Translate

Minggu, 21 Juli 2024

Babad Sruni 2

 Sepeninggal Raden Tumenggung Kertinagara kekuasaan Sruni berpindah kepada sang putra sulung Ki Kertileksana yang kemudian memakai nama Raden Tumenggung Kertinagara II. Adapun Ki Kertisentika kemudian menjadi pendamping dan andalan perang Raden Tumenggung Kertinagara II. Di Kutowinangun jabatan demang lestri diturunkan kepada anak Ki Demang Sutawijaya, yang tak lain menantu Raden Tumenggung Kertinagara I.

Namun sejak saat itu oleh Sang Raja Amangkurat Jawi bupati Sruni diputuskan tidak lagi menjabat sebagai bupati wadana. Sruni yang tadinya kawadanan diturunkan menjadi kabupaten biasa dan harus tunduk di bawah koordinasi wadana Raden Tumenggung Yudanagara. Juga wilayah bawahan Sruni harus tunduk ke Banyumas. Keputusan Sang Raja ini membuat Raden Tumenggung Kertinagara kecewa. Karena merasa lebih cakap dan lebih perwira dalam perang Raden Tumenggung Kertinagara II tidak mau tunduk ke Banyumas. Para bupati yang dulu tunduk ke Sruni juga dilarang menghadap ke Banyumas. Bila ada yang berani menghadap ke Banyumas akan digempur oleh Ki Kertinagara II. Maka mereka tetap tunduk ke Sruni.

Raden Tumenggung Yudanagara lalu mengirim utusan ke Sruni untuk mengingatkan perilaku Raden Tumenggung Kertinagara II tersebut. Bila masih diterus-teruskan Raden Tumenggung Yudanagara akan melaporkan ke Kartasura. Himbauan Raden Tumenggung Yudanagara diterima dengan amarah oleh Raden Tumenggung Kertinagara. Seketika pasukannya dikerahkan untuk menggempur Banyumas. Banyumas tak mampu melawan serangan itu, tapi Raden Tumenggung Yudanagara berhasil lolos ke Kartasura.

Raja Kartasura sangat marah mendengar ulah Tumenggung Kertinagara. Perintah Sang Raja, Bupati Banyumas disuruh kembali dengan membawa pasukan Kartasura. Ketika pasukan Kartasura sampai di Semawung terhadi pertempuran dahsyat. Pasukan Sruni terdesak dan mundur ke Kutowinangun, lalu pertempuran pecah kembali. Kali ini pasukan Kartasura terdesak. Tumenggung Yudanagara pun mundur. Tidak lama kemudian pasukan bantuan dikirim lagi dari Kartasura. Pertempuran kembali berlangsung. Dalam pertempuran habis-habisan Ki Tumenggung Kertinagara II terkena meriam pahanya. Tubuhnya terlempar hingga tersangkut pohon lo. Tidak ada luka, tapi kakinya patah hingga tak dapat turun dari pohon.

Di tempat lain Ki Kertisentika juga berperang mati-matian, tapi terdesak oleh lawan hingga terpaksa mundur. Melihat kedua panglima sudah tidak berada di medang perang pasukan Sruni bubar. Perang pun berhenti.

Pada malam hari Lurah prajurit Ki Sutamenggala mencari keberadaan Ki Kertisentika. Setelah bertemu Sutamenggala memberi tahu bahwa Raden Tumenggung Kertinagara II tengah terluka dan tersangkut di pohon.

“Anda sekarang dipanggil kakak Anda untuk menghadap di pohon lo. Kakak Anda sangat mengharap kedatangan Anda,” kata Ki Sutamenggala.

Namun Ki Kertisentika tidak percaya bahwa sang kakak terluka. Kertileksana tahu sang kakak tidak mempan berbagai senjata. Karena tidak bisa meyakinkan Ki Kertileksana, Ki Sutamenggala langsung balik kanan. Dia kemudian melapor bahwa sang adik tak mau datang menolong. Malah saya dikira menipu, lapor Sutamenggala. Mendengar laporan Sutamenggala Ki Tumenggung Kertinagara II sangat marah kepada sang adik, tapi disamarkan. Ki Kertinagara lalu minta agar Sutamenggala menggendongnya dan membawanya ke rumah. Pagi harinya banyak orang datang ke kediaman sang bupati untuk mengabarkan keadaannya.

Sementara itu Ki Kertileksana yang melihat orang berbondong-bondong datang ke kabupaten baru menyadari bahwa perkataan Sutamenggala tidak bohong. Dia bergegas masuk ke kabupaten. Ki Kertileksana memeluk kaki sang kakak yang patah sambil menangis. Dia meminta maaf karena sewaktu dipanggil tidak datang. Ki Kertileksana beralasan bila dia tidak percaya perkataan Sutamenggala. Juga terhalang saat itu sedang menata prajurit. Ki Tumenggung hanya diam saja. Sampai berkali-kali Ki Kertileksana meminta maaf, tak sepatah kata pun Ki Kertinagara menanggapi. Ki Kertileksana menjadi takut dan merasa malu. Ki Kerileksana mengatakan jika sang kakak tidak mau memaafkan maka dia akan pergi dari Sruni tanpa tujuan yang pasti. Tanpa menoleh Ki Kertileksana langsung meninggalkan rumah sang kakak. Tidak lama berselang Tumenggung Kertinagara II pun berpulang.

Sruni kemudian diturunkan hanya menjadi sebuah kademangan. Anak Ki Kertinagara yang bernama Ki Kartasentika tidak mau menjabat sebagai demang. Yang kemudian ditetapkan menjadi demang adalah Lurah Prajurit Ki Sutamenggala.

Kembali ke kisah Ki Kertsentika yang meninggalkan Sruni. Dia terus berjalan menerobos hutan ke rah barat laut sampai di tengah hutan Sirnabaya. Di tengah hutan itu Ki Kertisentika kemalaman, lalu beristirahat. Ki Kertisentika menimbang-nimbang langkah apa yang akan diambil. Sampai 9 hari Ki Kertisentika berada di hutan Sirnabaya tanpa makan. Hanya kadang memakan buah-buahan yang ada sebagai pengobat lapar.

Suatu malam Ki Kertisentika bermimpi kedatangan sang ayah Raden Tumenggung Kertinagara I. Dalam mimpi itu sang ayah menyuruh Ki Kertisentika melanjutkan perjalanan ke Roma. Di Roma Ki Kertisentika disuruh menemui Ki Tumenggung Roma dan menuruti segala perintahnya. Ki Kertisentika terkejut dan bangun. Setelah sadar Ki Ketisentika lalu menuruti perintah sang ayah dalam mimpinya, pergi ke arah barat daya menuju Roma. Setelah seharian menempuh perjalanan Ki Kertisentika sampai di Roma menjelang malam. Ki Kertisentika diterima oleh Tumenggung Roma. Kepada Ki Tumenggung Ki Kertisentika menceritakan kekalahan dalam perang melawan pasukan Kartasura. Juga diceritakan tentang perintah sang ayah dalam mimpinya.

“Sekarang saya sudah bertemu Anda, saya berserah kepada kehendak Anda,” kata Ki Kertileksana kepada Ki Tumenggung Roma.

Ki Tumenggung Roma merasa sangat kasihan kepada bekas tuannya itu. Dahulu dia seorang manggala di Sruni yang juga membawahi Roma, sekarang hidup terlunta-lunta tak punya negeri. Oleh Ki Tumenggung Roma, Ki Kertisentika dibujuk agar hilang kesedihannya. Ki Kertisentika pun sudah bisa pasrah dan menerima keadaanya. Oleh Ki Tumenggung Roma kemudian Ki Kertisentika diambil sebagai menantu. Namanya kemudian diganti menjadi Ki Kertiwijaya. Untuk menopang kehidupannya Ki Kertiwijaya diangkat sebagai mantri gunung. Semula Ki Kertiwijaya tidak mau karena merasa jabatan itu terlalu kecil. Dahulu dia ibarat menggenggam seluruh wilayah Sruni, sekarang hanya menjadi mantri gunung. Namun berkat bujukan istrinya akhirnya Ki Kertiwijaya mau menjadi mantri gunung.

Ki Kertiwijaya dalam berumah tangga mempunyai seorang anak perempuan. Setelah dewasa dinikahnya dengan seorang lurah di desa Duduhan bernama Ki Kertiwecana. Setelah meninggal Kertiwijaya dimakamkan di desa Duduhan.

Mengulang cerita di depan, menantu Raden Tumenggung Kertinagara I lestari menjadi demang di Kutowinangun menggantikan sang ayah Ki Sutawijaya. Adapun menantu lain yang bernama Ki Kramaleksana juga lestari menjadi mantri pamajekan di Klegenkilang. Setelah Ki Kramaleksana meninggal dimakamkan di Kaliwarak, sebelah timur Kebumen.

Perlu disampaikan lebih detail di sini tentang Ngabei Kramaleksana karena Ki Kramaleksana mempunyai keturunan berdarah keraton. Penjelasannya sebagai berikut.

Istri Kramaleksana ada dua. Istri pertama adalah putra Raden Tumenggung Kertinagara seperti yang telah dikisahkan di atas. Lalu istri muda adalah putri Raden Tumenggung Wiraguna dari Kartasura. Dari kedua istri Kramaleksana mendapat 15 orang anak, yakni:

1. Ngabei Wiryakrama, seorang mantri gunung di Tlagagapitan. Anak perempuannya diambil sebagai selir Sang Raja ke-2 di Yogyakarta dan diberi nama Bandara Raden Ayu Nilaresmi. Mempunyai seorang putri bernama Gusti Raden Ayu Pringgadirja.

2.     Mbokmas Dipayuda

3.     Ngabei Kramadirja, seorang mantri Nangkil Ngayogyakarta. Setelah pensiun lalu pulang ke Selang dan berganti nama Ki Krasentika. Tapi sering dipanggil Ki Kramareja. Adapun pangkat mantri Nangkil lalu diberikan kepada saudaranya yang lain, Ki Secawijaya (anak ke-6). Kemudian juga memakai nama Ki Kramadirja.

4.     Rara Ketul, diambil sebagai selir Sang Raja HB I dari Yogyakarta dan diberi nama Bandara Raden Ayu Ndayahasmara, mempunyai putra: Bandara Pangeran Harya Hadikusuma, Bandara Raden Ayu Juru dan Bandara Pangeran Harya Blitar.

        Adapun awal mula diambil selir Sang Raja HB I adalah sebagai berikut:

        Suatu saat Pangeran Harya Mangkubumi (HB I) sedang berperang di tanah Panjer (Kebumen). Pangeran Mangkubumi melihat anak perempuan yang masih berkain pinjung (hanya menutup tubuh dengan kain yang dibebatkan, belum berpakaian seperti orang dewasa, umurnya baru 11 tahunan). Si anak tadi selalu mengikuti setiap terjadi pertempuran, tampak tidak takut melihat orang berkelahi. Pangeran Mangkubumi yang melihatnya heran, lalu menyuruh orang untuk menanyainya. Si anak menjawab namaya Mas Rara Ketul, putri Ki Kramaleksana.

        “Itu bapak saya yang memegang tombak mengejar musuh ke arah barat,” kata si anak.

        Si abdi yang bertanya kemudian melapor kepada Pangeran Mangkubumi segala yang dikatakan si bocil. Pangeran sangat suka, terlebih dia anak Kramaleksana yang sudah banyak berjasa selama pasukan Pangeran menduduki Panjer. Si anak tadi kemudian dikehendaki Pangeran Mangkubumi. Bila nanti sudah dewasa supaya diantar kepadanya.

        Ketika Pangeran Mangkubumi sudah menjadi raja di Yogyakarta, si Rara Ketul sudah dewasa. Oleh Ki Kramaleksana kemudian diserahkan ke keraton. Oleh Sang Raja Yogyakarta kemudian diambil sebagai selir dan diberi nama Raden Ayu Ndayahasmara. Nama itu untuk mengingat ketika Pangeran berjumpa dengan si bocah dulu. Saat itu si bocah sangat pemberani sehingga Pangeran merasa tertarik.

5.     Mbokmas Kramayuda.

6.     Ki Secawijaya, sudah disebut pada poin 3.

7.     Ki Kramdirwirya.

8.     Ngabei Resadirja, menikah dengan buyut Mangkunegaran Surakarta.

9.     Ngabei Kramataruna.

10.   Ki Kramatirta.

11.   Ki Rêsadiwirya.

12.   Mbokmas Wiryayuda (Sêtrarêja).

13.   Mbokmas Rêsapraja (Kramasêntika).

14.   Ki Hanggawijaya, setelah menjadi mantri bernama Ngabei Kramayuda. Mempunyai anak bernama Ngabei Jayapranata, kelak menjadi patih di Mangkunegara. Anak perempuan Ngabei Jayapranata diambil istri selir oleh Gusti Pangeran Mangkunegara III dan diberi nama Mas Ajeng Ndayaresmi, mempunyai dua putra: Raden Mas Suryahandaka dan Raden Ajeng Kuning. Raden Ajeng Kuning menikah dengan KGPH Gandahatmaja, putra dari KGPH Mangkunagara IV Surakarta.

15.   Mbokmas Jawidenta.

Anak-anak Ngabei Kramaleksana tersebut dari no-1 sampai no-5 lahir dari istri tua, anak Ki Tumenggung Kertinagara. Adapun anak no-6 sampai no-15 lahir dari istri muda, putri Raden Tumenggung Wiraguna dari Kartasura.

Perlu juga ditambahkan, saudara perempuan Ngabei Kramaleksana juga diambil selir Sang Raja HB I dan diberi nama Bandara Raden Ayu Turunsih, berputra: Bandara Pangeran Harya Mangkukusuma dan Bandara Raden Ayu Danunagara. Raden Ayu Danunagara adalah istri Raden Tumenggung Danunagara, putra Patih Adipati Danureja I.

Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan Ngabei Kramaleksana mempunyai keturunan berdarah keraton dari dua jalur, yakni dari Mangkunagaran dan dari Yogyakarta.

Adapun silsilah keluarga Ki Kramaleksana mempunyai silsilah ke atas sebagai berikut:

Dari jalur Ki Kramaleksana: Prabu Brawijaya Majapahir mempunyai putra Raden Jaka Lancing (Harya Surengbala atau Maduretna) bertapa di gungung Kenap (Panjer), berputra Kyai Agen di Sruni, berputra Ki Sutamenggala di Sruni, berputra Kyai Sutapraja di Sruni, berputra Ngabei Kramayuda di Sruni, berputra Ngabei Kramaleksana (Klegenkilang) dan Raden Ayu Turunsih. Jadi Ngabei Kramaleksana adalah keturunan ke-6 dari Prabu Brawijaya.

Dari jalur Nyai Kramaleksana sepuh (Rara Rinten): Prabu Brawijaya mempunyai putra Raden Pekik (Harya Jaran Panolih di Sumenep), berputra Harya Leka di Sumenep, berputra Jambaleka di Sumenep, berputra Ki Mas Manca (Adipati Mancanegara patih Pajang), berputra Mas Tumenggung Pramanca di Sruni, berputra Raden Tumenggung Kertinagara I di Sruni, berputra Rara Rinten (Nyai Kramaleksana), berputra Raden Ayu Ndayahasmara. Jadi Nyai Kramaleksana adalah keturunan ke-7 dari Prabu Brawijaya.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/22/babad-sruni-2-akhir-cerita-kabupaten-sruni/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...