Translate

Jumat, 26 Juli 2024

Serat Walisana (2) :

 

Tiga Pangeran bertemu Prabu Brawijaya

Sementara itu di negeri Cempa. Kepergian tiga pangeran membuat Sang Raja Kiyan sangat bersedih. Juga ayah ibu mereka, Syekh Ibrahim dan Dyah Siti Asmara. Tak berapa lama terdengar kabar bahwa di Kamboja ada kapal karam. Semua awak kapal dan isinya tak selamat. Hanya ada tiga pemuda yang berhasil ditolong, saat mereka berlindung di batu karang. Menurut berita tiga pemuda tersebut hendak pergi ke Jawa menengok saudaranya.

Sang Raja Kiyan segera mengirim utusan dengan kapal. Jika ternyata ketiganya adalah para pangeran putra raja, maka kapal disuruh untuk mengantar ke tempat yang mereka ingin kunjungi. Kapal utusan Raja Kiyan segera melepas jangkar dan bertolak menuju Kamboja.

Singkat cerita, ketiga pangeran sudah ditemukan di tanah Kamboja. Semua bersuka cita karena tiga pangeran dalam keadaan selamat. Ketiganya lalu dipersilakan naik ke kapal untuk meneruskan perjalanan. Para sanak saudara di Kamboja yang selama ini telah merawat mereka merasa sangat kehilangan. Tiga pangeran sangat dikasihi di Kamboja sehingga mereka pun terasa berat melepasnya pergi.

Pelayaran ketiga pangeran telah sampai di Palembang. Mereka mendengar kabar bahwa penguasa Palembang masih bersaudara dengan sang uwak Prabu Brawijaya di Majapahit. Penguasa Palembang, Arya Damar, adalah putra Prabu Brawijaya dari istri selir yang bernama Ni Endang Sasmitapuri. Oleh karena itu ketiga pangeran bermaksud berkunjung ke kediaman Arya Damar. Ketika itu istri Arya Damar baru saja melahirkan seorang putra yang sangat tampan. Kelahirannya ditandai dengan datangnya goro-goro berupa sambaran petir yang menggelegar, bumi berguncang dan angin ribut. Kota Palembang menjadi porak-poranda. Aktivitas kota Palembang terhenti seolah tanpa penghuni. Tak lama kemudian goro-goro surut. Kota Palembang terang kembali, matahari bersinar menampakkan diri. Arya Damar menyambut bayi yang dilahirkan sang istri. Bayi itu diberi nama Raden Praba. Semua orang Palembang ikut bersukacita.

Tak lama setelah sang bayi lahir Arya Damar diberi tahu kalau Palembang kedatangan tamu tiga orang yang tampaknya keturunan orang luhur. Dari pakaiannya mereka terlihat seperti orang alim. Arya Damar menyambut sang tamu dan mempersilakan datang ke kediamannya.

Berkata Arya Damar, “Wahai tiga saudara yang baru datang, siapakah nama Anda bertiga dan dari mana asal kalian?”

Ketiga pangeran menyebutkan nama dan mengaku sebagai santri yang mengembara sambil berdagang. Tujuannya hendak ke pulau Jawa yang tekenal sebagai pula yang sejahtera. Ketika sampai di Palembang mendengar Tuan Arya Damar baru saja mempunyai seorang putra. Mereka bertiga ingin mengucapkan selamat sekaligus menengok sang bayi yang baru lahir.

Raden Arya Damar tanggap bahwa sang tamu adalah orang alim, segera menyuruh sang istri agar membawa bayi mereka ke hadapan para tamu.

Berkata Raden Arya Damar kepada sang istri putri raja China, “Bawalah anak kita. Tampaknya tamu kita seorang alim. Mintalah doa dan berkah.”

Sang istri Retna Subanci segera menyerahkan sang bayi kepada para tamu. Bergantian ketiga tamu menimang bayi Raden Praba. Ubun-ubun si bayi disebul. Mereka terlihat sangat menyukai si bayi dan berkenan mengakui sebagai putra. Ayah dan ibu sang bayi sangat suka hati.

Ketiga tamu menjadi teman akrab Adipati Palembang, Raden Arya Damar. Oleh ketiga tamunya Raden Arya Damar diajak masuk Islam. Arya Damar tidak menolak, bahkan banyak punggawa Palembang yang kemudian ikut masuk Islam. Tiga tamu diangkat sebagai guru yang mengajarkan ilmu agama. Semua hormat dan patuh kepada ajarannya. Setelah Raden Arya Damar dan istri masuk Islam, sang putra Raden Praba juga diberi nama baru. Raden Rahmat memberi nama Raden Patah, Raden Santri Ali memberi nama Raden Kasan dan Raden Alim Abu Hurairah memberi nama Raden Yusuf. Raden Arya Damar mengamini nama baru itu.

Setelah beberapa lama berada di Palembang, ketiga pangeran meneruskan perjalanan menuju tanah Jawa. Raden Arya Damar berusaha menahan ketiga guru mereka, karena merasa belum cukup mendapatkan pengajaran. Namun tiga pangeran tak dapat dicegah kehendaknya. Arya Damar kemudian melepas kepergian sang guru dengan segala penghormatan sampai di pelabuhan.

Ketiga pangeran segera berangkat dengan kapal dagang yang menuju ke Majapahit. Perjalanan mereka lancar tak kurang suatu apa. Singkat cerita mereka telah sampai di Majapahit. Tempat yang dituju adalah kepatihan. Pada hari Kamis mereka datang menemui Patih Gajahmada. Sang patih menanyakan asal-usul ketiga tamunya dan maksud kedatangannya ke Majapahit. Ketiga pangeran mengatakan apa adanya. Patih Gajahmada suka mendengarnya, kemudian bergegas segera melaporkan kepada Sang Raja Prabu Brawijaya.

Berkata Patih Gajahmada kepada Sang Raja, “Duhai paduka, ada tamu yang baru saja datang. Tiga orang tampan dan masih muda. Pengakuan mereka ketika hamba tanya berasal dari negeri Cempa. Masih cucu Sang Raja Kiyan, keponakan dari permaisuri Ratu Dwarawati. Yang seorang adalah putra Raja Kiyan yang bernama Raden Alim Abu Hurairah. Sedangkan yang dua merupakan kakak beradik putra Dyah Siti Asmara. Yang tua bernama Raden Santri Ali dan yang muda bernama Raden Rahmat.”

Sang Raja sangat suka mendengar kedatangan adik ipar dan keponakannya. Kepada permaisuri Ratu Dwarawati Sang Raja segera memberitahukan kedatangan adik dan keponakannya tersebut. Tiga pangeran lalu dipanggil menghadap. Prabu Brawijaya dan permaisuri Ratu Dwarawati menyambut para keponakan dengan sukacita. Putra-putra raja kemudian dipanggil juga untuk menemui saudara sepupu mereka. Mereka kemudian saling beramah tamah dan menanyakan kabar dari Cempa.

Kedatangan ketiga pangeran dari Cempa diterima dengan sangat baik di lingkungan keraton Majapahit. Apalagi akhlak ketiga pangran juga mengesankan bagi siapapun. Sang Raja dan permaisuri sangat mengasihi sang keponakan. Namun mereka menyisakan sedikit kekecewaan karena ketiganya berbeda agama.

Pada suatu hari Sang Prabu Brawijaya bermaksud membuat acara bersuka ria dengan mementaskan tarian bedaya Serimpi dan alunan gending dari gamelan keraton. Kehendak Sang Raja agar ketiga keponakan mendapat hiburan yang membuat mereka gembira. Namun ketika pementasan dilakukan ketiga pangeran Cempa tampak kurang suka. Sepanjang pagelaran tak henti mereka mengucap ta’awudz, meminta perlindungan kepada Allah SWT.

Prabu Brawijaya melihat gelagat bahwa ketiga pangeran tidak menikmati pertunjukkan tarian yang digelar. Setelah pertunjukkan selesai dari para punggawa Majapahit bubar ke tempat masing-masing, Prabu Brawijaya menanyakan hal tersebut kepada sang keponakan.

Prabu Brawijaya berkata pelan, “Wahai anakku, aku lihat engkau kurang menikmati pertunjukkan yang aku gelar. Apakah engkau punya ganjalan hati atau hendak meminta sesuatu kepadaku? Katakan jika memang engkau ingin sesuatu.”

Berkata ketiga pangeran Cempa, “Duhai Wak Raja, bila paduka berkenan, kami ingin paduka sekalian bersama kami memeluk agama Islam. Agama Islam adalah agama mulia yang mengajarkan ajaran suci para Nabiyullah. Di dalam kitab telah disebutkan, sangat tinggi derajat orang yang mau memeluk agama Islam ini. Para Nabi mendapat derajat yang tinggi karena memeluk agama ini. Maka Wak, sudilah kiranya Wak Raja untuk mempertimbangkan. Hanya ini yang kami minta. Selebih kami mohon maaf bila permintaan kami kurang berkenan.”

Sang Prabu Brawijaya ketika mendengar permintaan para keponakan sangat repot hatinya. Kalau hendak mengikuti permintaan ketiga keponakan, merasa malu karena sudah lama secara turun-temurun Majapahit mengamalkan agama yang berbeda. Maka Prabu Brawijaya berusaha mengelak secara halus.

Berkata Sang Prabu Brawijaya, “Anakku, benar apa yang kalian katakan. Namun rasanya aku belum bisa menuruti ajakanmu. Aku tak hendak menyingkiri agamaku yang sudah aku peluk sejak para leluhurku. Adapun terhadap agama yang kalian peluk aku tak keberatan. Kita memeluk keyakinan kita masing-masing. Mari kita laksanakan secara sempurna sebagaimana yang sudah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh para leluhur kita. Andai aku menolak agama leluhurku maka akan tidak elok bagiku. Ibarat menolak yang ada dan mengejar yang tidak ada. Aku harap kalian tidak kecewa.”

Tiga keponakan hanya tertegun mendengar keteguhan hati sang uwak. Mereka kemudian pasrah bahwa semua belum kehendak Tuhan Yang Maha Agung. Ibarat beruntungnya orang lupa masih beruntung orang yang ingat. Dan itu semua tidak bisa dipaksakan bila belum mendapat petunjuk Tuhan. Mereka kemudian bertawakal setengah menyampaikan ajakan kebaikan. Mereka menyerahkan sepenuhnya hasilnya kepada Allah SWT. Namun mereka masih menyimpan sedikit kegembiraan karena sang uwak permaisuri Ratu Dwarawati berkenan memeluk agama Islam dan Prabu Brawijaya tidak melarangnya.

Setelah peristiwa tersebut tiga pangeran Cempa mendapat kediaman di dekat istana. Ketiganya dijaga prajurit dan dihormati sebagaimana layaknya punggawa Majapahit. Walau demikian karena tinggal di tempat yang berbeda agama dari agama yang mereka peluk mereka kurang leluasa dalam menjalankan amalan beragama. Hal itu membuat mereka tidak kerasan dan bermaksud minta pamit kembali ke negeri Cempa.

Prabu Brawijaya mencegah keinginan ketiga pangeran Cempa tersebut. Apalagi waktu itu negeri Cempa baru saja dikalahkan oleh negeri Koci. Negeri Cempa dalam keadaan rusak dan hancur. Ketiga pangeran merasa sangat sedih mendengar kabar tersebut. Prabu Brawijaya selalu membujuk agar ketiganya tetap tinggal di Majapahit. Lama-lama ketiga pangeran merasa terbiasa dan dapat menyesuaikan keadaan.

Prabu Brawijaya merasa bahwa ketiga pangeran Cempa tersebut sudah berusia matang untuk berumah tangga. Sang Prabu berniat mencarikan jodoh untuk mereka. Prabu Brawijaya kemudian memanggil Bupati Tuban Arya Teja yang mempunyai tiga anak perempuan. Oleh Prabu Brawijaya ketiga anak Arya Teja diminta sekaligus untuk dijadikan istri bagi tiga keponakannya. Adipati Tuban Arya Teja berserah kepada kehendak Sang Raja dan menyambut dengan sukacita. Prabu Brwijaya segera memerintahkan kepada Patih Gajahmada untuk mempersiapkan acara pernikahan mereka.

Singkat cerita Prabu Brawijaya mengadakan perayaan besar untuk menikahkan ketiga keponakan. Keponakan tertua, Raden Santri Ali dijodohkan dengan putri Arya Teja yang bernama Dyah Retna Maninjung. Adapun Raden Rahmat dijodohkan dengan Retna Siti Dyah Manila. Dan pangeran yang paling muda Raden Alim Abu Hurairat mendapat istri yang bernama Retna Sadasar. Perayaan agung untuk mewisuda pengantin dilakukan secara besar-besaran di keraton Majapahit. Semua yang melihat tiga pasangan pengantin ikut bersukacita. Para pengantin tampak serasi dan berjodoh. Terlihat mereka saling mengasihi.

Atas kehendak Prabu Brawijaya agar ketiga pasangan penganti dapat hidup serasi dan harmonis, mereka ditempatkan di kawasan yang satu agama. Agar mereka leluasa mengamalkan ajaran agama mereka. Tempat yang disediakan adalah Surabaya yang waktu itu dipegang oleh pejabat Majapahit yang bernama Lembusura. Prabu Brawijaya lalu mengirim utusan untuk menyerahkan surat yang berisi penyerahan ketiga pangeran kepada Lembusura.

Sesampainya utusan di Surabaya surat dari Sang Raja segera diserahkan. Arya Lembusura dengan tergopoh-gopoh menerima surat tersebut dan dibaca dengan seksama.

Isi suratnya menyatakan kalau Prabu Brawijaya menitipkan sang keponakan kepada Lembusura dan anggaplah sebagai cucu buyut sendiri. Biarkan melaksanakan agama yang dianutnya. Barangsiapa ingin ikut dipersilakan tanpa dibatasi. Arya Lembusura suka hati mendapat titipan tiga cucu buyut tersebut. Setelah selesai urusan di Surabaya utusan segera kembali ke kotaraja Majapahit. Arya Lembusura memberi oleh-oleh untuk Sang Raja. Utusan segera kembali membawa oleh-oleh dari Arya Lembusura. Oleh-oleh diterima oleh Sang Raja dan dibuka. Sang Prabu Brawijaya sangat suka menerima pemberian dari Arya Lembusura karena menjadi pertanda bahwa Arya Lembusura menerima amanah dengan sepenuh hati.

Di Surabaya Arya Lembusura sangat mengasihi tiga pangeran Cempa yang sudah dianggap sebagai cucu buyut sendiri. Ketiganya lalu ditempatkan terpisah untuk masing-masing melaksanakan tugas membimbing umat. Raden Santri Ali diangkat sebagai imam di Garesik dan diberi kedudukan sebagai pendeta agung dengan gelar Ali Murtadha. Raden Rahmat diangkat sebagai imam di Ampeldenta dengan nama Pangeran Katib atau juga disebut Sunan Ampeldenta. Beliaulah yang memulai silsilah wali di Jawa. Adapun Raden Alim Abu Hurairah ditempatkan di Majagung. Raden Alim Abu Hurairah mendapat pengikut yang banyak di Majagung yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Majagung.

Sang pendeta agung Ali Mutadha di Garesik kemudian menikah lagi dengan putri Madura bernama Rara Siti Taltum, putri dari Arya Baribin. Keduanya langgeng berjodoh tanpa halangan satu apapun.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/04/03/serat-walisana-2-tiga-pangeran-bertemu-prabu-brawijaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...