Pupuh ke-1, pada (bait) ke 4, Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Nanging yen sira geguru kaki,
amiliha manungsa kang nyata.
Ingkang becik martabate,
sarta kang wruh ing kukum.
Kang ngibadah lan kang wirangi.
Sokur oleh wong tapa,
ingkang wus amungkul.
Tan mikir pawewehing lyan.
Iku pantes sira guronana kaki.
Sartane kawruhana.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Pilihlah manusia (guru) yang sebenarnya.
Yang terjaga baik martabatnya,
serta yang memahami hukum.
Dan rajin beribadah dan menjaga diri.
Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa, yang tekun menjalani pertapaannya.
Tidak mengharapkan imbalan orang lain.
Itu pantas engkau berguru padanya, Anakku.
Serta (yang demikian itu) ketahuilah.
Kajian per kata:
Ini kelanjutan dari bait ke-3
yang menyarankan agar seseorang mencari guru ketika mengkaji kitab Al Quran
(dan juga dalam hal ilmu-ilmu lain). Tetapi jangan asal mencari guru. Harus
dipilih manusia (guru) yang bener- bener menguasai ilmu tersebut secara lahir
batin, secara teori dan praktek,
secara nalar dan keyakinan. Dalam serat ini disebut manungsa kang nyata, manusia yang sebenarnya.
Tentu mencari guru yang demikian sangatlah sulit, lebih-lebih di jaman
ketika banyak orang mengaku pintar dan paling benar. Namun penggubah serat
Wulangreh ini telah menyebutkan cici guru sejati tersebut, agar kita tak salah
memilih panutan.
Ingkang (yang) becik (terjaga baik) martabate
(martabatnya). Yang terjaga baik martabatnya.
Martabat adalah penghargaan orang lain kepada orang tersebut. Jika
seseorang dihargai oleh orang lain, tetangga, teman dan orang yang mengenal
sebagai orang baik, maka kemungkinan besar memang dia orang baik.
Memang ada kemungkinan
seseorang baik hanya untuk pencitraan saja, terhadap hal ini kita mesti menilai
dari keriteria lain lagi. Namun jika seseorang dianggap buruk oleh orang
sekitarnya maka kemungkinan besar dia memang bukan orang baik. Maka yang pertama
adalah mencari guru yang bermartabat baik, dan sesudah itu mesti dinilai dengan
kriteria berikutnya.
Sarta (serta) kang
(yang) wruh (mengetahui) ing (perihal) kukum
(hukum). Serta yang memahami hukum.
Kriteria kedua adalah; mencari
orang yang mengerti hukum. Hukum di sini
berarti hukum-hukum agama, karena konteks
perintah mencari guru di atas adalah
soal pemahaman terhadap Al Quran. Namun
juga bisa berarti hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat setempat,
yang berupa peraturan, angger-angger (undang-undang) dan sebagainya.
Kang (yang) ngibadah
(menjalankan ibadah) lan (dan) kang
(yang)
ngirangi (mengurangi hawa).
Dan rajin beribadah dan menjaga
diri.
Selain kedua hal di atas yang
tak kalah penting adalah mencari guru yang tekun menjalankan ibadah, dan
menjalankan laku mengurangi hawa nafsu. Kata wirangi dalam bahasa Jawa
berasal dari kata Arab wira’i atau
menjaga diri dan berhati-hati dalam segala hal. Sikap wira’i atau wara’ menghindarkan
diri dari sikap ceroboh. Orang yang wara’
akan terhindar dari persoalan yang diakibatkan karena kurang hati-hati.
Dua hal ini, beribadah dan menjaga diri adalah satu paket yang sering disatukan oleh karena memang ada korelasi keduanya. Orang yang rajin beribadah pastilah tidak akan bertindak sembarangan, kecuali jika ibadahnya hanya lelamisan (pura-pura saja). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.
“Jadilah orang yang wara’ maka
engkau menjadi sebaik-baik ahli ibadah.” (HR. Ibnu Majah).
Sukur (syukur-sykur) oleh (mendapatkan) wong (seorang)
tapa
(pertapa), ingkang (yang) wus (sudah) amungkul (tekun
menjalani). Syukur-syukur jika mendapatkan seorang pertapa yang tekun menjalani
pertapaannya.
Akan sangat beruntung jika
selain kriteria yang sudah disebutkan tadi juga mendapatkan seorang pertapa
yang sudah tekun menjalani pertapaannya. Kata mungkul berarti menunduk, artinya pandangannya sudah tak kemana-
mana, tidak menoleh kiri-kanan, maknanya sudah tidak hirau dengan pujian atau
celaan orang lain. Hanya memusatkan
pandangan pada keyakinan yang sudah menetap di hatinya. Orang yang demikian tak
gampang lagi dipengaruhi oleh bujuk
rayu dan ancaman. Benar-benar orang yang sudah mantap dalam keyakinan
dan amalannya.
Seorang pertapa yang tekun adalah seorang yang sudah menjauhkan diri dari
kehidupan duniwi. Dia hanya fokus (mungkul) beribadah saja. Motivasi semua
tindakannya semata-mata hanya mengabdi, beribadah kepada Sang Pencipta.
Tan (tidak) mikir (memikirkan) pawewehing
(pemberian) liyan (orang lain). Dan
tidak mengharapkan pemberian orang lain.
Orang yang demikian sudah tidak mengharapkan
pemberian orang lain. Dia melakukan sesuatu bukan sekedar
mencari posisi, haus kekuasan, ingin
pujian, mementingkan golongan dan
pribadinya. Perkataan dan perilakunya adalah refleksi kesadaran intelektualnya,
bukan timbul dari ego yang liar, dan juga bukan atas pesanan sponsor atau yang bayar.
Iku (itu) pantes (pantas) sira (engkau) guronana (berguru) kaki (Nak).
Itu pantas engkau berguru padanya,
Anakku.
Dalam banyak budaya guru sama pentingnya dengan orang tua. Jika dari orang tua kita mendapatkan nasab
berkaitan dengan darah/keturunan, dari guru kita mendapatkan nasab keilmuan.
Bedanya kita tak dapat memilih dari orang tua mana kita dilahirkan. Akan tetapi
terhadap guru kita harus melakukan itu. Maka memilih guru juga harus cermat,
teliti dan hati-hati, bukan asal-asalan.
Sartane (serta) kawruhana (ketahuilah). Serta ketahuilah!
Yang demikianlah itu ketahuilah! Wahai anak-anak
muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar