Translate

Senin, 22 Juli 2024

Paribasan 81-90

 

Paribasan (81): Nampel puluk

Arti harfiahnya menepis puluk, yakni kepalan tangan yang mau memasukkan nasi ke mulut. Maknanya adalah menggagalkan rejeki orang yang sudah di depan mata.

Pak Khusen mengirim bufet raksasa yang dipesan oleh seorang pelanggannya, Pak Rudi. Buffet itu istimewa, besar dan berat. Dibutuhkan delapan orang untuk mengangkat ke lokasi penempatan. Itu pun juga harus dicari dahulu personil yang mengangkatnya.

Akhirnya genap juga pekerja yang akan mengangkat. Mereka adalah abang becak di depan apotik Sriwijaya. Setelah siap mobil pikap yang membawa segera mundur agar tepat di pintu gerbang.

Belum lagi mobil pikap berhasil masuk, sebuah mobil sedan tampak berhenti minta didahulukan. Tapi agaknya posisinya susah kalau pikap harus balik lagi. Sementara bagian atas mebel terjebak pada talang gantung. Jadi lebih baik menurunkan dahulu supaya pikap bisa segera pergi. Para penumpang mobil sedan mengalah. Mereka bahkan kemudian ikut melihat proses penurunan mebel itu.

“Wah ini mebel besar sekali Pak Rudi?” kata mereka.

“Iya pak. Sesuai ukuran kamar tamu. Jadi harus pesan ini Pak. Tak ada di toko.” Jawab Rudi.

“Oh pesan ini ya? Mengapa tidak minta warna yang bagus pak kalau pesan. Sayang ini Pak. Coba kalau warnanya agak sedikit gelap. Cocok Pak untuk mebel ruang tamu itu.”

Pak Rudi memperhatikan dengan seksama dan mengangguk-angguk.

“Kok iya to. Wah ini gak cocok kalau di kamar tamu.”

“Betul kan Pak kata saya?” kata penupang mobil sedan itu, yang ternyata pegawai Bank Plecit Rakyat.

Akhirnya Pak Rudi menyuruh membawa mebel itu kembali untuk dicat ulang. Pak Khusen geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Gagal bayaran dah! Sambil ngeloyor dia mendenkati pegawai bank dan berkata, “Sampeyan itu tega nampel puluk. Saya hampir bayaran lho, jadi gagal. Sialan sampeyan!”

Paribasan (82): Opor bebek mateng  awak dhewek

Arti harfiahnya adalah opor bebek matang dengan sendirinya. Maknaya adalah berusaha dengan kekuatan sendiri agar dapat mandiri.

Juan Jin sebenarnya anak orang kaya. Dan dia beruntung tinggal di desa, tempat dimana orang kaya dihargai lebih dari sesamanya. Namun hal itu pula yang membuatnya merasa jengkel. Dalam tradisi keluarga Juan Jin orang harus berlatih mandiri sejak kecil, dan tidak boleh hanya ongkang-ongkang kaki saja. Katanya itu tradisi keluarga Juan Jin yang harus dilestarikan. Karena tradisi itu pula keluarga Juan Jin dapat bertahan dari berbagai krisis sejak mereka masih tinggal di negeri Tiongkok, tiga ratus tahun yang lalu.

Namun malang bagi Juan Jin, orang desa seolah tak peduli dengan tradisi itu. Maka ketika Juan Jin berusaha mandiri sejak kecil dengan berdagang pisang goreng, orang desa malah mentertawakan.

“Juan, kamu gak perlu jualan pisan goreng! Tinggal minta duit sama baba kamu, beres kan!” Kata seseorang.

“Ah Juan, baba kamu itu payah. Tak kasihan sama anak! Payah!”

Oleh karena orang desa menganggap jualan Juan Jin hanya guyonan saja maka mereka juga tak serius. Kadang mereka membeli pisang tapi ngasih harga kelewatan.

“Ah, dikorting lah Juan.”

“Seribu tiga ya? Nih uangnya.”

“Gak habis ya? Bawa ke gardu saja, tuh banyak orang ronda. Lumayan dapat pisang gratis!”

Ada-ada saja mereka itu. Namun memang ayah Juan Jin, Baba Juan tak ambil pusing.

“Sudahlah, kau jualan saja. Rugi pun tak apa. Yang penting kau tahu caranya jualan.”

Apa yang dilakukan Juan Jin dan saudara-saudaranya memang membuahkan hasil. Ketika dewasa mereka semua menjadi pengusaha sukses. Semua dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada orang tuanya. Di masa tuanya Baba Juan malah mewakafkan sebagian hartanya untuk kepentingan umum. Semua anaknya sudah bisa menjalankan prinsip hidup opor bebek mateng awak dhewek, berdikari sampai mandiri dengan usaha sendiri.

Salut Baba Juan.

Paribasan (83): Suku jaja teken janggut

Arti harfiahnya adalah berkaki dada bertongkat dagu. Maknanya adalah melakukan sesuatu dengan susah payah namun tetap semangat.

Kyai Kasan Besari adalah ulama kondang yang sangat dihormati oleh orang-orang desa. Selain ulama yang mumpuni Kyai Kasan adalah seorang petani ulet. Dia sering ditemukan pada jam-jam tertentu masih mencangkul sendiri di sawah. Orang-orang kadang heran, Kyai Kasan kan punya murid banyak, kok tidak menyuruh muridnya saja. Namun Kyai Kasan punya alasan sendiri.

“Masa iya untuk makan diri sendiri saya harus menyuruh orang lain untuk menanamnya? Kelak bagaimana aku mempertanggung jawabkan di hadapan Allah jika urusan pribadiku saja ditangani orang lain.”

Oleh sebab itu pula murid-murid Kyai Kasan sering kali menunggu sang Kyai selesai macul dahulu baru dapat menimba ilmu.

“Perjalanan menuju Allah itu sulit, jalannya terjal, upayanya keras dan satu hal lagi; tidak boleh diwakilkan. Harus bersusah payah dalam menapakinya, ibaratnya suku jaja teken janggut. Beda dengan jalan bersama Iblis, upayanya mudah dan modalnya murah. Kalau aku berjalan menuju Allah tapi kok jalannya mudah, aku khawatir telah salah jalan.”

Filosofi hidup yang khas orang desa. Itulah sebabnya sampai hari ini masih tersedia sepiring nasi di meja makan, setiap pagi, di rumah-rumah semua orang di negeri ini.

Paribasan (84): Jajah desa milang kori

Arti harfiahnya adalah memasuki setiap desa dan menghitung pintu. Maknanya adalah bepergian ke mana-mana, setiap daerah dan tempat disinggahi.

Abah Dahlan Iskan, begitu dia dipanggil, adalah mantan menteri BUMN era Presiden SBY. Dahulu sebelum menjabat mentri beliau adalah Dirut PLN dan jauh sebelumnya adalah direktur koran Jawa Pos. Kini setelah pensiun dari semua jabatan beliau seharusnya bisa menikmati hidup dengan mengandalkan laba berbagai perusahaan dan uang pensiunnya. Namun bukan Dahlan Iskan kalau mau berpangku tangan, atau ongkang-ongkang kaki.

Dahlan Iskan mengambil langkah beresiko dan menantang sebagai pengisi hari tuanya, keliling Amerika. Berbagai tempat telah beliau singgahi, mulai Texas, Niagara, Laredo, New York, sampai ke pedalaman Amerika seperti di Hays. Kebiasaan beliau adalah mencari masjid untuk ikut berjamaah dengan umat Islam di sana. Praktis dia bertemu dengan para imigran muslim yang menetap atau sedang musafir di Amerika dari berbagai budaya dan aliran. Dengan tatacara mereka yang khas dalam ibadah.

Meski ada tugas besar dalam setiap perjalannya, Abah Dahlan menikmatinya seolah sedang piknik. Pengalamannya njajah desa milang kori di Amerika kemudian dituangkan ke dalam situs pribadinya, disway.id. Selamat Piknik Abah Dahlan!

Paribasan (85): Jabung alus

Jabung adalah getah pohon yang sangat lengket. Arti harfiahnya adalah menempel dengan halus. Makna peribahasa ini adalah menipu atau membujuk dengan perkataan yang manis dan ramah.

Prabu Salya telah menyiapkan balatentara menuju padang Kuruksetra. Dia sudah bertekad untuk membela Pandawa. Dua keponakannya yang telah yatim-piatu itulah alasannya untuk bergabung. Sejak kecil Nakula dan Sadewa, putera dari mendiang adiknya, Madrim, sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Teramat besar kasih sang Prabu Salya kepada keduanya.

Memang ini perang yang membingungkan. Di satu pihak ada keponakan yang sangat dikasihi. Di lain pihak ada anak dan menantu, darah dagingnya sendiri. Para ksatria Kurawa adalah menantu-menantunya, Prabu Duryudana menikah dengan anaknya, Banuwati dan Senapati Karna menikah dengan Surtikanti. Dua putrinya akan jadi janda jika mereka tewas dalam perang. Namun karena panggilan kebenaran, Salya memilih untuk berpihak kepada Pandawa.

Akan tetapi keberpihakan itu tidaklah mudah. Jelas para ahli strategi Kurawa menangkap kegalauan yang amat besar di hati Prabu Salya. Mereka merencanakan trik yang sangat halus. Di sepanjang rute yang akan dilalui Prabu Salya dari negeri Madra ke Kuruksetra telah dibangun pondok-pondok untuk singgah. Setiap saat pasukan Salya mendapat penghormatan dan jamuan yang ramah. Prabu Salya merasa dihargai dan dihormati dengan cara yang membuat hatinya berkenan. Ketika hampir tiba di Kuruksetra Prabu Anom Kurupati (Duryudana) sendiri yang menyambutnya. Dengan bertingkah sopan, memberi hormat dan mangestu pada kepada sang mertua. Adipati Karna yang biasa bermulut lancap pun kali ini selalu berkata manis.

Prambu Salya bimbang, terutama setelah tahu bahwa pondok-pondok yang disinggahi pasukannya di sepanjang perjalanan adalah pekerjaan Duryudana. Dan Duryudana pun tanggap.

“Rama Prabu segala keselamatan ananda saya serahkan kepada Rama Prabu sebagai senapati Perang. Siapa lagi yang bisa saya minta perlindungan selain rama Prabu sendiri. yang sudah saya anggap sebagai ayah sendiri.”

Prabu Salya akhirnya tebujuk ikut ke barisan Kurawa, karena tindakan halus Duryudana yang melakukan jabung alus, terus menempel dengan ketat sepanjang jalan. Namun kegalauan tetap merayap di hati Prabu Salya. Itu sebabnya ketika menjadi sais Karna dia tidak sepenuh hati menjalankan tugas. Akibatnya Karna tewas di tangan Arjuna. Dan ketika Salya akhirnya menjadi Mahasenapati, dia memilih tewas di tangan keponakan yang sangat dia hormati karena kejujurannya, Puntadewa. Sebuah lembing jelmaan pusaka serat jamus Kalimasada menembus dadanya.

Paribasan (86): Kebak sundukane

Arti harfiahnya adalah sudah penuh sundukannya. Maknanya adalah sudah lengkap perbuatan buruknya.

Halayuda benar-benar terjepit. Dia sudah tidak bisa bergerak lagi. Semua teman yang dulu seperjuangan sekarang menjadi musuh baginya. Tidak ada lagi sekutu baginya. Semua itu akibat ulahnya sendiri.

Dahulu ketika Patih Nambi baru diangkat Halayuda sudah menghasut dengan menyebarkan berita kalau Nambi tidak pantas menjadi patih amangkubumi. Dia kemudian menghasut agar Ranggalawe menuntut Jabatan itu. Halayuda belum puas kalau orang-orang yang dibencinya belum sirna. Dia menghasut pula kepada Nambi untuk menghabisi Ranggalawe. Akhirnya Nambi mengerahkan pasukan Majapahit. Kebo Anabrang turun tangan membereskan Ranggalawe dengan membunuhnya dalam pertempuran di sungai tambak beras. Paman Ranggalawe, Lembu Sora tidak tahan melihat cara Kebo Anabrang membunuh Ranggalawe. Dia kemudian membunuh Kebo Anabrang dari belakang.

Kelak Halayuda pula yang menghasut anak Kebo Anabrang agar menuntut balas. Raja kemudian menghukum Lembu Sora atas perbuatannya membunuh Kebo Ananbrang.

Namun tampaknya Halayuda belum puas juga. Nambi pun difitnah sebagai pemberontak sehingga dia pun tewas diserang pasukan Majapahit ketika berada di rumah orang tuanya.

Akhirnya Halayuda diangkat sebagai mahapatih menggantikan Nambi. Hal itu terjadi setelah semua rekan seperjuangannya dalam mendirikan Majapahit disingkirkannya. Walau sudah menjadi Mahapatih apa yang akan dilakukannya kini? Sedang dirinya sudah penuh dosa, sudah kebak sundukane. Semua orang membencinya kini. Satu persatu musuhnya keluar hendak membalas dendam. Sebentar lagi dia habis.

Paribasan (87): Kesandhung ing rata, Kabentus ing tawang

Arti harfiahnya adalah tersandung tanah rata, terbentur oleh langit. Maknanya menemui kecelakaan tanpa diduga atau kecelakaan yang sepele.

Bobby Leach adalah penantang maut kelas wahid. Berkali-kali atraksi berbahaya dia lakukan. Tahun 1910 dia terjun ke pusaran sungai Whirpool dengan mengarungi jeram-jeram berbahaya dalam sebuah tong. Itu tak cukup baginya. Tahun 1911 dia melakukan hal yang sama di atas air terjun niagara. Dia selamat meski keadaannya parah. Dua tempurung lututnya pecah dan rahangnya patah.

Kegemarannya masuk tong dan dihanyutkan di sungai telah mengantarkannya ke berbagai belahan dunia, di Amerika dan Eropa. Dan dia selalu selamat, bak punya seribu nyawa.

Setelah berkali-kali selamat dari aksi yang membahayakan nyawa ini, Bobby Leach akhirnya meninggal akibat perkara yang sepele.

Saat melakukan tur di Selandia Baru, dia terpeleset kulit jeruk. Ia kemudian menderita gangrene yakni kematian jaringan tubuh di kaki dan harus diamputasi. Kecelakaan yang dialaminya sungguh tak disangka akan menyebabkan kematian. Akhirnya, ia pun mengembuskan napas terakhir akibat komplikasi. (Sumber national geographic)..

Kalau dibanding dengan marabahaya yang telah ditempuhnya, kecelakaan yang dialami Bobby Leach ibarat kesandhung ing rata, kabentus ing tawang. Kecelakaan yang tak terduga.

Paribasan (88): Karubuhan gunung menyan

Arti harfiahnya adalah tertimpa runtuhan gunung menyan. Maknanya adalah mendapat keberuntungan yang sangat besar.

Semula di melakukannya sebagai hobi. Dasarnya memang pecinta tumbuhan dan tananam. Kalau tanaman atau bunga yang bagus pasti dia tertarik untk menanam. Pekerjaannya sehari-hari adalah satpam, profesi yang jauh dari dunia tanaman.

Rezeki kadang datang tak terduga, itu pula yang dialami Pak Bendhot, tokoh kita ini. Sepuluh tahun yang lalu dia membeli tujuh pohon Anthurium Jemani.

“Pohonnya bagus. Saya suka aja!” itu katanya.

Kini tujuh pohon itu telah menjadi indukan besar yang berbunga dan berbuah. Setiap pohon idukan bisa menghasilkan ribuan anakan. Ketika musim Jemani booming beberapa tahun lalu, Pak Bendot untung besar.

“Saya sampai tak bisa berkata-kata Mas. Bisa bunga seperti itu menghasilkan uang yang sangat banyak. Subhanallah. Luar biasa!” Katanya haru.

Jauh sebelum Jemani booming dia memang sudah membudidayakan. Dengan modal tujuh indukan itu dia telah mempunyai ribuan bibit Jemani siap jual. Bahkan dia sempat kewalahan menangkarkan benihnya. Tiga dari tujuh indukannya waktu itu kemudian dijual seharga masing-masing 100 juta.

Ketika ditanya berapa pendapatannya ketika booming Jemani itu. Pak Bendot hanya menjawab diplomatis.

“Wah banyak mas. Saya ini ibaratnya karubuhan gunung menyan. Sampai tak bisa menghitung saya. Karena untung saya bukan hanya uang yang melimpah tapi juga bertambah sanak saudara dan mendapat banyak teman sesama penyuka tanaman hias. Itu luar biasa.”

Luar biasa Pak Bendot ini. Rejeki orang memang tak bisa diduga.

Paribasan (89): Kandhang langit kemul mega

Arti harfiahnya adalah berkandang langit berselimut mega. Maknaya adalah hidup yang sangat menderita, sampai tak punya apa-apa.

Sejak ada program rumah DP 0 rupiah, Slamet bernapas lega. Harapannya kembali bangkit untuk mempunyai rumah sendiri. Sebagai manusia gerobak yang tidur di jalanan Slamet jelas butuh tempat berteduh. Sesederhana apapun itu, entah tipe 21 atau tipe15 atau bahkan tipe 9, dia pasrah. Itu dirasa lebih layak ketimbang rumahnya sekarang yang tipe 2×1 portable, alias gerobak bututnya itu.

Memang keadaan Slamet amat memprihatinkan. Setiap hari dia keliling mencari sampah dengan gerobaknya itu. Setelah menyetor ke pengepul sampah dia buru-buru membersihkan gerobaknya untuk nanti malam disulap menjadi rumah, tempat untuk tidur.

Karena parkirnya tak tetap dia juga tak punya sarana lain. MCK dan makan dapat dilakukan dimana saja. Kadan di toilet umum atau di masjid-masjid. Dia selalu berpindah-pindah agar rejekinya yang tak seberapa itu tidak mandeg.

Ketika ditanya warga, sampeyan kok tidak ngontrak aja atau mencicil rumah? Slamet selalu menjawab, “Saya punya rumah besar, dunia seisinya ini dan saya tak perlu takut dingin karena berselimut mega. Kata pepatah Jawa; kandhang langit kemul mega.

Tapi tampaknya jawaban Slamet akan lain, di bulan-bulan mendatang. Itu kalau rumah DP 0 rupiah terlaksana. Sabar ya Met!

Paribasan (90): Cerak kebo gupak

Arti harfiahnya adalah dekat dengan kerbau akan terkena lumpur. Karena kerbau adalah ewan yang suka berkubang, jadi tubuhnya akan selalu berlepotan lumpur. Siapa saja yang dekat akan beresiko terkena. Makna paribasan ini adalah jika kita dekat dengan orang jahat kita akan terpapar kejahatannya.

Pak Modin pusing tujuh keliling. Sudah tiga bulan ini berturut-turut dia selalu dipanggil oleh guru BP di sekolah Nandang, anaknya yang baru SMP. Yang terakhir dia diultimatum; kalau tidak bisa mendidik anaknya di rumah si anak akan dikeluarkan dari sekolah.

Pokok persoalannya adalah si Nandang ini sering dilaporkan oleh teman sekolahnya mencuri onderdil kendaraan para guru. Sering kelihatan nongkrong di perempatan jalan menggoda gadis-gadis. Dan yang parah, pernah ketahuan merokok di kantin Pak Ono. Tukang kebun yang mantan preman itu.

Siang ini sepulang dari menghadap guru BP Pak Modin sangat marah karena ultimatum Pak Guru tadi. Dia kemudian memanggil anaknya si Nandang.

“Nandang! Bapak sangat malu karena kata gurumu tadi engkau sering berbuat jahat di luar sana. Apa bapak pernah mengajarkan yang demikian itu padamu? Apakah kamu tidak melihat kedudukan bapakmu ini yang selalu memberi nasihat kepada banyak orang. Kok malah anaknya sendiri nakal gak ketulungan. Bagaimana kamu ini, Nandang?”

Nandang hanya bisa gemetar mengetahui bapaknya marah. Dia harus menjawab dengan hati-hati kalau tidak ingin tabung gas melayang ke kepalanya, seperti yang terjadi minggu lalu pada pamannya. Dia tahu ayahnya sangat tidak toleran dengan anak nakal.

“Anu Pak, e..eh, sebenarnya bukan saya pelakunya Pak. Teman-teman saya yang melakukan!”

“Siapa?”

“Dandung dan Gombloh!”

“Lalu mengapa engkau bisa tertuduh?”

“Mereka langsung lari ketika kepergok, sedangkan saya tak bisa lari kencang. Jadi orang tahunya saya yang mengambil.” Nandang masih gemetar, tampak celananya basah.

Pak Modin menarik napas panjang. Dia tahu anaknya jujur.

“Makanya Ndang, kalau bergaul itu memilih teman yang baik. Kalau kau berteman dengan orang jahat engkau akan terkena akibatnya, atau malah nanti bisa ikut-ikutan jahat. Ibaratnya cerak kebo gupak! Paham kamu ya?”

“Eh..i..iya Pak!” Nandang ngompol beneran!

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/23/paribasan-81-90-nampel-puluk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...