Translate

Senin, 22 Juli 2024

Babad Mangir (3): Ratna Pembayun Sampai di Desa Mangir

  Alkisah, perjalanan Raden Ajeng Pembayun dan para punggawa Mataram sudah sampai di Sawodadi. Sepanjang jalan Raden Ajeng Pembayun selalu menitikkan air mata karena perjalanannya sebagai rakyat jelata sungguh sengsara. Harus berjalan kaki di tengah panas terik matahari dengan kaki telanjang. Basah oleh keringat yang menetes dari sekujur badan. Namun meski berpakaian ala orang desa kecantikan Raden Ajeng Pembayun tak pudar, bahkan semakin tambah bersinar. Kecantikan yang alami bukan oleh tebalnya riasan dan bedak.

Karena sanga kelelahan sang ratna berhenti dan berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Kaki diselonjorkan untuk melepas penat, layaknya para gadis yang kelelahan setelah bersawah. Di bawah pohon rindang suasana sejuk dan teduh. Suara kicau burung terdengar berirama membuat derita hati sang ratna sedikit terobati.

Raden Ajeng Pembayun berkata kepada Nyai Adisara, “Nyai pijitlah kakiku, pegal-pegal terasa mau patah.”

Nyai Adisara bergegas memijit kaki Raden Ajeng Pembayun. Sambil memijit Nyai Adisara berdendang agar hati sang putri tenang. Agar hilang rasa khawatir sehingga penyamaran berjalan lancar. Ki Dalang Sandiguna tersenyum, lalu larut mengikuti irama senandung Nyai Adisara.

Ki Sandiguna mendendangkan kidung:

“Duh, Tuhan Yang Maha Mulia,
Yang bersifat Sami’an Bashira,
Sungguh tak terlewat,
Solah tingkah para hamba,
Saya memohon, ya Allah,
Semoga memberi selamat,
Selamat badan ini,
Lestari mengabdi kepada raja,
Diberi kemudahan semua yang dituju.”

Teman Ki Dalang yang bernama Sandisasmita menyambung:

“Duh Nabi hamba yang mulia,
Yang mengajarkan syari’at,
Yang menjabarkan semua ilmu,
Melindungi jagag raya,
Mematuhi kuasa Allah,
Serta menguasai kodrat iradat,
Mengakui yang satu,
Hamba meminta belas kasih,
Agar perjalanan hamba selamat,
Dan untuk tuan rajaku,
Semoga yang dikehendaki tercapai.”

Para punggawa yang menyamar saling sahut mendendangkan kidung. Sudah mirip dengan rombongan seniman sungguhan perilaku para punggawa yang menyamar. Setelah reda rasa lelah, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Sangat kerepotan mereka berjalan. Lebih-lebih Ratna Pembayun yang tidak terbiasa berjalan jauh. Sebentar-sebenter mereka berhenti. Pada setiap pemberhentian banyak orang-orang menonton. Pada suatu hari di persinggahan ada seorang penduduk yang meminta mereka pentas. Lambat lambut menjadi masyhur ada dalang yang menawarkan jasa pertunjukkan wayang keliling, namanya Dalang Sandiguna. Pada suatu hari ada seorang penduduk desa Mlarang yang mengundang Dalang Sandiguna untuk pentas di rumahnya.

“Bila Kisanak berkenan, sudilah menginap di rumah kami. Sekalian kami ingin minta Kisanak pentas wayang semalan suntuk untuk acara bersih desa,” kata orang itu.

Dalang Sandiguna menjawab, “Kanda, saya tidak keberatan. Di mana rumah Kanda dan siapa nama Anda?”

“Kami dari Desa Mlarang, Ki Dalang dapat memanggil saya Darpawangsa,” kata orang itu.

Dalang Sandiguna mengikuti Ki Darpawangsa ke desa Mlarang. Sudah terlaksana Dalang Sandiguna dan rombongan pentas semalam suntuk. Banyak penduduk Mlarang yang menonton. Mereka sangat terkesan dengan pertunjukan wayang yang dibawakan Dalang Sandiguna. Selang semalan ada lagi orang yang meminta Ki Dalang pentas. Sampai beberapa hari di Mlarang telah beberapa kali Ki Sandiguna mendapat permintaan pentas. Nama Ki Dalang makin masyhur. Orang-orang mengatakan Ki Dalang mempunyai istri dan seorang anak gadis yang cantik, melebihi sesama gadis desa.

Berita kemasyuhuran Ki Dalang Sandiguna terdengar sampai ke Mangir. Ki Ageng Wanabaya merasa tertarik dengan berita yang mengatakan Ki Dalang mempunyai anak gadis yang cantik. Dasar memang sudah lama ingin mempunyai istri, tapi belum ada gadis yang menarik hatinya. Kali ini Kyai Ageng berharap menemukan jodoh. Ki Dalang sudah dipanggil menghadap di Mangir. Ki Ageng menyambut rombongan Ki Sandiguna dengan ramah.

Berkata Kyai Ageng Wanabaya, “Kanda Dalang, nama Anda siapa dan dari mana asalnya?”

Ki Dalang berkata dengan sopan, “Nama saya bila Anda berkenan menyebut adalah Sandiguna. Asal dari Kediri. Dulu abdi Raden Adipati Senapati bupati Kediri. Lalu Raden Adipati mengabdi ke Mataram, saya pun ikut serta. Setelah Raden Adipati gugur dalam perang melawan sang paman Adipati Pasagi, saya lalu memohon kepada Raja Mataram Panembahan Senapati agar diperkenankan mengabdi. Namun Sang Raja tidak berkenan menerima kami. Saya disuruh pulang ke Kediri. Karena situasi di Kediri kurang aman bagi kami bekas abdi Raden Adipati, maka kami tidak berani pulang. Selain itu kami juga tidak punya bekal untuk menempuh perjalanan sejauh itu. Oleh karena itu kami sekeluarga memutuskan mengamen keliling, berharap ada orang yang minta kami pentas. Kyai, nasib kami sungguh terlunta-lunta akibat tidak punya tuan tempat mengabdi.”

Kyai Ageng merasa kasihan mendengar penuturan Ki Sandiguna, sampai-sampai hampir meneteskan air mata.

Kyai Ageng berkata, “Kanda, saya minta Kanda juga pentas di rumah saya.”

Dalang Sandiguna menjawab, “Kami siap melaksanakan permintaan Kyai.”

Malam harinya Ki Dalang Sandiguna dan rombongan melakukan pentas. Nyai Adisara memegang gender, Ratna Pembayun duduk di belakang Ki Dalang, seperti layaknya anak dalang yang mengikuti ayahnya. Bertindak sebagai penabuh kempul adalah Ki Sanduupaya. Ki Saradipa memegang kendang. Sebelum Ki Sandiguna pentas, Ki Sandisasmita membuka pertunjukan, lalu kemudian memegang suling merangkap rebab. Ki Saraduta memegang kenong. Pertunjukan dibuka dengan menabuh gending Gambirsawit dengan laras pathet sanga. Alunan musih terdengar meriah dan enak didengar. Setelah selesai gending Gambirsawit, Ki Dalang Sandiguna memulai pertunjukan dengan lakon Pakukuhan. Suluk Ki Dalang nyaring, terdengar mantap suaranya, alur ceritanya runtut dan Ki Dalang sangat terampil memainkan anak wayang. Para penabuh gamelan juga piawai mengiringi Ki Dalang.

Selama pertunjukan berlangsung banyak penduduk Mangir yang melihat. Mereka memuji kecakapan Ki Dalang dalam memainkan anak wayang. Dalam sanggit, antawecana dan serasinya irama gending Ki Dalang sangat mumpuni. Mereka mengagumi kecantikan putri Ki Dalang. Meski berpakaian sederhana, kecantikannya bersinar seperti bulan purnama. Selama pertunjukkan Ki Ageng Mangir Wanabaya tak henti-henti memandang putri Ki Dalang. Kyai Ageng terpesona oleh seraut wajah manis dan perilaku yang luwes serba menarik hati. Jika bicara si gadis suaranya renyah memikat hati. Jika tersenyum seketika membuat terang dunia. Tak bosan-bosan Kyai Ageng memandang si pembuat gandrung. Tanpa sadar Kyai Ageng terkena sakit asmara. Bergetar jantung Kyai Ageng, rasa aneh menguasai sekujur tubunya.

Pertunjukan wayang oleh Ki Dalang Sandiguna telah usai. Kyai Ageng Mangir Wanabaya mengundang Ki Sandiguna ke pendapa. Oleh Kyai Ageng, Ki Sandiguna akan diberi hadiah busana dari sejumlah uang, serta dijamu bersantap di pendapa. Tampak sikap Kyai Ageng sangat bersahabat agar Ki Dalang merasa nyaman.

Setelah berbincang beberapa saat Kyai Ageng mengutarakan isi hatinya, “Kanda Dalang, anak gadis yang duduk di belakang Anda itu terhitung masih kerabat dengan Anda?”

Ki Dalang berkata, “Dia anak saya sendiri, Kyai. Dia lahir sewaktu saya masih berada di Kediri.”

Kyai Ageng berkata, “Jika boleh tahu, anak Anda itu masih gadis atau sudah bersuami?”

Ki Dalang berkata, “Dia masih sendirian. Belum menemukan jodoh yang dia anggap cocok. Meski sudah banyak jejaka yang menanyakannya. Saya sebagai orang tua tidak ingin memaksanya menikah. Saya  berharap dia mendapat suami seperti yang dikehendakinya. Anak saya hanya satu itu, karena itu saya berusaha tidak membuatnya menderita.”

Kyai Ageng berkata, “Bila Kanda Dalang mengizinkan, anak Anda saya minta untuk saya jadikan istri saya sampai akhir hayat. Lestarilah Anda menjadi orang tua saya, awal sampai akhir.”

Ki Dalang Sandiguna tertegun, lalu berkata, “Bila Anda sudi merawat anak saya, anak yang tak karuan tempat tinggalnya itu, saya dengan senang hati menyerahkan dengan kedua tangan. Namun seperti yang sudah saya katakan, saya tidak ingin memaksa anak saya menikah bila dia tidak setuju. Maka izinkan saya menanyakannya terlebih dahulu kepada yang akan menjalani. Bila dia tidak mau, jangan Kyai Ageng kecewa. Dia anak yang manja dan suka menuruti sekehendak hatinya sendiri.”

Kyai Ageng Mangir berkata manis, “Duh Kanda Dalang, jangan khawatir dalam hati. Percayalah kepadaku. Saya akan ngemong kepada putri Anda selama-lamanya. Kanda Dalang tetaplah tinggal di Mangir menjadi sesepuh desa.”

Ki Dalang mohon pamit kembali ke pondokan untuk berembug dengan sang anak.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/15/babad-mangir-3-ratna-pembayun-sampai-di-desa-mangir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...