Translate

Senin, 22 Juli 2024

Paribasan 41-50

 

Paribasan (41): Rupak jagade

Arti harfiahnya sempit dunianya. Maknanya orang yang ke manapun bertemu dengan orang yang bermasalah dengannya sehingga serba kerepotan.

Ki Nopanto adalah seorang mantan demang senior di Desa Kapundhung. Dia dipecat tahun lalu karena terbukti menggelapkan uang bulu bekti dari para bekel bawahannya. Sejak saat itu hidup Ki Nopanto sangat menderita. Mau berdagang orang sudah tidak yakin karena pernah menggelapkan duit orang banyak. Mau mengabdi di lain daerah juga tidak ada pembesar yang mau menerima, karena mereka kawatir dikianati. Mau belantik burung pun tak ada mantri pasar yang mengijinkan dia masuk pasar.

Hidup Ki Nopanto serba terjepit, ke utara selatan, ke barat timur, semua arah bertemu dengan orang yang mengenal kejahatannya dulu. Bagi Ki Nopanto dunia ini sempit. Rupak jagade!

Paribasan (42): Ana catur mungkur

Arti harfiahnya adalah ada perkataan membelakangi. Maknanya orang yang lebih suka menghindari perselisihan dan memilih mengalah.

Ki Mulyareja adalah petani yutun yang giat bekerja. Dia selalu menyisihkan hasil panen agar dapat menabung. Dengan hidup sederhana dia berhasil menyekolahkan anaknya Joko Prasaja  sehingga menjadi perwira polisi.

Keberhasilan Ki Mulyareja rupanya membuat iri sudagar kaya Ki Guna Sampeka. Meski jauh lebih kaya anak-anak Ki Guna tidak ada yang jadi orang. Jadi orang berpangkat juga tidak, jadi orang baik juga tidak. Dua anak lelakinya malah suka minum minuman keras di gardu, dan digotong pulang esok harinya. Kegagalannya dalam hidup kemudian dilampiaskan dengan sikap iri hati kepada Ki Mulyareja. Tiap bertemu pasti dia nyinyir, mencari-cari kesalahan Ki Mulyareja.

Ki Mulyareja tahu diri. Sebagai orang miskin tidak elok jika berselisih atau bertengkar dengan Ki Guna Sampeka. Maka setiap Ki Guna nyinyir dia selalu menanggapi dengan senyum dan memilih menghindar dengan baik-baik. Ana catur mungkur.

Paribasan (43): Iwak kalêbu ing wuwu

Arti harfiahnya ikan masuk jebakan. Maknanya adalah orang yang sudah masuk jebakan kejahatan orang lain sehingga tragis nasibnya.

Burhan adalah pemuda lugu yang giat bekerja. Dengan tekad kuat dia merantau ke Jakarta mencari penghasilan yang besar. Semua itu dilakukan agar kehidupan kedua orang tuanya di desa tidak susah lagi. Konon kabarnya Jakarta adalah tempat yang mudah untuk mendulang uang atau dalam istilah oran desa: duit gedhe.

Namun karena orang lugu dan selalu berprasangka baik Burhan kehilangan kehati-hatian. Dikiranya oran kota semua baik-baik seperti tetangga di desanya. Maka ketika Boris, tetangga kost, mentraktir di warung dia manut-manut saja. Dia merasa beruntung mendapat teman di perantauan. Tiap kali mentraktir boris selalu menyuguhkan rokok lintingan yang rasanya nikmat. Lama-lama Burhan merasa ketagihan dengan rokok itu dan merasa pusing kalau belum menghisapnya. Namun Boris sering menghilang sekarang.

Ketika bertemu Burhan menanyakan rokok itu. Jawab Boris, “Rokok itu mahal. Aku juga sudah lama tak menghisap. Lagi gak punya duit!”

Burhan menawarkan untuk memakai uangnya memberi rokok itu. Dan setiap hari semakin lama Burhan menjadi ketagihan hingga uangnya habis dipakai untuk menghisap rokok itu.

Suatu ketika Boris ditangkap polisi karena ternyata dia pengejar ganja. Sedangkan Burhan walau Boris sudah tak ada selalu ketagihan rokok ganja itu. Tiap hari selalu mencari rokok itu di pengedar lain. Dia sudah masuk perangkap sebagai pecandu dan tak bisa sembuh. Dia bagai iwak kalebu ing wuwu.

Paribasan (44): Katula-tula katali

Arti harfiahnya berkali-kali terjerat. Maknanya adalah orang yang selalu mendapat celaka.

Pak Sutrim bisa dikatakan orang paling sukses di desanya. Rumahnya gedung menjulang lima lantai. Kerbau sapinya memenuhi kandang yang seluas lapangan bola. Kendaraan apalagi, garasinya saja seluar lapangan bola volli. Dan yang sungguh mengiurkan, istrinya tiga, cantik-cantik pula.

Walau begitu tak banyak yang tahu kalau dahulu hidupnya susah dan sengsara. Ibarat mau bernapas saja tak ada udara yang mau masuk hidungnya. Semua menjauhinya, baik sanak saudara atau kawan sepermainan.

Semua diawali ketika orang tuanya dijebloskan ke penjara oleh KPK. Harta benda disita dan keluarganya dimiskinkan. Dia bersama ibunya dan adik-adik harus menempati sepetak kios di pasar sapi yang hanya muat untuk tidur dua orang. Untuk bertahan hidup ibunya membuat pisang goreng, dan Sutrim menjadi kuli di pasar, kadang menjual rumput di hari pasaran. Karena setiap hari mengenal sapi dia menjadi hapal mana sapi baik atau buruk. Dia kemudian mendapat upah untuk saran-saran kepada pembeli sapi. Seorang sudagar kemudian merekrutnya sebagai kepala anak kandang di peternakannya.

Anak saudagar itu rupanya menaruh hati kepada Sutrim yang pekerja keras itu. Namun ada banyak pemuda yang mengincar anak gadis saudagar. Mereka menfitnah Sutrim mencuri sapi sang saudagar. Akhirnya Sutrim dipecat dan harus hengkang dari peternakan. Nasib Sutrim sungguh malang karena dia ditolak pula di pasar sapi, tempat dia mencari maka selama ini. Dia kemudian merantau ke kota dan menjadi tukang tambal ban.

Dasar Sutrim anak berbakat bengkel tambal bannya ramai sekali. Ini pun mengundang rasa cemburu tukang tambal ban lain sehingga beramai-ramai mengusir Sutrim. Nasib Sutrim sungguh malang. Celaka selalu menghampirinya. Nasibnya; ketula-tula katali.

Lalu bagaimana bisa dia menjadi kaya? Yang sabar to. Ini kan baru membahas tentang katula-tula katali.

Paribasan (45): Ilang jarake kari jaile

Arti harfiahnya adalah hilang akalnya tinggal jahilnya. Maknanya kalau orang sudah kehilangan pikirannya maka yang tertinggal adalah keinginan untuk berbuat jahat.

Burhan tidak mengira jika usaha merantaunya ke Jakarta membuatnya terjebak dalam belenggu kecanduan ganja. Semua sudah terlambat untuk kembali. Dia sudah terlanjur ketagihan. Setiap hari harus dipenuhi kebutuhannya untuk merokok ganja. Semua pekerjaannya masih bisa diandalkan untuk membiayai kebutuhannya akan rokok lintingan ganja itu. Tapi makin hari fisiknya makin parah. Bosnya mengetahui kalau dia seorang pemadat. Dia dipecat.

Kini dia hidup dari sisa tabungan yang semula akan dikirim ke desa. Namun esok pagi tabungan itu sudah habis. Dia bingung harus mencari uang kemana lagi. Sedang bekerja pun sekarang dia tak mampu. Tiap hari tubuhnya sakau dan harus dipenuhi. Dia bingung untuk memikirkan itu semua.

Pikirannya mulai tidak waras. Dia tak bisa berpikir jernih lagi. Hanya tinggal satu jalan keluarnya. Mencuri! Dia  harus melakukan itu sekarang. Kalau tidak tubuhnya akan menggigil esok pagi.

Maka dia ke pasar sapi dekat terminal. Seorang bapak tani yang baru saja menjual sapi menjadi kurban pertamanya. Tas besar wadah uang yang dibawanya koyak oleh silet Burhan. Burhan telah masuk ke dalam golongan pencopet. Ibarat pepatah ilang jarake kari jaile.

Paribasan (46): Wadhuk bêruk

Arti harfiahnya adalah perut yang seperti gentong. Maknanya adalah orang yang tidak bisa kenyang seolah perutnya seperti gentong, semua masuk. Varian paribasan ini adalah; weteng bagor (perutnya seperti karung, muat apa saja).

Bagong adalah anak pertama dari pasangan suami-istri yang masih sangat muda. Ibunya masih kelas 2 SMP ketika menikah dengan bapaknya yang baru kelas satu SMA. Keduanya kemudian merantau ke kota setelah Bagong lahir.

Bagong tinggal bersama neneknya yang sudah tua dan pikun. Karena itu dia tidak terawat. Ketika sudah bisa berjalan Bagong mondar-mandir di jalanan tanpa baju. Keadaannya membuat orang-orang iba dan memberi Bagong makanan. Karena saking laparnya membuat Bagong sangat lahap makannya. Orang-orang senang dan semakin semangat memberi makanan kepada Bagong. Tiap hari ada-ada saja yang memberi makan.

Tanpa disadari kebaikan tetangganya telah menumbuhkan watak tak baik kepada Bagong. Dia pikir kalau makanan itu tidak usah beli, asal mau minta pasti dikasih. Setelah besar pun Bagong selalu meminta makanan kepada orang-orang. Dan karena terbiasa kecukupan dari pemberian orang Bagong makannya sangat banyak. Semakin besar jatah makannya semakin banyak sampai orang-orang kewalahan.

Mereka sekarang menjadi berat menanggung makanan si Bagong. Banyak yang kemudian mengeluh, “Gong, Bagong! Apakah perutmu itu wadhuk beruk? Kok diisi makanan sebanyak apapun tidak penuh?”

Paribasan (47): Gondhelan poncoting tapih

Arti harfiahnya berpegang ujung kain perempuan. Maknanya adalah seorang lelaki yang hidup mengikuti istrinya.

Burhan sungguh beruntung. Meski bekas seorang pemabuk masih ada gadis yang mau menjadi istrinya. Sripeni, gadis tersebut baru saja ditinggal kekasihnya menikah dengan perempuan lain. Ia tak mau kalah dengan sang mantan. Dia juga segera menikah. Dan pilihannya jatuh pada Burhan. Pora penak jal?

Meski belum bekerja Sripeni tak terlalu risau. Yang penting Burhan sudah tidak mabuk lagi seperti dulu, waktu dia pertama kenal. Sripeni dahulu memang pernah menaruh hati pada Burhan, tetapi dia urungkan niatnya karena melihat Burhan yang kemana-mana membawa botol oplosan. Kini pujaan hatinya di masa lalu itu tampak sempurna baginya.

Burhan sendiri tampak tahu diri. Sudah payah dia keluar dari jerat narkoba, mabuk ganja dan oplosan. Kesediaan Sripeni menerimanya adalah berkah luarbiasa dalam hidupnya.

Lalu bagaimana pasangan itu memenuhi kebutuhan hidupnya? Oh, itu tak jadi soal. Sripeni adalah gadis yang ulet. Sejak muda dia telah merintis usaha warung makan ayam bakar. Burhan sekarang bekerja membantu istrinya mencari penghasilan dari warung itu. Pokoknya Burhan tinggal hooh saja kalau istrinya memberi perintah. Semua beres. ibaratnya Burhan sekarang gondhelan poncoting tapih pada istrinya itu.

Pora penak jal?

Paribasan (48): Rindhik asu ginitik

Arti harfiahnya adalah pelannya anjing dipukul. Maknanya adalah seorang yang cepat sekali menerima perintah, segera melaksanakan.

Gareng adalah anak  semata wayang dari Pak Broto, seorang juragan tembakau kaya di Birit. Meski sang ayah kaya raya Gareng selalu kesepian. Dia adalah anak tunggal yang tinggal di rumah gedung magrong-magrong.

Kesehariannya Gareng hanya main video game dan Facebook saja. Orang tua Gareng sampai pusing kepala. Bagaimana ya caranya agar si Gareng ini mau keluar rumah untuk main-main atau syukur-syukur membantu bapaknya di los tembakau.

Setelah diselidiki dengan seksama, Pak Broto menemukan fakta menarik. Ternyata Gareng punya gadis incaran yang membuatnya terkintil-kintil siang dan malam. Gadis itu bernama Siti Zulaikha, anak Kyai Kasan Besari dari tembayat. Tentiu saja Pak Broto tidak keberatan, wong anaknya cantik dan shalihah kok. Calon besannya juga pintar mengaji. Wis pokoke mantu ideal.

Maka Pak Broto menyerahkan salah satu los tembakaunya supaya dikelola Gareng. Maksudnya agar si Gareng ini mandiri dan punya penghasilan.

“Reng los tembakau yang di Bayat itu kau kelola ya. Ada tanaman 40 hektar di sana!”

“Ogah Pak!” kata Gareng singkat.

“Lho bagaimana to. Itu buat bekal kamu kalau kawin sama Zulaikhah tahun depan. Apa kamu mau menunda lagi? Bapak tidak akan melamarkan kalau kamu tak bisa cari uang sendiri!”

Gareng kaget, kok bapaknya tahu. Secepat kilat dia bangkit meninggalkan video gamenya.

“Kapan Pak saya berangkat ke Bayat?”

“Wah kamu Reng, kalau sudah ada maunya, ibarat rindhik asu ginitik! Tanpa disuruh langsung jalan! Hahahah…

Paribasan (49): Emprit abuntut bedhug

Arti harfiahnya adalah burung emprit berbuntut bedhug. Burung emprit adalah burung kecil yang suaranya tidak nyaring, bedhug adalah alat musik pukul yang suaranya keras. Makna paribasan ini adalah hal-hal kecil sekalipun apabila menjadi viral akan menimbulkan kehebohan.

Ki Agong adalah seorang demang yang sedang menjabat (inkamben) di kotaraja. Tahun depan masa jabatannya habis, tetapi dia sudah bertekad mencalonkan kembali. Persiapan menghadapi taun politik telah dia siapkan, salah satunya dengan berkeliling mencari massa.

Di sebuah resort tepi danau Rawa Jombor dia menyinggung tentang kompetitornya yang berasal dari rakyat biasa, Kyai Enis. Dasar Ki Agong suka bercanda, dia meledek saingannya.

“Enis itu bisa apa kok mau mencalonkan diri jadi demang. Mbok sudah jadi modin saja. Itu orang pekok dai kalangan gembel yang hanya bisa ngaji saja!”

Tak dinyana omongan yang berbau guyonan itu ada yang merekam. Mereka kemudian memposting rekaman di yutub dan diberi judul provokatif, “Gembel hanya bisa ngaji!”

Rekaman itu kemudian menjadi viral di medsos dan ditonton 7 laksa orang, dan marahlah mereka oleh perkataan demang bermulut ember itu.

Akibatnya di pemilihan demang Ki Agong keok, dan sebaliknya Kyai Enis menang telak. Begitulah kekuatan medsos, kicaun kecil bisa menjadi besar. Ibaratnya emprit abuntut bedhug.

Paribasan (50): Gajah ngidak rapah

Arti harfiahnya adalah gajah menginjak pembatas. Maknanya adalah orang yang berkuasa seringkali melanggat peraturan yang dia buat sendiri.

Ki Bekel Dadya Tinumbala jengkel. Hari ini dia dipanggil ke kademgangan untuk diberi pengarahan bahwa tahun ini rakyatnya tidak boleh menanam tembakau. Alasannya adalah komoditi tembakau sudah melimpah sejak tahun lalu sehingga dikhawatirkan harganya anjlog.

Semula Ki Bekel menganggap ide Ki Demang Agong sebagai langkah cerdas untuk memakmurkan masyarakat. Dengan mengatur supply and demand diharapkan harga akan terkontrol pada level aman. Sungguh ide brilian, pikir Ki Bekel.

Tapi ketika melewati wilayah Manisrengga dia kaget. Ada ribuan hektar petak sawah yang siap ditanami tembakau. Dia mencoba bertanya kepada pekerja itu siapa pemilik lahan tembakau itu. Dia mendapat jawaban yang membuatnya njondhil, sampai blangkonnya lepas.

“Ini milik Ndara Pur, anak Ki Demang Agong!”

Seketika dongkollah hati Ki Bekel. Tadi di Kademangan Demang Agong menyuruh rakyatnya tidak menaman tembakau. Sekarang kok anaknya sendiri malah menanam. Ini namanya gajah ngidah rapah. Tidak boleh seperti ini!”

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/23/paribasan-41-50-rupak-jagade/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...