Translate

Senin, 29 Juli 2024

LENGGERAN


Lenggeran kuwe seni drama tradisional Banyumasan sing dipadu karo seni tari uga dialog. Jenis kesenian rakyat kiye biasa digelar nang lapangan terbuka utawa pelataran omah sing duwe hajatan. Penarine (lengger) biasane minimal 2 penari wadon ditambah badhut (lanang) sing muncul nang pertengahan wektu pagelaran.

Musik pengiring tari lengger kuwe perangkat musik calung Banyumasan. Perangkat musik kiye sebagian sekang perangkat Gamelan. Nang akhir pagelaran, biasane penonton olih melu munggah panggung menari bareng penari lengger sambi ngaweh saweran maring lenggere.


         Jane pagelaran lengger kanthi wutuh kuwe pada baen karo pagelaran seni Drama (tradisional) sing ditambah seni tari karo dialog, ning sing cokan dadi pusat perhatian mung gerak tariane thok. Urut-urutan babak pagelaran lengger sing utuh kuwe:     babak lenggeran (perkenalan), babak badhutan (permasalahan awal karo lakon), babak jaran calung (permasalahan sing ngeruncing/krisis) terus terakhir babak baladewan (penyelesaian/keputusan).


         Kabeh babak-babak kuwe ngandung nilai-nilai, antarane: nilai estetika, kepercayaan, perjuangan, kemanusiaan, kejujuran karo nilai-nilai ketaatan maring ruh para leluhur. Jaman ganu, lengger duwe kesan sing kurang apik sebab cokan dipadhakna karo ronggeng, ning jaman siki wis berobah, malah siki akeh muncul grup-grup lengger sing profesional sing biasa diundang nang acara-acara resmi. Grup-grup lengger siki malah wis duwe struktur organisasi sing madan mapan, ana pembinane, ana ketua sing tugase memimpin kegiatan latihan, gladi resik karo teknik pementasan.


MATERI AKSARA JAWA

 A.     Pengantar

Aksara Jawa merupakan aksara yang digunakan untuk menuliskan buah pikiran orang Jawa. Menurut cerita rakyat yang berkembang, aksara tersebut muncul berkaitan dengan cerita Ajisaka. Dalam cerita itu, Ajisaka membuat dua puluh huruf setelah kematian dua abdinya, yaitu Dora dan Sembada, akibat melaksanakan perintahnya. Itu adalah kemunculan aksara Jawa menurut legenda.

Namun, sebenarnya aksara Jawa tercipta dari proses yang panjang. Aksara tersebut merupakan adaptasi huruf dari Pallawa dari India. Di India, aksara Pallawa biasa digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta. Oleh karena itu, sistem fonem dalam aksara Pallawa mengikuti sistem fonem bahasa Sansekerta. Misalnya, dalam bahasa Sansekerta dikenal konsonan ṇ, kh, dh, th, ph, gh, bh, ṣ, dan ś. Di samping itu, dalam bahasa tersebut juga dikenal vokal panjang, juga vokal ḷ dan ṛ. Fonem-fonem tersebut tidak terdapat dalam bahasa Jawa.

Saat aksara Pallawa sampai di Jawa, lambang-lambang fonem tersebut masih digunakan. Aksara tersebut digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan berevolusi menjadi aksara Jawa. Akan tetapi, tidak ada kaidah yang baku dalam penulisannya sehingga suatu kata pada satu teks dapat berbeda penulisannya dalam teks lain. Misalnya, dalam satu naskah ditemukan kata pana sedangkan di naskah lainnya ditulis ponna, padahal kata yang dimaksudkan sama.

Pada tahun 1926 diselenggarakan sarasehan di Sriwedari, Surakarta. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan peraturan tentang tata cara penulisan aksara Jawa. Selain tata cara penulisan kata, huruf-huruf yang tidak terdapat dalam fonem bahasa Jawa diakomodasi menjadi aksara murda. Aksara tersebut digunakan untuk menulis nama-nama orang yang dihormati. Itulah alasannya mengapa tidak semua aksara Jawa memiliki murda. Demikian pula, ḷ dan ṛ yang dalam bahasa Sansekerta merupakan vokal, dalam bahasa Jawa tidak ada. Kedua huruf tersebut diakomodasi menjadi bunyi le dan re. Itu juga menjadi alasan le dan re memiliki aksara sendiri, tidak diberi pepet seperti aksara lainnya.

Dalam aksara Pallawa juga berlaku sastra laku, yaitu jika satu konsonan mati di akhir suatu kata bertemu dengan kata yang diawali vokal, konsonan mati tersebut menjadi hidup bersambung dengan kata berikutnya. Itulah sebabnya aksara swara tidak memiliki pasangan.


Setelah pertemuan Sriwedari, sastra laku tidak diberlakukan. Konsonan mati yang bertemu dengan aksara swara maka diberi pangku.

Hal lain yang dihadapi pada saat pertemuan Sriwedari adalah bertemunya bahasa Jawa dengan bahasa-bahasa asing, yaitu bahasa Arab dan bahasa Belanda. Ada beberapa fonem dari bahasa-bahasa tersebut yang tidak terdapat dalam aksara Jawa. Oleh karena itu, dibuat beberapa aksara rekan untuk menuliskan fonem-fonem yang tidak ada tersebut.

Demikianlah, selain membakukan tata cara penulisan aksara Jawa, Peraturan Sriwedari juga mengakomodasi beberapa aksara agar tidak hilang. Pembuatan peraturan tersebut disesuaikan dengan situasi kebahasaan saat itu. Selain itu, peraturan dibuat dengan pengetahuan linguistik yang berkembang pada saat itu.

Peraturan Sriwedari telah dibuat hampir satu abad yang lalu. Sepanjang waktu itu, tentu telah terjadi kemajuan-kemajuan dalam bidang linguistik. Selain itu, bahasa Jawa juga semakin berkembang. Sebagai bagian bahasa dunia, terjadi juga persinggungan dengan Bahasa-bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia dan Inggris. Peraturan Sriwedari dirasa kurang memadai. Apalagi Peraturan Sriwedari dibuat berdasarkan bahasa Jawa di Surakarta dan sekitarnya. Adanya dialek-dialek, misalnya Banyumas dan Tegal, tidak diakomodasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi terhadap peraturan tersebut.

Namun, dalam buku ini selanjutnya tidak akan dibahas sejauh itu. Permasalahan yang ditemui di masyarakat pada saat ini adalah kurang dikenalnya aksara Jawa. Sekarang ini sedikit sekali orang yang dapat membaca aksara Jawa. Hal itu terutama jika dibandingkan dengan jumlah populasi orang Jawa. Permasalahan yang lain adalah kurangnya waktu pembelajaran aksara Jawa di sekolah. Dengan demikian, banyak guru yang kesulitan memahamkan aksara Jawa kepada siswa-siswanya. Perlu metode untuk memudahkan pembelajaran aksara Jawa. Oleh karena itu, selain mengenalkan aksara Jawa, dalam buku ini juga ditawarkan beberapa contoh pengajarannya.

Tujuan buku ini adalah pengenalan aksara Jawa pada tingkat menengah yang telah memuat materi tentang aksara murda, aksara swara, aksara rekan, dan angka. Oleh karena itu, dalam buku ini materi-materi tersebut dibahas meskipun tidak secara mendalam. Selain kaidah penulisan, dalam buku ini juga dimuat contoh strategi pengenalan aksara Jawa kepada siswa.


B.     Materi

1.      Aksara Lêgêna

Aksara Jawa Lêgêna adalah aksara murni yang belum mendapatkan penanda bunyi vokal wulu (i), suku (u), taling (é/è), pêpêt (ê), dan taling tarung (o). Aksara Jawa Lêgêna berjumlah 20 buah, seperti berikut.

 

 

Penulisan aksara Jawa bersifat silabis, sehingga berbeda dengan penulisan huruf latin. Contoh:

 

ꦲꦤ

ꦫꦗ

ꦕꦫ

ꦭꦮ

ꦩꦠ

ꦥꦢ

ꦥꦣ

ꦫꦏ

ꦫꦒ

ꦫꦤ

ꦫꦢ

ꦏꦫ

ꦤꦮꦭ

ꦧꦛꦫ

ꦕꦫꦏ

ꦥꦮꦤ


2.       Sandhangan Swara

Vokal dalam aksara Jawa terdiri dari vokal a, i, u, é/è, ê, dan o. Adapun bentuk tulisan vokal dalam Aksara Jawa disebut dengan sandhangan swara. Khusus vokal a sudah melekat langsung pada aksaranya yang bersifat silabis. Sementara itu, vokal i, u, é/è, ê, dan o mempunyai bentuk tersendiri. Berikut ini penjelasannya.

a.   Wulu (---- ),

Sandhangan swara ini untuk bunyi vokal [i].

 

iki

siwi

ꦲ ꦏ

ꦱ ꦮ

 

b.   Suku (----  )

Sandhangan swara ini untuk bunyi vokal [u].

 

tuku

sunu

ꦠ ꦏ

ꦱ ꦤ

 

c.      Taling (---)

Sandhangan swara ini untuk bunyi vokal [é/è].

 

kéné

mènèk

ꦺꦏꦺꦤ

ꦺꦩꦺꦤꦏ꧀

 

d.      Pêpêt (--- )

Sandhangan swara ini untuk bunyi vokal [ê].

 

kêmbên

sênêng

ꦏ ꦩꦧ ꦤ꧀

ꦱ ꦤꦁ


e.      Taling tarung ( ---  )

Sandhangan swara ini untuk bunyi vokal [o].

 

loro

toko

ꦺꦭ ꦺꦫ

ꦺꦠ ꦺꦏ

 

 

3.       Sandhangan Panyigêg Wanda

Sandhangan ini terdiri dari empat macam, yaitu wignyan, layar, cêcak, dan pangkon. Fungsinya adalah untuk menghilangkan bunyi vokal dari suku kata konsonan. Wignyan, layar, dan cêcak, penggunaannya khusus untuk menggantikan fungsi pangkon untuk mematikan vokal dari aksara  ,, dan . Berikut ini penjelasannya.

a.      Wignyan (--- )

Wignyan digunakan untuk mematikan bunyi aksara ha menjadi h. Penggunaan

wigyan dapat di tengah kata atau di akhir kata.

 

cahya

rahmat

omah

lêmah

ꦕ ꦪ

ꦩꦠ꧀

ꦺꦲ ꦩ

ꦊꦩ

 

b.      Layar (--- )

Layar digunakan untuk mematikan bunyi aksara ra menjadi r. Penggunaan

layar dapat di tengah kata atau di akhir kata.

 

sarta

kêrtas

bubur

mabur

ꦱ ꦠ

ꦏꦂꦠꦱ꧀

ꦧ ꦧ 

ꦩꦧ 

 

c.      Cêcak (--- )

Cêcak digunakan untuk mematikan bunyi aksara nga menjadi ng. Penggunaan

cêcak dapat di tengah kata atau di akhir kata.


manggon

bangku

pucung

mulang

ꦩ ꦺꦒ ꦤ꧀

ꦧ ꦏ

ꦥ ꦕ 

ꦩ ꦭ

 

d.      Pangkon (---)

Sandhangan pangkon digunakan untuk meluluhkan bunyi vokal pada aksara

legena (na, ka, da, ta, sa, la, pa, ja, ma, ga, ba, menjadi konsonan n, k, d, t, s, l, p, j, m, g, dan b). Penggunaan pangkon biasanya di akhir kata, kalimat atau kata-kata tertentu.

takon

mènèk

sagêd

ꦠꦺꦏ ꦤ꧀

ꦺꦩꦺꦤꦏ꧀

ꦱꦒ ꦢ꧀

 

Sandhangan pangkon juga berfungsi sebagai tanda koma pengganti pada lingsa dalam sebuah kalimat.

Bapak, ibu, lan eyang dhahar soto.

꧋ꦧꦥꦏ꧀ ꦲ ꦧ ꧈ꦭꦺꦤꦺꦪ ꦣꦲ ꦺꦱ ꦺꦠ ꧉

 

Sandhangan pangkon juga berfungsi sebagai tanda titik di akhir kalimat dengan ditambah pada lingsa.

Wingi aku tuku buku karo sêtip.

꧋ꦮ ꦲꦏ ꦏꦺꦫ ꦥ꧀꧈

 

 

4.       Pasangan

Pasangan adalah bentuk aksara yang tidak dapat berdiri sendiri. Kegunaannya untuk menghilangan bunyi vokal pada aksara yang direkati, sedangkan bunyi vokal pada pasangan itu sendiri tidak hilang. Wujudnya diuraikan di bawah ini.


a. 

sabên rina

sajak répot

ꦱꦧ ꦤꦫ

ꦱꦗꦺꦏꦫꦺꦥ ꦠ꧀

 

 
Seperti aksara aslinya 1)   (ra)

 

 

 

 

 

 

mangan rujak

botên rosa

ꦩꦔꦤꦫꦸꦗꦏ꧀

ꦺꦧ ꦺꦤꦫ ꦱ

 

mudhun gunung

uwis gêdhé

ꦩ ꦣ ꦤ ꦒꦸꦤ 

ꦲ ꦮ

 

 
2)   (ga)

 

 

 

 

 

 

dipun-godha

dipun-gigah

ꦺꦤ

   

 

dipun-yasa

dipun-yiyit

ꦢ ꦥ ꦤ ꦪꦱ

ꦢ ꦥ  ꦤ ꦪꦪ  ꦠ꧀

 

 
3)   (ya)

 

 

 

 

 

 

sapit yuyu

adol yoyo

ꦱꦥ ꦠꦪꦸꦪ

ꦲꦺꦢ ꦺꦭꦪ ꦺꦪ

 

ménggok ngarêp

marêp ngidul

lurus ngétan

ꦺꦩ ꦺꦒ ꦏꦔꦉꦥ꧀

ꦩꦉꦥꦔ ꦢ ꦭ꧀

ꦭ ꦫ ꦺꦱꦔꦠꦤ꧀

 

 
4)   (nga)


 

botên ngêbut

sajak ngoso

ꦺꦧ ꦤꦔ ꦠ꧀

ꦱꦗꦺꦏꦔ ꦺꦱ

 

 

b. 

timun êmas

dipuningah

mangan apêm

ꦠ ꦩ ꦤꦺ ꦩꦱ꧀

ꦢ ꦥ ꦤꦺ ꦔ

ꦩꦔꦤꦺꦥ ꦩ꧀

 

 
Kaki depan hilang 1)  (ha)

 

 

 

 

 

 

dipunukir

pojok omah

ꦢ ꦥ ꦤꦺ ꦏꦂ

ꦺꦥ ꦺꦗ ꦺꦏꦺ ꦩ

 

anak sapi

dipunsêbul

ꦲꦤꦏꦱꦥ

ꦢ ꦥ ꦤꦱ ꦧ ꦭ꧀

 

 
2)   (sa)

 

 

 

 

 

 

botên siyos

dipunsoga

ꦺꦧ ꦠ ꦤꦱ ꦺꦪ ꦱ꧀

ꦢ ꦥ ꦺꦤꦱ ꦒ

 

têngên kiwa

jaran koré

nuthuk kênong

ꦠ ꦔ ꦤꦏ

ꦗꦫꦺꦤꦏ ꦺꦫ

ꦤ ꦛ ꦏꦏ ꦺꦤ

 

 
3)   (pa)

 

 

 

 

 

 

sanès karé

mangan kupat

ꦱꦺꦤꦱꦏꦺꦫ

ꦏꦸꦠ꧀


 

c. 

têngên kiwa

jaran koré

nuthuk kênong

ꦠ ꦔ ꦤꦏ

ꦗꦫꦺꦤꦏ ꦺꦫ

ꦤ ꦛ ꦏꦏ ꦺꦤ

 

 
Kaki belakang hilang. 1)   (ka)

 

 

 

 

 

 

sanès karé

mangan kupat

ꦱꦺꦤꦱꦏꦺꦫ

ꦏꦸꦠ꧀

 

mangan tahu

bibit timun

mithês tuma

uwis têrang

ꦩꦔꦤꦠꦲ

ꦧ ꦠꦠ ꦤ꧀

ꦛ ꦱ ꦠꦸꦩ

ꦲ ꦮ ꦱꦠ

 

 
(ta)

 

 

 

 

 

 

tumbas témpé

sampun tobat

ꦧꦺ

ꦱꦩꦺ ꦠ꧀

 

anak lanang

ngajak lunga

botên limrah

ꦲꦤ

ꦔꦗꦏꦭꦸꦔ

ꦺꦧ ꦠ ꦤꦭ ꦩꦿ

 

 
2)   (la)

 

 

 

 

 

 

dipunlotré

iwak lélé

ꦺꦤꦭ ꦠꦺ

ꦲ ꦮꦺꦏꦭꦺꦭ


d.  Kaki depan dan belakang hilang

1) 

nêpuk dhadha

lèrèn dhisik

manas dhédhé

ꦏꦝꦣ

ꦺꦭꦺꦫꦤꦝ ꦱ

ꦩꦤꦺꦱꦝꦺꦣ

 

 
(dha)

 

 

 

 

 

 

nyundhul bal

mangan dhobêl

ꦝꦸꦭꦭ꧀

ꦩꦔꦺꦤꦝ ꦧ ꦭ꧀

 

2) 

kilat thathit

mangan théthélan

dèwi kunthi

ꦭꦠꦛꦛ ꦠ꧀

ꦩꦔꦤꦛꦺꦤ꧀

ꦺꦢꦮ ꦏ ꦤꦛ

 

 
(tha)

 

 

 

 

 

 

dipunthuthuk

dipunthothok

ꦢ ꦥ  ꦤꦛꦸꦛ ꦏ꧀

ꦢ ꦥ ꦺꦤꦛ ꦺꦛ ꦏ꧀

 

 

e. 

botên nakal

manuk nêba

ꦺꦧ ꦠ ꦤꦤꦏꦭ꧀

ꦩꦤ ꦏꦤ

 

 
Berbeda dengan aksara aslinya 1)   (na)

 

 

 

 

 

 

botên nurut

makani pitik

ꦩꦏꦤꦤ ꦏ꧀


dipuncacah

dalan ciyut

dipuncukur

ꦢ ꦥ ꦤꦕꦕ

ꦢꦭꦤꦕ

ꦢ ꦥ ꦤꦕꦸꦏ 

 

 
2)   (ca)

 

 

 

 

 

 

dipuncobi

jangan cémé

ꦢ ꦥ ꦺꦤꦕ

ꦗꦔꦺꦤꦕꦺꦩ

 

mulut dara

sabên dina

dipundugang

ꦩ ꦭ ꦠꦢꦫ

ꦱꦧ ꦤꦢ

ꦢ ꦥ ꦤꦢꦸꦒ

 

 
3)   (da)

 

 

 

 

 

 

gêndéra putih

udan dêrês

ꦺꦤꦢꦫꦥ ꦠ 

ꦲ ꦢꦤꦢ ꦉꦱ꧀

 

pitik walik

jarik wiron

sakit wudun

ꦥ ꦠ ꦏꦮꦭ ꦏ꧀

ꦗꦫ ꦏꦮ ꦺꦫ ꦤ꧀

ꦱꦏ ꦠꦮꦸꦢ ꦤ꧀

 

 
4)   (wa)

 

 

 

 

 

 

nggodhog wédang

arêp wêruh

ꦺꦒ ꦺꦣ ꦺꦒꦮꦢ

(ꦺꦔ ꦺꦣ ꦺꦒꦮꦢ )

ꦲꦉꦥꦮ  


mangan jagung

janji manis

mangan jéngkol

ꦩꦔꦤꦗꦒ 

ꦗꦚꦗ ꦩꦤ ꦱ꧀

ꦩꦔꦺꦤꦗ ꦺꦏ ꦭ꧀

 

 
5)   (ja)

 

 

 

 

 

 

dipunjotos

arta panjêr

ꦢ ꦥ ꦺꦤꦗ ꦺꦠ ꦱ꧀

ꦲ ꦠꦥꦚꦗꦂ

 

botên nyana

baut nyinom

sagêd nyulam

ꦺꦧ ꦠ ꦤꦚꦤ

ꦧꦲ ꦩ꧀

ꦱꦒ ꦢꦚ ꦭꦩ꧀

 

 
6)   (nya)

 

 

 

 

 

 

sawêg nyêrat

botên nyéwa

sagêd nyopir

ꦠ꧀

ꦺꦧ ꦠ ꦺꦤꦚꦮ

ꦱꦒ ꦺꦢꦚ ꦥꦂ

 

botên marêm

ngajak minggir

sajak muring

ꦺꦧ ꦠ ꦤꦩꦉꦩ꧀

ꦔꦗꦏꦩꦁꦒꦂ

ꦱꦗꦏꦩꦸꦫꦁ

 

 
7)   (ma)

 

 

 

 

 

 

anak molah

arêp mêtu

ꦲꦤꦺꦏꦩ ꦭ

ꦲꦉꦥꦩ


nuthuk bata

jaman biyèn

bumbu uyah

ꦗꦩꦤꦧ ꦺꦪꦤ꧀

ꦧꦸꦲ

 

 
8)   (ba)

 

 

 

 

 

 

kaya jambé

dipunbêsut

taman bocah

ꦩꦧ

ꦢ ꦥ ꦤꦧ ꦱ  ꦠ꧀

ꦠꦩꦺꦤꦧ ꦕ

 

 

f.  Letak pasangan dalam penulisan

1)  Di samping kanan, pasangan: ha, sa, pa.

2)  Di bawah yaitu pasangan: na, ca, ra, ka, da, ta, wa, la, dha, ja, ya, nya, ma, ga, bat, ha, nga

 

5.       Sandhangan wyanjana

a.      Bentuk

Terdapat   tiga   sandhangan   wyanjana,   yaitu:   cakra,   kêrêt,   dan péngkal.

Ketiganya ditulis dengan cara dilekatkan di belakang huruf.

 

Cakra: ---

prahara

kaprah

ꦥꦿꦲꦫ

ꦏ ꦥꦿ

Kêrêt: ---

krêtêg

katrêm

ꦏ ꦠ ꦒ꧀

ꦏꦠ ꦩ꧀

Péngkal: ---- :

kyai

mangkya

ꦏ ꦲ

ꦩ ꦏ

 

b.      Fungsi

Sebagaimana contoh di  atas, sandhangan wyanjana berfungsi     menyelipkan

semivokal r dan y untuk membentuk gugus konsonan. Cakra menyelipkan semivokal r, kêrêt untuk menyelipkan semivokal , dan péngkal untuk menyelipkan semivokal y.


 

6.       Panjingan dan gembung

Selain r dan y, ada dua semivokal lain, yaitu l dan w. Jika pembentukan gugus konsonan untuk r dan y dengan sandhangan, pembentukan gugus konsonan l dan w dilakukan dengan memanfaatkan pasangan. Sebagai pembentuk gugus konsonan, kedua aksara itu disebut panjingan. Panjingan wa juga sering disebut gembung. Kedua panjingan tersebut ditempatkan di bawah aksara yang direkati.

Panjingan la ----

klapa

kêplak

ꦏꦭꦥ

  

Gembung (wa) ----

kwali

cakwé

ꦏꦮꦭ

ꦕꦺꦏꦮ

 

7.       Aturan khusus

Sub-aturan khusus ini diperuntukkan bagi penulisan kata yang perlu lebih dicermati. Aturan khusus ini terdiri dari:

a.      Aksara   (rê) dan (lê)

Penulisan rê dan dibedakan menjadi dua, yaitu:

1)  dan yang berfungsi bukan sebagai pasangan

 

rê:

ꦢ ꦤꦉꦺꦧ

dina rêbo

lê:

ꦠ ꦏ ꦊꦔ

tuku lênga

 

2)  dan lê yang berfungsi sebagai pasangan.

 

rê: ---

ꦺꦱꦱ ꦏꦉꦺꦧ

sésuk rêbo

lê: ----

ꦏ ꦭꦏꦭ ꦔ

kulak lênga


b.      Pasangan (ka), (ta), dan (la)

Pasangan ka (- - -), ta (- - -) dan la (- - -) yang berwujud potongan dari huruf aslinya dan terletak  di  bawah  huruf  yang  dipasangi,  jika  mendapatkan suku, cakra,

cakra kêrêt maupun péngkal, maka wujud pasangan tadi kembali ke dalam bentuk utuhnya atau aslinya terlebih dahulu baru kemudian di-suku, di-cakra, di-cakra kêrêt maupun di-péngkal.

natap kursi

kulak tulup

dalan lurus

adus kramas

ꦤꦠ ꦥ ꦱ

ꦠꦸ ꦥ꧀

ꦢꦭ ꦤ ꦭꦸꦫ ꦱ꧀

ꦲꦢ ꦱ ꦏꦿꦩꦱ꧀

 

 

kulak trasi

natap krêndha

nyandhak srêbèt

ꦏ ꦭ ꦏꦠꦿꦱ

ꦤꦠꦥ

ꦚꦤꦝꦏꦱ ꦺꦧꦠ꧀

 

c.       Taling tarung palsu

Istilah dan penggunaan taling tarung palsu ini muncul di Pedoman Ejaan Penulisan Sriwedari. Taling tarung ini muncul atau ditulis ketika sebuah kata terdiri dari 2 atau lebih suku kata yang tidak mendapatkan akhiran, di mana suku kata pertama tertutup nasal (n, m, ng, dan ny) bervokal a, diikuti suku kata terbuka bervokal a jêjêg (vokal a yang diucapkan seperti bunyi o dalam kata pokok).

kandha

kanca

sanja

ꦺꦏ ꦤꦝ

ꦺꦏ ꦚꦕ

ꦺꦱ ꦚꦗ

 

 

pancawara

tamba

bangsa

ꦺꦥ ꦚꦕꦮꦫ

ꦺꦧ  

 

Jika kata-kata tersebut mendapatkan akhiran -é, -ipun, -aké, -akên, -mu, -ku, - ne, dan -an maka akan berubah bunyi dan tulisannya. Taling tarung palsu tersebut


hilang, dan berubah bunyi menjadi a miring (seperti bunyi a pada kata saya atau kembali ke bunyi lêgêna ).

kandhané

kandhakaké

kancanipun

sanjanipun

ꦏꦤꦝꦺꦤ

ꦤꦝꦺꦏ

ꦏꦚꦕꦤ ꦥ ꦤ꧀

ꦱꦚꦗꦤ ꦥ ꦤ꧀

 

d.      Dwipurwa

Dwipurwa adalah kata yang mengalami perulangan di depan kata. Dwipurwa ditulis sesuai dengan bunyi suku kata depan dari kata dasarnya, tetapi jika dibaca, bunyi dwipurwa akan mengarah ke bunyi ê dan a.

bubuka

tutuku

kakancan

gaganda

ꦧ ꦧ

ꦠ ꦠ

ꦏꦏꦚꦕꦤ꧀

ꦒꦺꦒ ꦤꦢ

 

e.      Pasangan (ca) dan (ja)

Menurut Pedoman Penulisan Ejaan Sriwedari, pasangan ca dan ja tidak boleh

berada di bawah aksara na dalam satu kata. Jika terjadi demikian maka aksara na

berubah menjadi aksara nya.

 

Latin

Ditulis

mancing

ꦩꦚꦕꦁ

manjing

ꦩꦚꦗꦁ

kanca

ꦺꦏ ꦚꦕ

sanja

ꦺꦱ ꦚꦗ

 

8.       Têmbung Andhahan

Têmbung andhahan dalam Bahasa Indonesia adalah kata jadian, yaitu kata yang telah mengalami proses morfologi, yaitu afiksasi dan reduplikasi. Dalam Bahasa Jawa seperti halnya dalam bahasa Indonesia, mengenal empat macam afiks atau imbuhan, yaitu


awalan, sisipan, akhiran dan gabungan (konfiks). Penambahan imbuhan dalam suatu kata kadang-kadang berpengaruh pada bentuk maupun bunyi kata itu. Untuk lebih jelasnya berikut ini dijelaskan satu per satu:

 

a.       Awalan

1)  Anu-swara (nasal)

Awalan

Dasar

Latin

Ditulis

Hanya boleh jika diperlukan

ng-

atag

ngatag

ꦔꦠꦒ꧀

ꦲꦔꦠꦒ꧀

n-

tantang

nantang

ꦤꦤꦠ

ꦲꦤꦤꦠ

m-

pranata

mranata

ꦩꦿꦤꦠ

ꦲ ꦩꦿꦤꦠ

 

 
Jika awal suku kata luluh, awalan nasal tidak diawali dengan (ha).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jika awal suku kata tidak luluh, misalnya:

 

 

Awalan

Dasar

Latin

Ditulis

Tidak boleh

(a)N-

dadar

andadar

ꦲꦤꦢꦢ

ꦢꦢ

(a)N-

jêkêtêt

anjêkêtêt

ꦲꦚꦗ ꦏ ꦠ ꦠ꧀

ꦗ ꦏ ꦠ ꦠ꧀

(a)N-

dhêdhêr

andhêdhêr

ꦲꦤꦝ ꦣꦂ

ꦣ ꦣꦂ

(a)N-

githing

anggithing

ꦲ ꦒ ꦛꦁ

ꦒ ꦛꦁ

(a)N-

buwang

ambuwang

ꦲꦩꦧꦸꦮ

ꦧ ꦮ

 

Dalam perkembangannya jika tidak menyulitkan bisa ditulis:

 

ndadar

njêkêtêt

ndhêdhêr

nggithing

mbuwang

ꦤꦢꦢ

ꦚꦗ ꦠ ꦠ꧀

ꦤꦝ ꦣꦂ

ꦔ ꦒꦛꦁ

ꦩꦧꦸꦮ


2)  Têmbung tanduk

Kata aktif (tembung tanduk) yang awal kata dasarnya luluh oleh awalan nasal, jika mendapat awalan (pa), awal kata aktif itu tidak dirangkap.

Awalan

Dasar

Latin

Ditulis

Tidak ditulis

pa(N)-

sêmbah

panêmbah

ꦥꦤ ꦩꦧ

ꦥꦤꦤ ꦩꦧ

pa(N)-

cêkêl

panyêkêl

ꦥꦚ ꦏ ꦭ꧀

ꦥꦤ    ꦭ꧀

 

3)  Bawa ka- atau kata yang berawalan ka-, jika awalan tersebut tidak luluh dengan awalan kata dasarnya, maka awalan ka- harus dipepet.

Awalan

Dasar

Latin

Ditulis

ka-

dadak

kêdadak

ꦏ ꦢꦢꦏ꧀

 

4)  Kata dasar yang berawal a-, jika mendapatkan awalan pi- dan pri-, maka awal   -a

pada kata dasar tersebut tidak berubah.

 

Awalan

Dasar

Latin

Ditulis

pi-

angkuh

piangkuh

ꦥ ꦲ ꦏ 

pi-

awon

piawon

ꦥ ꦲꦺꦮ ꦤ꧀

pi-

ala

piala

ꦥ ꦲꦭ

 

Pengecualian:  ada yang berubah:

 

Awalan

Dasar

Latin

Ditulis

pi-

agem

piyagêm

ꦥ ꦪꦒ ꦩ꧀

 

 

pri-

 

 

angga

 

 

priyangga

ꦥꦿ ꦒ꧈

ꦥꦿ ꦺꦪ ꦒ


b.      Sêsêlan (Sisipan)

1)  Sêsêlan ra dan la.

Sêsêlan ra dan la ditulis menurut proses pembentukannya.

 

 

Dasar

Sisipan

Latin

Ditulis

Hanya boleh jika diperlukan

Pentul

-r(a)-

prêntul

ꦥ ꦤ

ꦠꦸ

Jerit

-l(a)-

jlêrit

ꦗꦭ ꦫ ꦠ꧀

ꦗꦊꦫ ꦠ꧀

gêrêng

-l(a)

glêrêng

ꦒꦭ ꦉ

ꦒꦊꦉ

 

2)  Seselan na

Sisipan na ditulis tanpa hadirnya pasangan na.

 

Dasar

Sisipan

Latin

Ditulis

payung

-(i)n-

pinayungan

ꦥ ꦤꦪ ꦔꦤ꧀

 

c.       Panambang (akhiran)

1)  Akhiran jika menempel pada kata dasar berakhiran suku kata tertutup, maka akhiran itu akan berubah menjadi konsonan mati yang terdapat pada akhir kata dasar tertutup tersebut.

 

Kata dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

awan

-a

awana

ꦲꦮꦤꦤ

watak

wataké

ꦮꦠꦺꦏꦏ

udan

-a

udana

ꦲ ꦢꦤꦤ

garing

-a

garinga

ꦒꦫꦁꦔ


nanggap

-i

nanggapi

ꦤ ꦒꦥꦺ

gêgêm

-ên

gêgêmên

ꦒ ꦒ ꦩꦩ ꦤ꧀

rahab

-ana

rahabana

ꦫꦲ

 

2) 

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

bisa

-a

bisaa

ꦧ ꦱꦲ

mara

-a

maraa

ꦩꦫꦲ

 

 
Akhiran jika berada di belakang kata dasar berakhiran suku kata terbuka, akan ditulis .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3)  Akhiran akan berubah menjadi ya jika bergabung dengan suku kata terakhir terbuka berbunyi wulu (-i ) atau taling (-e). Demikian pula jika suku kata akhir tadi

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

wani

-a

waniya

ꦮꦤ ꦪ

dhéwé

-a

dhéwéya

ꦺꦣꦺꦮꦪ

 

 
bukan (ya).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengecualian:

 

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

Tidak ditulis

priyayi

-a

priyayia

ꦥꦿ ꦪꦪ ꦲ

ꦥꦿ ꦪꦪ ꦪ

kapriyé

-a

kapriyéa

ꦏ ꦥꦿ ꦺꦪꦲ

ꦏ ꦥꦿ ꦺꦪꦪ


4)  Akhiran berubah menjadi , jika bergabung dengan suku kata terakhir terbuka dengan vokal u (suku) atau o (taling tarung), demikian pula selain kata

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

niru

-a

nirua

ꦤ ꦫ ꦮ

bodho

-a

bodhoa

ꦺꦧ ꦺꦣ ꦮ

 

 
dasar berakhiran .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengecualian:

 

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

Tidak ditulis

(N)tawu

-a

nawua

ꦤꦮ ꦲ

ꦤꦮ ꦮ

(N)cuwo

-a

cuwoa

ꦕ ꦺꦮ ꦲ

ꦕ ꦺꦮ ꦮ

 

5)  Akhiran ꦺꦲ

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

Tidak ditulis

jara

jarané

ꦗꦫꦺꦤ

ꦗꦫꦺꦤꦤ

alu

aluné

ꦲꦭ ꦺꦤ

ꦲꦭ ꦺꦤꦤ

 

 
Akhiran ꦺꦲjika bergabung dengan suku kata terbuka di akhir kata, akan berubah menjadi ꦺꦤ, tanpa pasangan na.


6)  Akhiran -

Awalan

Dasar

Bantuan

Akhiran

Latin

Ditulis

am-

padha

-an

-i

madhani

ꦩꦣꦤꦤ

ang-

gênti

-an

-i

(a)nggêntèni

ꦲ ꦒ ꦤꦠ

am-

bau

-an

-i

(a)mbaoni

ꦲꦩꦧꦺꦲ ꦤꦤ

 

 
Akhiran -jika bergabung dengan suku kata terbuka di akhir kata, akan mendapatkan pertolongan akhiran -an terlebih dulu, lalu akhiran -berubah mejadi -

 

 

 

 

 

 

7)  Akhiran -ꦲꦤ꧀

a)             Jika bergabung dengan suku kata terbuka di belakang kata bervokal u   (suku)

Awalan

Dasar

Akhiran

Ditulis

ka-

dadi

-an

ꦏꦢꦢ ꦪꦤ꧀

pa-

gadhé

-an

ꦥꦒꦺꦣꦪꦤ꧀꧈

 

 
atau e/è (taling), tidak luluh, awal akhiran -an berubah menjadi -.

 

 

 

 

 

 

 

 

Awalan

Dasar

Akhiran

Ditulis

ka-

laku

-an

ꦏꦭꦏ ꦮꦤ꧀

-

jago

-an

ꦗꦺꦒ ꦮꦤ꧀

 

 
Jika suku kata terakhir terbuka bervokal u (suku) atau o (taling tarung), tidak luluh, awalan akhiran -an akan berubah menjadi -.


b)            Ada sebagian kata dengan suku kata terakhirnya mendapatkan wignyan tetapi pembentukannya berbeda dengan bagian di depan.

Awalan

Dasar

Akhiran

Ditulis

ka-

wêruh/karuh

-an

ꦏꦫ ꦮꦤ꧀

-

kalih

-an

ꦏꦭ ꦪꦤ꧀

-

palih

-an

ꦥꦭ ꦪꦤ꧀

 

c)             Kata-kata karuwan, kaliyan, dan paliyan apabila mendapatkan akhiran -e, sandhangan wignyannya kadang-kadang kembali lagi.

karuwan

ꦏꦫ ꦲꦺꦤꦤ

paliyan

ꦥꦭ ꦲꦺꦤꦤ

 

8)  Akhiran -ꦲ ꦤ꧀

Dasar

Akhiran

Latin

Ditulis

uja

-ên

ujanên

ꦲ ꦗꦤ ꦤ꧀

panu

-ên

panunên

ꦥꦤ ꦤ ꦤ꧀

 

 
Akhiran -ꦲ ꦤ꧀jika bergabung dengan suku kata berakhir terbuka, maka akan berubah menjadi -ꦤ ꦤ꧀.

 

 

 

 

 

 

 

 

9)  Akhiran -ꦲꦤ

Akhiran -ꦲꦤ jika bergabung dengan suku kata terbuka di akhir, akan mendapatkan pertolongan akhiran -ꦲꦤ꧀ terlebih dahulu.


Dasar

Bantuan

Akhiran

Latin

Ditulis

aba

-an

-ana

abanana

ꦲꦧꦤꦤꦤ

tali

-an

-ana

talènana

ꦠꦺꦭꦤꦤꦤ

pepe

-an

-ana

pèpènana

laku

-an

-ana

lakonnana

ꦭꦺꦏ

gadho

-an

-ana

gadhonana

ꦒꦺꦣ

10) Akhiran -ꦲꦺꦏ.

a)             Jika akhiran -ꦲꦺꦏ bergabung dengan suku kata terakhir terbuka, suku kata tadi dijadikan menjadi suku kata tertutup terlebih dahulu menjadi -k, maka

akhiran akan tetap -ꦲꦺꦏ. Apabila pada suku kata terakhir tadi berupa vokal i (wulu), akan berubah menjadi è (taling), dan jika berupa vokal u (suku), akan menjadi o (taling tarung).

 

Awalan

Dasar

Bantuan

Akhiran

Ditulis

(N)-

tapa

-k

-aké

ꦤꦥꦏꦺꦺꦏ

 

 

(N)-

 

 

lali

 

 

-k

 

 

-aké

ꦲ ꦭꦺꦭꦏꦺꦺꦏ

(ꦔꦭꦺꦭꦏꦺꦺꦏ)

 

 

(N)-

 

 

gêdhé

 

 

-k

 

 

-aké

  ꦒ ꦺꦣꦏꦺꦺꦏ

(  ꦔ ꦒꦺꦣꦏꦺꦺꦏ)

(N)-

aju

-k

-aké

ꦔꦺꦗ ꦏꦺꦺꦏ


b)            Kata yang berakhiran suku kata tertutup n, apabila mendapatkan akhiran -

Awalan

Dasar

Bantuan

Akhiran

Ditulis

(N)-

pakan

-k

-aké

ꦩꦏ

Ka-

ewon

-k

-aké

ꦏꦺ

 

 
ꦲꦺꦏ, maka suku kata tertutup n tadi akan berubah menjadi k, kemudian akhiran -ꦲꦺꦏ juga akan berubah menjadi   -ꦏꦺꦏ.

 

 

 

 

 

 

 

 

11) Akhiran -

Akhiran -apabila bergabung dengan suku kata terakhir tertutup, tidak akan berubah.

 

Dasar

Akhiran

Ditulis

Jika ada keperluan boleh ditulis

golèk

-na

ꦺꦒ ꦺꦭꦏꦤ

ꦺꦒ ꦺꦭꦏꦺ

 

12) Akhiran -ꦲ ꦥ ꦤ꧀

Dasar

Akhiran

Ditulis

Bukan ditulis

cuwa

-ipun

ꦕ ꦮꦤ ꦥ ꦤ꧀

ꦮꦤꦤ ꦥ ꦤ꧀

roti

-ipun

ꦺꦫ  ꦠ ꦤ ꦥ ꦤ

ꦺꦫ ꦤꦤ ꦤ꧀

putu

-ipun

ꦥ ꦠ ꦤ ꦥ ꦤ꧀

ꦥ ꦺꦠ ꦤꦤ ꦥ ꦤ꧀

 

 
Akhiran -ꦲ ꦥ ꦤ꧀ apabila bergabung dengan suku kata terbuka, akan menjadi -ꦤ ꦥ ꦤ꧀.


9.       Tanda Baca/Têtêngêr

Tanda baca yang saat ini lazim digunakan untuk penulisan Aksara Jawa di antaranya:

a.      Adêg-adêg (---)

Fungsinya:  (1)  sebagai  penanda  awal  paragraf;  (2)  sebagai  penanda  awal

kalimat jika hanya terdiri atas satu kalimat; dan (3) mengawali judul wacana.

b.      Pada lingsa (------)

Fungsinya sebagai  tanda  koma (  , ) pada tulisan latin. Pada akhir kata    yang

ditutup pangkon, fungsi ini sudah digantikan oleh pangkon tersebut tanpa harus menambahkan pada lingsa.

 

c.      Pada lungsi (--- )

Fungsinya sebagai tanda titik ( . ) pada tulisan latin. Pada kata yang diakhiri

dengan pangkon, fungsi ini digantikan pangkon tersebut dengan menambahkan pada lingsa.

Contoh:

 

Pasinaon basa Jawa ing dintên Sêlasa, Rêbo, lan Sêtu.

꧋ꦥꦱ ꦤ ꦱꦗꦲꦁ ꦤꦠ ꦱ ꦭꦉꦺ

ꦭꦤꦱ ꦠ ꧉

 

 

Bocah-bocah dina iki sinau nyêmak, maca, ngétung, lan nulis.

꧋ꦺꦧ ꦕ ꦺꦧ  ꦕ ꦢ ꦤꦲ ꦏ ꦱ ꦤꦲ ꦚ  ꦩꦏ꧀ ꦩꦕ꧈

ꦺꦔꦠ ꧈ ꦭꦤꦤꦭ ꦱ꧀꧈


10.   Aksara Murda

 

Aksara murda hanya digunakan untuk penghormatan, misalnya pada penulisan nama diri atau tempat. Cara penulisannya cukup satu aksara murda dalam satu kata, yaitu pada aksara pertama. Jika aksara pertama tidak memiliki aksara murda, digantikan aksara belakangnya, jika tidak ada, belakangnya lagi, demikian seterusnya. Dalam penulisan kalimat, aksara murda tidak boleh menjadi aksara konsonan mati (sigeg).

Dari 20 aksara legena, hanya tujuh aksara yang memiliki aksara murda yaitu:

 

 

Aksara latin

Aksara murda

na

ka

ta

sa

pa

ga

ba

 

a.       Digunakan untuk penulisan nama diri dan gelar

 

Aksara rekan

Latin

Ditulis

Nur Hidayat

  ꦢꦪꦠ꧀

Kanjeng Gusti Mangkunagara

ꦑꦚꦗꦁꦓ ꦱꦠ ꦩ ꦑ ꦤꦒ

Tutik Handayani

Sumini

ꦯ ꦩ ꦤ


Pangeran Dipanegara

ꦦꦺꦔꦫꦤꦢ ꦦꦤ ꦒꦫ

Kanjeng Gusti Mangkunagara

ꦑꦚꦗꦁꦓ ꦱꦠ ꦩ ꦑ ꦤꦒ

Prabu Brawijaya

ꦿꦧ  ꦿꦮ ꦗꦪ

 

b.      Digunakan untuk penulisan nama tempat / papan panggonan

 

Aksara murda

Latin

Ditulis

Kediri

ꦣ ꦫ

Semarang

ꦯ ꦩꦫ

Gondhang

ꦺꦓ ꦤꦝ

Kutha Pati

ꦑ ꦛꦦꦛ

Nurwegia

ꦟ ꦺꦮꦒ ꦪ

Bandung

ꦨꦤꦝꦸ

Turki

ꦡ ꦏ

 

 

c.       Penulisan Pasangan Murda

 

Aksara murda

Latin

Ditulis

Raden Kartamarma

ꦫꦺꦢꦤꦑ ꦠꦩ ꦩ

Raden Tetuka

ꦫꦺꦢꦤꦡ ꦠ ꦏ

Raden Gandamana

ꦫꦺ

Pangeran Pakuningrat

ꦦꦺꦔꦫꦤꦦꦏ ꦤꦁꦫꦠ꧀


Raden Nakula

ꦫꦺꦢ ꦤ ꦟꦏ

Raden Bratasena

ꦫꦺꦢ ꦤꦨꦿꦠꦺꦱꦤ

Bapak Semar

ꦧꦥꦏꦯ

 

 

11.   Aksara Swara

 

Aksara swara digunakan untuk menulis huruf vokal pada kata asing atau serapan dari bahasa asing. Aksara swara tidak dapat menjadi aksara pasangan. Jumlah aksara swara ada lima, yaitu:

 

 

Aksara Swara

Latin

Kata

Ditulis

a

algoritma

ꦄꦺꦭꦒ ꦫ ꦠꦩ

i

imunitas

ꦆꦩ ꦤ ꦠꦱ꧀

é

ékosistêm

ꦌꦺꦏ ꦱꦠ ꦩ꧀

è

èlêmèn

ꦌꦊꦺꦩꦤ꧀

u

umat

ꦈꦩꦠ꧀

o

obèsitas

ꦎꦺꦧꦱ ꦠꦱ꧀

 

Contoh pemakaian dalam rangkaian kata:

 

 

Kata-Kata

Ditulis

sinau algoritma

ꦱ ꦤꦲ ꦄꦺꦭꦒ ꦫ ꦠꦩ

sistêm imunitas

ꦱꦠ ꦩ꧀ ꦆꦩ ꦠꦱ꧀


papan ékosistêm

ꦥꦥꦤ꧀ ꦌꦺꦏ ꦱ ꦱꦠ ꦩ꧀

sabên èlêmèn

ꦱꦧ ꦤ꧀ ꦌꦊꦺꦩꦤ꧀

mimpin umat

ꦩ ꦩꦺ ꦤ꧀ ꦈꦩꦠ꧀

bocah obèsitas

ꦺꦧ ꦕ ꦎꦺꦧꦱ ꦠꦱ꧀

 

Untuk mengakomodasi penulisan suku pertama kata asing atau serapan atau nama diri yang diawali dengan vokal [ê] maka bisa digunakan aksara: , misalnya untuk penulisan nama diri ‘Êndang Mulyana’ (nama diri dari Sunda): ꦄ ꦤꦝ ꦪꦤ.

12.   Aksara Rekan

Aksara rekan adalah aksara bentukan baru di luar aksara legena yang berjumlah 20. Fungsi aksara rekan adalah untuk menuliskan konsonan dalam kata yang berasal dari bahasa asing yang tidak ditemukan dalam sistem abjad aksara Jawa, namun telah menjadi milik masyarakat Jawa.

Aksara rekan dibentuk dari aksara legena yang dibubuhi tanda tiga buah cecak di atasnya. Aksara rekan pada mulanya ada 5, yaitu:

 

 

Huruf Latin

Aksara Rekan

Kha

ꦏ꦳

Dza

ꦢ꦳

Fa

ꦥ꦳

Za

ꦗ꦳

Gha

ꦒ꦳


Contoh penggunaan aksara rekan sebagai berikut:

 

 

Huruf Latin

Aksara Rekan

Latin

Ditulis

Kha

ꦏ꦳

Khabar

ꦏ꦳ꦧ

Dza

ꦢ꦳

Dzuhur

  ꦳ꦲ 

Fa

ꦥ꦳

Fatimah

ꦥ꦳ꦠ

Za

ꦗ꦳

Zakat

ꦗ꦳ꦏꦠ꧀

Gha

ꦒ꦳

Ghaib

ꦒ꦳ꦆꦧ꧀

 

 

Seiring dengan kebutuhan dan produktivitas kata yang mengandung huruf v dalam komunikasi bahasa Jawa, maka ada gagasan mutakhir untuk membedakan v dari f dalam aksara rekan, yaitu dengan menggunakan aksara wa diberi cecak tiga.

 

 

 

 

Aksara Rekan

Huruf Latin

Aksara Jawa

Huruf Latin

ꦮ꦳

 

va

ꦮꦶꦠꦩ ꦤ꧀

 

Vitamin

ꦥ꦳

 

fa

ꦥ꦳ꦭꦱꦥ꦳

 

falsafah

 

Gagasan membedakan aksara v dan f tersebut ada yang sudah menggunakan dan ada yang belum, sehingga jika kedua huruf tersebut tidak dibedakan tidak menjadi masalah. Semula aksara rekan tidak memiliki pasangan, tetapi ada pendapat yang mengatakan aksara rekan memiliki pasangan. Oleh karena itu dalam penulisan boleh menjadi pasangan ataupun tidak. Jika menjadi pasangan, cara meletakkan cecak tiga pada

pasangan bervariasi tergantung letak dan bentuk pasangannya.


Huruf Latin

Aksara dan Pasangannya

Kha

ꦏꦏ꦳꦳

Dza

ꦢ꦳

Fa

ꦥ꦳ꦺ꦳

Za

ꦗ꦳  

Gha

꦳ꦒ

Va

ꦮꦮ꦳

 

 

Demikian pula untuk aksara q, ada yang menyarankan penggunaan aksara ka Sasak

()  sehingga  penulisan  kata  Al-Quran  menjadi  lebih  akurat:  ꦭꦐꦸ .  Saran  ini memang tergolong baru, sehingga mungkin belum ada dalam teks tertulis sampai saat ini.

 

Apabila aksara rekan itu mendapat sandhangan wulu, layar, dan cecak, maka ketiga tanda cecak itu harus dituliskan bergeser ke kiri atau ke depan, sedangkan pepet, tiga cecak diletakkan di tengah pepet. Contoh penulisannya adalah sebagai berikut:

 

 

Huruf Latin

Penulisan

Khitan

ꦏꦶꦠꦤ꧀

Dzikir

ꦢꦶꦏꦂ

Farmasi

ꦥꦂꦩꦱ

Zina

ꦗꦶꦤ

Ghibah

ꦒꦶꦧ


Vitamin

ꦮꦶꦠꦩ ꦤ꧀

 

 

13.   Angka Jawa

 

Aksara Jawa juga memiliki angka Jawa seperti halnya di dalam aksara Latin. Penulisan angka Jawa harus diapit pada pangkat atau di sebelah kanan dan kiri penulisan angka Jawa. Penulisan angka Jawa dengan pada pangkat ini untuk menghindari supaya angka Jawa tidak dibaca seperti aksara Jawa. Hal ini dikarenakan bentuk tulisan angka Jawa mirip dengan aksara Jawa.

Pemanfaatan penulisan angka Jawa sebagai berikut.

a.              Angka dipakai untuk menuliskan lambang bilangan atau nomor. Penulisan angka Jawa sebagai berikut.

1:   2:   3: 4: 5: 6: 7: 8: 9: 10:

b.              Angka dipakai untuk menyatakan (i) ukuran panjang, berat, luas, dan isi (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.

ꦢꦮꦺꦤ꧇꧕꧗꧇ꦺꦩꦠ 

Dawane 57 meter

ꦠꦩ ꦱ   ꦫꦮ   ꦲꦤ꧇꧒꧖꧇

Tamu sing rawuh ana 26

ꦠꦏ꧖꧘꧇ꦏ  ꦺꦩ꧀

Bobotku 68 kilogram

ꦩꦧ ꧇꧑꧕꧇ꦏ

Ember iki amot 15 kilo

ꦲꦩꦧꦺꦤ꧇꧓꧔꧇ꦺꦩꦠ    ꦥꦂꦱ ꦒ

Ambane 34 meter persegi


c.              Angka dipakai untuk menuliskan nomor jalan, rumah, kode pos, dan nomor telepon pada alamat.

꧇꧖꧇ꦩ꧇꧖꧕꧔꧑꧒꧓꧇

ꦺꦥ ꦤ꧀꧇꧕꧗꧑꧔꧖꧇

Sayangan Kulon 6, Malang 654123, telepon 57146

ꦺꦲ  ꦺꦠꦭꦱꦲ ꦢꦏꦩ ꧇꧑꧗꧇

Hotel Sahid, kamar 17

 

 

d.              Angka dipakai untuk menomori bagian-bagian karangan dan ayat kitab suci.

ꦧꦧ꧀꧇꧕꧇꧈ꦥꦱꦭ꧀꧇꧗꧇꧈ꦏꦕ꧇꧒꧇

Bab V, Pasal 7, kaca 2

ꦱ ꦤ꧀꧘꧒꧇

Surat Yasin: 82

 

 

e.              Lambang bilangan yang dapat ditulis dengan satu atau dua kata ditulis dengan aksara, kecuali apabila lambing bilangan dipakai secara berurutan, seperti di dalam pemaparan dan perincian.

ꦲ ꦺꦔ ꦤꦺ ꦺꦔ ꦺꦤꦤꦲꦺꦏ ꧉ꦏ ꦺꦧ ꧇꧔꧇꧈ꦱꦥ ꧇꧑꧇꧈

ꦭꦤꦮ  ꦣ ꦺꦱꦱ꧇꧕꧇

Ingon-ingone akeh. Kebo 4, sapi 1, lan wedhuse 5

 

 

f.                Saat dapat dinyatakan dengan angka atau aksara

ꦱ ꦭꦱ꧈꧇꧒꧐꧇ꦗ ꦤ ꧇꧒꧐꧒꧓꧇꧈ꦠꦧ ꧇꧙꧈꧒꧙꧇


Selasa, 20 Juni 2023, tabuh 9.29.

 

 

g.              Angka yang menyatakan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian agar mudah dibaca.

ꦠꦠ   ꦱꦏ꧇꧒꧓꧐

Dhuwite luwih saka 230 juta rupiyah.

 

 

h.              Bilangan pecahan dapat ditulis dengan angka atau aksara.

 ꦿ ꦤ꧀

Selawe seprapat ton


13) Contoh Strategi Pembelajaran Aksara Jawa

a.      Pengelompokan huruf dan pasangan

 

Dalam buku “Aku Bisa Maca lan Nulis Jawa” Sudi Yatmana juga mengelompokkan aksara Jawa menjadi beberapa bagian. Aksara Jawa tersebut dikelompokkkan menurut struktur cara penulisannya, yaitu sebagai berikut: Pengelompokan huruf

ꦫꦒ

 

ra, ga

ꦥꦪ       ꦮꦣ

 

pa, ya, wa, dha

ꦱꦕ        ꦢꦤꦏ

 

sa, ca, da, na, ka

ꦔꦧꦚ    ꦛꦩꦗ

 

nga, ba, nya, tha, ma, ja

ꦭꦲꦠ

 

la, ha, ta

 

 

Pengelompokan Pasangan

1)  Pasangan yang sama dengan aksara (huruf) asalnya:

 

ra

ga

nga

ya

----

----

----

----


2)  Pasangan yang dipotong bagian depannya:

 

ha

pa

---

---

 

3)  Pasangan yang dipotong belakangnya:

 

 

ka

ta

la

----

----

----

 

4)  Pasangan yang dipotong depan dan belakangnya:

 

 

dha

tha

---

---


b.      Lagu

 



c.       Mnemonic Devices

Mnemonic Devices: Mengingat berdasarkan kemiripan bentuk huruf:

1)  Menambah kaki:

 

 

ra

ga

 

pa

ya

 

na

ka

 

nga

ba

nya

 

2)  Dibalik:

 

sa

da

 

ha

la

 

3)  Penambahan simpul:

 

wa

ca


4)  Mirip huruf latin:

 

ma

mirip huruf E

ta

mirip huruf S

dha

mirip huruf W

ja

mrip huruf R

 

 

5)  Paling beda:

 

tha

 

Pasangan juga bisa dikelompokkan seperti di bawah ini.

1)  Seperti bentuk aslinya:

 

ra

ga

nga

ya

----

----

----

----

 

 

2)  Kehilangan kaki Satu:

 

pa

ha

la

ka

ta

--

--

----

----

----


3)  Mirip mirip:

 

Text Box: wa	na
ꦮ	ꦤ
----ꦮ	----ꦤ

Text Box: da	ma
ꦢ	ꦩ
----ꦢ	----ꦩ

 

Text Box: dha	tha
ꦣ	ꦛ
----ꦝ	----ꦛ

Text Box: ja	ba	ca
ꦗ	ꦧ	ꦕ
----ꦗ	----ꦧ	----ꦕ

 

 

 

4)  Beda Jauh dari aslinya:

 

sa

nya

--

---


14) Teks Bacaan


꧋ꦏ ꦛꦲꦁꦱꦣ ꦮ  ꦫꦁꦧꦚ ꧉


꧋ꦤ    ꦥꦿꦲ ꦲꦁꦏꦭ  ꦩ ꦠꦥ ꦫꦲ ꦏ ꦚ ꦤꦁꦔꦺꦏ ꦧꦔ ꦠ꧀

ꦲꦮ ꦠꦱꦏꦫꦺꦩꦺꦤꦭꦤꦱꦏꦲꦥ ꦏꦏꦁꦢ ꦢ ꦊ  ꦔꦤꦺ

ꦪꦲꦁꦣꦫꦠꦠꦤꦺ   ꦪꦲꦁꦏꦭ  ꦺꦤ꧉ꦱꦺꦣꦭꦺꦩ  ꦺꦒ  ꦏꦩ

   ꦮ꧈ꦱꦺꦣꦭꦩꦤ      ꦤ꧀ꦏꦪꦏꦪꦲꦉꦥꦤ ꦸꦩꦧꦸꦏꦺꦁꦒꦂꦫꦁ

ꦏꦭ ꦔꦁꦏꦥ ꦠꦤꦤ   ꦭ ꦤ ꦺꦺꦏ ꦿ

 ꦗ ꦺꦫ ꦤꦛ ꦩ ꦠ

ꦫꦲ ꦲꦤ ꦔꦤꦱꦁ  

ꦺꦏ꧇ꦏ ꦛꦧꦚꦗ ꦩꦱ ꦤꦏꦺꦠ ꦤꦏꦺꦫ ꦺꦲ ꦩ ꦺꦲ ꦩ

ꦭꦺꦤꦤ ꦺꦔꦭꦭ ꦺꦤꦏꦱ

ꦺꦤꦏꦮ ꦤ꧈ꦒ ꦺꦣꦕ ꦭ ꦏ꧀ ꦥꦠꦁꦱꦭ ꦫ ꦩ ꦭꦂꦩ ꦣ ꦏ꧀꧈

ꦲꦁꦺꦏ ꦺꦤ ꦲꦤꦏꦥꦭꦒ ꦺꦣꦥꦥꦠꦭ ꦩꦱꦁꦭꦧ

ꦿꦲ ꦏ ꦺꦤꦔ ꦩꦧ ꦩꦫꦤꦤ ꦭ ꦏꦠ

ꦠꦺꦤꦤ ꦺꦺꦥꦠꦣꦫꦠ ꦔꦚꦕ ꦏꦭ

ꦫꦱꦺꦤꦲꦺꦤ ꦧꦔ ꦠꦺꦮ ꦠꦠꦸꦠ  ꦔꦺꦤꦺ ꦫꦲꦤ꧉

ꦱꦁꦲꦤꦩ ꦺꦠꦺꦩꦧ ꦥꦠꦁꦱꦭ ꦮꦂ꧈ꦭꦏ ꦺꦤꦏꦪꦧ

ꦚꦏ꧀ ꦔꦭꦔ ꧉ꦺꦩ ꦺꦩ ꦠꦠꦺꦤꦤꦧꦫ ꦭꦤꦺ ꦺꦮ ꧉


꧋ꦫꦣ ꦺꦪ ꧉

꧋ꦥ ꦫꦤꦠ ꦫꦣ ꦺꦪ ꦲ ꦏ ꦲꦤꦮ ꦤꦺꦭ ꦺꦫ  ꧈ꦲꦤꦱꦁꦏ

ꦺꦒ ꦔ ꦫ ꦩꦩꦺꦏꦱꦮꦫ꧈ꦭꦤꦺꦤꦱꦁꦏ ꦺꦒ ꦤꦩꦺꦤꦤ ꧉ꦕ

ꦫꦺꦤꦔ ꦫ ꦩꦩꦺꦏꦱꦮꦫꦲ ꦏ ꦩ ꦺꦏꦺꦤ꧇ꦺꦮ ꦱꦁꦒ ꦤ ꦩꦩ

ꦒꦺꦁꦔꦉꦺꦥꦺꦺꦕ ꦺꦫ ꦱꦁꦢ ꦲꦫꦤꦤ ꦏꦺ ꦤ꧀꧈ꦱꦮ

ꦫꦩꦲ ꦺꦏ ꦤꦠ ꦩ ꦺ ꦥ ꦤ꧀꧈

ꦢ ꦒꦤꦝ ꦏꦮꦠꦭ    ꦿꦏꦏ

ꦤꦠ ꦏ ꦺꦒ ꦲ ꧈ꦏ ꦲꦁ

ꦧꦚꦗꦸ ꦏ ꧉ꦲꦗ ꦺꦫ ꦥ ꦫꦤꦠ

ꦲꦤꦏ ꦣꦂꦭ    ꦠꦿꦏ꧀꧈ꦏ ꦣꦂꦩꦲ ꦢ ꦏ ꦫ ꦩꦩꦺꦏꦲꦁꦲꦮ

ꦲꦁ ꦤꦢ ꦢ ꧉ ꦲꦺꦏ ꦺꦲꦩꦺꦂꦺ

  ꦺꦲ ꦏꦺꦠ ꦤ꧀ ꦩꦭ  ꦧꦺ

ꦺꦲ ꦫ꧉ ꦢꦢ ꦺꦤꦥ ꦫꦤꦠ ꦱꦁꦏ ꦺꦒ ꦔ ꦫ ꦩꦩꦺꦏ ꦲ ꦏ

ꦧ ꦱꦺꦔ ꦮ ꦲ ꦱꦮꦫꦢꦢ ꦏ ꦣꦂꦫꦁꦭ ꦱ ꦠꦿꦏ꧀꧈ ꦺꦢꦺꦤ

ꦫꦤꦠ ꦱꦁꦏ ꦺꦒ ꦤꦩꦺꦤꦤ ꦺꦒ ꦤꦩꦺꦤꦤ ꦣꦂꦫꦁ

   ꦿꦱꦁ ꦲ ꦢ ꦱꦮ

ꦫꦩꦺꦤ ꧉ꦱ ꦥꦪꦧ ꦱꦤꦩꦺꦤꦤ ꦏ ꦣꦂꦭ ꦱ ꦠꦿꦏꦩꦲ ꧈ꦥ

ꦱꦁ ꦤꦩꦺꦤꦤ ꦺꦕ ꦏ꧉


꧋ꦥ ꦲ ꦥ ꦺꦠ  ꦱ ꦺꦮ ꦢ꧉

꧋ꦱꦉ ꦥꦿꦧ ꦢꦱꦩ ꦏꦲꦤ ꦔꦭꦭ ꦺꦪꦤ ꦒꦗ ꦤꦺꦠ 

ꦿꦱꦛ ꦺ ꦮ  ꧈ꦲꦔ

ꦱꦱ ꧉ꦱꦏꦛ ꦲꦁꦗ ꦩꦺꦫꦁꦠ ꦮ ꦤꦢꦢꦩ ꦭꦭ ꦥ ꦺꦫ

ꦠ ꦭ ꦺꦁꦏ ꦠ ꦩꦣ ꦩꦠꦁ ꦿꦧ ꦢꦱ

ꦩ ꦏ꧉ꦮ ꦱꦤꦥꦫꦫꦠ ꦮꦲ ꦏꦛ ꦲꦁꦏ ꦥ ꦗ ꧉ꦱꦏꦤ  ꦠꦸ

ꦤꦤ ꦥ ꦤꦱꦩ ꦭ ꦩꦗꦁꦲ ꦔ ꦺꦱꦏꦺꦏ ꦤ ꦒꦱ ꧈ꦲꦮ ꦠꦒ ꦫ

ꦱꦺꦤ ꦔꦭꦭ ꦥꦔꦩ ꦏꦏ ꦺꦿꦧ ꦢꦱꦩ ꦏ꧈ꦱꦩꦺ ꦿ

ꦱꦠꦧꦛꦫꦏꦭꦧꦺꦣꦲ ꦒ ꦩꦺ  ꦗꦒꦠ꧀꧉

꧋ꦥꦠ  ꦱ ꦺꦮ ꦤꦢꦱꦉ ꦲꦤ ꦔꦭꦭ ꦩꦮ ꦢꦢ ꦥ ꦤꦺꦫꦫꦠ ꧈ꦭ

ꦗꦁꦲꦩ ꦭ ꦤ ꦥ

ꦏ ꦤꦝꦸꦩꦠꦁꦥꦫꦫꦠ ꦲꦁꦏ ꦱꦩ ꦏꦥꦭꦗꦁꦮꦲ ꧉ꦲ ꦗ ꦤꦁ

ꦫꦠ꧀꧇ꦺꦲ ꦥꦫꦫꦠ ꦏ ꦥꦣꦭ ꦩꦪ ꦱꦏꦲꦁꦥ ꦥꦿ  ꦔꦤ꧀

ꦠ ꦏꦺꦲ ꦫꦮ ꦫ  ꦲꦁꦲ ꦱ ꦤ꧀ꦒ ꦫ ꦱꦺꦤꦢ ꦊ ꦩ  ꦺꦲ

ꦱ ꦏꦠ ꧈ꦭ ꦺꦪꦤꦠ ꦫꦠ     ꦠ ꦭꦤꦺ   ꦒꦸ

ꦩꦤ  ꦲꦤꦲꦁꦲ    ꦱ ꦏꦱꦩꦏꦮ ꦏꦱ꧀ ꦲ ꦪꦲ ꦏ ꦏ ꦥꦫꦁ

ꦏꦫꦲ ꦗꦤꦭꦤꦕ ꦭꦏ꧈ꦱ ꦠꦏ ꦲꦤ ꦠ ꦥꦫ

ꦏ ꦤꦺꦕꦏꦭꦤꦱꦥꦥꦣꦤꦁꦠ ꦩ ꦠ 


C.     Penutup

Aksara Jawa tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja. Ada proses panjang tentang penerimaan aksara tersebut. Terdapat beberapa kali penyesuaian aksara itu untuk menuliskan kata-kata Jawa.

Saat ini para guru memiliki banyak tantangan dalam pengajaran aksara Jawa. Salah satunya, pemilihan aksara Latin yang dianggap lebih praktis membuat pemakaian aksara Jawa semakin tersisih. Penulisan aksara Jawa sering dibandingkan dengan tata tulis aksara Latin. Oleh karena itu, guru perlu membuat terobosan agar pembelajaran aksara Jawa lebih menarik bagi siswa.

Buku ini menawarkan beberapa metode pengajaran untuk mempermudah siswa belajar aksara Jawa. Tentu masih banyak cara lainnya. Cara-cara tersebut dapat dilakukan sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Diharapkan guru dapat berinovasi sehingga siswa senang belajar aksara Jawa.

 

 

PUSTAKA

Darusuprapto, dkk. (2003). Pedoman Penulisan Aksara Jawa Cet. Ke-3. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Hadiwirodarsono, S. (2010). Belajar Membaca dan Menulis Aksara Jawa. Solo: Kharisma. Padmosoekotjo, S. (1986). Wewaton Panulise Basa Jawa Nganggo Aksara Jawa. Surabaya: Citra

Jaya Murti.

Parepatan Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari (Soerakarta). (1926). Paugeran Sriwedari: Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi Mawi Sastra Djawi Dalasan Angka. Landsdrukkerij – Weltevreden.

Purwadarminto, WJS. (1931). Serat Mardi Kawi. Solo: Uitgeverij en Boekhandel, Stoomdrukkerij “De Bliksem”.

Suryadipura, R.T, dkk. (2008). Cara Membaca dan Menulis Huruf Jawa. Bandung: Yarma Widya.

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...