Translate

Jumat, 26 Juli 2024

Serat Rama Yasadipura (4): Sri Dasarata mangkat

 Pagi hari Prabu Dasarata tampil di hadapan para punggawa lengkap dengan peralatan upacara penobatan. Singgasana telah dihias asri dengan bunga-bunga semerbak. Asap dupa yang wangi turut membuat suasana sakral. Prabu Dasarata telah mempersilakan para adipati untuk mengambil posisi masing-masing. Sang putra Raden Ramabadra telah dipanggil menghadap dan dinobatkan sebagai raja baru Ayodya. Setelah acara penobatan acara dilanjutkan dengan santap bersama. Para adipati dan para punggawa serta para prajurit puas menikmati hidangan. Selesai acara penobatan Sri Dasarata kembali masuk ke pura.

Sementara itu di pura, Dewi Kekayi mendengar sang suami telah menyerahkan kekuasaan kepada sang putra Raden Ramabadra. Dewi Kekayi segera menghadap Sri Dasarata dan mengungkit janjinya dahulu. Dengan sedikit mencela perbuatan Sri Dasarata, Dewi Kekayi menuntut agar sang putra Raden Brata dinobatkan sebagai raja dan juga meminta agar Prabu Rama dibuang ke hutan. Mendengar permintaan sang istri Dewi Kekayi yang disertai mengungkit janji lama, Sri Dasarata lemas. Hatinya hancur tetapi tak bisa menolak karena kalah janji.

Dengan terbata-bata Sri Dasarata mengatakan kerepotan hatinya kepada Prabu Rama. Sang putra dengan sukarela menyerahkan tahta kembali. Juga terhadap permintaan agar dirinya dibuang ke hutan, Sri Rama tak keberatan. Dia maklum kalau dirinya masih berada di istana, Dewi Kekayi akan selalu khawatir kalau dirinya sewaktu-waktu merebut tahta dari tangan adiknya. Untuk itu Sri Rama merasa perlu menjaga hati sang ayah dan ibu. Bukan masalah besar bagi dirinya jika harus tinggal di hutan. Dengan legawa Sri Rama mohon pamit meninggalkan istana dan pergi ke hutan bersama sang istri. Salah satu adik ingin menyertainya, yakni Leksmana. Dia ingin selalu menemani sang kakak dalam keadaan apapun.

Sepeninggal Sri Rama dari negeri Ayodya, Sri Dasarata tenggelam dalam kekecewaan yang sangat. Beliau meninggalkan puri dan memilih hidup menyendiri di taman. Hatinya selalu sedih memikirkan penderitaan Sri Rama di hutan.

Kepergian Sri Rama ke hutan menimbulkan kesedihan bagi para punggawa di Ayodya. Para punggawa banyak menyusul ke hutan untuk membujuk Sri Rama agar mengurungkan niatnya. Namun Sri Rama meredakan kesedihan para punggawa.

“Hai para mantri dan punggawa Ayodya semuanya, jangan kalian bersedih karena kepergianku. Aku di sini juga atas perintah ayahku. Ayahkulah yang mendidikku hingga mengetaui segala sesuatu. Menjagaku sejak kecil sampai dewasa. Andai aku menolak perintahnya, akan menjadi manusia seperti apa aku jadinya? Kalian berkhidmatlah kepada Dinda Brata yang sekarang menjadi raja Ayodya. Juga sampaikan kepada ayah, jangan larut dalam kesedihan karena kepergianku. Serahkan semua kepada kehendak dewata.”

Meski sudah disuruh pulang ke Ayodya, para mantri tetap mengikuti dan menjaga Sri Rama. Pada malam hari ketika waktunya tidur, diam-diam Sri Rama mengajak istri dan adiknya sang Leksmana untuk menilapkan para mantri. Para mantri tak satupun yang menyadari karena tertidur pulas. Pagi hari para mantri kehilangan tuan mereka dan tak mampu menemukan. Dengan putus asa para mantri kembali pulang ke Ayodya.

Para mantri kemudian menghadap Sri Dasarata dan menyampaikan pesan Sri Rama. Namun bukannya hilang kesedihan Sri Dasarata, luka hatinya semakin menjadi-jadi. Sri Dasarata terjatuh karena kesedihan yang tak mampu ditahan lagi. Tidak lama Sri Dasarata mangkat. Seketika seisi pura Ayodya geger. Raja Barata yang mendengar kehebohan menjadi teriris hatinya. Dengan menahan amarah Raja Barata menjumpai sang ibu Dewi Kekayi dan mencelanya habis-habisan.

“Ibu, pengabdian ibu kepada ayahanda cacat karena hal ini. Sungguh bakti ibu kepada ayah akan mendatangkan pahala besar, tetapi hilang seketika karena ambisi ibu. Ibu juga bersalah karena tega menyingkirkan Kanda Rama dari istana dan sekarang harus hidup terlunta-lunta di hutan. Aku sungguh menjadi adik durhaka karena ulah ibu. Oh ibu, aku iri kepada Leksmana yang bisa menunjukkan bakti kepada saudara tua. Sedang bagiku, kesedihanku terasa bertumpuk. Dalam sesal aku harus menjadi raja Ayodya di atas penderitaan saudara tuaku. Bagaimana kelak aku akan mempertanggungjawabkan hidupku, ibu?”

Dewi Kekayi hanya tertunduk malu. Hatinya bersedih mendengar perkataan sang putra. Sungguh apa yang dia lakukan hanyalah untuk kemuliaan hidup sang putra kelak. Tak tahunya si anak justru mencelanya. Raja Barata sendiri tenggelam dalam penyesalan yang dalam. Ingin hatinya meninggalkan negeri dan menyusul sang kakak di hutan. Sekarang sang ayah sudah mangkat, semestinya bakti dialihkan kepada saudara tua sebagai ganti ayah. Namun apa yang terjadi kini sungguh memalukan. Barata mendapati dirinya sebagai saudara muda yang durhaka, menjadi raja di atas penderitaan sang kakak. Sesaat kemudian Barata tersadar dan melupakan kesedihan. Dia harus menjalankan kewajiban merawat jenazah sang ayah.

Upacara perabuan jenazah Sri Dasarata segera dipersiapkan. Pancaka telah didirikan. Barata memimpin upacara pembakaran jenazah dengan khidmat. Setelah selesai rangkaian upacara perabuan sang ayah, Barata bertekad memboyong kembali sang kakak Sri Rama ke Ayodya. Barata sendiri yang akan menjumpai sang kakak dan membujuknya agar bersedia kembali ke negeri Ayodya. Dengan mengendarai gajah Raja Barata masuk ke hutan mencari sang kakak. Namun sampai seharian Raja Barata belum menemukan yang dicari. Malam itu Raja Barata dan rombongan bermalam di hutan. Pagi hari pencarian sang kakak kembali dilanjutkan.

Di tengah pencarian Raja Barata menemukan sebuah telaga yang airnya sangat jernih. Dekat telaga itu terdapat sebuah pondokan. Ada seorang pendeta mulia yang tinggal di pondok itu. Sang pendeta kaget dan segera menyambut kedatangan Raja Barata. Para cantrik segera menyajikan buah-buahan dari Suralaya. Tampak para bidadari yang menyajikan jamuan itu. Raja Barata kaget dan terpesona. Malam itu Raja Barata memutuskan menginap semalam di padepokan sang pendeta. Raja Barata bertanya perihal keberadaan sang kakak kepada sang pendeta.

Sang pendeta berkata, “Raden Ramawijaya berada di sebelah selatan gunung ini. Ada sebuah gunung yang sangat asri, namanya gunung Kutharunggu. Dia sedang berguru kepada salah seorang pendeta agung yang tinggal di situ.”

Keesokan harinya Raja Barata berangkat menuju tempat yang ditunjukkan sang pendeta. Ketika rombongan Raja Barata sampai Raden Leksmana sedang berjaga di luar padepokan. Terdengar olehnya bunyi sekawanan kuda-kuda sedang mendekat. Mengira yang datang musuh, Leksmana bersiap. Setelah dekat Leksmana mengenali yang datang adalah pasukan negeri Ayodya. Leksmana segera melapor kepada sang kakak. Tidak lama kemudian Raja Barata sudah sampai. Dengan menangis Raja Barata sungkem di kaki Raden Ramawijaya.

“Duhai Kakanda, ayahanda sekarang sudah wafat. Kanda pulanglah dan menjadi raja di Ayodya. Saya akan serahkan tahta kepada Kanda dan rela menjadi pembantu Kanda,” pinta Raja Barata.

Orang-orang yang mendengar perkataan Raja Barata ikut bersedih. Raden Ramawijaya dan istri putri Mantili serta Raden Leksmana pun tak kuasa menahan air mata.

Berkata Raden Ramawijaya, “Duhai Dinda, sekarang engkau pulanglah ke Ayodya. Berdirilah engkau sebagai raja dan turutilah petunjukku. Jangan engkau khawatirkan keadaanku di sini. Karena aku di sini pun mematuhi perintah ayah kita. Engkau jadilah pelindung bagi keluarga kita di istana dan juga pengayom bagi seluruh rakyat Ayodya.”

Raja Barata berkata, “Kanda, bagaimana saya bisa hidup enak di istana, sementara paduka hidup terlunta-lunta di hutan? Sungguh diriku akan menanggung durhaka jika sampai melakukan itu. Padukalah yang lebih pantas menjadi raja di Ayodya. Paduka lebih cakap dan mumpuni.”

Raden Ramawijaya berkata, “Sudahlah Dinda jangan membantah. Ini juga perintah saudara tua. Jadilah engkau raja di Ayodya.”

Sang adik menyembah dan mengatakan lebih baik mati di hutan bersama sang kakak.

Raden Ramawijaya berkata, “Kalau engkau tidak mau Dinda, engkau telah durhaka kepada negeri Ayodya dan juga kepadaku. Engkau berani membantah perintah saudara tua.”

Raja Barata menyembah. Dengan sangat berat hati terpaksa memenuhi perintah sang kakak.

“Baiklah Kanda, aku patuhi segala perintah paduka. Saya menjadi raja di Ayodya adalah karena menjalankan perintah paduka,” kata Raja Barata dengan terisak.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/08/31/serat-rama-yasadipura-4-sri-dasarata-mangkat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...