Translate

Jumat, 26 Juli 2024

Serat Walisana (1):

 

Tiga Pangeran Cempa

Digubah indah bait-bait ini untuk menceritakan kisah lama. Cerita indah yang hendak disampaikan Ki Pratraprajaka di kampung Gandekan tentang para waliyullah yang telah menata agama di tanah Jawa.

Sebagai pokok cerita tersebutlah Syekh Maulana Ibrahim, pendeta tanah Arab, yang sedang mempelajari agama suci. Sangat tekun ibadahnya, mempelajari segala pengetahuan, bewatak sabar dan berbelas kasih kepada sesama. Sang Syekh masih keturunan para wiliyullah yang punya silsilah sampai Kangjeng Rasulullah, nabi panutan umat sejagad raya.

Alkisah Syekh Maulana Ibarahim ketika sedang berkelana sambil membersihkan diri, sampai di negeri Cempa. Di negeri besar tersebut sudah masyhur kedatangan Syekh yang merupakan keturunan Rasulullah. Seorang yang ahli dalam ilmu agama, wajahnya bersinar terang, seolah menjadi bukti keturunan orang suci.

Sang Maharaja yang bernama Prabu Kiyan merasa mendapat anugerah atas kedatangan Syekh Ibrahim. Sang Syekh dipanggil menghadap dan diambil sebagai putra oleh Sang Raja. Tidak lama kemudian dijodohkan dengan putri Sang Raja yang bernama Retna Dyah Siti Asmara. Kedua pengantin lestari membangun rumah tangga dan berputra dua orang lelaki tampan.

Putra tertua diberi nama Raden Santri Ali, dan yang muda diberi nama Raden Rahmat. Kedua putra Syekh Maulana Ibrahim kemudian diambil sebagai putra Sang Raja. Bersamaan waktunya istri Sang Raja sedang hamil. Tak lama melahirkan seorang putra dan diberina nama Raden Alim Abu Hurairah. Sang putra kemudian dipersaudarakan dengan kedua cucu Sang Raja. Mereka bertiga tinggal di istana dan diasuh oleh Sang Raja. Sangat besar kasih sang Raja kepada mereka, maka sangatlah dimanjakan.

Ketika menginjau usia remaja ketiga pangeran Cempa tersebut diserahkan kepada Syekh Maulana Ibrahim untuk belajar ilmu agama. Setelah beberapa lama memperdalam ilmu agama ketiga pangeran Cempa tersebut telah menguasai berbagai ilmu agama dan khatam berbagai kitab.

Setelah mereka dewasa dan dirasa cukup ilmu sebagai bekal menjalani kehidupan, ketiganya diberi tahu bahwa permaisuri raja Majapahit adalah uwak mereka atau masih saudara tua dari ibu kedua pangeran Cempa ini. Kedua pangeran sepakat hendak mengunjungi saudara ibu mereka. Tak ketinggalan saudara angkat yang tak lain adalah paman mereka Raden Alim Abu Hurairah juga ingin ikut serta mengunjungi sang kakak.

Ketiga pangeran Cempa kemudian berangkat tanpa memberi tahu kepada ayah ibu mereka. Dengan berjalan sendirian ketiganya sampai di pesisir. Mereka kebingungan hendak mengarungi lautan luas. Ketiganya menjadi ragu dan untuk sementara hanya tinggal di tepi pantai. Setelah beberapa waktu terlihat ada kapal layar dagang yang singgah di negeri Cempa.  Ketiga pangeran bersuka cita karena harapan pergi ke Jawa tampak akan tercapai.

Kapal tersebut milih seorang nakoda besar dengan banyak barang dagangan. Ketika malam menjelas ketiga pangeran masuk ke kapan menemui juru mudi kapal.

Raden Rahmat berkata, “Hai juru mudi kapal, ayo segera jalankan kapal ke tanah Jawa.”

Ki Jurumudi berkata, “Hamba takut tuan. Hamba hanya orang kecil yang menjalankan perintah. Sebaiknya menunggu dulu kedatangan juragan hamba. Kalau sudah bersepakat terserah Anda hendak ke mana.”

Berkata Raden Rahmat, “Apakah akan lama berdagang di sini?”

Ki Jurumudi berkata, “Ibarat hanya mampir. Setelah beberapa hari akan meneruskan perjalanan. Kembali berlayar mengunjungi negeri lain. Hendak mencari laba dagang yang banyak.”

Raden Rahmat berkata kepada sang kakak Raden Santri Ali, “Bagaimana sebaiknya Kanda? Apakah akan menunggu juragan kapal ini?”

Raden Santri Ali berkata, “Baiknya bersabar dulu. Jangan merepotkan si juru mudi. Memaksakan kehendak tidak akan berakhir baik. Sebaiknya kita minta kerelaan juragan kapal ini. Agar kita semua selamat dalam perjalanan.”

Raden Alim Abu Hurairah menyambung, “Benar perkataanmu. Walau kita berjalan menyamar, jangan sampai kita membuat keributan selama perjalanan.”

Ketiganya sepakat dan kepada si juru mudi mereka minta maaf karena mungkin akan sedikit merepotkan selama mereka tinggal di kapal. Ki Jurumudi sangat suka hati dan berkenan menerima mereka. Setelah beberapa hari Ki Juragan kapal datang dengan membawa barang dagangan. Ki Jurumudi memberitahukan bahwa kapal mereka kedatangan tiga pemuda yang hendak menumpang ke Jawa. Sesaat kemudian ketiga pemuda keluar menemui Ki Juragan.

Ki Juragan segera mengenali bahwa ketiga pemuda tadi adalah bukan orang sembarangan, pastilah ksatria besar dari Cempa.

Raden Santri Alim berkata, “Wahai Kyai, kedatangan kami ini hendak merepotkan Anda. Bila Anda berkenan kami hendak menumpang. Bawalah kami ke negeri Jawa.”

Ki Juragan ketika mendengar sangatlah bersedih, kemudian berkata, “Duhai raden, mohon maaf, saya tidak bisa. Ketahuilah kapal ini hendak melaju ke Mesir. Kalau harus mampir ke Jawa maka akan memakan waktu yang lama. Ibarat berbalik pulang.”

Raden Santri Ali membujuk saudara mudanya agar pasrah karena kapal tidak bisa membawa mereka. Keinginan mereka mengunjungi tanah Jawa tampaknya belum mendapat izin dari Allah SWT. Raden Rahmat dan Raden Ali Abu Hurairat menurut perkataan saudara tua mereka.

Raden Santri Ali berkata kepada Ki Juragan, “Baiklah Kyai. Saya terima kalau memang engkau tidak melewati tanah Jawa. Kami doakan agar kalian selamat berlayar. Tetapi kalau Anda berbohong pasti Allah akan memberi tanda.”

Ki Juragan kemudian memuat barang dagangannya ke kapal. Setelah semua siap kapal segera membuang jangkar hendak berlayar. Tetapi keanehan terjadi karena kapal sama sekali tak bergerak. Padahal angin bertiup tanpa henti. Ki Juragan sangat bersedih karena kapal tak segera dapat berangkat. Seketika Ki Juragan ingat dengan perkataan ketiga pemuda tadi. Bahwa inilah tanda-tanda bahwa dirinya telah membohongi mereka. Ki Juragan tersadar dan berniat meminta maaf. Dia berpikir mungkin kalau bersedia mengantar ketiga pemuda ke Jawa, itu akan menjadi hal baik kelak bagi perjalanan dagangnya.

Ki Juragan segera turun dari kapal dan mencari ketiga pemuda tersebut.

Berkata Ki Juragan kapal, “Maafkan saya yang telah berani berbohon kepada Anda semua. Biat hendak memburu untung besar dan enggan sedikit repot, kapal kami sekarang tak bisa berlayar. Sekarang saya bersedia mengantar paduka bertiga jika masih ingin berangkat ke Jawa.”

Ketiga pangeran memaafkan Ki Juragan. Mereka bertiga pun bersiap menaiki kapal Ki Juragan untuk diantar ke Jawa. Ki Juragan sangat takut dan hormat kepada ketiga pemuda tersebut. Segala barang dagangan ditawarkan jika ketiga pemuda berkenan mengambil. Ada emas dan perhiasan yang indah-indah. Semua yang dikehendaki boleh diambil.

Ketiga pangeran berkata, “Bukan itu yang kami kehendaki. Aku tak hanya akan mendoakan semoga perdaganganmu semakin besar, mudah dalam segala urusan dan yang engkau kehendaki tercapai. Rajinlah dalam berbuat baik kepada sesama karena selain besar pahalanya juga akan memperlancar segala urusanmu.”

Ki Juragan ketika mendengar nasihat ketiga pangeran merasa terkesan. Menjadi semakin hormat Ki Juragan terhadap ketiganya.

Berkata Ki Juragan, “Duhai raden, sungguh ini menjadi pelajaran utama bagi saya. Maafkan jika saya ingin mengetahui siapa Anda bertiga ini. Mohon katakan terus terang.”

Berkata Raden Santri Ali, “Hai bapak, ketahuilah. Saya ini masih keturunan Cempa, cucu dari Raja Kiyan dari pihak ibu. Sedangkan ayah saya dari Arab, bernama Maulana Ibrahim, masih keturunan Kangjeng Rasulullah. Satu saudaraku ini bernama Raden Rahmat, saudara kandung satu ayah-ibu. Sedangkan satunya lagi bernama Raden Alim Abu Hurairah, adik angkatku. Masih bersaudara dengan ibuku. Tetapi dipersaudarakan denganku sebagai anak angkat eyang Raja Cempa. Apa yang kukatakan ini jangan diberitakan kepada orang banyak. Karena kepergianku tidak memberitahukan kepada para punggawa Cempa. Maka engkau harus bisa menjaga rahasia ini. Dan kapal ini segera berangkatkan, jangan lama-lama supaya kami bisa segera meninggalkan negeri Cempa.”

Ki Juragan ketika mendengar penuturan Raden Santri Ali sejenak hanya bisa tertegun. Sesaat kemudian Ki Juragan menghaturkan sembah dan menyentuk kaki ketiga pangeran.

Ki Juragan berkata, “Hamba dari negeri Mesir, nama hamba Juragan Dul Jalal. Sekarang semua orang mesir telah beriman kepada agama Rasulullah. Dan karena tuan-tuan sekalian masih keturunan Rasulullah, maka pantas bagi kami untuk memuliakan paduka berdua. Semoga pengabdian hamba bisa menjadi berkah untuk kehidupan hamba.”

Dua raden berkata, “Sudah jangan diperpanjang lagi. Sekarang ayo kita berangkat.”

Ki Juragan Dul Jalal segera mengundangkan kepada awak kapal untuk bersiap. Ki Jurumudi bersiap memberangkatkan kapal. Kali ini kapal dapat melaju kencang karena mendapat angin yang cukup. Ketika perjalanan mereka sampai di perairan negeri Kamboja Ki Juragan Dul Jalal bermaksud berhenti untuk mengedarkan barang daganannya. Membayangkan laba besar yang bakal diperoleh di Kamboja, Ki Dul Jalal lupa dengan kesanggupannya mengantar ketiga pangeran ke Jawa.

Ki Juragan berkata, “Duhai Raden ahli bertapa, saya dan rombongan akan berhenti sebentar untuk memasarkan dagangan saya. Karena Kamboja merupakan pasar besar. Kami bisa menjual dan membeli barang dagangan di sini.”

Raden Santri menjawab, “Asal engkau janji tidak akan lama, saya sangat mendukung. Apa yang yang menjadi kehendakmu saya tidak menolak, karena kami bertiga hanya numpang.”

Ki Juragan berkata, “Duhai raden bertiga. Belum tahu kapan selesai kami berdagang karena ini memang pekerjaan kami. Seorang pedagang akan menetap bila barang dagangan masih laku. Bila paduka bertiga sangat mendesak, sebaiknya berilah kami ganti untung agar kami tidak menderita kerugian. Kalau tidak begitu tentu kami akan mendahulukan berdagang dahulu untuk mencari untung yang banyak. Agar pelayaran kami tidak mengalami kerugian.”

Ketika mendengar penurutan Ki Juragan ketiga pangeran Cempa hanya bisa pasrah. Tetapi dalam hati mereka kurang suka karena merasa telah diingkari. Akan tetapi mereka tidak bisa protes karena hanya menumpang. Setelah mereka sepakat kapal berbelok ke pelabuhan Kamboja.

Selama bersandar di Kamboja ketiga pangeran sangat bersedih karena menunggu terlalu lama. Hatinya kecewa karena merasa diingkari oleh Ki Juragan. Akan tetapi tak lama kemudian datang hukuman dari Allah Yang Maha Kuasa. Kapal Ki Juragan diserang angin besar. Kapal Ki Juragan hancur membentur karang. Ki Juragan Dul Jalam dan seluruh awak kapal tenggelam. Beruntung ketiga pangeran mendapat pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa, ketiganya berhasil naik ke daratan. Mereka kemudian berlindung pada sebuah ceruk di tebing pantai. Dalam keadaan basah kuyup mereka tak henti membaca istighfar.

Para saudagar yang berlayar di sekitarnya segera datang menolong. Mereka melihat masih ada tiga orang yang selamat di atas batu karang, sedang berlindung di dalam sebuah ceruk. Ketiga pangeran kemudian diselamatkan oleh awak kapal lain dan dibawa ke darat. Mereka kemudian merawat ketiga pangeran sampai sehat kembali. Mereka kemudian bertanya sebab-sebab sampai kapal bisa tenggelam. Ketiga pangeran menjawab bahwa semua ini atas kehendak Allah Yang Maha Kuasa.

Orang-orang bertanya, “Dari mana asal kalian bertiga,? Apakah hendak berdagang di Kamboja? Apakah belum mengenal perairan Kamboja sehingga sampai celaka?”

Ketiga pangeran menjawab, “Kami bertiga dari negeri Cempa, hendak ke tanah Jawa mengunjungi saudara dengan ikut kapal dagang yang berlayar ke sana.”

Para nakoda kapal di Kamboja merasa kasihan melihat nasib ketiga pemuda itu. Mereka kemudian bertanya nama ketiga pemuda tersebut. Oleh ketiganya dijawab dengan terus terang, tetapi tidak diberitahukan bahwa mereka adalah pangeran dari Cempa. Mereka mengaku sebagai rakyat jelata. Para nakoda hendak melapor kepada tuannya dahulu. Untuk sementara ketiga pemuda disuruh beristirahat. Beberapa saat kemudian ketiga pemuda tadi diambil anak oleh seorang pedagang besar. Karena penampilan mereka yang mengesankan ketiganya sangat dikasihi dan dimanjakan oleh orang tua angkatnya.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/04/02/serat-walisana-1-tiga-pangeran-campa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...