Translate

Senin, 22 Juli 2024

Babad Mangir (2): Raden Ajeng Pembayun Mendapat Tugas Menyusup ke Mangir

 Hari menjelang malam, bulan purnama menampakkan keindahannya. Dari kedaton Mataram, bulan tampak bersinar terang memamerkan kecantikan, membuat terpesona siapa pun yang melihat.

Sang Raja berkata kepada Nyai Tumenggung Adisara, “Engkau aku utus memanggil Paman Adipati Mandaraka. Bawalah menghadap bersamamu.”

Nyai Tumenggung undur diri dan segera menuju kediaman Adipati Mandaraka. Setelah dipersilakan dudu Nyai Adisara menyampaikan perintah Sang Raja.

“Raden Adipati, Anda dipanggil Sang Raja. Ada pekerjaan penting yang membuat putra paduka ingin membicarakan secara khusus. Anda diminta datang bersama saya,” kata Nyai Adisara.

Adipati Mandaraka berkata, “Aku siap menerima perintah.”

Adipati Mandaraka sudah dibawa menghadap kepada Sang Raja.

Panembahan Senapati berkata, “Paman, silakan Paman melanjutkan pembicaraan di Sitinggil tadi. Siapa yang sebaiknya diutus ke Wanabaya? Kalau bisa jangan sampai mengulang pekerjaan.”

Adipati Mandaraka berkata, “Bila paduka berkenan, putri paduka Raden Ajeng Pembayun dikirim ke Wanabaya dengan cara sandi. Adipati Martalaya yang mengawal selama perjalanan dengan cara menyamar sebagai dalang wayang kulit. Saudaranya si Tumenggung Jayasupanta menjadi panjak. Saradipa menjadi penabuh kendang. Tumenggung Bocor sebagai penabuh kempul. Saradula menabuh kenong dan Nyai Adisara menjadi penabuh gender. Yang dipakai sebagai kempul pusaka paduka Kyai Bicak agar mendapat keramatnya. Putri paduka diaku sebagai anak oleh Ki Dalang.”

Sang Raja berkata, “Paman aku sangat menyetujui usul Paman. Hai Nyai Adisara, panggil si Adipati Martalaya, Tumenggung Jayasupanta, Saradipa, Tumenggung Bocor dan si Saradula.”

Nyai Adisara menyembah dan menyatakan kesanggupan. Segera undur diri memanggil para punggawa yang disebut. Tidak lama semua yang dipanggil telah menghadap.

Sang Raja mengutarakan kehendak dengan kata manis, “Kalian enam punggawa, aku tugaskan kalian menyusup ke pihak musuh untuk menyelesaikan masalah yang ruwet. Si Tumenggung Adisara bawalah serta untuk menjaga putriku Nini Pembayun. Jangan sampai penyamaran kalian terbongkar, karena bisa membahayakan. Ketahuilah si Mangir sekarang sudah nyata tidak mau tunduk kepadaku. Kalian berenam berangkatlah ke Mangir. Si Martalaya menyamar sebagai dalang dengan nama Sandiguna. Jayasupanta bergantilah nama Sandisasmita. Tumenggung Bocor ganti nama Sandiupaya. Saradipa dan Saradula pakailah nama semula.”

Raden Ajeng Pembayun sudah dipanggil menghadap Sang Raja. Kepada sang putri, Panembahan Senapati berkata pelan disertai dengan bujukan:

“Duhai permata hatiku, aku mengutusmu mencari tumbal sarana keselamatan negeri untuk kesejahteraan para kawula Mataram. Si Mangir punya tombak pusaka dhapur Baru Kuping, yang sudah diramalkan menjadi pusaka kerajaan. Sudah kehendak Tuhan, engkaulah anakku yang ditakdirkan mengambilnya. Si Mangir sudah pasti akan menjadi jodohmu, patuhilah perintah Tuhan Yang Maha Suci. Perkara jodoh dan mati itu sudah pasti, meski terhalang samudera dan gunung-gunung akan terjadi, tak dapat dibendung manusia.”

Sang ratna setelah mendengar perintah sang ayah seketika bergetar hatinya, air mata deras mengalir. Hatinya dalam kebimbangan. Dalam hati berpikir, mengapa ayah menyuruh seorang gadis menempuh kerepotan? Bila terdengar orang banyak sungguh akan ditertawakan. Mengapa ringan bobot seorang Panembahan Senapati, punya ketakutan kepada orang dusun si Mangir. Sampai anak gadisnya disuruh menyusup ke pihak musuh. Namun, bila tidak patuh kepada sang ayah akan mendapat tulah. Apalagi ini perintah seorang ayah sekaligus perintah raja. Raja itu perwakilan Tuhan di bumi. Tidak boleh sekalipun ditentang perintahnya. Jangan takut sakit, walau mati sekalipun akan kupatuhi. Untung dan celaka sudah ketetapan Tuhan yang tertulis dalam Lauhil Mahfudz, manusia tinggal menjalani. Akhirnya sang ratna hanya bisa pasrah atas semua yang akan terjadi.

Sang Ratna Pembayun berkata, “Hamba siap sedia menjalankan perintah paduka.”

Sang Raja berkata, “Anakku Nini Pembayun, sudah lazim seorang raja berat tanggung jawabnya. Engkau sebagai putra raja pun ikut memikul tanggung jawab yang berat itu. Aku sangat berterima kasih atas kesediaanmu memikul tanggung jawab ini. Engkau sudah ikut memikul singgasana Mataram agar tetap berdiri tegak. Ketahuilah anakku, sungguh berat menjadi seorang raja. Tak berhitung anak atau saudara kadang harus dikorbankan demi negara. Engkau yang masih gadis harus menjalani upaya sandi ke tempat musuh. Pandai-pandailah menjaga diri. Aku pasrahkan engkau kepada Allah yang mempunyai sifat qadim dan baqa agar melindungimu dalam perjalanan. Semoga perjalananmu selamat, jauh dari halangan. Semoga tugas yang dibebankan negara kepadamu dapat engkau selesaikan dengan baik.”

Sang Raja turun memeluk sang putri, lalu berkata, “Kelak bisa engkau sudah bertemu si Mangir, upayakan agar mau menghadap kepadaku. Jangan pernah engkau mau melayaninya sebelum keluar pernyataan kesetiaannya kepadaku. Dan satu lagi pesanku, bila dia lengah sabetlah ujung tombaknya dengan ujung kemben yang engkau pakai.”

Sang Raja berbisik kepada sang putri, “Ketahuilah Nini, asal muasal tombak sakti milik si Wanabaya. Dahulu ada seorang pendeta yang keras bertapa. Si pendeta tergoda oleh seorang siswa wanita sehingga melakukan hubungan badan. Si siswa wanita wanita kemudian hamil dan pada ketika tiba saatnya dia melahirkan seorang anak berupa seekor naga yang sakti, namanya Baru Klinthing. Tempat si naga lahir berada di kaki gunung Dira. Oleh si ibu naga ditutup sebuah bejana, lalu ditinggal bertapa di puncak gunung Dira. Adapun ayah si bayi setelah berhubungan badan dengan si ibu kemudian berpindah bertapa di gunung Merapi.

Seiring berjalannya waktu naga di dalam bejana membesar. Bergerak dan bisa bicara layaknya manusia. Si nagar menyembur belanga sehingga pecah. Bejana yang pecah menjadi sebuah rawa. Si naga yang telah lepas dari kurungan bejana awas melihat bahwa di puncak gunung ada seorang pertapa wanita. Si naga mendekati sang pertapa yang tak lain ibunya sendiri, lalu bertanya siapa bapaknya dan di mana tempatnya.

Si pertapa wanita menjawab bahwa bapak si naga seorang pendeta yang sedang bertapa berada di puncak Merapi. Sang naga lau pergi ke puncak Merapi untuk menemui sang ayah. Si naga yang sudah membesar melata di sepanjang jalan, merobohkan banyak pohon yang dilewati. Sampailah dia ke puncak Merapi. Si naga melihat ada seorang pertapa yang sedang duduk di puncak gunung. Dia mendekat merendahkan diri di hadapan si pertapa.

Sang pendeta bertanya pelan, “Naga, apa tujuanmu mendekati seorang bertapa?”

Si naga menjawab, “Ketahuilah sang pertapa, sejak aku lahir sampai aku di hadapanmu, selama ini belum pernah aku mengetahui siapa bapakku.”

Sang pertapa bertanya, “Hai naga, siapa yang memberitahumu untuk datang ke tempatku?”

Naga menjawab, “Awalnya aku sampai di sini, karena petunjuk ibu, bahwa ayahku sedang bertapa di puncak Merapi. Maka aku menyusul ke sini dan bertemu denganmu. Apakah benar engkau ayahku?”

Sang pendeta menjawab, “Aku bukan ayahmu. Andai aku punya anak pasti tidak berupa seekor naga. Aku ini manusia, kalau mempunyai anak pasti berujud manusia. Engkau bukan anakku.”

Ketika ditolak si naga marah. Ekornya berdiri kopat-kapit, kepala tegak dan bersuara menggetarkan. Bisa menyembur dari mulutnya, jatuh seperti hujan gerimis. Si naga bersiap menerjang sang pertapa.

Dengan gugup sang pertapa berkata, “Hai naga, karena kemarahanmu aku mempunyai sayembara. Bila engkau mampu melingkari gunung ini sampai bertemu antara kepala dan ekormu, itu tanda bahwa engkau anakku. Aku tak ragu lagi mengakuimu.”

Si naga turun ke kaki gunung hendak melaksanakan sayembara si pertapa. Upaya naga hampir membuahkan hasil. Ekor dan kepalanya hampir bertemu. Hanya tinggal satu langkah.

Sang pertapa berkata, “Naga, kurang satu langkah. Namun aku tetap tidak mengakuimu sebagai anak jika ekor tak bertemu kepala.”

Si naga lalu menjulurkan lidahnya agar bisa mencapai ekornya. Ketika lidahnya menyentuh ekor, sang pertapa buru-buru memenggal lidah itu. Darah mengucur dari lidah yang terpotong. Si naga tewas seketika. Sang pertapa lalu mengambil potongan lidah, lalu dicipta menjadi sebuah tombak. Jadilah sebuah tombak berdhapur Baru Kuping dan diberi nama Kyai Baru. Tombak lalu ditaruh di atas pohon. Barangsiapa melihat tombak itu, tampak olehnya seperti seekor naga. Hanya si Mangir yang melihat wujud aslinya. Oleh si Mangir lalu tombak diambil. Itulah awal mula keluarga si Mangir mewarisi tombak di zaman dahulu, hingga sekarang diwarisi oleh anak keturunannya sampai pada Kyai Wanabaya.”

Sang Ratna Pembayun mendengarkan penuturan sang ayah dengan takzim.

Sang Raja berkata lagi, “Anakku, berhati-hatilah. Tombak itu sangat ampuh. Sekuat apapun seseorang jika terkena akan hancur. Kalau engkau bisa mengurangi keampuhan tombak itu. Aku beri ilmu penawarnya.”

Sang Raja lalu mengajarkan kepada sang putri ilmu untuk menawarkan keampuhan tombak, ilmu yang juga dapat menawarkan bisa beracun dan ilmu untuk membuat ngantuk. Semua sudah dikuasai oleh sang Ratna Pembayun. Walau seorang wanita tapi Ratna Pembayun mampu menguasai dalam tempo yang singkat. Setelah selesai Ratna Pembayun berganti busana sederhana. Sekilas sudah tak tampak lagi seperti seorang putra raja. Namun bila dilihat oleh orang yang tajam penglihatan, pasti masih tampak tanda-tandanya. Ibarat minyak dengan air, hanya mereka yang mampu mengenali ciri-cirinya yang dapat membedakannya. Setelah semua siap Pembayun kembali menghadap sang ayah.

Sang Raja berkata, “Berangkatlah anakku, mumpung saatnya baik. Aku pasrahkan kepada Tuhan keselamatanmu di jalan. Semoga engkau selamat terhindar dari marabahaya. Terimalah bahwa perjalanan hidupmu harus seperti ini. Kepada kalian semua, apa yang akan kalian lakukan sungguh berat. Kalian berhati-hatilah. Semoga apa yang kalian lakukan hari ini semakin menambah kewibawaan negeri Mataram sehingga menjadi negeri besar kelak.”

Para punggawa sangat terkesan dengan perintah Sang Panembahan, mereka berkata, “Kami merasa selama ini tidak kurang mendapat belas kasih paduka. Sudah selayaknya apa yang paduka perintahkan, kami turut dan laksanakan dengan senang hati. Jika bukan karena belas kasih paduka kami semua tidak akan menjadi punggawa negeri. Sudah selayaknya kami membalas dengan pengabdian. Kami berharap paduka lestari memerintah nusa Jawa, panjang usia dan selalu mendapat keselamatan. Kami juga sekaligus berjanji, bila Mangir tak dapat kami kuasai dengan cara halus, para abdi rela dicabik-cabik menjadi debu.”

Panembahan Senapati berkata sambil berlinang air mata karena haru, “Sangat aku terima janji kalian, juga pernyataan pengabdian kalian yang tulus.”

Adipati Mandaraka menyambung, “Aku memuji untuk keselamatan kalian, semoga dijauhkan dari amarah Yang Maha Kuasa dan mendapat keridhaan dari para leluhur yang sudah berada di surga.”

Para punggawa satu persatu sungkem kepada Panembahan Senapati dan Ki Adipati Mandaraka. Raden Ajeng Pembayun juga sungkem memeluk kaki sang ayah. Panembahan Senapati lalu memberi sekotak wayang kulit, dan gamelan berupa rebab, suling, gender, belencong dan instrumen lain. Bende Kyai Bicak yang semula berupa kempul kembali menjadi kempul sekaligus pertanda. Jika Kyai Bicak ditabuh berbunyi menggema ke angkasa, tanda akan menang perang. Sang Raja lalu memberi bekal berupa harta benda. Mereka pun berangkat dengan cara menyamar.

Sang Raja lalu berkata kepada Adipati Mandaraka, “Paman umumkan kepada seluruh kawula Mataram. Barangsiapa dapat menemukan anak perempuanku yang hilang dari kedaton, dialah yang ditakdirkan menjadi suaminya.”

Adipati Mandaraka lalu memerintahkan para punggawa untuk mengundangkan pengumuman dari Sang Raja. Ki Adipati juga menjalankan prajurit sandi untuk menjaga keselamatan perjalanan Raden Ajeng Pembayun dari jauh.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/14/babad-mangir-2-raden-ajeng-pembayun-mendapat-tugas-ke-menyusup-ke-mangir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...