Translate

Senin, 29 Juli 2024

Kajian Wulangreh (1:4): Amilih Sang Guru

 


Pupuh ke-1, pada (bait) ke 4, Dhandhanggula, Serat Wulangreh  karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

Nanging yen sira geguru kaki, 

amiliha manungsa kang nyata. 

Ingkang becik martabate, 

sarta kang wruh ing kukum.

Kang ngibadah lan kang wirangi. 

Sokur oleh wong tapa,

ingkang wus amungkul. 

Tan mikir pawewehing lyan.

Iku pantes sira guronana kaki. 

Sartane kawruhana.

 

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

 Tetapi jika engkau berguru, Nak.

Pilihlah manusia (guru) yang sebenarnya. 

Yang terjaga baik martabatnya,

serta yang memahami hukum.

Dan rajin beribadah dan menjaga diri.

Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa, yang tekun menjalani pertapaannya.

Tidak mengharapkan imbalan orang lain. 

Itu pantas engkau berguru padanya, Anakku. 

Serta (yang demikian itu) ketahuilah.

 

Kajian per kata:

 Nanging (tetapi) yen (kalau) sira (engkau) geguru (berguru) kaki (Nak), amiliha (pilihlah) manungsa (orang) kang (yang) nyata (benar). Tetapi jika engkau berguru Nak, pilihlah manusia (guru) yang sebenarnya.

Ini kelanjutan dari bait ke-3 yang menyarankan agar seseorang mencari guru ketika mengkaji kitab Al Quran (dan juga dalam hal ilmu-ilmu lain). Tetapi jangan asal mencari guru. Harus dipilih manusia (guru) yang bener- bener menguasai ilmu tersebut secara lahir batin, secara teori dan  praktek,


 

secara nalar dan keyakinan. Dalam serat ini disebut manungsa kang nyata, manusia yang sebenarnya.

Tentu mencari guru yang demikian sangatlah sulit, lebih-lebih di jaman ketika banyak orang mengaku pintar dan paling benar. Namun penggubah serat Wulangreh ini telah menyebutkan cici guru sejati tersebut, agar kita tak salah memilih panutan.

Ingkang (yang) becik (terjaga baik) martabate (martabatnya). Yang terjaga baik martabatnya.

Martabat adalah penghargaan orang lain kepada orang tersebut. Jika seseorang dihargai oleh orang lain, tetangga, teman dan orang yang mengenal sebagai orang baik, maka kemungkinan besar memang dia orang baik.

Memang ada kemungkinan seseorang baik hanya untuk pencitraan saja, terhadap hal ini kita mesti menilai dari keriteria lain lagi. Namun jika seseorang dianggap buruk oleh orang sekitarnya maka kemungkinan besar dia memang bukan orang baik. Maka yang pertama adalah mencari guru yang bermartabat baik, dan sesudah itu mesti dinilai dengan kriteria berikutnya.

Sarta   (serta)  kang   (yang)   wruh  (mengetahui)  ing   (perihal)   kukum

(hukum). Serta yang memahami hukum.

Kriteria kedua adalah; mencari orang yang mengerti hukum. Hukum di  sini berarti hukum-hukum agama, karena konteks perintah mencari guru di atas adalah soal pemahaman terhadap Al Quran. Namun juga bisa berarti hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat setempat, yang berupa peraturan, angger-angger (undang-undang) dan sebagainya.

Kang  (yang)  ngibadah  (menjalankan  ibadah)  lan  (dan)  kang    (yang)

ngirangi (mengurangi hawa).  Dan rajin beribadah dan menjaga diri.

Selain kedua hal di atas yang tak kalah penting adalah mencari guru yang tekun menjalankan ibadah, dan menjalankan laku mengurangi hawa nafsu. Kata wirangi dalam bahasa Jawa berasal dari kata Arab wira’i atau menjaga diri dan berhati-hati dalam segala hal. Sikap wira’i atau wara’ menghindarkan diri dari sikap ceroboh. Orang yang wara’ akan terhindar dari persoalan yang diakibatkan karena kurang hati-hati.


Dua hal ini, beribadah dan menjaga diri adalah satu paket yang sering disatukan oleh karena memang ada korelasi keduanya. Orang yang rajin beribadah pastilah tidak akan bertindak sembarangan, kecuali jika ibadahnya hanya lelamisan (pura-pura saja). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.

 

“Jadilah orang yang wara’ maka engkau menjadi sebaik-baik ahli ibadah.” (HR. Ibnu Majah).

Sukur (syukur-sykur) oleh (mendapatkan) wong (seorang) tapa (pertapa), ingkang (yang) wus (sudah) amungkul (tekun menjalani). Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa yang tekun menjalani pertapaannya.

Akan sangat beruntung jika selain kriteria yang sudah disebutkan tadi juga mendapatkan seorang pertapa yang sudah tekun menjalani pertapaannya. Kata mungkul berarti menunduk, artinya pandangannya sudah tak kemana- mana, tidak menoleh kiri-kanan, maknanya sudah tidak hirau dengan pujian atau celaan orang lain. Hanya memusatkan pandangan pada keyakinan yang sudah menetap di hatinya. Orang yang demikian tak gampang lagi dipengaruhi oleh bujuk rayu dan ancaman. Benar-benar orang yang sudah mantap dalam keyakinan dan amalannya.

Seorang pertapa yang tekun adalah seorang yang sudah menjauhkan diri dari kehidupan duniwi. Dia hanya fokus (mungkul) beribadah saja. Motivasi semua tindakannya semata-mata hanya mengabdi, beribadah kepada Sang Pencipta.

Tan (tidak) mikir (memikirkan) pawewehing (pemberian) liyan (orang lain). Dan tidak mengharapkan pemberian orang lain.

Orang yang demikian sudah tidak mengharapkan pemberian orang lain.  Dia melakukan sesuatu bukan sekedar mencari posisi, haus  kekuasan, ingin pujian, mementingkan golongan dan pribadinya. Perkataan dan perilakunya adalah refleksi kesadaran intelektualnya, bukan timbul dari ego yang liar, dan juga bukan atas pesanan sponsor atau yang bayar.

Iku (itu) pantes (pantas) sira (engkau) guronana (berguru) kaki (Nak). Itu pantas engkau berguru padanya, Anakku.


 Jika ada manusia dengan ciri-ciri di atas maka engkau pantas berguru padanya. Mencari ilmu memang bisa di mana saja, dari siapa saja, tetapi mencari guru adalah soal lain. Guru adalah orang tua kedua yang harus  kita turuti segala nasehatnya, kita berikan penghormatan dan bakti kita.

Dalam banyak budaya guru sama pentingnya dengan orang tua. Jika dari orang tua kita mendapatkan nasab berkaitan dengan darah/keturunan, dari guru kita mendapatkan nasab keilmuan. Bedanya kita tak dapat memilih dari orang tua mana kita dilahirkan. Akan tetapi terhadap guru kita harus melakukan itu. Maka memilih guru juga harus cermat, teliti dan hati-hati, bukan asal-asalan.

Sartane (serta) kawruhana (ketahuilah). Serta ketahuilah!

Yang demikianlah itu ketahuilah! Wahai anak-anak muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...