Translate

Jumat, 26 Juli 2024

Serat Walisana (6) :

 Raden Patah dari Palembang mengabdi kepada Kangjeng Sunan Ampel

Di Palembang, putra tiri Arya Damar bawaan dari Majapahit yang dilahirkan sang istri Putri Cina sudah dewasa. Raden Patah[1] namanya. Arya Damar bermaksud lengser dan menyerahkan kekuasaan kepada Raden Patah.

Pada suatu hari pisowanan Arya Damar duduk di hadapan para punggawa Palembang. Dua putra sudah menghadap di depan, Raden Patah dan Raden Kusen. Keduanya adalah saudara satu ibu. Raden Kusen adalah putra kandung Arya Damar. Pada kesempatan itu Raden Patah ditanya tentang kesediaannya menerima jabatan dari sang ayah.

Berkata Arya Damar, “Duhai anakku. Sekarang engkau sudah dewasa. Gantikan aku sebagai penguasa negeri Palembang. Adikmu Kusen jadikan sebagai patihmu. Tentu akan kuat negeri Palembang. Aku sudah tua dan ingin menghabiskan waktu sebagai begawan, mendoakan keselamatan negeri. Bila engkau masih ragu aku masih ikut menjaga selalu keselamatan negeri.”

Raden Patah lama terdiam tak mampu menjawab. Merasa belum mampu menggantikan kedudukan sang ayah. Masih kurang pengalaman dan kemampuan. Bila memaksakan diri menjadi raja di Palembang tentu akan menggelikan. Maka dengan berterus terang Raden Patah menyatakan belum bersedia menggantikan sang ayah. Karena masih ingin mempelajari segala hal tentang pemerintahan. Dia merasa khawatir bila nanti justru akan berbuat memalukan.

Arya Damar berkata, “Mudah bila sudah dijalani. Bagaimana watak dan kebijakan seorang raja, aku yang akan membimbing. Bagaimana cara menjadi raja dan membuat sejahtera negeri, bagaimana mengatur keuangan negara, bagaimana memperhatikan kebutuhan para kawula, bagaimana mencapai kemajuan, serta bagaimana menegakkan keadilan.”

Raden Patah berkata, “Kelak hanya akan mengulang pekerjaan bila hamba tak mampu melaksanakan. Menjadi raja mengatur para prajurit, dipercaya siang dan malam, sungguh banyak kerepotan. Kalau tidak mampu hanya akan menjadi celaan bagi sesama. Raja yang buta tanpa pengetahuan ibarat hanya tonggak yang diam diberi pakaian. Maka hamba belum bersedia menggantikan kedudukan paduka. Mohon maafkan putra paduka.”

Arya Damar tertegun mendengar keteguhan hati sang putra. Para punggawa membujuk agar Raden Patah bersedia menuruti permintaan sang ayah, sungguh akan baik yang ditemui. Semua punggawa sepakat satu kata akan mendukung dan tak akan mengingkari bila Raden Patah menjadi raja mereka.

Raden Patah hanya terdiam tak berkata-kata. Semua perkataan para punggawa tak satupun yang menarik hatinya. Ketika itu sang ibu Putri China Retna Subanci mendengar bahwa sang putra menolak menggantikan sang ayah. Dengan bergegas sang ibu turun ke balai pertemuan untuk menasihati sang putra.

“Duhai anakku, turutilah kehendak ayahandamu. Kalau engkau menolak, siapa lagi yang aku pandang selain dirimu. Aku dan ayahmu merasa sudah tua. Sepantasnya digantikan oleh yang muda. Maka anakku, terimalah jabatan ini, dan hiduplah mulia menguasai tanah Palembang,” bujuk ibu Retna Subanci kepada sang putra.

Raden Patah tak luluh oleh bujukan sang ibu. Apa yang sang ibu sampaikan tak menyentuh hatinya.

Arya Damar berkata, “Sudahlah Dinda, biarkah dulu putramu berpikir. Mungkin belum tergugah hatinya.”

Pertemuan hari itu bubar tanpa ada keputusan. Arya Damar sekalian istri masuk ke puri. Raden Patah kembali ke kediamannya. Sepanjang malam hatinya gundah gulana. Kalau saja masih tinggal di dalam puri pasti selalu datang bujuk rayu untuk menerima perintah sang ayah. Raden Patah memutuskan untuk pergi keluar dari puri Palembang. Dengan menilapkan sang adik Raden Kusen. Sang adik disuruh menghadap ayah dan ibu. Ketika sang adik tidak ada Raden Patah keluar secara diam-diam. Kepergiannya menyimpang jalan sehingga tak diketahui oleh seorang pun. Berjalan sendirian Raden Patah menuruti kemantapan hatinya, terus berjalan ke arah utara tanpa menoleh.

Sementara itu Raden Kusen sekembalinya dari menghadap sang ayah hatinya merasa tidak enak. Lalu masuk ke kediaman sang kakak. Raden Kusen tidak menemukan sang kakak, maka dia berpikir bahwa kakaknya telah pergi dari puri.

Raden Kusen tahu bahwa kepergian sang kakak akibat hendak disuruh menggantikan sang ayah sebagai raja Palembang. Setelah kepergian sang kakak pasti dirinya yang akan diberi perintah untuk menggantikan sang ayah. Sungguh tidak elok kalau dirinya menerima. Sedang sang kakak yang lebih tua merasa belum mampu, maka bagaimana dirinya akan menerima tanggung jawab itu. Sungguh tak pantas bila saudara muda hidup mulia sebagai raja, sedangkan sang kakak hidup terlunta-lunta di luar sana. Maka setelah menimbang-himbang Raden Kusen memutuskan menyusul sang kakak pergi dari istana Palembang.

Setelah berjalan beberapa lama Raden Kusen melihat ada seseorang berjalan sendirian di tempat sepi. Raden Kusen yakin itulah sang kakak yang dia cari. Raden Kusen menyeru, sang pejalan kaki menoleh. Raden Patah yang kaget melihat sang adik telah menyusulnya kemudian berhenti di bawah sebuah pohon. Setelah bertemu keduanya duduk berbincang.

Berkata Raden Patah, “Apakah engkau disuruh ayah untuk menyusulku?”

Raden Kusen menjawab, “Saya menyusul atas kehendak sendiri, karena tak bisa kakak tinggalkan sendirian. Sekarang saya ingin ikut ke manapun kakak pergi.”

Raden Patah memeluk sang adik sambil menangis, “Duh adikku, aku sangat berhutang kasih sayang kepadamu. Semoga rasa kasihmu bisa menjadi semangatku dalam berkelana. Sekarang engkau kembalilah segera. Hiduplah mulia menggantikan ayah sebagai raja Palembang. Aku mendukungmu, janganlah ragu-ragu. Jangan memikirkan kepergianku.”

Sang adik mencium kaki Raden Patah. Sambil tersedu sedan Raden Kusen berkata terbata-bata, “Duh kakanda, saya tidak bisa menjalani perintah paduka. Saya hanya ingin mengikuti ke manapan kanda pergi. Mati atau hidup saya tak mau ditinggal.”

Sang kakak berkata pelan, “Syukurlah kalau begitu dinda. Aku sekarang hendak pergi menuruti keinginan hati. Walau harus mengitari dunia jangan lagi kita berpisah.”

Kedua saudara kemudian melanjutkan perjalanan di malam gelap. Pagi harinya warga penghuni istana Palembang heboh. Mereka kehilangan dua putra raja yang meloloskan diri di malam buta. Segera mereka mengubres seisi istana, tetapi tak menemukan yang mereka cari. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan di seluruh istana, tak ada pagar yang retak, tetapi kedua raden hilang lenyap. Ayah dan ibu mereka sangat bersedih, sesaat tak mampu bicara sepatah kata pun. Sesaat kemudian Raden Arya Damar memerintahkan kepada para prajurit untuk mencari ke mana pun perginya kedua putra. Para prajurit berpencar ke empat arah, ke selatan, ke barat, ke timur dan ke utara. Namun para prajurit yang mencari pulang tanpa hasil. Jejaknya pun tak ada beritanya. Setelah berhari-hari pencarian tak kunjung mendapat titik terang adipati Palembang Arya Damar pasrah atas takdir yang menimpanya.

Sementara itu kedua kakak beradik dari Palembang telah sampai di pesisir utara. Di tepi pantai mereka terlihat ragu-ragu melihat luasnya lautan. Tak berapa lama dari arah barat datang seorang pejalan kaki yang tampan dan masih muda berjalan sendirian. Kedua raden lalu mendekati si pejalan kaki dan berkenalan. Mereka kemudian duduk berbincang.

Radèn Patah bertanya, “Wahai saudara, maafkan jika kami lancang bertanya. Siapakah Anda, dari mana dan hendak ke mana?”

Pemuda yang baru datang menjawab, “Saya dari Malaka. Nama saya Syekh Sabil, putra dari Khalifah Kusen, putra dari Syekh Ishaq. Mereka semua sudah pernah ke Jawa. Adapun ibu saya adalah putri Arya Baribin dari Madura. Tujuan saya berkelana adalah hendak mengabdi kepada Prabu Brawijaya raja Majapahit. Sekalian belajar tatakrama dan menengok saudara yang berada di Jawa. Sebaliknya Anda berdua siapa namanya dan hendak ke mana?”

Raden Patah mengenalkan diri dan menceritakan tujuannya berkelana. Syekh Sabil ketika mendengar merasa suka hati. Terlihat olehnya bahwa kedua raden tampak ingin bergabung dengannya. Raden Kusen lalu berkata kepada sang kakak agar ikut saja ke tanah Jawa untuk mengabdi kepada raja Majapahit. Raden Patah menyetujui. Ketiga orang besar itu sepakat untuk bersama-sama pergi ke tanah Jawa.

Ketiga pemuda tersebut kemudian mencari nakoda yang berlayar ke Jawa untuk ikut menumpang. Di tepi pantai mereka menunggu kapal lewat. Namun sampai beberapa lama tak kunjung ada kapal yang bersandar. Sambil menunggu mereka berenang di muara. Tiba-tiba ada dua orang mendekati mereka, namanya Supali dan Supala. Dua orang tadi pekerjaannya menjadi begal. Mereka sangat berani dan sakti. Pernah keduanya melawan orang yang jumlahnya satu banding seratus. Selain menjadi begal keduanya juga sering berjudi, sampai-sampai pernah mempertaruhkan sampai habis harta, rumah dan istrinya. Kedua orang tadi bermaksud merampok ketiga pemuda tadi.

Raden Patah bersiap melawan kedua begal. Raden Kusen dan Syekh Sabil disuruh minggir dulu. Kedua begal menerjang, Raden Patah. Raden Patah berhasil menghindar dan membuat kedua begal terjerembab. Mereka kemudian bangun dan menarik keris. Berkali-kali mereka menusuk Raden Patah, tetapi tak satupun yang mengenai. Seperti hanya menusuk bayangan saja. Lalu keris mereka terlepas dan badannya terjatuh lemas. Mereka mengaduh memohon ampun. Raden Patih mengheningkan cipta. Seketika datang angin ribut yang menerbangkan kedua begal tersebut ke rumahnya masing-masing.

Raden Patah memanggil sang adik. Raden Kusen tergopoh-gopoh mendekat bersama Syekh Sabil. Keduanya menangis terharu, tak mengira akan selamat.

Raden Patah berkata, “Karena kasih sayang Tuhan kita masih dijaga.”

Ketiganya mengucap syukur telah diberi keselamatan. Setelah beristirahat secukupnya ketiganya meneruskan perjalanan. Sambil menunggu kedatangan kapal mereka berhenti di atas bukit Rasamuka. Di atas bukit mereka bermujahadah, membersihkan hati, memohon agar keinginan mereka dikabulkan Tuhan.

Tiga bulan kemudian permohonan mereka mendapat tanggapan. Ada seorang nakoda yang melakukan pelayaran dari Bangkahulu hendak menuju ke tanah Jawa. Sesampai di pesisir Palembang kapal mereka mendapat musibah, kapal tak dapat bergerak. Sang nakoda memeras akal untuk mengatasi keadaan macetnya kapal. Dia kemudian melihat di bukit Rasamuka ada tiga orang yang bertapa di situ. Nakoda berpikir barangkali mereka dapat membantu. Siapa tahu mereka adalah pendeta besar yang dapat mangatasi macetnya si kapal. Si nakoda kemudian menemui tiga orang tersebut dan sungkem dengan merendahkan diri. Seketika kapal bergerak dan berhenti di dekat bukit. Si nakoda sangat bersukahati.

Berkata si nakoda, “Duhai anak muda yang sedang bertapa, bila berkenan mengambil sesuatu dari kapal, emas atau perhiasan saya persilakan.”

Ketiga orang besar itu menjawab, “Wahai saudara, keinginanmu untuk berderma sangat aku hargai. Namun jangan kecewa, simpanlah untukmu sendiri semua harta benda itu karena kami tidak inginkan. Kami hanya ingin numpang kapalmu, sampaikan ke tanah Jawa.”

Nakoda sangat gembira mendengar permintaan ketiga orang besar itu. Dengan senang hati nakoda bersedia mengantar ketiganya ke pulau Jawa. Ketiganya lalu naik sekoci dan tak lama kemudian berlayar dengan kapal. Perjalanan mereka lancar karena mendapat angin kencang. Tak lama mereka telah sampai di pelabuhan Surabaya. Kapal membuang jangkar, tiga pembesar dari Palembang segera turun. Si nakoda mendoakan keselamatan ketiganya, lalu kembali berlayar.

Ketiga pembesar dari Palembang kemudian sampai di pesantren Sunan Ampeldenta. Mereka terkesan dengan suasana yang asri, santri-santri ramai melantunkan dzikir, tilawah, shalawat dan syairan. Hati Raden Patah terpesona sehingga timbul keinginan untuk berguru kepada yang empunya pesantren. Raden Patah bermaksud mengurungkan niat semula mengabdi ke Majapahit. Namun sang adik tampak kurang suka. Dan juga teman mereka Syekh Sabil bersikeras mengabdi kepada raja Majapahit. Ketiganya lalu memutuskan untuk berpisah jalan. Raden Patah hendak berguru di Ampeldenta, sedangkan sang adik dan Syekh Sabil meneruskan perjalanan menuju Majapahit.

Raden Patah lalu masuk ke pondok dan menemui lurah santri yang bernama Alim Abdullah. Setelah saling mengucap salam Raden Patah ditanya asal dan tujuannya. Raden Patah mengatakan apa adanya bahwa dirinya berasal dari Palembang, putra Arya Damar dan menyatakan ingin mengabdi kepada Susuhunan Katib di Ampeldenta. Alim Abdullah segera melapor kepada Kangjeng Sunan Ampel bahwa ada seorang pemuda hendak mengabdi. Asalnya dari Palembang, namanya Raden Patah, putra Adipati Arya Damar.

Sunan Ampel merasa suka hati. Teringat bahwa dulu pernah singgah di kediaman Arya Damar dan memberi nama seorang anaknya yang baru lahir dengan nama yang sama dengan yang dikatakan Alim Abdullah. Kangjeng Sunan menyuruh Alim Abdullah segera membawa Raden Patah menghadap. Yang disuruh segera melaksanakan perintah. Tak lama kemudian Alim Abdullah kembali dengan membawa Raden Patah.

Raden Patah mendekat dan mencium kaki Kangjeng Sunan, lalu mereka duduk nyaman. Dupa wangi disulut untuk menyambut kedatangan sang tamu. Baunya semerbak membangkitkan kesan hening. Kangjeng Sunan Ampel merasa terkesan melihat Raden Patah. Wajahnya tampan dan tenang. Raden pun terlihat segan melihat Sunan Ampel yang berwibawa dan mengesankan.

Kangjeng Sunan menanyakan kabar ayah Raden Patah di Palembang. Raden Patah menjawab bahwa sang ayah selamat sejahtera di Palembang.

Berkata lagi Kangjeng Sunan, “Kedatanganmu di Ampeldenta apa disuruh ayahmu, mengapa engkau datang sendirian tanpa teman?”

Yang ditanya menjawab, “Hamba datang atas keinginan sendiri.”

Raden Patah lalu menceritakan awal mula dirinya lolos dari negeri Palembang serta perjalanannya hingga sampai di Ampeldenta. Juga keinginannya untuk mengabdi di pesantren Ampeldenta. Kangjeng Sunan heran mendengar keinginan Raden Patah tersebut.

Berkata Kangjeng Sunan, “Apakah pantas engkau hidup bersama santri miskin. Pengetahuan mereka dangkal, jauh dari hidup enak, mereka hanya gembira di hari Jum’at karena mendapat sedekah. Beda dengan mengabdi di kerajaan menjadi perwira. Bergaul bersama orang yang bertatakrama dan hidup berkecukupan.”

Raden Patah berkata, “Yang demikian itu sudah saya niatkan, karena dorongan hati untuk tekun beribadah mengikuti jalan para nabi. Walau hanya sekedar ikut-ikutan, bila diperkenankan, ingin hidup menurut cara santri.

Kangjeng Sunan Ampel berkata, “Kalau demikian syukurlah. Bila mau belajar hidup susah dalam derita, barangkali akan menjadi jalan kelak engkau mendapat kemuliaan. Mengharap kehidupan yang beruntung itu tidaklah keliru. Keinginanmu aku izinkan. Jadikan ini sebagai jalan mulia yang diridhoi Tuhan. Aku ikut membimbing langkahmu.”

Raden Patah merasa tenteram hatinya. Semakin besar rasa hormatnya kepada Kangjeng Sunan. Seketika maju dan mencium kaki Sunan Ampel.

Raden Patah berkata, “Duh paduka guru agung, hamba sekedar menjalani seberapa yang diizinkan hamba peroleh dari anugerah besar ini.”

Kangjeng Sunan berkta, “Bersungguh-sungguhlah, jangan terlena dan mengabaikan dalam menuntut pengetahuan agama.”

Raden Patah berkeras menempuh jalan agama mulia, Kangjeng Sunan sangat bersukacita. Siang malam Raden Patah diberi pengajaran dan bimbingan. Tak boleh jauh dari Sunan, sudah dianggap seperti putra sendiri. Hari-hari Raden Patah di Ampeldenta dilalui seperti di rumah sendiri.


[1] Raden Patah adalah putra Arya Damar yang dulu dikunjungi oleh tiga pangeran Cempa. Meski lahir di Palembang sebenarnya Raden Patah bukan putra Arya Damar. Ibu Raden Patah Putri Cina Dyah Subanci sebelumnya adalah istri raja Majapahit dan diberikan sebagai putri triman kepada Arya Damar sudah dalam keadaan mengandung. Setelah kelahiran Raden Patah Putri Cina kembali mengandung dari hasil perkawinannya dengan Arya Damar dan melahirkan seorang putra  bernama Raden Kusen.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/09/serat-walisana-6-raden-patah-dari-palembang-mengabdi-kepada-kangjeng-sunan-ampel/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...