Translate

Senin, 22 Juli 2024

Paribasan 1-10

 

Paribasan (1): Bocah wingi sore

Arti harfiahnya adalah anak kemarin sore, maknanya anak atau orang yang masih muda sehingga belum banyak pengalaman atau pengetahuan.

Ketika Lebaran Badrun sekeluarga mudik ke desa. Di desa dia bersilaturahmi dengan banyak kerabat dan teman-teman. Salah seorang kerabat, Pakdhe Sutajaya, sangat terharu atas kedatangan Badrun sekeluarga. Pakdhe Sutajaya memeluk Badrun sambil menangis.

Anak Badrun yang paling besar, Toyib, sangat heran dengan kelakuan Pakdhe Sutajaya. Dia kemudian bertanya kepada bapaknya, “Pak itu siapa orang tua yang sudah pikun kok memeluk bapak sambil menangis?”

Badrun menjawab, “Itu kakek Sutajaya, Pakdhe dari bapakmu ini. Beliau itu orang yang memelihara bapak sejak kecik sebelum bapak merantau ke Jakarta!”

Si Thoyib terheran-heran, “Kok aku tidak pernah tahu?”

Jawab si Badrun, “Lha iya, wong kamu kan bocah wingi sore!”

Paribasan (2): Amburu udhèt kelangan wêlut

Arti harfiahnya adalah mengejar udhet kehilangan belut. Udhet adalah belut kecil. Makna paribasan ini adalah mengejar sesuatu yang kurang berharga tetapi malah menjadi kehilangan sesuatu yang lebih berharga.

Versi lain paribasan ini adalah: Mburu uceng kelangan dheleg. Uceng adalah ikan yang sangat kecil yang sebenarnya tak patut menjadi lauk-pauk, dheleg adalah ikan yang besar, yang cukup pantas untuk dimasak. Makna dua paribasan tersebut sama.

Ki Ramu sudah seharian ini berburu rusa di hutan. Rusak gemuk berhasil dia tembak dengan panahnya. Dia bermaksud pulang, dengan menyusuri jalanan setapak di hutan. Tubuh rusa yang lumayan besar itu dia panggul di pundaknya yang kekar. Hasil buruan yang lumayan untuk cadangan lauk-pauk makan seminggu ini.

Di tengah jalan setapak itu mendadak Ki Ramu melihat seekor kelinci besar menyeberang. Kelinci gemuk itu tampak menggoda. Ki Ramu berpikir, “Wah lumayan juga itu kelinci buat nambah lauk-pauk!”

Akhirnya Ki Ramu mengejar kelinci itu. Rusa yang pingsan akibat anak panah Ki Ramu digeletakkan di pinggir jalan setapak. Ki Ramu memburu kelinci masuk ke hutan. Tetepi ternyata kelinci itu sangat gesit. Berlari amat cepat sehingga Ki Ramu kehilangan jejak. Dengan masygul Ki Ramu kembali. Namun dia kaget ketika mendapati rusanya telah hilang entah kemana.

Ki Ramu hanya bisa menyesali perbuatannya sambil bergumam, “Wah, mburu udhet kelangan welut!”

Paribasan (3):  Ula marani gitik

Arti harfiahnya adalah ular mendekati pemukul. Maknanya orang yang mendekati marabahaya bagi dirinya.

Suatu pagi Mas Jono membuka toko kelontongnya dengan lunglai. Semalam dia kehilangan harta benda berupa sekotak perhiasan. Pikirannya sungguh kacau sehingga dia terlambat datang ke toko. Sudah banyak antrian pembeli yang hendak berbelanja.

Setelah selesai melayani pembeli Mas Jono duduk-duduk di teras tokonya. Seseorang datang dengan tergesa-gesa ke toko Mas Jono.

“Ada apa mas? Kok tampak buru-buru?” tanya Mas Jono.

Orang tersebut menjawab, “Saya mau menukarkan emas. Boleh ditukar dengan uang atau beras Pak. Murah Pak. Cukup ditukar dengan uang lima juta atau satu ton beras juga boleh!”

Mas Jono meminta orang tersebut menunjukkan emas yang dimaksud. Orang tersebut kemudian mengeluarkan kotak perhiasan. Mas Jono kaget karena kotak itu adalah kotak perhiasannya yang hilang semalam. Mas Jono menyetujui untuk membayar emas tersebut. Dengan alasan akan mengambil uang di bank, Mas Jono mengajak orang tersebut bersamanya. Berangkatlah keduanya membonceng mobil Mas Jono. Di tengah jalan Mas Jono berbelok ke kantor polisi. Dia kemudian turun dan menyerahkan si pencuri berserta barang buktinya untuk diproses hukum.

Kepala Polisi tertawa dan berkata, “Wah Pak Pencuri, sampeyan ki kaya ula marani gitik, hahaha…”


Paribasan (4): Uyah kêcêmplung ing sagara

Arti harfiahnya adalah garam tercebur ke lautan. Maknanya sesuatu yang hilang tanpa disadari, seperti hilangnya bongkah garam yang tercebur ke laut. Baru saja tercebur ketika dicari sudah larut dalam lautan.

Dahulu kala ada seorang sudagar kaya raya bernama Ki Deksa. Sebagai orang kaya dia punya banyak kawan yang sering berkunjung. Kawan-kawan di Deksa ini sering mengajak ki Deksa berjudi. Sebenarnya Ki Deksa sendiri tidak pernah berjudi dan selalu menolak, tapi kawan-kawan selalu mengajak sambil sesekali meledek.

Karena risih dan tak tahan ejekan suatu ketika Ki Deksa menerima ajakan itu. Ternyata Ki Deksa menang dan girang bukan main. Keesokan harinya Ki Deksa ikut lagi, dan lagi sampai ketagian. Namun akhir-akhirnya Ki Deksa selalu kalah. Hal itu tidak membuatnya kapok, malah membuatnya semakin penasaran. tiap kali menerima hasil perdagangan dari tokonya dia membawa ke tempat perjudian dan lagi-lagi kalah. Rasa penasarannya semakin bertambah.

Ketika uangnya habis, dia tidak berhenti. Dia masih berharap akan menang dan membalikkan keadaan. Namun yang diharapkan tak kunjung didapatkan. Dia terlilit utang yang sangat besar hingga bangkrut.

Setelah harta bendanya habis dan banyak utang, dia baru menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Seperti baru kemarin saja dia menjadi orang kaya, dan sekarang dia mendapati dirinya miskin. Semua hartanya habis seolah seperti: uyah kecemplung segara.
 

Paribasan (5): Wêlut didoli udhèt

Arti harfiahnya adalah belut hendak ditukar udhet. Udhet adalah sejenis belut kecil. Maknanya barang yang bernilai tinggi hendak dihargai murah.

Bu Sura Klumpuk mempunyai piutang kepada seoran tetangganya sejumlah lima ratus ribu rupiah. Karena sudah lama tak kunjung disaur Bu Sura Klumpuk bermaksud menagih hutang itu. Dia merancang cara agar di tetangga tidak tersinggung. Maka dia berpura-pura untuk meminjam kalung emas milik tetangganya itu.

Berkatalah kepada si tetangga, “Tante, saya besok mau jagong ke acara pernikahan di Solo. Tapi saya tidak punya perhiasan yang pantas untuk dipakai. Jika berkenan bolehkah aku meminjam kalungmu?”

Si tetangga menjawab, “Aduh Budhe, kebetulan kalung emas saya itu sedang saya gadaikan. Jadi mohon maaf tidak bisa saya pinjamkan. Maaf ya Budhe.”

Bu Sura Klumpuk pulang dengan hati masygul karena maksunya tak kesampaian.

Sementara si tentangga menggerutu, “Orang kok licik betul. Masa hutang lima ratus ribu saja mau minta kalung emas yang harganya jutaan. Itu sama dengan: welut didoli udhet!”

Ada peribahasa yang artinya mirip dengan paribasan ini. Yakni; Cina didoli dom.


Paribasan (6): Ambuwang rase nêmu kuwuk

Arti harfiahnya adalah membuang luwak kembang, dan menemukan kucing kudisan. Maknanya; menukar hal yang kurang baik untuk mendapat yang lebih baik, tetapi malah menemui hal yang lebih buruk.

Pak Krama punya istri yang cantik, tapi sayang dia punya kekurangan yang sangat menganggu, pemalas bukan main. Segala pekerjaan rumah terbengkelai, melayani suami pun tak becus. Akibatnya rumah menjadi berantakan, dan Pak Krama sering uring-uringan.

Karena sudah tak tahan lagi Pak Krama menceraikan istrinya itu dan segera mencari ganti. dia sudah trauma dengan istrinya yang cantik tapi pemalas. Maka dia menerima apa adanya istri barunya yang tak terlalu cantik tapi kelihatan gesit dan cekatan.

Sekarang sebagai pengantin baru Pak Karta merasa bahagia karena impiannya terwujud. Namun selang tiga bulan kemudian watak istri barunya mulai nampak. Ternyata dia juga tak jauh beda dengan istri pertamanya, tak pandai mengurus rumah tangga. Urusan banyak yang tak beres, bahkan sering kali membantah kalau diingatkan. Yang lebih menyakitkan, istrinya sering ngutang ke tetangga tanpa izin suaminya. Sering kali Pak Krama menanggung malu karena ditagih.

Para tetangga sangat kasihan dengan Pak Krama, mereka berujar, “Pak Krama ini ingin ganti istri yang lebih baik malah dapat istri yang lebih jelek. Ibaratnya: mbuang rase nemu kuwuk!”
 

Paribasan (7): Kêpatèn obor

Arti harfiahnya adalah terlanjur mati obornya. Maknanya sudah tidak bisa melacak jejak sanak atau saudara yang hilang.

Pak Kerta lan Pak Karta saudara kembar yang hidup di tahun 1800an. Di jaman itu ada angkatan pekerja ke Suriname. Pak Kerta ikut dalam rombongan yang dikirim ke Suriname itu. Di sana Pak Kerta menetap dan berkeluarga, beranak pinak sampai cucu-cucunya. Setelah merdeka salah seorang cucu bernama Kramayuda bermaksud melacak leluhurnya di tanah Jawa. Dia kemudian pergi ke Banyumas, wilayah asal Pak Kerta. Di sana dia bertanya-tanya kepada orang-orang, tetapi tak satupun yang mengenal anak keturunan Pak Karta.

Salah seorang pinisepuh, mengatakan kalau tetangganya dulu memang pernah berkata bahwa ayahnya punya saudara yang pergi ke Suriname dan tidak pulang-pulang. Namun pinisepuh tadi juga sudah lupa apakah ayah dari tetangganya tersebut bernama Pak Karta. Si tetangga itu sudah meninggal. Anaknya kemudian merantau ke Sumatera dan juga sudah tidak pernah pulang-pulang lagi. Alamatnya pun tak diketahui lagi. 

Pinisepuh tadi berkata, “Nak, aku pun tak yakin kalau tetangga saya itu adalah orang yang kau maksud. Jadi engkau sudah kepaten obor sekarang.”

Paribasan (8) Anggênthong umos

Arti harafiahnya adalah genthong bocor. Genthong adalah tempat wadah air, umos adalah porus atau rembes sehingga airnya keluar perlahan-lahan. Makna paribasan ini adalah orang yang tidak dapat menjaga harta bendanya sehingga habis tak berbekas.

Mboh Dhadhap adalah janda satu anak yang sudah lama ditinggal mati suaminya. Karena tinggal hidup dengan anak semata wayang dia sangat mengasihi anaknya itu. Rasa kasih sayangnya membuat dia memaanjakan anaknya itu. Akibatnya anaknya menjadi boros dan banyak keinginan.

Setelah tua Mbok Dhadhap menyerahkan sebagian harta kekayaan peninggalan suaminya untuk dikelola anak gadisnya itu. Dengan maksud agar si anak mandiri. Namun karena sejak kecil sudah berlaku boros, harta yang dikelolanya tak kunjung bertambah. Bahkan sedikit demi sedikit harta itu habis.

Mbok Dhadhap kecewa dan menahan sisa harta yang masih ada padanya. Dia berkata kesal, “Sekarang engkau jangan pegang harta lagi. Engkau ini seperti genthong umos!”

 

Paribasan (9): Kêmladheyan ngajak sêmpal

Arti harafiahnya adalah benalu membuat patah. Kemladheyan adalah sejenis benalu yang menempek pada batang induk. Lama-lama kemladheyan ini bisa tumbuh besar melebihi cabang yang ditempeli, sehingga akhirnya patah. Maksudnya adalah menolong orang lain tetapi malah menimbulkan celaka.

Ada seorang kaya namanya Pak Sada yang tiba-tiba kedatangan teman lamanya Durmuka. Si Durmuka mengatakan kalau sedang kesulitan, menganggur tidak bekerja dan tidak punya uang lagi. Pak Sada bermaksud menolong dengan mengangkat temanya tadi untuk menjadi manajer di salah satu cabang tokonya yang baru dibuka di daerah lain.

Setelah beberapa bulan diketahui kalau laporan keuangan toko baru tersebut jeblok. Toko menderita kerugian terus menerus. Pak Sada kemudian memeriksa pembukuan secara teliti. Ternyata teman lamanya, si Durmuka terbukti korupsi.

Pak Sada kemudian melaporkan Durmuka ke pihak berwajib. Setelah Durmuka ditangkap Pak Sada mengeluarkan isi hatinya. Dia memaki Durmuka, “Engkau ini kutolong tapi malah merusak usaha saya. Kelakuanmu itu seperti: kemladheyan ngajak sempal!”

Paribasan (10): Cindhil ngadu gajah

Arti harfiahnya adalah anak tikus mengadu gajah. Maknanya adalah orang lemah yang sanggup mengadu domba orang besar.

Seorang Bupati mempunyai seorang karyawan yang bertugas sebagai satpam. Si Satpam ini, bernama Bagor, sangat disayang oleh sang Bupati. Namun dia punta watak yang kurang baik, sangat gemar mengutip uang dari para tamu yang datang. Tingkahnya juga sombong sekali, mentang-mentang dekat dengan Bupati.

Suatu ketika seorang camat amat kecewa hatinya karena sudah satu jam dibuat menunggu oleh si satpam itu. Hal itu ternyata karena Pak Camat tidak mau memberi uang tips, sehingga si Bagor tidak melaporkan kalau Pak Camat akan menghadap.

Pak Camat marah dan menegur Si Bagor, “Kalau kamu kerjanya begitu, nanti akan saya laporkan pada Bupati agar kamu dipecat!”

Si Bagor khawatir dan kemudian mengadukan kepada Bupati. Dia berbohong dengan mengatakan kalau Pak Camat datang dengan marah-marah minta segera ditemui oleh Pak Bupati.

Bupati marah dan memaki-maki Pak Camat. Namun setelah kemarahannya reda Pak Camat menjelaskan duduk perkaranya. Pak Bupati menyadari bahwa dia telah diadu domba oleh satpamnya sendiri. Dia berkata dengan menyesal, “Wow dik Camat, kita ini seperti gajah diadu cindhil!”

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/23/paribasan-1-10-bocah-wingi-sore/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...