuh dan patah tulang lengan.

Pak Gunadi menanggapi dingin, “Ya sudah dibawa ke rumah sakit sana. Aku sih gak kaget kalau satu saat dia celaka. Wong tiap hari dolanan ula mandi, wajar kalau digigit!”

Paribasan (77): Dudu berase ditempurake

Arti harfiahnya adalah bukan berasnya kok dijual. Maknanya menyumbang saran tapi malah bertentangan.

Mbah Dul sudah merasa tua dan lemah. Dia bermaksud mengumpulkan anak-anaknya untuk berunding dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Pokok masalahnya adalah tentang bebek-bebek piaraan Mbah Dul yang jumlahnya 1000 ekor itu. Kini Mbah Dul tidak kuat lagi untuk mengelolanya.

Yang menjadi keinginannya adalah anak-anaknya yang berjumlah empat orang laki-laki gagah itu mau menggantikan dirinya untuk mengurus bebek-bebek itu. Menggembalakan bila musim panen tiba. Agar bebek itu tetap kecukupan nutrinya. Toh selama ini telur-telur bebek itu juga sampai ke dapur masing-masing anak.

Ketika telah berkumpul semua, putra tertua Makdum mempunyai usulan yang katanya cemerlang.

“Bapak kan sudah tidak mampu mengembalakan bebek-bebek itu. Jadi sebaiknya dijual saja semuanya. Beres kan?”

Tentu saja Mbah Dul marah besar. Bukan itu solusi yang diinginkan. Katanya,”Kalian ini saya undang ke sini untuk menggantikanku mengembala. Silakan atur sendiri giliran kalian. Bukan malah menyuruh menjual bebek-bebek. Kalian ini bagaimana, dudu berase kok ditempurke.  Kurang ajar kalian!”

Paribasan (78): Durung cundhuk acandhak

Arti harefiahnya adalah belum cocok sudah ditangkap. Maknanya adalah belum tahu perkaranya sudah ikut-ikutan bicara.

Sepasang suami istri sedang bercakap-cakap di beranda rumah. Mereka sedang membicarakan adik perempuan si suami yang telah mempunyai anak 5 orang. Tiba-tiba istrinya berbisik, “Pah, kayaknya Papah mau punya keponakan lagi nih, Pah.”

“Ah, siapa yang hamil lagi ma?”

“Tuh adik Papah, yang tahun kemarin baru lahiran.”

“Hah? Masa sih Mah, kan masih punya bayi? Kok Mama tahu?” si suami terheran.

“Iya, Pah. Kebobolan Pah. Jadi enam dong Pah.” Jawab si istri sambil mengisyaratkan jumlah jari 6. Udin anak sulung mereka yang melihat kedua orang tuanya asyik bercengkerama menguping dengar dan sempat mendengar beberapa kalimat. Tiba-tiba Udin menyahut. “Betul Pah. Suarez mencetak hattrick. Skor Barcelona-Bilbao 6:0, Pah!”

Sang Ayah menjenggung kepala Udin, “Apa kamu anak kecil nimbrung-nimbrung? Salah lagi! Durung cundhuk acandhak kamu!”

Udin menggelyor sambil cengengesan.

Paribasan (79): Gemblung jinurung edan kawarisan

Arfi harfiahnya adalah orang gila didorong malah mendapat untung. Maknanya adalah orang yang berbuat  nekad tapi malah menemui keberuntungan.

Sukro adalah pemuda nganggur yang suka tampil necis. Maklum hanya itulah yang dapat diandalkan untuk bergaya, menarik perhatian gadis-gadis di desanya. Dengan ekonomi yang pas-pasan dan otak ber-IQ jongkok, Sukra harus berusaha keras untuk tampil habis-habisan. Dia sudah lulus dari sekolah dasar, itupun setelah 6 kali tinggal kelas. Setiap kelas dia jalani dua tahun-dua tahun, sehingga ketika teman-temannya sudah pada lulus SMA.

Merasa serba kurang, Sukra bermaksud mendongkrak performanya. Dia minta shohib kentalnya sejak kelas 1 SD yang sekarang baru masuk kuliah, Marjono, untuk membantu.

“Pinjami aku motor dong Jon. Buat nglencer dengan si Midah?”

“Aduh Sukro, besok kan saya kuliah. Gak bisa dong!” Jawab Marjono.

Sukro memaksa, dan akhirnya Marjono tidak enak hati terpaksa menyerahkan motornya pada Sukro yang belum mahir mengendarai itu. Tidak punya SIM lagi.

Sore harinya, entah Sukro jadi membonceng Midah atau tidak, sepulang kuliah dengan naik bus Marjono mendapat kabar yang membuat dunianya gelap gulita. Sukro menabrak buk jembatan dan motornya ringsek. Aduh, bagaimana ini. Itu motor kreditan pemberian ayahnya untuk kuliah. Urusan bisa panjang nanti.

Memang benar urusannya sangat merepotkan. Sukro tak punya uang untuk memperbaiki motor Marjono. Di lain pihak Marjono juga tak mau motornya sudah dhedhel duwel gak karuan, dia minta ganti motor baru kepada Sukro, entah bagaimana caranya.

Akhirnya kakak Sukro yang sebenarnya juga gak punya duit bersedia membayar biaya perbaikan, namun kalau untuk ganti motor tidak bisa karena itu motor kreditan. Ayah Marjono kemudian menyerahkan motor itu dan meminta pengembalian DP dan cicilan yang sudah terbayar. Adapun dia akan kredit lagi. Kakak Sukro terpaksa menerima karena sudah tak enak hati untuk menolak. Dia dengan berat hati terpaksa menanggung beban kredit motor akibat ulah adiknya yang gila itu.

Tiga bulan kemudian terjadi sesuatu yang sungguh mengejutkan. Sukro mendapat hadiah pelunasan dari kreditur motor di hari ulang tahun perusahaan pembiayaan itu. Motor itu dianggap lunas. Kini Sukro bisa membonceng Midah dengan lelusa tanpa takut dengan biasa cicilan bulan depan. Hanya saja kakak Sukro tetap mengingatkan agar Sukro bekerja dulu kalau sudah senang pacar-pacaran. Biar ada penghasilan.

 “Dan jangan membuat repot saya lagi nanti ya?” kata kakak Sukro.

“Ah saya tak membuat repot, buktinya kini kita punya motor baru, yakan?” Jawab Sukro.

Sang kakak meninju kepalanya, “Dasar tak tahu di untung. Tapi kok iya kamu malah beruntung ya. Hem..benar-benar gemblung jinurung edan kawarisan.

Itulah Sukro yang edan kuwarisan, tapi jangan ditiru ya sobat, kerja dong kalau mau bonceng cewek. Lebih bagus lagi kalau dihalalin dulu gih…

Paribasan (80): Nggepuk kemiri kopong

Arti harfiahnya memukul kemiri kosong. Maknanya adalah melakukan pekerjaan berat yang tidak ada hasilnya.

Entah siapa yang mulai menghembuskan isu, yang jelas kabar bahwa di dalam sumur itu terdapat perhiasan peninggalan zaman kuno, sudah menyebar luas. Orang kemudian ribut mengklaim itu sumur siapa dan siapa yang berhak untuk mengambil perhiasan kuno itu.

Pak Lurah kemudian mengambil alih sumur tua dekat balai desa itu dan menempatkan hansip untuk berjaga-jaga. Rapat LKMD memutuskan bahwa perhiasan kuno dalam sumur itu akan diambil oleh perwakilandari seluruh RW. Masing-masing diminta mengirim dua oran untuk team penggalian.

Pada hari yang telah ditentukan team yang terdiri dari delapan belas pemuda gotot mulai melakukan penggalian. Seorang turun ke dalam sumur dan menggali, dua orang menarik tanah galian. Sementara yang lain bergiliran setiap dua jam.

Pada sore harinya mereka menemukan sebuah guci dari tembikar yang disegel. Orang-orang bersorak kegirangan.

“Ini pasti harta karun dari dinasti Syailendra!” Kata seseorang.

“Bukan, jelas ini peninggalan Wangsa Sanjaya!” Sanggah yang lain.

“Sok tahu kalian. Kalau dilihat fisiknya yang dari tembikar, ada kemungkinan ini lebih muda lagi. Mungkin zaman sultan Agung.”

Macam-macamlah komentar orang. Mereka hanya menebak-nebak saja, tetapi argumen dan dalilnya seolah arkeolog saja.

Pak Lurah memeriksa guci tembikar yang baru saja dinaikkan. Dengan hati-hati Pak Lurah memindahkan tembikar itu ke atas meja.

“Saudara-saudara semua, kita berhasil menemukan harta karun peninggalan zaman kuno. Kita berharap harta ini adalah warisan nenek moyang yang diperuntukkan bagi kemakmuran desa kita. Namun saudara, guci ini milik negara dan harus kita serahkan. Lhah kita berharap saja negara mau mengganti jerih payah kita ini dengan memberi ganti yang pantas. Setuju saudara?”

“Setujuuuu…” Serentak mereka menjawab.

Petugas dari dinas purbakala kemudian membuka guci itu dengan hati-hati. orang-orang berdebar-debar menantikan sambil saling ribut.

“Pasti emas!” kata seseorang.

“Bukan, pasti batu permata simbol negara!”

“Jelas bukan cuk! Paling isinya kelereng!” timpal yang lain. Gerr, semua tertawa.

Akhirnya guci berhasil dibukan setelah segel kayu berhasil dicopot. Pak Purbakala melongok isi guci dan tertawa.

“Saudara, guci ini isinya beras dari zaman kuno. Tampak masih bagus bulir-bulirnya. Luar biasa! Ini penemuan arkeologi yang langka. Jangan khawatir saudara, negara akan mengganti penemuan ini dengan harga seratus kali lipat. Yang berarti satu kuintal gabah kering giling. Besok bisa diambil di gudang Bulog terdekat!”

Orang-orang tak dapat menahan tawa. Sementara delapan belas pemuda gotot tiba-tiba menjadi lunglai. Usaha kerasnya sejak pagi seolah hanya nggepuk kemiri kopong.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/23/paribasan-71-80-beras-wutah-arang-mulih-marang-takere/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...