Translate

Minggu, 21 Juli 2024

Babad Sruni bagian 1

 Alkisah, ketika negeri Mataram diperintah Sunan Prabu Amangkurat Agung, di wilayah yang sekarang disebut Kebumen ada seorang bupati yang berkududukan di Sruni. Nama bupati tersebut adalah Mas Tumenggung Kertinagara. Jika dirunut ke atas silsilah Tumenggung Kertinagara adalah sebagai berikut: Patih Pajang Adipati Mancanagara mempunya anak bernama Tumenggung Pramanca, menjabat bupati di Sruni. Tumenggung Pramanca mempunyai anak bernama Mas Tumenggung Kertinagara. Jadi Mas Tumenggung Kertinagara adalah cucu dari Adipati Mancanagara patih Pajang.

Mas Tumenggung Kertinagara mempunyai dua orang istri. Dari istri tua Kertinagara mempunyai tiga orang anak. Dua orang anak lelaki bernama Ki Kertileksana dan Ki Kertisentika, lalu si bungsu Mas Rara Rinten. Dari istri muda Ki Tumenggung hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Mas Rara Ranti.

Kedua putra lelaki Ki Tumenggung mempunyai kegemaran olah kanuragan dan memperdalam aji jaya kawijayan. Masyhur keduanya adalah orang yang tan pasah tapak paluning pandhe sisaning gurinda atau tidak mempan segala senjata. Pemberani, tangguh dan punyak banyak akal di medan perang.

Setiap hari kedua putra giat melatih strategi perang kepada para mantri, demang dan para bawahan, juga merekrut pasukan para militer. Maka para penguasa wilayah sekitar Sruni sangat segan kepada Mas Tumenggung Kertinagara.

Kertinagara sangat bersar hati melihat kedua putra perwira dalam perang. Maka menjadi timbul keinginan untuk mencapai kekuasaan yang lebih besar lagi. Ada niat untuk membangkang tidak mau mengirim upeti ke Mataram.

Mas Tumenggung mengetahu bila membangkang kepada raja adalah perbuatan nista, tapi keinginannya tak bisa ditahan lagi. Tekadnya sudah bulat, meski harus hancur sekalipun akan dijalani. Syukur bila nantinya berhasil dan menemui kemuliaan. Namun bila tak berhasil dan malah menemui sengsara bahkan tewas, akan diterima dengan iklhas. Tekad yang demikian itu salah satunya juga disebabkan sikap Prabu Amangkurat Agung yang sangat zalim dan tanpa belas kasih kepada rakyat. Cara memerintah Sang Raja sangat tidak adil, banyak punggawa Mataram yang dihukum berat. Para punggawa negara menjadi penuh rasa was-was dalam mengabdi. Perasaan tidak puas terhadap Sunan Amangkurat Agung merata di kalangan punggawa Mataram saat itu.

Para suatu hari Mas Tumenggung Kertinagara memanggil kedua putranya, Mas Tumenggung berkata, “Anak-anakku, aku sangat gembira melihat kalian sangat bisa diandalkan dalam segala pekerjaan. Mulai sekarang bersiaplah bila kelak aku memberi kalian pekerjaan yang lebih berat. Selama ini aku menyimpan keinginan untuk membangkang kepada Sang Raja di Mataram. Apakah kalian berdua mendukung keinginanku itu?”

Kedua putra menjawab, “Kami berdua sudah mengetahu keinginan paduka, maka kami giat berolah perang dan melatih para punggawa. Kami sudah siap bila ayah sewaktu-waktu memberi perintah.”

Mas Tumenggung berkata, “Aku sangat berterima kasih kalian tidak mengecewakan.”

Pada waktu itu ikut menghadap seorang lurah prajurit andalan bernama Ki Sutamenggala. Dia sudah sangat dipercaya oleh Mas Tumenggung, maka juga diminta pendapat.

Ki Lurah Sutamenggala berkata, “Duh Kyai Tumenggung, sebelumnya saya minta maaf bila yang saya katakan kurang berkenan di hati paduka. Menurut hamba, suatu larangan dari nenek moyang bila seseorang sampai membangkang kepada raja. Pada akhirnya nanti tidak berakhir kebaikan. Karena wahyu menjadi raja itu sudah ditentukan oleh Tuhan, bukan atas kehendak orang itu sendiri. Maka raja juga disebut khalifatullah karena yang menunjuk adalah Allah. Adapun bila ada seorang raja yang berlaku zalim, maka yang akan menghukum adalah Tuhan sendiri. Kita tidak diberi wewenang membangkang kepadanya. Apa yang saya katakan ini bukan berarti menentang kehendak paduka, tapi demi kebaikan paduka sendiri. Bila paduka sudah memutuskan, saya pun akan siap melaksanakan.”

Dalam hati Mas Tumenggung Kertinagara membenarkan semua perkatan Lurah Sutamenggala, tapi keinginan Mas Tumenggung sudah tidak bisa ditahan lagi. Berkata Ki Kertinagara kepada kedua putra, “Anakku, apa yang dikatakn si Sutamenggala itu tidak bisa dibantah. Memang benar seperti itu. Selain itu juga sudah disebut dalam ramalan, barangsiapa mempunyai pusaka Kangjeng Kyai Jabardas, maka dialah yang mampu menjadi raja. Dan sekarang terbukti bila Kyai Jabardas berada di Mataram. Maka aku berjanji kepada diriku sendiri, bila aku mampu merebut Kyai Jabardas maka itu menjadi pertanda bila aku diizinkan mandiri terpisah dari Mataram. Jika sudah terjadi yang demikian, Mataram akan aku gempur. Namun bila aku gagal mengambil Kyai Jabardas, aku akan mengurungkan keinginanku. Aku akan kembali menghadap kepada Sunan Amangkurat. Bisa atau tidak mengambil Kyai Jabardas aku beri tenggat waktu selama 3 tahun. Dalam tiga tahun ini kalian bersiaplah. Teruslah berlatih olah keprajuritan. Sewakatu-waktu kita berhasil mengambil Kyai Jabardas kita sudah siap. Sekarang panggilkan keponakanku Trunayuda. Aku akan memberi tugas kepadanya untuk menyusup ke Mataram.”

Tidak lama kemudian Ki Trunayuda sudah menghadap. Kepadanya lalu diperintahkan untuk melaksanakan penyusupan ke Mataram dengan pura-pura mengabdi kepada Sang Raja. Sudah diberi pesan agar Ki Trunayuda mengabdi dengan sungguh-sungguh sampai mendapat kepercayaan Sang Raja. Kelak bila sudah mendapat kesempatan untuk masuk ke gedung pusaka, segera ambil Kyai Jabardas dan pulang ke Sruni.

Singkat cerita Ki Trunayuda sudah diterima mengabdi di Mataram. Sang Raja berkenan menerima Trunayuda yang berasal dari Sruni dengan maksud agar dapat mengetahui seluk beluk yang terjadi si Sruni. Sang Raja sudah mendengar keinginan Ki Kertinagara yang hendak memberontak. Maka melalui Ki Trunayuda Sang Raja berharap mendapat keterangan. Namun langkah Sang Raja ini sesungguh sebuah kecelakaan karena Trunayuda sesungguhnya sedang melakukan upaya sandi.

Di Mataram Ki Trunayuda segera meraih kepercayaan Sang Raja. Trunayuda abdi yang cakap dan ringan tangan. Pada dasarnya memang punya tujuan tersembunyi maka Trunayuda pun berusaha bekerja dengan baik agar menjadi abdi yang dikasihi Sang Raja. Karena sudah mendapat kepercayaan penuh mudah baginya mengakses seluruh penjuru keraton. Pada satu kesempatan Trunayuda dapat mengambil Kyai Jabardas. Setelah mengambil keris Kyai Jabardas pada malam hari Ki Trunayuda meninggalkan Mataram. Terhitung sejak Trunayuda meninggalkan Sruni sampai kembali lagi ke Sruni memakan waktu dua tahun.

Rasa gembira Mas Tumenggung Kertinagara tak bisa digambarkan ketika menerima Ki Trunayuda yang datang membawa keris Kyai Jabaradas. Pikirnya negeri Mataram sudah berada dalam genggaman tangan. Kedua putra Mas Tumenggung segera dipanggil.

Berkata Mas Tumenggung, “Anakku, janji yang aku tetapkan telah terlaksana. Kyai Jabardas berhasil kita rebut. Inilah wujudnya. Sekarang aku lanjutkan keinginanku untuk membangkan kepada Mataram. Kalian segera laksanakan jangan mengecewakanku. Mulailah menaklukkan wilayah sekitar. Para bupati dan mantri kalian datangi. Bila tidak mau bergabung ke Sruni pukul dengan pasukan bersenjata.”

Kedua putra segera memberangkatkan pasukan. Sebulan kemudian wilayah sekitar Sruni sudah berhasil ditaklukkan. Banyak yang menyerah dengan baik-baik karena mereka tahu keperwiraan kedua putra Mas Tumenggung. Dan lagipula Mas Tumenggung selama ini bersikap sangat baik lagi dermawan. Jadi mereka pun bersetuju dengan keinginan Mas Tumenggung memberontak ke Mataram. Dalam waktu tidal lama wilayah Sruni telah meliputi wilayah ke selatan sampai Panjer, ke barat sampai Roma, ke utara sampai Ledok (Wanasaba) dan ke timur hampir mencapai Kutowinangun.

Gerakan pasukan Sruni sudah terdengar sampai ke Mataram. Sunan Amangkurat Agung sangat marah. Ki Patih dan Pangeran Adipati Anom disuruh segera menyiapkan pasukan untuk menggempur Sruni. Pangeran Adipati Anom sanggup mengerahkan pasukan. Namun agar segera dapat memadamkan pemberontakan Pangeran Adipati minta diberi pusaka Kyai Jabardas.

Sang Raja mengizinkan, lalu meminta pusaka di ambil dari gedung pusaka. Namun abdi yang mengambil melaporkan bahwa pusaka telah hilang dari tempat penyimpanannya. Seluruh gedung sudah diubres barangkali Kyai Jabardas salah tempat menyimpan sehingga bercampur dengan pusaka yang lain. Namun sudah seluruh gedung diperksa Kyai Jabardas tak ditemukan.

Sang Raja menyadari bahwa Kyai Jabardas sudah hilang dicuri orang. Bersamaan dari kejadian ini abdi dari Sruni Ki Trunayuda juga menghilang. Sang Raja tak samar, segera tahu bahwa yang mencuri Kyai Jabardas adalah Ki Trunayuda. Karena musuh kini memegang Kyai Jabardas, Sang Raja menyadari bahwa musuh telah kuat. Jika dipaksakan menggempur musuh pasukan Mataram bisa kewalahan.

Sang Raja berkata, “Anakku Pangeran Adipati dan Pangeran Puger serta engkau patih, karena musnahnya Kyai Jabardas dari tangan kita, perintahku menyerang Sruni lebih baik aku tangguhkan dahulu. Karena pusaka Kyai Jabardas berada di Sruni, tak urung banyak prajurit Mataram akan tewas. Sekarang kita upayakan dahulu agar Kyai Jabardas bisa kembali.”

Kyai Patih berkata, “Duh Sang Raja, bila diperkenankan hamba mengajukan saran. Bila paduka berkenan sebaiknya paduka utusan seorang abdi untuk melakukan upaya sandi ke Sruni. Abdi paduka padi kepatihan si Demang Sutawijaya mumpuni jika paduka beri tugas tersebut. Dia menguasai ilmu yang kasar dan halus serta mumpuni dalam strategi. Dia juga dapat dipercaya. Dia pantas melakukan tugas itu.”

Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Puger sangat mendukung usul Ki Patih. Sang Raja pun sangat suka mendengar usulan tersebut. Ki Patih lalu memanggil Demang Sutawijaya. Agar tidak menyolok, Demang Sutawijaya lalu dipindah tugas ke wilayah Kutowinangun, yakni wilayah yang berbatasan dengan Sruni yang belum ditaklukkan. Kepada Ki Demang dijanjikan akan mendapat hadiah sampai anak keturunannya bila berhasil melaksanakan tugas. Adapun bagaimana caranya, semua diserahkan kepada Ki Demang untuk mengaturnya. Yang penting jangan menimbulkan kegaduhan baru. Ibarat orang mengambil ikan jangan sampai airnya keruh.

Ki Demang sangat heran mendengar penugasan barunya tersebut. Namun dengan patuh Ki Demang siap sedia mengembalikan pusaka yang hilang. Ki Demang lalu minta izin untuk mempersiapkan diri berangkat ke Kutowinangun bersama seluruh keluarga.

Sudah terlaksana Ki Demang Sutawijaya sekeluarga boyongan ke Kutowinangun. Kedatangan Ki Demang sangat diterima oleh penduduk Kutowingun. Karena di Kutowinangun ditanam seorang abdi dari kotaraja pasukan Sruni pun segan menyerang. Mereka khawatir langkah mereka menjadi prematur bila Kutowinangun mendapat bantuan pasukan dari Mataram.

 Ki Demang juga sangat piawai bersiasat. Setelah beberapa bulan tinggal di Kutowinangun Ki Demang menghadap ke Sruni. Kepada Mas Tumenggung Kertinagara, Ki Demang menyatakan ingin mencari tempat berlindung baru. Ki Demang mengatakan kepergiannya dari Mataram adalah karena sengaja diasingkan oleh Sang Raja. Padahal Ki Demang merasa tidak punya dosa sedikit pun. Ki Demang memuji watak Mas Tumenggung Kertinagara yang berbudi dan suka berderma. Maka hati Mas Tumenggung pun luluh. Ki Demang pun diterima dengan baik dan diangkat sebagai saudara. Ki Demang menunjukkan rasa persaudaraan yang tulus dan terkesan merasa nyaman dengan Ki Mas Tumenggung. Sampai seharian Ki Demang bertamu, menjelang senja baru pulang ke Kutowinangun.

Sekembalinya Ki Demang dari Sruni kedua putra Mas Tumenggung memberi saran kepada sang ayah.

“Ayah, menolong orang itu baik, apalagi seorang yang tersisihkan seperti Ki Demang. Namun jangan sampai paduka meninggalkan kewaspadaan. Siapa tahu Ki Demang tadi utusan Sang Raja yang sedang melakukan upaya sandi.”

Ki Mas Tumenggung berkata, “apa yang kau katakan itu benar. Aku juga punya pikiran seperti itu. Baiknya kalian waspada.”

Singkat cerita karena sangat piawai Ki Demang Sutawijaya mengambil hati Ki Mas Tumenggung Kartinagara dan anak-anaknya lama-lama kecurigaan mereka pun sirna. Mereka kian akrab dan meninggalkan kewaspadaan. Sudah hilang sekat-sekat antara mereka, sudah layaknya keluarga sendiri. Bahkan Ki Mas Tumenggung sering meminta pendapat dan saran Ki Demang dalam hal ketatanegeraan. Ki Demang dengan cara halus berusaha mengendalikan agar Ki Mas Tumenggung tidak semakin luas menaklukkan wilayah sekitar. Ki Demang juga terus mencari cara agar berhasil melaksanakan tugas mengambil kembali Kyai Jabardas.

Alkisah, sudah tiga tahun Ki Sutawijaya menjabat demang di Kutowinangun. Pada suatu hari Ki Demang dan istri dipanggil oleh Mas Tumenggung untuk datang ke Sruni. Ki Demang dengan senang hati berangkat menghadap Mas Tumenggung. Di Sruni Ki Demang diterima oleh Mas Tumenggung Kertinagara sekalian istri.

Mas Tumenggung berkata, “Anak Kanda Demang yang sering Anda suruh datang ke Sruni itu bila Anda setuju akan saya ambil menantu untuk saya jodohkan dengan anak saya Rara Ranti.”

Ces, seperti disiram air embuh hati Ki Demang. Rasa hatinya sangat lega. Pikirnya, jalan melaksanakan tugas Sang Raja terbuka lebar. Ki Demang pun menyatakan tidak keberatan dan berserah kepada kehendak Mas Tumenggung Kartinagara.

“Sungguh sebuah anugerah yang besar bila paduka berkenan mengambil anak saya sebagai menantu. Kami berdua hanya bisa pasrah kepada kehendak Mas Tumenggung. Kami sudah menerima banyak kebaikan paduka, dengan senang hati kami serahkan anak kami,” kata Ki Demang.

Mas Tumenggung merasa lega karena ajakan berbesan mendapat sambutan yang baik. Mas Tumenggung ingin agar pernikahan kedua anak mereka segera dilangsungkan. Ki Demang Sutawijaya berserah kapan pun Mas Tumenggung menghendaki. Setelah sepakat Ki Demang pamit pulang ke Kutowinangun.

Sesampai di rumah Ki Demang memanggil sang putra. Kepadanya diberitahukan bahwa Mas Tumenggung Kertinagara ingin mengambilnya sebagai menantu. Ki Demang juga mengatakan tugas rahasia yang selama ini ia emban, yakni mengambil kembali pusaka Kyai Jabardas. Maka kelak jika sang putra disuruh berperang ke Mataram, supaya meminta senjata andalan Kyai Jabardas tersebut dengan alasan agar musuh sekalian sirna. Sang putra pun menyatakan kesanggupan.

Singkat cerita kedua anak pembesar telah menjalani pernikahan. Rumah tangga mereka rukun dan harmonis. Bahkan sudah mempunyai seorang anak lelaki. Ayah dan ibu si bayi merasa sangat gembira dengan kelahiran si bayi, terlebih-lebih kedua kakek-nenek.

Pada suatu hari Ki Demang berkunjung ke kediaman Mas Tumenggung Kertinagara. Dalam kesempatan itu Mas Tumenggung meminta saran Ki Demang berkaitan dengan rancananya menyerang ke timur sampai ke kotaraja Mataram. Ki Demang sangat mendukung dan berjanji akan membantu dengan mengirim prajurit pilihan dari Kutowinangun. Ki Demang juga memberi saran hari yang baik untuk memberangkatkan pasukan, yakni hari Senin Legi. Menurut perhitungan Ki Demang pasukan akan mendapat kemenangan dan banyak boyongan. Mas Tumenggung sangat gembira karena Ki Demang kini mendukung sepenuh hati. Ki Demang lalu minta pamit kembali ke Kutowinangun untuk mempersiapkan prajurit bantuan.

Setelah Ki Demang pulang dari Sruni, anak Ki Demang atau menantu Mas Tumenggung Kertilaksana berkata kepada sang mertua, “Prekara memperluas wilayah ke arah timur sampai ke Mataram cukup saya yang berangkat. Ayah tidak perlu pergi sendiri ke medan perang. Sepertinya saya mampu melakukan.”

Mas Tumenggung menjawab, “Aku juga sudah percaya dengan kemampuanmu dan kedua kakakmu. Sepertinya kalian sudah bisa merampungkan tugas. Namun jangan sampai meninggalkan kewaspadaan. Lebih baik berhati-hati, jangan sampai meremehkan musuh. Dan juga dalam bertindak jangan sampai meninggalkan keutamaan.”

Sang putra berkata, “Doa restu paduka saja yang kami minta. Semoga kami dapat melaksanakan pekerjaan.”

“Baik, aku beri restu untuk kalian. Semoga Tuhan memberi jalan. Sekarang engkau aku izinkan pulang untuk bersiap.”

“Baik ayahanda,” kata putra Ki Demang Sutawijaya.

Hari berikutnya, pagi-pagi sebelum pasukan berangkat putri Mas Tumenggung yang bernama Rara Santi menghadap sang ayah dengan menggendong anaknya. Dia mengatakan disuruh suaminya untuk meminta Kyai Jabardas agar dapat unggul dalam perang. Bila keris Kyai Jabardas tidak diberikan suaminya memilih bunuh diri karena mustahil mengalahkan pasukan Mataram. Daripada tewas di medang perang si suami memilih mati di rumah dengan ditunggui anak istri.

“Seperti itu pesan suami saya ayah. Bila dia mati saya pun akan ikut mati bersama,” kata putri Mas Tumenggung.

Mas Tumenggung merasa sangat kerepotan hatinya. Tidak ragu lagi bahwa permintaan sang anak telah diatur oleh suaminya. Mas Tumenggung kini sadar telah masuk ke dalam jebakan. Ternyata benar Ki Demang Sutawijaya adalah musuh yang menyusub untuk melakukan upaya sandi. Kini Mas Tumenggung sebaga bingung. kalau keris dikukuhi pasti si anak menjadi janda atau bisa-bisa juga ikut bunuh diri. Kalau keris diberikan maka pasti terbongkar bila dirinya yang memegang keris tersebut. Selanjutnya Sang Raja pasti tidak akan mengampuninya kelak.

Akhirnya Mas Tumenggung hanya pasrah. Keris diserahkan kepada sang anak. Mas Tumenggung berharap pengorbanannya akan membuat sang menantu dan anaknya mendapat kemuliaan di Mataram. Adapun dirinya telah siap menerima hukuman apa pun yang akan dijatuhkan. Setelah keris Kyai Jabardas diserahkan Mas Tumenggung menyuruh kedua putranya agar menangguhkan penyerangan ke Mataram. Kedua putra sangat kecewa dengan keputusan sang ayah.

Sementara itu, sang menantu setelah mendapat keris Kyai Jabardas segera menyerahkan kepada Demang Sutawijaya untuk dihaturkan kepada Sang Raja Amangkurat Agung. Namun belum sampai terlaksana mendadak keraton Mataram diserang pemberontak Trunajaya. Sunan Amangkurat Agung sampai lari meninggalkan istana ke arah barat. Pasukan Trunajaya terus mengejar ke barat sampai di wilayah Sruni.

Mas Tumenggung Kertilaksana lalu menghadang pasukan Trunajaya. Ki Demang Sutawijaya yang belum sempat menemui Sunan Amangkurat Agung bergabung dengan pasukan Sruni. Pertempuran antara pasukan Kertinagaran dan pasukan Trunajaya berlangsung sengit. Kedua pasukan mempunyai kekuatan yang berimbang. Namun lama-lama pasukan Trunajaya terdesak dan dapat dipukul mundur ke timur.

Setelah pasukan Trunajaya lari, Ki Demang Sutamenggal segera menyusul Sunan Amangkurat Agung. Pada waktu itu Sang Raja sedang sakit dan beristirahat di Banyumas. Ki Demang melaporkan bahwa tugas yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan dengan baik. Ki Demang juga menceritakan bahwa Mas Tumenggung Kertinagara sekarang sudah menjadi besannya. Juga diceritakan bagaimana Mas Tumenggung telah menebus kesalahannya dengan menghalau pasukan pemberontak Trunajaya. Berkat jasa Mas Tumenggung dan anak-anaknya pasukan Trunajaya tidak bisa mengejar Sang Raja. Sekarang pasukan Tumenggung Kertinagara masih terus berjaga di Sruni dengan menggelar barisan yang siap siaga bila musuh datang kembali. Karena itu Ki Demang meminta agar Sang Raja berkenan memaafkan kesalahan Mas Tumenggung di masa lalu. Sekarang Mas Tumenggung sudah menyatakan kesetiaan kepada Sang Raja dan siap berkorban bila musuh kembali menyerang.

Sang Raja sangat terkesan dengan perkataan Demang Sutawijaya. Selain pusaka Kyai Jabardas bisa pulang, Sang Raja juga bersukacita atas jasa Mas Tumenggung Kertinagara yang mampu memukul mundur musuh. Seketika kesehatan Sang Raja berangsung membaik. Sang Raja lalu memerintahkan agar pusaka Kyai Jabardas diberikan kepada Pangeran Adipati Anom. Adapun Ki Mas Tumenggung Kertinagara juga diberi maaf. Bahkan wilayah sekitar Sruni yang telah direbutnya lestari menjadi miliknya. Kepadanya juga diberi jabatan wadana bupati di tanah Panjer, Roma, Semawung dan Ledok. Namanya juga diberi tambahan gelar raden sehingga menjadi Raden Tumenggung Kertinagara. Hanya saja Raden Tumenggung Kertinagara harus setor upeti ke Mataram setiap tahun.

Ki Demang Sutawijaya sudah diizinkan pulang ke Kutowinangun, tetapi karena sakit Sang Raja kembali parah Ki Demang belum bersedia pulang. Sakit Sang Raja tampak tak mempan segala obat. Tidak lama kemudian Sang Raja berpulang ke rahmatullah. Jenazah Sang Raja kemudian dikebumikan di Tegalarum, wilayah kabupaten Tegal. Hal itu sesuai pesang Sang Raja sebelum wafat. Makam itu sampai sekarang disebut makam Tegalarum.

Setelah Sang Raja wafat Ki Demang kembali ke Kutowinangun. Bergegas Ki Demang menempuh perjalanan karena ingin segera menyampaikan kabar gembira kepada Mas Tumenggung Kertinagara. Kini Mas Tumenggung sudah diangkat sebagai wadana bupati dan mempunyai gelar Raden Tumenggung Kertinagara. Maka Ki Demang tidak pulang dulu ke Kutowinangun tapi langsung menuju Sruni, ke kediaman Raden Tumenggung Kertinagara. Ketika bertemu Raden Tumenggung, Ki Demang langsung menubruk dan memeluk kaki Raden Tumenggung sambil menangis. Oleh Raden Tumenggung dikira Ki Demang bersedih hendak menyampaikan hukuman Sang Raja sehingga Raden Tumenggung ikut menangis.

Setelah tangis keduanya reda Ki Demang menyampaikan kabar gembira. Bahwa mulai sekarang Mas Tumenggung diangkat sebagai wadana bupati dan diberi gelar Raden Tumenggung. Tanah yang dulu telanjur dikuasainya tetap menjadi milik Raden Tumenggung, yakni Panjer, Roma, Ledok dan Semawung. Kedudukan Raden Tumenggun Kertinagara sebagai pendamping Raden Tumenggung Yudanagara Banyumas. Anugerah dari Sang Raja tersebut sebagai ganjaran atas jasa Raden Tumenggung memukul mundur pasukan pemberontak Trunajayan. Adapun keris pusaka Kyai Jabardas sekarang telah diserahkan kepada Sang Raja. Demikian penjelasan Ki Demang Sutawijaya.

Radèn Tumênggung Kêrtinagara sangat bersukacita atas anugerah tersebut. Dirinya sama sekali tak mengira akan mendapat pengampunan. Sebelumnya di siang malam Raden Tumenggung sudah pasrah atas hukuman yang hendak dijatuhkan padanya. Maka Raden Tumenggung bertekad hendak melaksanakan amanat itu sebaik-baiknya serta tidak akan mengulang kesalahannya seperti dulu.

Ki Demang Sutawijaya menginap semalam di Sruni. Pagi hari Ki Demang pulang ke Kutowinangun. Semua keluarga merasa gembira Ki Demang pulang dengan selamat.

Sejak saat itu pasukan pemberontak Trunajayan sudah tak kelihatan lagi. Kabupaten Sruni kembali tenteram.  Raden Tumenggung Kertinagara lestari memerintah Sruni dengan damai dibantu kedua putranya, Ki Kertileksana dan Ki Kertisentika serta Ki Demang Sutawijaya. Berkat kepemimpinan Raden Tumenggung Kertinagara yang berbudi utama bumi Sruni makmur sejahtera. Ki Demang lestari menjadi sesepuh Sruni. Antara mereka tak pernah ada perselisihan karena Raden Tumenggung menyadari kemuliaan yang diperolehnya berkat upaya Ki Demang.

Pada waktu itu meski Raden Tumenggung telah memegang kekuasaan sebagai bupati wadana, tetapi surat keputusan belum turun karena Sang Raja keburu mangkat. Kemudian terjadi pergolakan politik di tanah Jawa hingga akhirnya keraton berpindah ke Kartasura. Raja yang berkuasa pada waktu itu adalah Sunan Amangkurat Amral. Baru pada masa kekuasaan telah stabil di Kartasura Raden Tumenggung menerima surat keputusan Sang Raja sebagai bupati wadana di Sruni.

Setelah menerima surat keputusan secara resmi Raden Tumenggung Kertinagara mengadakan acara syukuran sekaligus menikahkan putri Raden Tumenggung dari istri tua yang bernama Mas Rara Rinten dengan Kramaleksana putra Ki Kramayuda. Acara syukuran berlangsung meriah selama 3 hari 3 malam.

Dua bulan berselang Raden Tumenggung dengan diantar Ki Demang Sutawijaya menghadap ke Kartasura dengan membawa upeti berupa hasil bumi tanah Sruni. Keberangkatan Ki Tumenggung juga sekaligus mengabdikan sang menantu Ki Kramaleksana kepada Sang Raja. Pengabdian Kramaleksana diterima dan diberi jabatan sebagai mantri pamajekan di Klegenkilang, salah satu wilayah di Sruni. Namanya tetap memakai nama Ngabei Kramaleksana. Setelah beberapa hari di Kartasura, Raden Tumenggung Kertinagara diizinkan pulang. Sesampai di rumah Kramaleksana segera dikirim ke tempat penugasan yang baru sebagai mantri pamajekan di Klegenkilang. Demikian tata pemerintahan di Sruni berjalan lancar hingga Raden Tumenggung Kertinagara wafat di zaman Raja Amangkurat Jawi berkuasa. Ki Demang Sutawijaya juga wafat di masa Raja yang sama.

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/09/21/babad-sruni-1-riwayat-raden-tumenggung-kertinagara-di-sruni/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...