Translate

Senin, 22 Juli 2024

Paribasan 90-100

 

Paribasan (91): Keduwung nguntal wedhung

Arti harfiahnya adalah menyesal memakan pisau besar. Maknanya adalah menyesali suatu perbuatan tetapi sudah terlambat. Sudah terlanjur berbuat, akan mundur sudah tak bisa, maju pun susah.

Entah bagaimana mulanya, Patih Patih Pringgalaya kini hanya bisa meratapi nasib. Hidupnya kini tak menentu. Belanda tak lagi mempercayainya. Raja pun sudah angkat tangan tidak bisa menolongnya. Sementara, seteru abadinya, Pangeran Mangkubumi kini sudah menjadi raja yang berkuasa dan ditakuti Belanda.

Dia ingat akan sumpahnya dulu ketika Pangeran Mangkubumi masih memberontak. Kalau saja dia berhasil dirinya lebih suka keluar dari keraton untuk hidup mengembara, meninggalkan semua kedudukan sebagai pejabat. Kini apa yang disumpahinya telah terjadi. Dan ternyata dia merasa berat untuk menepatinya.

Segala usaha telah dia kerahkan agar seterunya itu lenyap, namun justru bertambah kuat. Seolah angin berbalik, kini Belanda yang selalu dia bantu pun tak lagi berpihak kepadanya. Terakhir dia kena semprot Letnan Gubernur Nicholas Hartingh akibat pendapatnya yang kukuh mempertahankan beberapa wilayah agar tak jatuh ke tangan Mangkubumi.

Kini Nicholas Hartingh sangat marah kepadanya dan menuduhnya sebagai orang yang menghambat perdamaian.

Eh..hmmm. Pringgalaya mendesah pelan, membuang galau yang meliputi hati. Tak juga dia mendapat titik terang. Nasibnya memang sudah habis kini. Sebentar lagi dia akan dicopot dari jabatan patih. Kekuasaannya akan dilucuti dan boleh jadi dia akan dibuang. Posisinya sudah keduwung nguntal wedhung. Menyesal tapi jalan untuk memperbaiki semuanya sudah terlambat, sedang di hari esok kesengsaraan sudah terbayang. Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan itu semua. Yah, hanya itu caranya.

Perlahan Pringgalaya mengambil warangan dan mencampurnya dengan perasan jeruk nipis, sedikit gula akan membuatnya tidak terasa pahit. Akhirnya yang terjadi mesti terjadi dan menjadi catatan sejarah hitam keraton Surakarta. Ah, Pringgalaya. Hmmm…..

Paribasan (92): Kerot ora duwe untu

Arti harfiah kerot-kerot adalah bunyi gesekan antara dua gigi atas dan bawah.  Makna paribasan ini adalah akan melakukan pekerjaan tapi tak punya sarana yang cukup.

Ki Bekel Dadya Tinumbala sebenarnya ingin agar penikahan putrinya diramaikan dengan meriah. Karena ini adalah pernikahan terakhir dari anak-anaknya yang berjumlah delapan. Ketika anak pertama menikah dahulu Ki Bekel masih berstatus magang karena mertuanya, Ki Bekel Dadya Mulyaharja  masih menjabat. Maka dia tak mampu menyelenggarakan pesta. Hanya cukup menikahkan anaknya dihadapan pak Modin saja.

Selanjutnya ketika anak-anaknya yang lain menikah negara dalam keadaan peperangan yang berkelanjutan. Kini dia merasa keadaan telah aman selama bertahun-tahun, seharusnya dia dapat mengadakan pesta pernikahan dengan meriah. Acara itu juga sekaligus akan menjadi ajang reuni untuk mengumpulkan sanak saudara, teman-teman pondoknya dahulu dan para kolega di pemerintahan. Sudah lama Ki Bekel menunggu hal  itu terjadi.

Namun yang menjadi masalah, pernikahan putrinya baru terlaksana saat usia Ki Bekel sudah 95 tahun. dalam usia selanjut itu apa yang bisa dilakukan Ki Bekel. Jabatan sudah lama diserahkan kepada negara, takkan mampu lagi dia menyelenggarakan pesta meriah. Diantara teman dan kolega hanya tinggal Ki Pujanagara yang masih hidup. Reuni dengan teman yang diangankan Ki Bekel jelas takkan terwujud.

Keadaan Ki Bekel sudah kerot ora duwe untu. Walau kehendaknya masih ada, sarananya sudah tak tersedia.

Paribasan (93): Kulak warta adol pangrungon

Arti harfiahnya adalah memborong berita dan menjual apa yang dia dengar. Makna paribasan ini adalah menyebarkan berita tanpa diklarifikasi, apa yang dia dengar langsung disebarkan.

Akhir-akhir ini, sejak marak penggunaan telepon pintar dan kemudahan sarana komunikasi banyak tersebar berita bohong atau hoax. Sejak platform komunikasi berindah ke aplikasi berbasis data seperti Whatsapp, Facebook, Instagram dan media jaring sosial yang lain, penyebaran berita memang menjadi sangat mudah. Terutama sejak adanya tombol sialan yang bernama “share”. Dengan sekali memencet tombol digital itu, tersebarlah apa yang baru saja dibaca ke seluruh penjuru jejaring sosial yang bersangkutan.

Banyak orang yang tidak peduli lagi, apakah berita yang di-share tadi benar atau tidak. Mereka menganggap remeh validitas sebuah berita. Toh kalau tidak benar juga berita baik akan menginspirasi, begitu pikir mereka. Orang-orang ini telah meremehkan kenyataan bahwa jika berita itu tidak benar maka itu berarti sebuah kebohongan.

Namun sejatinya perilaku demikian sudah dilakukan oleh orang-orang sejak zaman dahulu. Oleh karena itu para leluhur mengingatkan agar kita tidak melakukan hal tersebut. Mereka mempunyai ungkapan untuk menggambarkan hal tersebut, yakni aja sok kulak warta adol pangrungon.

Paribasan (94): Kuping budheg dikoroki

Arti harfiahnya telinga tuli dibersihkan. Maknanya adalah mengatakan kepada orang tak tahu, akhirnya malah merugikan.

Dul Kempul untung besar.

“Luar biasa! Yes!” Begitu pekiknya tadi. Seharian mancing di tempat sepi, eh… dia tidak mendapatkan satu ikan pun. Ketika mau berhenti, dengan perasaan dongkol. Eh… ada tas kecil nyangkut di kailnya. Tampaknya tas bagus, entah dari mana. Tapi yang bikin kaget adalah isinya, 4 juta rupiah.

Bergegas dia keluar dari tempat mancingnya. Ketika hendak menuju jalan besar tampak olehnya banyak orang dan polisi.

“Ada apa itu Pak?” Tanya Dul Kempul pada seseorang yang baru datang membawa pnacing juga.

“Oh, itu ada kecelakaan mobil tadi. Bisa kecebur sungai. Semua penumpangnya selamat, tapi ya bisnya gak ketulungan karena nyemplung di tengah sungai. Tuh di atas sana!”

Dul Kempul menduga, tas yang ia temukan adalah milik penumpang bus yang kecebur. Boleh jadi polisi itu sedang merazia barang-barang yang hilang. Dia tak mau dituduh mencuri, dan sayang juga uang 4 juta nanti diambil, padahal ia sedang butuh.

Akhirnya Dul Kempul kembali ke tempat mancingnya yang tersembunyi, menyembunyikan tasnya di bawah semak-semak dekat pohon pisang.

Dia kemudian kembali ke jalan, tapi kok kepikiran tas itu lagi. Oh ya, si bapak yang juga mancing tadi bisa dititipi.

“Pak saya pulang sebentar, saya titip tas saya di bawah pohon pisanng itu, kalau ada yang ngambil sampeyan larang ya?”

“Oh ya nak!”

Malam harinya Dul Kempul ditemani Dul Robot kembali untuk mengambil tas itu. Masih utuh. Tapi isinya kok…tinggal 800.000? lha lainnya kemana? Waduh, pasti si bapak itu tadi!

Dul Robot yang menyertai Dul Kempul tertawa, “Bodoh kamu Pul, orang tidak tahu kok kamu kasih tahu. Ibarat kuping budheg dikoroki. Tentu saja dia penasaran. Tapi mending kau masih kebagian Pul. Hahaha…”

Lha iyo to, kuping budheg kok dikoroki. Salahmu dhewe Dul…

Paribasan (95): Mecel manuk miber

Arti harfiahnya adalah membuat pecel burung yang masih terbang. Maknanya orang yang serba tercapai apa yang diinginkan.

Pada suatu hari Ki Juru Mudhi menemani seorang bule dari Amerika ke Waduk Wadas Lintang. Hujan rintik-rintik ketika mereka sampai di bendungan. Bule itu menyuruh Ki Juru berhenti sebentar untuk melihat-lihat pemandangan yang asri.

Sampai jauh di sana, yang tampak hanya air. Entah dimana ekor dari waduk yang besar ini, tak kelihatan. Jajaran pegunungan menyembunyikan ujung waduk yang dibuat di era Presiden Soeharto ini.

“Wah Ki pemandangan di sini sangat indah ya. Aku pengin punya villa di sana itu Ki. Pasti kalau suasana hujan begini sangat menyenangkan untuk tetirah. Bisa menghilangkan stress.”

Ki Juru dalam batin tak percaya dan menganggap perkataan itu sekedar guyonan. Maka dia menanggapi ringan dan mengiyakan saja.

“Betul Tuan, itu bagus buat villa. Adem dan sejuk!”

Namun dia kaget ketika Bule itu mengajak mencari pemilik gunung itu.

“Itu gunung besar Tuan. Harganya pasti mahal dan mungkin tidak dijual oleh semua pemiliknya.”

“Kita coba dulu Ki. Belum mencoba kok sudah pesimis!”

Ki Juru manut saja. Dan akhirnya dia menemukan pemilik tanah itu, lebih tepatnya gunung itu. Seorang seniman bernama Ki Wahyono.

“Itu tidak dijual Mister! Untuk apa dijual wong saya tidak sedang butuh uang?”

“Tapi saya ingin memiliki tanah itu. Bagaimana kalau saya tukar di tempat lain? Jadi saudara tetap punya tanah. Saya kasih tanah yang lebih produktif. Bagaimana?”

“Tapi itu mahal Mister. Karena tanahnya seluas 10 hektar dan bukan hanya punya saya sendiri. ada beberapa saudara dan tetangga.”

“Silakan dirundingkan dulu. Kalau sudah sepakat silakan bicara. Sekarang juga.”

“Kok maksa sih tuan!”

“Iya mumpung saya masih di sini. Saya hanya lewat lho. Kalau saudara tidak cepat kesempatan hilang.”

“Ya tuan, tapi tanah mana yang akan dipakai ganti?”

“Saudara tunjuk saja tanah yang akan dijual nanti saya yang bayar!”

Mereka berunding dan sepakat untuk tidak menjualnya. namun kalau menolak orang bule itu pasti akan membujuk lagi. Jadi mereka meminta tanah lapang di sebelah jalan raya Kuthaarja sebagai ganti. masing-masing dari sepuluh orang pemiliknya minta sepuluh hektar. Jadi 100 hektar tanah lapang dekat jalan raya. Biar saja sekalian tidak tanggung-tanggung mintanya. Wong mereka juga sebenarnya enggan menjual. Hitung-hitung menolak halus.

“Ah, begitu saja kok lama negonya. Mbok dari tadi ngomong. Saya setuju.”

“Tapi Tuan, apakah tuan punya duitnya? Itu…itu mahal sekali lho…”

“Ya saya tidak membawa, tapi kalau Anda semua serius segera saya wujudkan. Ini saya beri tanda jadi 10 Milyar dulu. Nanti segera diurus staf saya. Ok ya! Ini kartu nama saya.”

Bule itu meninggalkan mereka dengan uang 10 M. Sampai-sampai Ki Wahyono pingsan ketika menerima uang sebanyak itu. Tapi siapa sih bule itu kok beraninya membeli tanah gunung dengan harga sangat tinggi.

Mereka membaca kartu nama yang diberikan, dan tertera disana namanya dengan jelas.

bill gaes

Wooow……lha pantes dia orangnya. Lha mbok ibarat mecel manuk miber, keinginan orang ini akan terlaksana.

Paribasan (96): Nglungguhi klasa Gumelar

Arti harfiahnya adalah menduduki tikar yang sudah digelar. Maknanya adalah menempati tempat yang semuanya sudah tersedia.

Mbah Cipto melihat haru ketika rumahnya dirubuhkan. Hasil jerih payah masa mudanya musnah sudah. Rumah dari kayu jati kelas I yang biaya pembangunannya dikumpulkan dari tetes-tetes keringat mudanya, kini menjadi kayu bongkaran tak bernilai.

Anak-anak muda zaman sekarang sering melupakan sejarah. Bagaimana orang-orang tua zaman dahulu harus berjuang melawan ketidakadilan di masa penjajahan. Dengan bekerja keras orang tua zaman dahulu baru dapat membuat rumah. Setelah mereka rela berpuasa, menahan lapar, rela telanjang tanpa baju, demi menyisihkan sedikit harta untuk anak cucunya. Itu pula impian Mbah Cipta ketika mendirikan rumah bagi anak-anaknya. Dia pilih bahan-bahan dari kayu jati bagus yang sanggup bertahan ratusantahun. Harapannya kelak anak-anaknya dapat hidup nyaman, tinggal nglungguhi klasa gumelar. Karena semua sudah tersedia.

Namun impian Mbah Cipto sirna. Anak-anaknya memilih membongkar bangunan tua nan kukuh itu. Dan alasannya membuat Mbah Cipto tak kuasa menahan airmata.

“Pak rumah ini modelnya sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak model lagi sekarang. Jadi harus dibongkar!”

Mbah Cipto memandang hasil karya masa mudanya itu, sambil mupus menenangkan diri, “Ah, setidaknya anakku bisa membuat sesuatu yang lebih baik dari padaku dahulu!”

Paribasan (97): Wastra lungset ing sampiran

Arti harfiahnya adalah kain yang kusut di gantungan. Maknanya sesuatu yang tidak dipakai justru akan rusak.

Sudah lama Rahmad membeli motor skuter itu. Sejak dia kenal dengan Minten, gadis tetangga desa yang hitam manis. Maksud hati hendak menyenangkan hati Minten dengan tiap hari antar jemput ke pabrik, tempat kerjanya. Namun malang tak dapat ditolak. Belum sempat angan-angannya tercapai, baru sepulang dari dealer motor, mendadak Rahmad mendengar kabar yang mengagetkan. Layaknya disambar geledek, sampai Rahmad pingsan tiga hari-tiga malam. Minten dilamar den baguse Gondo. Pemuda tampan dan kaya dari kampung sebelah.

Hancur sudah harapan Rahmad, rasanya kepengin mati saja. Percuma beli skuter keluaran terbaru bila Minten tak diboncengan. Dan benar saja skuternya ndongkrok tak terpakai.

Kini setelah lima tahun berlalu. Rahmad sudah bisa move on. Limbuq, gadis ayu anak Kades Dadapan yang menjadi incarannya. Tiap hari dia harus kuliah di Unwidha. Kesempatan baginya untuk antar jemput.

Maka dia keluarkan skuter lawas yang masih baru itu. Tapi dia harus menelan kekecewaan karena skuternya mogok. Di bengkel teknisi menyarankan ganti beberapa onderdil.

“Lho kok bisa mas. Ini sekuter baru lho, maksudnya belum pernah dipakai.”

Jawab si teknisi, “Justru itu mas. Onderdil ini rusak karena skuter ini tidak pernah dipakai. Ibaratnya wastra lungset ing sampiran mas. Seperti kain itu kalau tidak dipakai kan malah rusak dan jamuran mas. Ini yang terjadi.”

Wah Rahmad harus merogoh kocek lagi dalam-dalam. Sabar Mad, nanti kalau jodoh takkan kemana kok si Limbuq itu.

Paribasan (98): Midak telek ora penyek

Arti harfiahnya adalah menginjak kotoran ayam saja tak mampu. Maknanya adalah tak mampu melakukan sesuatu pekerjaan apapun.

Citraksi duduk termenung di hadapan sang paman Patih Harya Suman sambil ngoplok gemetaran. Dia dimarahi habis-habisan. Itu memang salahnya, dia tak hendak membela diri. Walau sejatinya tugasnya memang berat, sangat berat untuk siapapun.

“Kamu Citraksi…Citraksi…..diberit tugas untuk mencari suara di Kadipaten Cempala Madya saja kok tidak becus. Satria kok tidak pernah menunjukkan kemampuan. Mbok lihat si Gatot kaca itu. Mengatrol orang sudra saja bisa jadi bupati. Lha kamu? Ah….dasar bego!’

Kata Paman Haryo Suman tadi bener-benar membuatnya sakit hati. lha iya jelas kalau Gatotkaca berhasil, lha wong tokoh yang didukung untuk maju sebagai raja muda di Cempala Radya adalah Joko Sempulur, tokoh yang dikenal bersih dan jujur, berintegritas dan berakhlak mulia, rendah hati dan santun.

Ini jelas beda dengan sang paman yang sudah dikenal culas, omongnya kasar, pernah menerima upeti dari pencuri, dan yang terakhir ini parah; gagal dalam pemilihan raja muda di Cempala Madya selama empat kali berturut-turut.

Tapi bukan Harya Suman kalau tidak menimpakan kesalahan kepada sang keponakan yang gagap itu. Setelah panjang lebar marah, Harya Suman masih tega mengatai Citraksi begini.

“Citraksi..Citraksi…kamu ini ksatria cap apa? Midak telek wae ora penyek. Bisamu apa Citraksi? Dasar bego!”

“Mmm…a…a…pa….pam…..!” tiba-tiba. Des! Plok! Glangsar! Citraksi menampar dan memukul sang paman. Dan tiba-tiba gagapnya hilang. Sambil berkacak pinggang dia memaki sang paman yang  terkapar.

“Dasar Sengkuni Culas! Mampus kau!”

Dia berjalan ke arah pintu depan dan menendangnya, hancur berkeping-keping.

Sengkuni masih berkunang-kunang memandang sang keponakan yang menjauh. Kali ini dia yang gemetaran.

Paribasan (99): Nabok nyilih tangan

Arti harfiahnya adalah memukul dengan meninjam tangan orang lain. Maknanya adalah mencelakakan orang dengan memakai kekuatan orang lain.

Sudah lama Prabu Anom Kurupati memendam kebencian kepada Bratasena. Panenggak Pandawa itu ibarat klilip di mata, kerikil dalam sepatu, yang membuat hidupnya tidak nyaman. Sebagai sesama murid Pandita Durna Bima lebih menonjol dari dirinya dalam menguasai ilmu sang guru. Bratasena adalah murid yang patuh dan selalu menurut. Mungkin itulah yang membuat Bratasena cepat menguasai ilmu yang diberikan oleh sang Guru. Kelebihan Bratasena adalah memainkan senjata gada, sama dengan Duryudana. Namun yang disebut belakangan selalu menjadi pecundang.

Oleh karena itu Duryudana bermaksud mencelakakan Bratasena melalu kepatuhannya kepada sang Guru. Rupanya Pandita Drona terdesak oleh kuasa Duryudana sebagai Prabu Anom sehingga terpaksa meluluskan permintaan Duryudana yang licik.

Pandita Drona mamanggil Bratasena dan menyuruh untuk mencari air suci di dasar samudra. Dasar Bratasena selalu menurut tanpa ragu lagi dia melaksanakan perintah sang Guru. Dia menceburkan diri dan menuju dasar samudra. Sebelum terjun banyak orang mengingatkan agar Bratasena mengurungkan niatnya. Namun dia memaksakan diri untuk terjun ke laut karena sangat percaya kepada gurunya.

“Guruku takkan mencelakakanku!” begitu katanya.

“Tugasku memang berat, tapi aku sudah bertekad untuk melaksanakannya. Kalaupun nanti aku mati itu sudah takdir, bukan karena ditelan lautan ini penyebabnya!”

Begitulah Bratasena yakin dan mencebur betulan.

Sementara itu Duryudana bertepuk tangan di atas tebing yang jauh, merayakan kematian musuhnya yang sudah di depan mata. Takkan ada orang yang bisa hidup kalau masuk ke dasar samudra. Itu pasti. Akhirnya dia lega karena tipudayanya nabok nyilih tangan gurunya berlangsung sukses.

Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kalau pembaca ingin tahu silakan mengikuti lakon Bima Suci di pertunjukkan wayang kulit terdekat.

Paribasan (100): Nggered ori saka pucuk

Arti harfiahnya menyeret bambu ori dari pucuk. Maknanya adalah melakukan sesuatu tampa pengetahuan sehingga salah perhitungan.

Paimo jengkel, geram dan kemropok. Besok dia harus menghadiri wisuda di balai desa sebagai aparat desa terpilih. Jas hitam dan kemeja putih sudah disiapkan, tapi mendadak mesin cucinya rusak.

Sudahsejak pagi dia pencet tombol start, mungkin sudah ada lima puluh kali. Mesin cuci hanya berdengung tanpa berputar. Waduh, ini bagaimana mesin cuci tak bisa kompromi. Wah harus ganti dinamo ini. Harus cepat! Dia segera mengambil obeng dan membongkarnya.

Ketika dinamo sudah copot dia heran. Kok dinamo ini tampak waras. Tidak ada tanda-tanda terbakar. Apakah mungkin korslet kabelnya ya? Dia turut jalur kabel dan tidak tampak ada yang gosong atau putus. Dia kemudian membongkar pasang gigi-gigi yang dikiranya menghambat laju putaran motor listrik. Dan gagal. Mesin cuci tetap tak berfungsi.

Akhirnya  Paimo menyerah dan membawa mesin cucinya ke bengkel.

“Tentu saja sampeyan gagal memperbaiki mesin cuci ini. Wong yang rusak bagian luar sampeyan bongkar bagian dalam. Mesin ini hanya perlu ganti kapasitor, dan itu letaknya di belakang kabel power ini. Tinggal nyopot sekerup dan ganti kapasitor. Sudah beres.” Kata tukang servis di bengkel.

“Tapi sampeyan malah mencopot seluruh gigi dan motor yang ada. Ini kan seperti nggered ori saka pucuk. Masalah tidak beres, malah pekerjaan tambah banyak. Sekarang saya harus mengecek satu per satu pekerjaan sampeyan ini. Barangkali ada sekerup yang hilang atay gigi yang salah posisi. Wah merepotkan saja!”

Paimo kukur-kukur kepala dan pringas-pringis malu.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/23/paribasan-91-100-keduwung-nguntal-wedhung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...