Translate

Senin, 22 Juli 2024

Babad Mangir (6): Kyai Ageng Mangir Tewas

 Semua pembesar Mataram sudah berangkat dari Danalaya. Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari berada di depan. Pangeran Puger dan Pangeran Purubaya berada di dekat tandu Ratna Pembayun. Kyai Mangir berada di belakang tandu dengan dipayungi payung hijau. Lalu di barisan paling belakang Tumenggung Alap-Alap mengawal. Ki Dalang Sandiguna selalu mendampingi Ki Ageng Mangir dan mengajal bicara hal-hal yang menyenangkan.

Rombongan Kyai Ageng Mangir sudah masuk kota. Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari menempatkan prajurit di pos masing-masing, berjajar-jajar lima-lima barisan. Tombak-tombak dihunus dan dibawa tegak. Para prajurit berbaris rapat, bergolong-golong sesuai kesatuan mereka. Ada yang berbaju putih sehingga tampak seperti barisan burung kuntul. Ada yang berbaju merah seperti barisan gunung api terbakar. Perjalanan para prajurit urut menyambung seperti semut berbaris di atas batu.

Rombongan sudah sampai di Pamurakan. Gending kodok ngorek terdengar menyambut di pinggir alun-alun. Suasana meriah di seputar alun-alun. Kyai Ageng mangir sangat bersukacita mendapat sambutan yang di luar dugaan. Di Pamurakan telah menyambut Tumenggung Wiraguna.

Berkata Ki Wiraguna, “Nak Mangir, paduka akan menghadap Sang Raja di istana untuk menghaturkan bakti kepada Sang Raja sekaligus mertua. Aturan yang berlaku di keraton bila ada pembesar menghadap semua peralatan upacara ditinggal di luar.”

Kyai Ageng menuruti perkataan Tumenggung Wiraguna. Empat pangeran yang berada di Pancaniti segera melapor kepada Sang Raja. Sang Raja lalu memerintahkan kepada gandek untuk membawa Kyai Mangir menghadap ke dalam istana. Gandek bergegas menemui Kyai Ageng Mangir di Pamurakan.

Gandek berkata, “Tuan, paduka dipersilakan menghadap. Sang Raja sudah sangat rindu kepada tuan putri. Juga tak sabar lagi bertemu dengan paduka. Selama ini Sang Raja belum pernah mempunyai menantu seperti Anda. Jadi sangat-sangat Sang Raja mengharap kehadiran paduka.”

Sang putri Ratna Pembayun dijemput dengan tandu. Kyai Mangir mengikuti dengan berjalan kaki. Tombak Kyai Baru selalu berada di dekat Kyai Ageng, dibawa beberapa kerabat. Sampai di Pancaniti Ratna Pembayun turun dari tandu. Para pelayan wanita menyambut lalu membawa naik ke Sitinggil. Di pintu Brajanala Kyai Adipati Mandaraka menyambut sang cucu.

Dengan sedikit menahan air mata Ki Adipati berkata, “Duhai cucuku, tak mengira akan bertemu denganmu lagi. Aku telah mencarimu ke seluruh penjuru Mataram, tapi tak kunjung menemukanmu. Aku sempat mengira engkau sudah tewas. Kini hatiku lega engkau selamat tak kurang satu apa pun. Aku sangat berterimakasih kepada cucuku Ki Mangir. Andai bukan dia yang menemukan mustahil engkau dapat kembali ke Mataram.”

Ratna Pembayun memperkenalkan Ki Adipati kepada sang suami, “Kanda, sesepuh Mataram ini masih terhitung kakek saya, namanya Ki Adipati Mandaraka. Beliau yang memegang kendali seluruh Mataram. Ayahanda tidak mengetahui sebelum beliau mengetahuinya.”

Ratna Pembayun lalu sungkem kepada Ki Adipati Mandaraka, diikuti Kyai Ageng Mangir. Ki Adipati mengajak berbincang Kyai Ageng dengan ramah.

Berkata Ki Adipati Mandaraka, “Cucuku Mangir, aku menyarankan kepadamu. Karena engkau hendak sungkem kepada mertuamu yang sekaligus raja Mataram, maka harus patuh pada tatakrama yang berlaku di keraton. Seorang abdi bila sungkem kepada raja harus menanggalkan senjatanya. Maka sebaiknya semua senjatamu ditinggal di sini. Aku yang akan menjaganya.”

Kyai Ageng ketika mendengar perkataan Ki Adipati seketika ragu-ragu. Beberapa saat tak mampu berkata.

Kyai Ageng berpikir, “Tombakku Kyai Baru Kuping bisa berpisah denganku setelah putus leherku.”

Ratna Pembayun lalu membujuk sang suami agar mau meninggalkan tombak pusakanya.

Berkata sang ratna, “Duhai Kanda, jangan khawatir. Apa yang dikatakan Eyang Mandaraka memang benar. Itu sudah menjadi aturan di keraton. Kanda, kasihanilah saya. Bila Kanda membawa tombak nanti saya kena marah ayahanda. Bila ayah sudah tidak berkesan pada pertemuan pertama, tak urung kita dipisahkan. Saya merasa tak sanggup jika berpisah dengan Kanda. Saya berharap kita lestari berumah tangga sampai kaki-kaki nini-nini.”

Sang Ratna Pembayun berkata sambil meneteskan air mata, menghiba-hiba agar hati sang suami luluh. Hati Kyai Ageng merasa haru.

Kyai Ageng berpikir, “Aku juga tidak bisa berpisah dengan istriku. Kalau sampai aku berpisah dengannya tak urung diriku menemui ajal karena kesedihan. Lebih baik aku menurut kepadanya. Tidak mengapa membuat istriku tercinta senang hatinya.”

Sudah kehendak Tuhan, hati Kyai Ageng lulu oleh bujuk rayu sang istri. Hatinya sudah mantap pasrah kepada kemauan sang istri.

Kyai Ageng berkata kepada Ki Mandaraka, “Kyai, saya serahkan tombak saya kepada paduka.”

Ki Mandaraka menerima tombak Kyai Baru Kuping. Tidak lama kemudian keluar abdi keparak yang menyampaikan perintah Sang Raja.

“Paduka tuan putri dipanggil dulu menghadap Sang Raja,” kata abdi dalem keparak.

Ratna Pembayun bergegas masuk. Di dalam sudah menunggu Sang Raja duduk di batu datar didampingi para pangeran; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, Pangeran Adipati Anom, Pangeran Puger dan Pangeran Purubaya. Ketika Sang Raja melihat Ratna Pembayun didampingi Nyai Adisara, segera disuruh maju ke depan. Ratna Pembayun maju dan sungkem kepada sang ayah sambil menangis.

Sang Raja berkata, “Anakku, aku terima semua pekerjaanmu. Sudah engkau diamlah dan masuklah ke rumah belakang.”

Ratna Pembayun diantar Nyai Adisara ke belakang. Para istri dan selir ikut mengantarkan. Suasana di rumah belakang hujan tangis menyambut kedatangan Ratna Pembayun.

Sang Raja memberi isyarat agar Kyai Ageng Mangir dipanggil. Pangean Mangkubumi dan Pangeran Singasari lalu keluar.

Sesampai di luar keduanya menyampaikan perintah Sang Raja, “Hai anakku Mangir, engkau sudah diizinkan masuk ke kedaton.”

Ki Ageng Mangir menyatakan kesiapan. Dua pangeran lalu membawanya masuk. Sang Raja memberi isyarat agar Kyai Ageng meletakkan keris dan maju. Kyai Ageng meletakkan keris dan maju ke depan. Kyai Ageng bersiap mencium lutut Sang Raja yang sedang duduk di atas batu datar. Ketika kepala Kyai Ageng Mangir hampir menyentuh lutut seketika Sang Raja ingat kepada pembangkangannya dulu. Sang Raja ingat perkataan si Mangir yang selalu menantang beradu tombak. Mendadak amarah Sang Raja bangkit. Kepala Ki Mangir yang hampir menyentuh lutut dihindari. Tangan Sang Raja yang telah menyentuh kepala Kyai Mangir seketika membentukan kepala ke batu datar. Karena sangat kuatnya benturan sampai batu datar cuil tepinya. Seketika kepala Kyai Ageng Mangir pecah. Darah menyembur membasahi batu datar. Kyai Ageng Mangir tewas tanpa sempat mengaduh.

Sang Raja berdiri lalu berkata, “Sekarang sudah lega hatiku karena duri dalam negeri sudah sirna. Uruslah mayat si Mangir. Jangan sampai kematiannya terdengar para pengikutnya di luar.”

Jenazah Kyai Ageng Mangir lalu dipulasara dan dibawa keluar istana melalui pintu belakang. Hari sudah menjelang malam. Bulan purnama sudah terbit. Empat pangeran keluar menemui Adipati Mandaraka yang masih berjaga di pintu Kamandungan.

“Eyang Mandaraka, perintah ayahanda semua barang-barang dari Mangir dan tombak Kyai Baru Kuping diambil ke keraton karena cucu Anda belum diperkenankan keluar istana. Ayahanda masih rindu dan ingin mengajak santap bersama. Adapun para kerabatnya diminta untuk istirahat di rumah Anda,” kata para pangeran.

Adipati Mandaraka menyatakan kesiapan. Dalam hati sudah tanggap apa yang terjadi.

Adipati Mandaraka berkata kepada para kerabat Mangir yang membawa barang-barang, “Mana tombak Kyai Baru? Sang Raja ingin membawanya ke dalam keraton. Cucuku Mangir atas perintah Sang Raja masih akan tinggal di istana. Sang Raja masih rindu dengan sang putri dan suaminya.”

Tombak lalu diserahkan kepada Adipati Mandaraka. Oleh sang adipati tombak dibawa masuk dan diserahkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bersyukur karena kini bibit pemberontakan sudah dilenyapkan.

Adipati Mandaraka lalu kembali ke Kamandungan untuk membawa para kerabat Mangir ke kediaman beliau. Selama di Mandarakan mereka dijamu dan dimuliakan. Setiap hari jamuan dikeluarkan tanpa putus. Para kerabat Mangir selalu bersuka-suka dengan hiburan tayub. Mereka tidak mengira tuan mereka telah tewas. Setelah beberapa waktu mereka mendengar kabar bahwa tuan mereka telah tewas. Semula mereka hendak berbela mati kepada sang tuan. Namun akhirnya bisa dibujuk dengan cara halus. Akhirnya mereka memilih tunduk dan menyatakan kesetiaan terhadap Mataram. Bumi Mangir lalu diberikan kepada Adipati Mandaraka. Oleh sang adipati kemudian di bagi enam. Satu bagian tetap dikuasai Adipati Mandaraka. Satu bagian menjadi milik Adipati Martalaya, Adipati Jayasupanta, Tumenggung Bocor dan Saradipa. Satu bagian lagi menjadi bagian Tumengung Saradula. Semua yang mendapat tanah Mangir merasa bersukacita. Peristiwa takluknya Mangir ditandai dengan sengkalan tahun: tri boja tata bumi.

Sejak saat itu negeri Mataram semakin sejahtera. Panembahan Senapati lestari menjadi raja di Mataram hingga masyhur ke seluruh tanah Jawa. Negeri Mataram aman tenteran dan dihormati para raja dari mancanegara.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/20/babad-mangir-6-kyai-ageng-mangir-tewas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...