Translate

Senin, 22 Juli 2024

Babad Mangir (5): Kyai Ageng Mangir Tiba di Mataram

 Menjelang fajar dua punggawa Mataram yang menyertai penyamaran Ratna Pembayun sudah kembali ke kotaraja. Ki Bocor dan Ki Saradipa langsung menghadap Panembahan Senapati. Sang Raja sudah tak sabar mendengar laporan keduanya, segera diberi isyarat agar mendekat.

Dua punggawa sungkem dan mencium kaki Sang Raja, lalu melapor, “Kami diutus Kanda Adipati Martalaya untuk mendahului pulang. Berkat restu paduka, Rajeng Ajeng Pembayun sudah berhasil membujuk si Mangir menghadap ke Mataram.”

Kedua punggawa lalu menceritakan pengalaman mereka selama menyamar dari awal sampai akhir. Sang Raja sangat bersukacita mendengar laporan kedua abdi. Seketika badan Sang Raja merasa segar dengan datangnya anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sang Raja bertanya, “Apakah putriku dan kalian semua yang mengiringi dalam keadaan selamat tak kurang satu apa?”

Kedua punggawa menjawab, “Kami semua selamat dan tidak ada hal yang membuat khawatir.”

Sang Raja lalu berpaling kepada seorang pelayan dan berkata, “Panggil Paman Adipati Mandaraka ke puri. Katakan ada pekerjaan penting.”

Si pelayan segera undur diri melaksanakan perintah. Tidak lama Adipati Mandaraka sudah datang menghadap.

Sang Raja berkata, “Hai Paman Mandaraka, utusan Adipati Martalaya sudah memberi kabar bahwa upaya sandir mereka berhasil. Si Mangir sudah bersedia menghadap ke Mataram dengan membawa upeti dan sekaligus mengantar cucu Anda si Pembayun.

Paman Adipati, Anda persiapkan pasukan untuk berbaris secara rahasia. Jangan sampai terlihat oleh si Mangir. Kalau sampai dia tahu akan membuat bangkit keberaniannya sehingga tak urung terjadi kontak senjata.”

Adipati Mandaraka menyatakan sanggup. Segera mengundang pasukan untuk bersiap. Ketiga punggawa sudah keluar dari puri dan bersiap menuju ke tempat penugasan masing-masing.

Kita tinggalkan persiapan menyambut Kyai Ageng Mangir di Mataram. Pada saat yang sama Kyai Ageng Mangir sudah selesai melakukan persiapan. Sebelum berangkat Kyai Ageng Mangir mengutus orang untuk memberitahukan ke Mataram. Yang diutus berangkat adalah Ki Dalang Sandiguna dan seorang kamituwa Mangir yang bernama Singajaya. Mereka dikawal dua puluh orang prajurit berkuda. Bergegas perjalanan mereka hingga tak lama kemudian sudah sampai di Pamurakan.

Pada saat itu bersamaan hari pisowanan. Sang Raja tampil di hadapan para punggawa. Ki Sandiguna dan Ki Singajaya lalu melakukan pepe di alun-alun sebagai tanda permohonan untuk menghadap Sang Raja. Dari Sitinggil keraton Mataram keduanya terlihat jelas oleh Sang Raja.

Sang Raja berkata dua orang gandek, “Hai bocah, periksalah dua orang yang melakukan pepe itu.”

 Gandek menyembah dan bergegas turun ke alun-alun. Setelah bertemu gandek bertanya kepada dua orang tersebut:

“Hai Kisanak, aku diutus Sang Raja untuk menanyakan siapa dirimu, dari mana asalmu dan apa keperluanmu.”

Yang ditanya menjawab, “Saya utusan dari Kyai Ageng Mangir. Meminta izin hendak menghadap Sang Raja.”

Dua gandek segera kembali ke Sitinggil untuk melaporkan maksud kedatangan dua orang tersebut. Sang Raja sangat bersukacita, lalu memerintahkan kedua gandek memanggil dua utusan untuk menghadap Sang Raja. Tidak lama kemudian dua utusan sudah dibawa gandek ke Sitinggil. Setelah menyembah keduanya duduk menunduk menunggu perintah Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Hai utusan si Mangir, segera katakan kalian disuruh apa oleh si Mangir?”

Utusan menjawab, “Kami diutus tuan kami Kyai Ageng Mangir menghaturkan sembah dan sungkem kepada paduka.”

Sang Raja berkata, “Sudah aku terima.”

Dua utusan berkata lagi, “Dan juga bila paduka berkenan, tuan hamba Kyai Ageng Mangir hendak menghadap paduka untuk menghaturkan bakti dan mencium kaki paduka. Hamba disuruh Kyai Ageng Mangir untuk memberitahukan kepada paduka bahwa Kyai Ageng Mangir menemukan seorang wanita cantik yang mengaku sebagai putri paduka bernam Raden Ajeng Pembayun. Maka kedatangan Kyai Ageng juga sekaligus hendak menyerahkan putri paduka Raden Ajeng Pembayun yang selama beberapa hari telah berada di Mangir.”

Sang Raja berkata, “Benar putriku Pembayun telah pergi dari puri Mataram. Awal mulanya aku tanya kesiapannya untuk menikah, tapi rupanya dia belum siap menikah sehingga memilih pergi meninggalkan istana. Aku sudah mengirim prajurit untuk mencarinya tapi tak kunjung ketemu. Sekarang si Mangir yang menemukan, aku sungguh sangat berterima kasih. Kapan si Mangir datang menghadap? Aku akan menyambutnya bersama para punggawa dan pasukan Mataram.”

Utusan berkata, “Abdi paduka Kyai Ageng Mangir hendak menghadap pada hari Kamis Legi.”

Sang Raja berkata, “Itu hari yang baik.”

Utusan sudah diizinkan keluar istana. Kepada mereka diberi hadiah pakaian dan uang tiga puluh riyal. Kedua utusan lalu kembali melapor kepada Kyai Ageng Mangir yang sedang berada dalam perjalanan.

Sepeninggal kedua utusan Sang Raja berkata kepada Adipati Mandaraka, “Paman, Anda perintahkan para punggawa besok pada hari Kamis Legi untuk menyiapkan pasukan. Di dalam kota tempatkan para prajurit yang bersiaga secara rahasia. Lalu kirim juga prajurit ke luar kota untuk menyambut anakku si Pembayun. Dan juga perintahkan prajurit sandi yang melakukan pengawalan rahasia kepada si Pembayun untuk pulang.”

Ki Adipati Mandaraka bersiap melaksanakan perintah. Pertemuan hari itu selesai, Sang Raja masuk ke istana. Di dalam istana permaisuri sudah menyambut. Melihat wajah Sang Raja cerah mereka segera tanggap bahwa kegelapan di Mataram sudah mendapat cahaya terang. Yang membuat mereka sedikit khawatir adalah nasib putri mereka Raden Ajeng Pembayun.

Sementara itu pasukan sandi yang selama ini melakukan pengawalan secara rahasia kepada Ratna Pembayun sudah tiba di Mataram. Mereka bersiap melakukan tugas baru yakni berbaris secara rahasia di dalam kota. Tumenggung Alap-Alap menempatkan mereka di beberapa tempat yang strategis. Mereka berjaga-jaga bila nanti prajurit Mangir melakukan sesuatu yang di luar rencana.

Dua orang utusan sudah bertemu Kyai Ageng Mangir. Perintah Sang Raja sudah disampaikan dari awal sampai akhir. Kyai Ageng sangat bersukacita karena keinginannya menghadap ke Mataram dikabulkan oleh Sang Raja. Kyai Ageng melanjutkan perjalanan masuk ke kota. Upeti dari hasil bumi Mangir telah disiapkan bergolong-golong dengan dibawa para bekel. Mereka dikawal pasukan bersenjata tombak dan pedang seperti pasukan yang akan maju perang.

Ratna Pembayun sudah memakai busana yang indah. Kecantikannya memancar seperti Dewi Ratih dari kahyangan Tejamaya yang turun ke alam dunia. Siapa pun yang melihat akan terpesona sehingga tak mampu berpaling. Kyai Ageng tersenyum bangga melihat sang istri. Nyai Adisara tak pernah jauh dari sang putri. Sejumlah empat puluh istri bekel akan mendampingi selama perjalanan. Setelah semua siap sang ayu naik tandu dengan pengawalan seribu prajurit, masih ditambah orang-orang yang membawa barang-barang. Rombongan besar Mangir berangkat meninggalkan pedukuhan. Di sepanjang jalan banyak orang menonton perjalanan rombongan Mangir. Mereka penasaran ingin melihat menantu Sang Raja yang selama ini terkenal pemberani dan sakti. Mereka berdecak kagum setelah melihat Kyai Ageng Mangir yang ternyata gagah dan tampan. Pantas bila menjadi menantu Sang Raja.

Kyai Ageng Mangir berkuda di belakang tandu Ratna Pembanyun. Seorang abdi membawa tombak Kyai Baru selalu siap di samping Ki Ageng. Perjalanan mereka sudah mencapai batas kota. Rombongan Kyai Ageng bermalam di Karasan selama satu malam. Dari kotaraja sudah diberangkatkan pasukan yang akan menyambut kedatangan rombongan dari Mangir.

Pagi hari Sang Raja sudah tampil di hadapan para punggawa. Para punggawa Mataram telah hadir lengkap. Adipati Mandaraka duduk di depan berjajar bersama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, Pangeran Adipati Anom, Pangeran Puger, Pangeran Purubaya, Pangeran Jayaraga, Pangeran Wiramenggala, Pangeran Pringgalaya, Pangeran Tepasana dan Pangeran Juminah. Para adipati pesisir juga menghadap berjajar bersama para adipati mancanegara.

Sang Raja berkata kepada Adipati Mandaraka, “Hai Paman, segera bagi tugas. Aku berada di dalam, Paman berada di luar.”

Adipati Mandaraka berkata, “Saya siap, paduka.”

Sang Raja berkata lagi, “Mangkubumi dan Singasari, engkau sambutlah tamu di Sudimara. Para mantri Pamajegan bawalah serta. Bila si Mangir membawa banyak prajurit, hentikan mereka di sana. Jangan sampai ada banyak prajurit Mangir yang ikut masuk ke kota. Anakku Puger dan Purubaya, kalian menyambut di Danalaya, bawalah serta orang dari Kajoran.

Tumenggung Alap-Alap engkau berjagalah di Bantul. Jika kalian melihat orang Mangir bersenjata layaknya orang berperang, segera bujuk agar kembali dengan perkataan yang manis. Sisakan beberapa orang saja sebagai pengawal si Mangir.

Anakku Pringgalaya, Juminah, Tepasana dan Wiramenggala, kalian bersiap di Pagelaran bersama para mantri Mataram. Si Wiraguna engkau berjagalah di Pamurakan. Jika si Mangir sampai hentikan di sana. Peralatan upacaranya suruh menanggalkan. Hanya kerabatnya yang boleh ikut masuk.

Adapun diriku akan menunggu di Kamandungan. Semua prajurit berbarislah secara rahasia di sekeliling kota. Berhati-hatilah jangan sampai terlihat.”

Setelah selesai memberi pesan-pesan para punggawa yang ditunjuk segera berangkat ke pos masing-masing. Adipati Mandaraka mendampingi Sang Raja di Kamandungan.

Sementara itu Kyai Ageng Mangir sudah sampai di Bantul. Ki Tumenggung Alap-Alap menyambut dengan ramah.

Berkata Tumenggung Alap-Alap, “Duhai Nak Mangir, saya diutus ayah paduka Sang Senapati Ing Ngalaga Mataram. Yang pertama menyampaikan restu Sang Raja. Yang kedua menyambut kedatangan Anda dan Raden Ajeng Pembayun.”

Kyai Ageng Mangir berkata, “Baik Paman, saya sangat berterima kasih atas kemurahan hati Sang Raja yang ditujukan kepada saya.”

Tumenggung Alap-Alap berkata, “Nak, karena Anda akan menghadap mertua dan juga sekaligus raja, saya memberi saran untuk kebaikan Anda. Jika Anda menghadap dengan membawa banyak prajurit lengkap dengan persenjataan, itu kurang baik. Bisa disebut tindak nista karena bisa menimbulkan praduga yang bukan-bukan. Maka, bila Anda berkenan sebaiknya separuh pengantar Anda disuruh kembali ke Mangir saja. Adapun yang separuh silakan dibawa ke kota karena mungkin Anda akan lama berada di Mataram. Sang Raja sudah rindu kepada sang putri dan sangat berharap kedatangan sang menantu. Mungkin untuk beberapa waktu belum diizinkan pulang ke Mangir.”

Kyai Ageng Mangir menuruti saran Tumenggung Alap-Alap. Separuh pasukan kemudian diperintahkan untuk kembali ke Mangir. Rombongan dari Mangir kemudian melanjutkan perjalanan. Sesampai di Sudimara ada sepasukan prajurit yang menyambut.

Berkata Raden Ajeng Pembayun kepada Kyai Ageng Mangir, “Kanda, itu ada pasukan pemyambut dari kota. Paman Pangeran Mangkubumi dan Paman Panggeran Singasari yang memimpin.”

Kyai Ageng Mangir lalu turun dari kuda. Ratna Pembayun juga turun dari joli. Keduanya mendekati sang paman berdua dan melakukan sungkem. Sang paman menyambut sang keponakan dengan berurai air mata. Kedua pangeran lalu beramah tamah dengan Kyai Ageng Mangir seperlunya agar Kyai Ageng Mangir merasa nyaman hatinya.

Kedua Pangeran berkata, “Duh, anakku, kami diutus Kanda Raja untuk menyambut istrimu Ratna Pembayun dan juga menyambut kedatanganmu. Sang Raja sangat berkenan menerimamu sehingga sampai mengirim penyambutan yang berlapis-lapis. Anakku, engkau yang berhasil merawat si Nini Pembayun sehingga mau berumah tangga. Sungguh Sang Raja sangat berterimakasih kepadamu. Apalagi Sang Raja sudah memasang sayembara, barangsiapa dapat menemukan Ratna Pembayun dialah yang akan menjadi suaminya. Juga karena sukahati yang saja bakal suami Nini Pembayun sudah digadang-gadang menjadi penguasa tanah Bagelen. Kami disuruh memberi dua buah payung sebagai hadiah. Payung kuning untuk istrimu Nini Pembayun. Payung hijau untukmu sebagai pertanda menantu raja. Inilah tanda cinta kasih mertua kepadamu.”

Kyai Ageng Mangir menyembah dan berkata, “Sangat berterima kasih atas anugerah yang diberikan Sang Raja. Sekal-sekali saya takkan bisa membalas semua kebaikan yang besar ini. Sekalian saya memohon agar Sang Raja memaafkan kesalahan saya yang dulu-dulu, ketika saya tidak mau menghadap ke Mataram.”

Kedua pangeran berkata, “Anakku, jangan engkau khawatir. Itu perkara yang sudah berlalu. Sekarang engkau berusahalah untuk selalu menjaga Nini Pembayun karena dia sudah menjadi istrimu. Tidak akan Kanda Prabu membalas dendam. Itu mustahil. Apalagi sudah mengirim saya untuk menyambutmu. semua perkara yang sudah berlalu tidak akan dibahas lagi. Besok kalau engkau sudah tiba di Mataram, jangan ragu lagi. Anggaplah Sang Raja sebagai orang tuamu sendiri. Pasti belas kasihnya akan runtuh kepadamu.”

Kyai Ageng Mangir menyatakan kesanggupan.

Kedua Pangeran berkata lagi, “Aku beri tahu kepadamu. Karena engkau hendak menghadap raja dan sekaligus mertuamu. Sebaiknya anakku, jangan engkau membawa prajurit bersenjata yang banyak. Menghadap raja dengan membawa banyak prajurit bersenjata itu ibarat tidak percaya kepada rajanya. Anakku, mungkin engkau akan lama berada di Mataram, jadi bawalah abdi secukupnya saja. Sisanya suruh kembali ke Mangir agar tidak meninggalkan pekerjaannya di desa. Juga agar tidak membuat kehebohan di kotaraja.”

Kyai Ageng Mangir menyatakan kesanggupan. Hanya para abdi yang memegang peralatan upacara dan para pembawa barang  yang diizinkan ikut serta, sejumlah empat puluh orang. Semua prajurit bersenjata segera disuruh pulang ke Mangir. Namun tombak Kyai Baru masih dibawa serta oleh seorang abdi dari Mangir.

Kedua Pangeran berkata, “Marilah anakku, kita segera berangkat mumpung masih pagi.”

Kyai Ageng Mangir menyatakan kesiapan. Rombongan dari Mangir dan para penyambut segera berangkat. Dua Pangeran adik Sang Raja berada di depan, lalu disambung pasukan Tumenggung Alap-Alap. Di belakangnya baru tandu Ratna Pembayun. Ki Ageng Mangir naik kuda di belakang tandu. Ketika sampai di Danalaya rombongan disambut lagi oleh sepasukan dari kota yang dipimpin Pangeran Puger dan Pangeran Purubaya. Ratna Pembayun kembali turun dari tandu dan menyambut para adik yang menjemput. Ratna Pembayun memperkenalkan para adik kepada Kyai Ageng Mangir.

“Kanda, para adik menyambut kedatangan paduka,” kata Ratna Pembayun.

Kyai Ageng Mangir terpogoh-gopoh turun dari kuda dan mendekat. Mereka bersalaman lalu duduk berbincang.

Pangeran Puger dan Purubaya menyapa ramah sang kakak ipar, “Kanda, selamat datang di kotaraja Mataram.”

Kyai Ageng Mangir berkata, “Berkat doa Sang Raja perjalanan saya selamat tak kurang satu apa.”

Kedua Pangeran lalu sungkem kepada sang kakak Ratna Pembayun. Keduanya diliputi rasa haru hingga tak mampu menahan airmata.

“Saya tak mengira bertemu lagi dengan kakak. Ketika kakak pergi kami kebingungan. Ayahanda sampai menjalankan prajurit ke seluruh penjuru negeri untuk mencari kakak. Beruntung kakak ditemukan Kyai Ageng Mangir. Kalau bukan Ki Mangir yang menemukan sungguh kita belum tentu dapat bertemu lagi.”

Ratna Pembayun hanya bisa menangis, sejenak tak mampu bicara.

Setelah tangisnya reda Ratna Pembayun berkata, “Sudahlah Dinda, jangan dipikirkan lagi. Kita semua sudah bisa berkumpul dalam keadaan tak kurang satu apa. Apakah ayah dan ibu serta para saudaraku dalam keadaan sejahtera, Dinda?”

“Semua selamat sejahtera, tak kurang satu apa pun. Hanya setelah kepergian paduka ayah dan ibu sangat bersedih. Maka ketika mendengar berita paduka ditemukan, ayah dan ibu sangat bersukacita,” kata kedua Pangeran.

Setelah selesai melepas rindu kedua pangeran menyampaikan perintah Sang Raja kepada Kyai Ageng Mangir.

Kedua Pangeran berkata, “Duh, Kanda Mangir, perintah ayahanda Raja kepada paduka, Kanda tidak diizinkan membawa senjata supaya tidak terjadi salah paham dengan para prajurit Mataram. Jadi beberapa orang harus berhenti di sini dan kembali ke Mangir. Hanya peralatan upacara saja yang boleh masuk. Untuk keamanan nanti selanjutnya akan diperang prajurit Mataram. Ini sekaligus sebagai pertanda bahwa Kanda telah sungguh-sungguh ingin mengabdi ke Mataram.”

Kyai Ageng Mangir lagi-lagi menyatakan kesanggupan. Beberapa orang prajurit Mangir yang tersisa sudah disuruh pulang. Kini tinggal beberapa orang pembawa peralatan upacara dan para wanita yang mengawal Ratna Pembayun. Kyai Ageng sudah tak sabar lagi bertemu dengan Sang Raja Mataram.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/19/babad-mangir-5-kyai-ageng-mangir-tiba-di-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...