Translate

Senin, 22 Juli 2024

Babad Mangir (4): Kyai Ageng Mangir Berangkat Ke Mataram

 Singkat cerita Ratna Pembayun sudah mendapat jalan mudah masuk ke rumah Kyai Ageng Mangir. Pernikahan keduanya dirayakan dengan meriah. Ki Dalang Sandiguna menggelar pertunjukan lagi untuk meramaikan pesta pernikahan. Lakon yang diambil adalah Suwarga Bandhang, menceritakan Wara Srikandi saat sedang berada di negeri Alengka.

Setelah selesai acara pernikahan Kyai Ageng Mangir selalu merayu sang istri agar mau melayaninya di tempat tidur. Namun Ratna Pembayun tampak belum mau satu ranjang. Kyai Ageng merasa sangat kerepotan hatinya.

“Duh permata hatiku, apa gerangan yang membuat hatimu resah sehingga belum mau bercengkerama dengan kakanda? Apakah Dinda masih meragukan ketulusanku? Apakah Dinda belum sepenuhnya percaya padaku? Apakah ada keinginan Dinda yang belum aku penuhi? Katakan Dinda, agar hatimu tenang. Sekarang aku suamimu, tempat engkau mencari perlindungan, tempat engkau seharusnya merasa aman, tempat engkau seharusnya merasa tenteram. Jika dekat denganku justru membuatmu khawatir, suami macam apa aku ini?”

Ratna Pembayun berkata, “Kanda, bukan diri Kanda yang membuat dinda bersedih. Saya ingin mengatakan terus terang, tapi Kanda jangan kaget atau marah. Sebenarnya saya ini bukan anak Ki Dalang Sandiguna. Saya anak raja Mataram Panembahan Senapati. Saya pergi dari keraton karena dipaksa menikah. Saya tidak mau dan memilih pergi. Setelah pergi dari keraton saya hidup terlunta-lunta, lalu diambil anak oleh Ki Dalang. Sekarang saya bingung. Orang menikah itu seharusnya mendapat restu orang tua. Padahal orang tua saya tidak tahu keberadaan saya. Jika Kanda mau berjanji saya ajak menghadap ayah saya untuk minta restu kelak, pasti saya akan tunduk dan patuh apapun yang Kanda kehendaki. Jika Kanda tidak mau, saya juga tidak akan lestari menjadi istri Kanda. Saya takut menikah tanpa restu orang tua kandung.”

Setelah mendengar penuturan sang istri, Kyai Ageng Mangir merasa serba salah. Dulu selama beberapa generasi Mangir tidak mau tunduk ke kerajaan. Sejak zaman Pajang sampai sekarang zaman Mataram Mangir menolak untuk menyerahkan upeti. Hal ini pasti membuat raja tidak senang. Aku pasti sudah ditandai sebagai orang yang tidak patuh. Kalau aku sekarang menghadap ke Mataram apakah aku tidak dihukum atas pembangkangaku dulu? Tapi kalau aku meneruskan membangkang ke Mataram artinya aku harus rela kehilangan istri yang kucintai. Aku tidak rela.

Kyai Ageng bingung memutuskan langkah. Lama-lama Kyai Ageng berpikir, jika pernikahannya direstui Raja Mataram, pasti tidak ada masalah lagi. Bisanya direstuai kalau dirinya sanggup ngemong sang istri dengan baik. Setiap orang tua pasti selalu mendahulukan kebahagiaan anaknya. Jika si anak bahagia maka orang tua pasti timbul rasa kasih kepada menantu. Maka hal pertama yang harus dia lakukan adalah menyenangkan hati istrinya. Apa susahnya bagi dirinya melakukan itu. Kalau dulu dia bertekad akan melawan Raja Mataram, bahkan bila perlu beradu tombak. Tapi sekarang rasanya tidak perlu lagi karena telah menjadi keluarga.

Kyai Ageng Mangir berkata, “Duhai permata pujaan hatiku, bila benar katamu sungguh aku ini ibarat orang kejatuhan bulan. Sudah mendapat istri cantik, ternyata keturunan seorang raja pula. Aku merasa mendapat anugerah yang sangat besar. Sebagai rasa terima kasihku kepada Dinda yang telah sudi menemani hidupku, aku tak keberatan menuruti permintaan Dinda untuk menghadap ke Mataram untuk sungkem kepada ayahanda Panembahan Senapati.”

Wajah Ratna Pembayun seketika cerah ketika mendengar kesanggupan Kyai Ageng Mangir menghadap ke Mataram. Rasa sedih dan khawatir seketika sirna. Wajah Ratna Pembayun kini berseri-seri. Kyai Ageng Mangir tanggap. Segera meraih tangan sang istri dan menggendongnya ke peraduan. Apa yang dikehendaki Kyai Ageng sudah terlaksana. Hasrat hati telah tersalurkan pada tempatnya. Rasa capai di badan membuat Kyai Ageng tertidur pulas. Ratna Pembayun waspada. Pandangannya ia sapukan ke seluruh ruangan. Di pojok rumah terdapat sebuah tombak yang dibungkus kain indah. Itu pasti tombak Kyai Baru, pikir Ratna Pembayun. Pesan sang ayah segera dilaksanakan. Ratna Pembayun mengambil tombak itu dan membuka kain penutupnya. Tampak tombak Kyai Baru berdapur Baru Kuping. Dengan cekatan Ratna Pembayun melepas kain kemben. Ujung kain kemben lalu disabetkan ke ujung tombak tiga kali sambil membaca lafadz yang telah diajarkan oleh sang ayah. Tombak Kyai baru seolah bersuara menyalak seperti naga. Andai bisa bergerak seolah akan memakan Ratna Pembayun. Namun Ratna Pembayun sudah menguasai ilmu menawarkan segala tuah senjata dari sang ayah. Dengan tenang Ratna Pembayun meletakkan tombak kembali ke tempatnya. Misi Ratna Pembayun yang pertama sudah ia laksanakan, yakni mengurangi daya tuah tombak Kyai Baru. Ratna Pembayun lalu menyusul tidur di samping sang suami, seolah tak terjadi apa pun.”

Pagi hari kedua pengantin menuju tempat bersuci. Keduanya telah bergandeng tangan. Wajah Kyai Ageng Mangir tampak berseri, pun demikian juga dengan wajah Ratna Pembayun. Nyai Adisara tanggap bahwa misi Ratna Pembayun sudah berhasil. Pagi itu kedua pengantin tampak rukun, mereka bersantap bersama dilayani para nyai bekel. Setelah selesai bersantap Kyai Ageng berpamitan kepada sang istri hendak menemui Ki Dalang Sandiguna.

“Dinda, aku ingin berbincang dengan Kyai Sandiguna di pendapa,” kata Kyai Ageng.

“Silakan Kanda, saya hendak berberes di belakang,” kata Ratna Pembayun.

Kyai Ageng Mangir lalu memanggil Ki Dalang Sandiguna ke pendapa. Keduanya berbincang empat mata.

“Kanda Dalang, dulu Kanda mengatakan bahwa perempuan yang telah saya nikahi adalah anak Kanda sendiri. Sekarang kita sudah menjadi keluarga, katakan yang sebenarnya Kanda. Sebenarnya si Pembayun itu anak Kanda sendiri atau anak angkat?”

Dalang Sandiguna menduga bahwa Ratna Pembayun sudah berterus terang tentang jati dirinya. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan perihal jati diri Ratna Pembayun.

“Sebenarnya dia anak pungut saya, Kyai. Saya temukan sewaktu kami berjalan di hutan. Dia terlihat sedang bertapa. Keadaannya sangat memprihatinkan. Kami merasa kasihan dan membawanya. Saya tanya jatidirinya, dia tidak mengatakan terus terang. Dia hanya berkata bahwa orang tuanya orang jelata. Maka kami mengambilnya sebagai anak. Dia tidak keberatan.”

Kyai Ageng tersenyum dalam hati. Tampak Ki Dalang memang tidak tahu asal usul Pembayun.

Kyai Ageng Mangir berkata, “Kanda, ketahuilah, sekarang Pembayun sudah berterus terang. Sesungguhnya dia anak raja Mataram Panembahan Senapati.”

Dalang Sandiguna pura-pura kaget, sampai terlonjak dari tempat duduknya. Lalu mengangguk-angguk dan dengan suara terbata-bata mencoba memastikan, “Jadi gadis itu putra Kangjeng Senapati Mataram? Alangkah senang hati paduka, Kyai.”

Kyai Ageng memukul pahanya lalu berkata, “Benar Ki Dalang, benar, benar, benar.”

Dalang Sandiguna dan kawan-kawan merasa berbahagia karena selama ini mereka merawat tuan putri Mataram. Mereka berpikir akan mendapat berkah yang besar dengan perbuatannya itu.

“Yang menjadi keheranan saya, Ki Dalang, mengapa kalian tidak tahu,” kata Kyai Ageng Mangir.

“Benar, mengapa kami sampai tidak tahu bahwa dia tuan kami. Memang setiap kali saya tanya selalu menjawab bahwa dirinya anak orang desa yang miskin. Bila dahulu saya tahu, tentu tidak saya ambil anak angkat. Saya akan langsung membawanya ke sini, Kyai. Hanya selama ini saya perhatikan dia cantik dan sangat sopan, seperti bukan orang kebanyakan. Paduka sungguh beruntung Kyai. Seolah paduka mendapat permata sebesar gunung,” kata Ki Dalang Sandiguna.

Kyai Ageng Mangir menanggapi, “Anda katakan saya mendapat permata sebesar gunung? Sungguh bila dibanding permata sebesar enam gunung Merapi, masih lebih berharga dengan anugerah yang saya terima.”

Ki Sandiguna tersenyum dalam hati, sambil terus nginang untuk menyamarkan percakapan.

“Kyai Ageng berkata lagi, “Kanda Dalang, kalau kalian setuju saya akan menghadap ke Mataram untuk menyerahkan sang putri kepada Panembahan Senapati. Bila nanti saya diabdikan atau bahkan berkenan menganggap saya sebagai menantu, saya akan sungkem dan mencium kaki Sang Raja.”

Ki Dalang Sandiguna berkata, “Menurut pendapat saya Kyai, Sang Raja pasti suka mempunyai menantu seperti paduka. Seorang sakti yang sulit dicari padanannya di seluruh tanah Jawa. Karena saya pernah mendengar Sang Raja mencari menantu seorang yang perwira yang dapat menyelesaikan tugas-tugas negara.”

Kyai Ageng besar hati mendengar penuturan Ki Dalang Sandiguna. Kyai Ageng lalu memberi isyarat kepada pelayan agar mengeluarkan jamuan. Ki Sandiguna dan kawan-kawan lalu diajak santap bersama. Selama bersantap tak henti-henti Ki Sandiguna bercerita tentang Raja Mataram, dari pengalamannya selama mengabdi kepada Senapati Kediri dahulu. Bagaimana satu per satu negeri ditaklukkan oleh Mataram sampai ke wilayah timur. Ki Dalang sendiri pun juga berasal dari wilayah timur, yang ikut mengabdi ke Mataram.

Setelah selesai santap bersama, sisa makanan kemudian dibagikan kepada para abdi ke Mangir. Semua sudah mendapat bagian masing-masing.

Kyai Ageng berkata, “Ki Dalang, sebaiknya kita berangkat ke Mataram bersama-sama.”

Ki Dalang berkata, “Bila paduka hendak berangkat, saya siap mengantar bersama kawan-kawan.”

Kyai Ageng lalu memerintahkan para abdi di Mangir mempersiapkan segala sesuatu. Apa saja yang perlu dibawa dan siapa saja yang akan ikut serta. Ki Dalang Sandiguna menyuruh Ki Saradipa dan Ki Bocor untuk mendahului ke Mataram guna melapor kepada Panembahan Senapati. Alasan yang dikemukakan kepada Kyai Ageng, dua temannya itu disuruh melihat suasana kotaraja terlebih dahulu.

Pada hari yang ditentukan rombongan akan berangkat dari Mangir. Hasil bumi Mangir sebagai upeti telah dipersiapkan. Juga semua peralatan upacara Kyai Ageng serta. Kepergian Kyai Ageng ke Mataram akan dikawal sejumlah pemuda Mangir yang bersenjata tombak terhunus.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/18/babad-mangir-4-kyai-ageng-mangir-berangkat-ke-mataram/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...