Translate

Senin, 22 Juli 2024

Babad Mangir (1): Adipati Mandaraka Menyarankan Cara Halus Untuk Menaklukkan Mangir

 Alkisah di tanah Mangir, hidup seorang pemuka desa bernama Kyai Ageng Wanabaya. Kyai Ageng mendapat anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa berupa sebuah senjata tombak wasiat dhapur Baru Kuping. Adanya tombak itu membuat Kyai Ageng sangat pemberani, sehingga membangkang perintah raja. Kyai Ageng tidak mau tunduk pada kekuasaan raja saat itu, yakni Sultan Adiwijaya di Pajang. Sebab berani tidak tunduk karena yakin mampu menandingi kesaktian Sang Sultan. Sampai kemudian kekuasaan beralih ke Mataram, Kyai Ageng tetap tak mau menyatakan tunduk kepada raja baru.

Para saudara dan warga Mangir sudah membujuk dan menyarankan agar Kyai Ageng menyatakan tunduk dan mau menghadap ke Mataram. Semua saran atas pertimbangan agar Mangir sehatera karena wilayah kiri dan kanan semua sudah tunduk ke Matara, seperti: Kedu, Bagelen, Pati, Jepara, Madiun, Kediri, Pajang, Semarang. Hanya tinggal Ki Ageng sendiri yang belum menyatakan tunduk. Ulah Ki Ageng tersebut membuat Sang Raja kerepotan dan dapat merongrong kewibawaan negeri baru Mataram.

Para warga Mangir berkata, “Kyai, senarnya wilayah kita termasuk tanah Mataram, tapi mengapa Kyai tidak mau tunduk kepada raja baru dengan mengirim upeti? Apa yang Kyai andalkan melawan Mataram? Dalam segala hal kita kalah. Kalah jumlah prajurit dan kalah dalam kesejahteraan negeri. Tekad paduka itu ibarat ayam kate hendak menerjang gunung, atau orang cebol ingin menggapai bintang, atau timun melawan durian, bagaimana bisa paduka unggul melawan Sang Raja?”

Kyai Ageng Wanabaya mendengus dan berkata, “Allah yang punya tanah. Aku hanya mau mengabdi pada Allah Ta’ala, tidak mau mengabdi kepada Panembahan Senapati karena aku dan dia sesama makhluk Allah. Aku hanya berpedoman bahwa orang tuaku dulu dalam dia membuka hutan dan mendirikan pedukuhan tidak pernah minta tolong kepada orang lain. Membuka hutan itu sulit dan sekarang sudah menjadi pedukuhan dan persawahan. Jadi wajar bila aku berhak menikmati hasil bumi sendiri. Juga aku tidak pernah mengganggu urusan orang lain negeri. Aku juga tidak ingin menjadi raja. Aku hanya tidak mau tunduk kepada sesama makhluk. Itu saja. Namun, aku punya sayembara. Aku mau mengabdi kepada orang lain, asal dia kuat menahan tikaman tombakku yang bernama Kyai Baru Kuping, pusaka wasiat dari para leluhurku.”

Para saudara dan warga Mangir heran dengan tingkah Kyai Ageng yang tidak memikirkan kesejahteraan pedukuhannya. Polahnya hanya menyombongkan diri mentang-mentang punya tombak wasiat. Bila ada kerabat yang mencoba mengungkit kembali atau memberi saran, Kyai Ageng langsung membentaknya. Akhirnya, sampai pada ajalnya Kyai Ageng Wanabaya tetap kukuh tidak mau tunduk ke Mataram.

Sepeninggal Kyai Ageng Wanabaya, sang putra menggantikan sebagai pemuka pedukuhan Mangir. Namanya juga masih memakai nama warisan sang bapak, yakni Kyai Ageng Wanabaya. Dalam sikap dan perilaku, Kyai Ageng Wanabaya muda pun mewarisi sikap sang bapak. Bahkan Kyai Ageng muda lebih-lebih dalam menyombongkan diri.

Kyai Ageng Wanabaya muda seorang yang tampan, wajahnya semringah sedikit galak, selalu rapi dalam berpakaian. Usia Kyai Ageng Wanabaya muda sudah perjaka senior, sudah lewat masa birahi. Para penduduk di sekitar Progo ke utara sampai Mlarang sudah tunduk kepada Kyai Ageng Wanabaya. Ke selatan sampai Tandes ke utara sampai Bantul sudah dikuasai Kyai Ageng Wanabaya muda. Kyai Ageng muda juga tidak mau tunduk kepada Mataram. Malah sesumbar tidak takut bertanding melawan Senapati.

Kita tinggalkan yang sedang berbangga diri di Wanabaya. Di negeri Mataram, Panembahan Senapati sedang tampil di hadapan para punggawa. Para punggawa hadir lengkap, meluber sampai di bangsal Pagelaran. Para mantri dan panekar semua hadir menghadap sampai berdesak-desakan.

Sang Raja duduk di Sitinggil, di atas singgasana emas, terlihat bersinar mencolok. Bila digambarkan keadaan Sang Raja seperti Bethara Wisnu ketika mengalahkan Prabu Watugunung. Sungguh pantas bila menjadi paku tanah Jawa, raja di Mataram. Di hadapan Sang Raja telah duduk takzim Adipati Mandarka, Tumenggung Jayasupanta, Adipati Martalaya, Tumenggung Bocor, Adipati Saradipa dan para bupati dari Pati, Kedu, Pajang Demak dan Sokawati.

Sang Raja berkata manis, “Paman Mandaraka, apa sarang Paman berkaitan dengan perkara Kyai Gedhe Mangir? Sudah jelas bahwa sampai hari ini dia bersikukuh tidak mau menghadap kepadaku. Apakah tidak sebaiknya segera dipukul perang, ditumpas seluruh keluarganya, para lelakinya dibunuh semua?”

Adipati Mandaraka berkata, “Duh paduka, saya tidak menyarankan langkah itu. Paduka bersabar dulu. Walau Mangir wilayah kecil tapi tak mudah ditundukkan dengan perang. Kalau salah perhitungan sungguh bisa membahayakan dan bisa menghancurkan pasukan. Juga bisa disebut nista jika sebuah negeri sebesar Mataram sampai menyerang sebuah pedukuhan. Adapun sumber masalah sebenarnya adalah karean Ki Wanabaya punya tombak pusaka dhapur Baru Kuping. Konon senjata itu sangat ampuh. Walau seorang yang berkulit tembaga dan bertulang besi, berotot kawat dan berbaju zirah bila tertikam tombak Baru Kuping akan hancur tak selamat. Kangjeng Sunan Kalijaga telah berpesan kepada saya: si Mangir Wanabaya senjatanya tak dapat ditahan manusia. Siapapun yang terkena tombak Baru Kuping pasti tewas. Tombak itu sudah diramalkan akan menjadi pusaka raja-raja Jawa sebagai perimbangan Kyai Pleret. Maka, sebaiknya Ki Wanabaya dibujuk secara halus. Bila nanti tombak itu sudah terpisah darinya, saya serahkan pada kehendak paduka.”

Sang Raja berkata, “Bila demikian, Anda bicarakan dulu bersama para punggawa langkah yang sebaiknya diambil agar selamat. Juga jangan sampai raja menemui nista, tapi kita dapatkan yang kita tuju.”

Adipati Mandaraka berkata, “Baik paduka, saya siap melaksanakan perintah.”

Adipati Mandaraka lalu berpaling kepada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari dan Adipati Martalaya.

Berkata Adipati Mandaraka, “Bagaimana saran kalian?”

Semua yang ditanya menjawab, “Kami serahkan paduka, segala keputusan paduka kami turut.”

Adipati Mandaraka berkata kepada Sang Raja, “Bila paduka berkenan, permata paduka yang sangat berharga diajukan ke medan perang. Ibarat memancing ikan jangan sampai airnya keruh, tapi ikan bisa didapat.” Sang Raja tersenyum, sudah tanggap isyarat dari sang uwak Adipati Mandaraka. Sang Raja lalu beranjak masuk ke puri diiringi para pelayan. Di bangsal luar para punggawa bubaran dan kembali ke tempat penugasan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...