Translate

Kamis, 22 Agustus 2024

Babad Tanah Jawi (186): Komisaris Semarang datang ke Kartasura untuk membuat perjanjian baru dengan Sang Raja

Alkisah, di Semarang. Tuan Komisaris Prisel telah membaca surat dari Sang Raja. Isinya Sang Raja menyatakan bersedia membuat kesepakatan baru. Namun meminta Tuan Komisaris yang datang ke Kartasura. Komisaris segera membuat surat balasan.

Tujuh hari kemudian surat balasan dari Tuan Komisaris sudah diterima oleh Sang Raja. Tuan Komisaris tetap meminta Sang Raja yang datang ke Semarang. Lagi-lagi Sang Raja merasa kerepotan.

Kapten Hohendorff berkata, “Sekarang semua Kumpeni di seluruh negeri Jawa berada di bawah kuasa Tuan Komisaris. Bila tidak dituruti permintaan Komisaris bisa mengganggu hubungan kedua pihak yang baru saja pulih. Namun bila dituruti paduka akan kesulitan mengadakan perjalanan ke Semarang. Sebaiknya paduka menulis surat kepada Gubernur Jenderal. Paduka membuat surat balasan kepada Tuan Komisaris yang isinya sama dengan yang sudah-sudah. Lalu paduka juga membuat surat kepada Gubernur Jenderal dengan alasan serupa. Kelak biar Gubernur Jenderal yang memerintahkan Tuan Komisaris ke Kartasura.”

Sang Raja menyetujui saran Hohendorff. Segera Surawiguna disuruh untuk membuat dua surat tersebut. Setelah surat selesai dibuat segera dikirim melalui Semarang. Suat untuk Tuan Komisaris sudah diterima. Adapun Surat untuk Gubernur Jenderal langsung diteruskan ke Betawi. Satu bulan kemudian datang perintah dari Gubernur Jenderal. Isinya menyatakan kalau Gubernur Jenderal sudah memerintahkan Komisaris untuk datang ke Kartasura membuat kesepakatan baru dengan Sang Raja.

Di saat yang sama Tuan Komisaris juga sudah mengirim surat balasan untuk Sang Raja. Isinya pemberitahuan bahwa Tuan Komisaris akan datang ke Kartasura.

“Kedatangan saya atas perintah Gubernur Jenderal dan para Dewan Hindia di Betawi. Semua sudah sepakat saya yang harus datang ke Kartasura untuk membuat kesepakatan baru. Semua ini untuk kemuliaan negeri Jawa,” demikian tulis Tuan Komisaris.

Surat Tuan Komisaris segera dibalas. Isinya Sang Raja sangat berterima kasih atas kepercayaan Tuan Komisaris. Setengah bulan berlalu Tuan Komisaris kembali mengirim surat kepada Sang Raja. Isinya, Tuan Komisaris akan berangkat ke Kartasura di bulan Sya’ban. Sang Raja kemudian memerintahkan kepada Kapten agar memberitahu kepada Pringgalaya untuk menyediakan tukang pikul dan segala keperluan untuk menjemput Tuan Komisaris ke Semarang.

Kapten Hohendorff segera menyampaikan perintah Sang Raja kepada Pringgalaya. Raden Pringgalaya segera melaksanakan perintah. Para wadana diminta untuk menyediakan tukang pikul. Setelah semua siap rombongan penjemput pun berangkat.

Sementara itu di Semarang, Tuan Komisaris memerintahkan para bupati pesisir yang akan dibawa serta ke Kartasura untuk bersiap. Juga kepada para punggawa Kartasura yang masih berada di Semarang, diberitahukan kepada mereka bahwa mereka akan dibawa ke Kartasura. Mereka adalah Ki Tirtawiguna dan Raden Wiryadiningrat. Adapun Ki Suradipa telah meninggal dunia di Semarang. Para kerabat Sang Raja juga akan dibawa serta, yakni Pangeran Mangkubumi, Pangeran Rangga, Pangeran Silarong dan Pangeran Prangwadana.

Tidak berapa lama rombongan penjemput dari Kartasura sudah sampai di Semarang. Tuan Komisaris dan para punggawa pengiringnya segera berangkat. Keberangkatan Tuan Komisaris dilepas dengan tembakan meriam berkali-kali.

Di Kartasura, segala persiapan untuk menyambut kedatangan Tuan Komisaris sudah selesai. Tuan Komisaris sudah sampai di Boyolali. Utusan telah dikirim untuk memberi tahu besok pagi Tuan Komisaris akan masuk ke kota Kartasura. Kapten Hohendorff segera melapor kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Baiklah Komandan. Besok pagi aku akan menyambut kedatangan Tuan Komisaris di Banyudana. Perintahkan kepada para punggawa untuk menyiapkan segala sesuatunya. Para mantri besok bersiaplah di Pagelaran.”

Kapten Hohendorff segera mengumumkan keberangkatan Sang Raja untuk menyambut kedatangan Tuan komisaris di Banyudana. Pagi hari berikutnya, Sang Raja sudah bersiap berangkat. Para punggawa dan mantri sudah hadir di Pagelaran. Setelah Sang Raja keluar dari puri, rombongan segera berangkat.

Tidak lama kemudian rombongan Sang Raja sudah sampai di Banyudana. Namun rombongan Tuan Komisaris belum tampak sama sekali. Kapten Hoendorff menyarankan agar Sang Raja menuju kebun raja. Tempat itu lebih baik dipakai untuk menjemput Tuan Komisaris. Sang Raja menerima saran Kapten Hohendorff. Rombongan lalu bergerak ke kebun raja. Namun lagi-lagi rombongan Tuan Komisaris belum tampak sama sekali. Kembali Hohendorff menyarankan agar Sang Raja meneruskan perjalanannya. Rombongan kemudian menuju Majasanga. Di Majasanga barulah rombongan Tuan Kumendur kelihatan. Ketika kedua rombongan sudah saling dekat, Tuan Komisaris turun dari kuda dan berlari ke arah Sang Raja. Setelah menyampaikan salam dan bersalaman keduanya duduk sebentar.

Tuan Komisaris berkata, “Saya beritahukan kepada paduka, adik paduka Pangeran Arya Mangkubumi, Pangeran Rangga, Pangeran Silarong dan Pangeran Prangwadana sudah bersama dengan saya. Juga para bupati dan punggawa dari Semarang. Sekarang saya serahkan kepada paduka.”

Sang Raja menyatakan banyak terima kasih. Keempat adik Sang Raja kemudian maju dan melakukan sungkem. Kedua rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kartasura. Ketika rombongan sampai di Banyudana mereka berhenti untuk santap siang. Tuan Komisaris duduk berdampingan dengan Sang Raja untuk menikmati jamuan makan dan minuman. Beberapa saat kemudian rombongan melajutkan perjalanan. Sesampai di Kartasura kedua pembesar langsung masuk ke istana. Komisaris ditemui Kangjeng Ratu. Setelah beramah tamah secukupnya kembali jamuan dikeluarkan. Tuan Komisaris kemudian mohon diri dan menuju pemondokan. Di pondokan Tuan Komisari kemudian mendapat kiriman jamuan lagi dari istana. Sangat hangat sambutan Sang Raja sehingga jamuan terus keluar seperti aliran air. Tuan Komisaris dan para punggawa Kartasura dari Semarang kemudian makan besar.  Setelah menemani Tuan Komisaris bersantap, Ki Tirtawiguna dan Ki Wiryadiningrat minta pamit kembali ke rumahnya masing-masing. Pada saat itu Arya Pringgalaya sedang menderita sakit sehingga tidak ikut menyambut tamu.

Karena istana sedang punya hajat melakukan perundingan, Hohendorff menyarankan agar Sang Raja mengangkat patih. Untuk jabatan patih itu Hohendorff mengusulkan dua orang. Arya Pringgalaya sebagai patih kanan atau patih luar dan Tirtawiguna sebagai patih kiri atau patih dalam. Adapun jabatan lama Arya Pringgalaya digantikan oleh Raden Wiryadiningrat. Adapun jabatan Tirtawiguna selanjutnya digantikan oleh Ki Reksapraja.

Sang Raja berkata pelan, “Baiklah, besok hari Senin saudara Komisaris persilakan masuk ke puri untuk menyaksikan pengangkatan patih.”

Kapten Hohendorff berkata, “Kalau paduka berkenan, lebih baik paduka menunjuk seseorang untuk mendampingi Tuan Komisaris selama di Kartasura. Karena selama ini sayalah yang melakukan.”

Sang Raja kemudian menyuruh Ki Tohjaya untuk menemui Tuan Komisaris. Tohjaya kemudian menuju pondokan Tuan Komisaris dan menyampaikan undangan Sang Raja. Hari Senin Tuan Komisaris dimohon hadir untuk menyaksikan pengangkatan patih Pringgalaya dan Tirtawiguna. Dan sekaligus mengangkat Raden Wiryadiningrat sebagai wadana mantri Ageng dan Reksapraja sebagai wadana mantri Panumping.

Tuan Komisaris berkata, “Terima kasih atas kepercayaan Sang Raja. Sampaikan salamku untuk Sang Raja.”

Tohjaya segera mohon diri dari pondok Tuan Komisaris. Pada hari Senin Komisaris sudah hadir di istana. Sang Raja menyambut dan mempersilakan duduk.

Sang Raja berkata, “Saudara Komisaris, aku akan mengangkat patih luar dan patih dalam. Si Pringgalaya akan menjadi patih kanan dan Tirtawiguna akan menjadi patih kiri. Adapun kawedanan Ageng si Pringgalaya selanjutnya akan dipegang oleh Wiryadiningrat. Dan kawedanan Panumping si Tirtawiguna akan dipegang Reksapraja. Juga Surawiguna akan menjadi wedana gedong kiwa.”

Tuan Komisaris lalu menyampaikan usulan agar Sang Raja mempunyai seseorang yang membawahi pasukan. Jangan sampai Sang Raja sendiri yang memerintah secara langsung karena terlihat kurang patut bagi seorang raja. Setelah selesai berbincang Sang Raja dan Tuan Komisaris pun bersiap ke bangsal Pagelaran. Acara wisuda kedua patih akan segera dimulai.

Sang Raja bertahta di bangsal Pangrawit. Para punggawa lengkap hadir. Tuan Komisari duduk di samping Sang Raja. Para mantri berjajar dengan takzim. Tampak muka-muka mereka menunduk menunggu sabda Sang Raja.

Berkata Sang Raja, “Wahai segenap kawula Kartasura, patuhilah perintahku. Mulai saat ini si Pringgalaya dan si Tirtawiguna aku wisuda sebagai patih. Pringgalaya aku angkat sebagai patih kanan dan Tirtawiguna aku angkat sebagai patih kiri. Selanjutnya Pringgalaya pakailah nama Adipati Pringgalaya dan Tirtawiguna pakailah nama Adipati Sindureja. Adapun kawedanan mantri Ageng sekarang dijabat oleh si Wiryadiningrat. Adapun kawedanan Panumping dijabat si Reksapraja dan namanya aku ganti Tumenggung Kartanagara. Si Surawiguna sekarang menjabat sebagai wadana gedong kiri dan memakai nama Tumenggung Tirtawiguna.”

Semua punggawa menjadi saksi dan siap mematuhi keputusan Sang Raja. Setelah acara wisuda selesai Sang Raja masuk ke dalam puri. Tuan Komisaris pun mohon pamit kembali ke pondokan. Selanjutnya Adipati Sindureja bersiap pindah ke kediaman Danurejan. Adapun Adipati Pringgalaya kemudian menempati Kartanagaran yang letaknya di Kalitan. Saat itu Pangeran Mangkubumi meminta tinggal di perumahan Kajayasudirgan. Oleh Sang Raja sudah diizinkan.

Setelah serangkaian acara di Kartasura, Tuan Komisari Prisel berencana menemui Sang Raja untuk bicara kesepakatan baru. Komisaris Prisel sudah mengajukan waktu untuk bertemu. Sang Raja pun sudah mempersiapkan segala keperluan. Setelah semua siap Komisaris Prisel dipanggil menghadap. Tempat pertemuan adalah di kebun agung.

Pada waktu yang telah ditentukan Komisaris dan Sang Raja telah hadir. Jamuan segera dikeluarkan. Kedua patih sudah bersiap di dekat Sang Raja. Para kerabat pun turut hadir. Pangeran Ngabei dan Pangeran Buminata berada di depan, duduk bersama para opsir. Adapun kedua patih duduk takzim di lantai.

Komisaris Prisel berkata, “Kedatangan saya hendak membuat perjanjian baru setelah berlalunya perang yang dikomandani pasukan Kumpeni. Juga setelah Kumpeni memberi maaf kepada Sang Raja atas perkenan Gubernur Jenderal dan telah disetujui Dewan Hindia. Adapun semua kesalahan Sang Raja dahulu telah dihapuskan. Juga kesalahan Kumpeni terhadap orang Jawa, semua sudah dihapus. Kumpeni tidak akan mengubah pernjanjian terdahulu antara Sunan Pakubuwana di Semarang yang diteruskan kepada para putra. Kumpeni tidak akan mengubah kedudukan Sang Raja beserta keturunannya.”

Pihak Kumpeni lalu meminta perjanjian baru yang dibuat antara Komisaris Prisel dan Sang Raja. Bahwa Kumpeni meminta pengelolaan tanah pesisir. Sang Raja telah mengabulkan permintaan Kumpeni tersebut. Setelah Komisaris dan Sang Raja sepakat maka Komisaris pun mohon diri. Komisaris lalu keluar dari istana dan kembali ke pondokannya.

Komisaris kemudian menyusun surat perjanjian dan mengajukan secara tertulis kepada Sang Raja. Setelah surat perjanjian disepakati Komisaris lalu berpamitan kembali ke Semarang. Sang Raja kemudian menyertakan tukang pikul untuk membawa semua barang keperluan Tuan Komisaris selama dalam perjalanan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/03/babad-tanah-jawi-186-komasaris-semarang-datang-ke-kartasura-untuk-membuat-perjanjian-baru-dengan-sang-raja/

Babad Tanah Jawi (187): Pangeran Mangkubumi merebut tanah Sukawati

Kepulangan Tuan Komisaris Prisel ke Semarang meninggalkan banyak serdadu Kumpeni di Kartasura. Mereka ditugaskan menjaga Sang Raja di bawah komando Kapten Hohendorff. Banyaknya serdadu Kumpeni di Kartasura membuat kerepotan baru, yakni persoalan jatah makan bagi para serdadu itu. Para penggarap sawah dan para saudagar di wilayah yang diperuntukkan sebagai jatah makan Kumpeni merasa diperas. Banyak dari mereka tak betah dan memilih pergi.

Di sepanjang wilayah Sendhang-Gumpang banyak orang berkumpul dan sepakat meninggalkan tanah mereka untuk bergabung ke Kajayasudirgan, tanah pangeran Mangkubumi. Sang Pangeran merasa repot menampung mereka. Karena mengembalikan juga tidak mungkin. Mereka takut ditangkap di malam hari karena perilaku para serdadu Kumpeni sangat rusuh.

Pada suatu hari Pangeran Mangkubumi bertanya kepada para bawahannya, “Bagaimana ini, situasi negeri kok sangat kacau. Apakah kalian betah mengabdi kalau situasinya seperti ini?”

Mereka yang ditanya menjawab, “Tuan, bagaimana bisa seperti ini. Kumpeni sangat rusuh ulahnya.”

Pangeran berkata, “Benar. Andai aku punya rencana apakah kalian mau ikut rencanaku?”

Mereka menjawab, “Kami tak mau ditinggalkan, apapun rencana paduka kami ikut serta.”

Pangeran Mangkubumi lalu mengirim utusan untuk menemui Raden Martapura.

Pesan Pangeran kepada utusan, “Engkau bertemulah sendiri dengan Paman Martapura. Aku tidak sampai hati melihat keadaan di Kartasura. Tanyakan tempat yang sebaiknya aku duduki.”

Utusan segera melesat menuju tempati Ki Martapura. Setelah berhasil bertemu dengan Martapura utusan menyampaikan pesan Pangeran Mangkubumi.

Berkata Raden Martapura, “Hai utusan, katakan kepada Pangeran Mangkubumi. Aku menyambut gembira langkah yang akan beliau ambil. Sebenarnya aku sangat mengharap yang seperti ini. Namun aku tak berani untuk mengirim utusan bila bukan Pangeran yang memulai. Kalau Pangeran merasa mampu, sebaiknya segera meloloskan diri dari Kartasura. Tempat yang pertama dituju adalah Butuh. Kalau sudah sampai di Butuh besok aku kirim utusan untuk menuju tempat yang baik.”

Utusan sudah kembali dari tempat Martapura. Perjalanan mereka percepat agar segera sampai di Kartasura. Setelah sampai di Kartasura si utusan menyampaikan pesan Martapura kepada Pangeran Mangkubumi. Pangeran menerima saran Martapura. Persiapan segera dilakukan. Di malam hari Pangeran lolos dari Kartasura menuju Butuh dengan membawa seratus orang, termasuk wanita dan anak-anak.

Pagi hari Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja mendengar kabar lolosnya Pangeran Mangkubumi. Kedua patih lalu mengirim utusan untuk memeriksa kebenaran kabar itu. Setelah dipastikan kabar tersebut kedua patih tergopoh-gopoh melapor kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Memang sulit dicegah. Beda dengan orang yang dipenjara bisa diketahui setiap saat. Kalau seperti ini memang sulit dideteksi.”

Sementara itu, Raden Martapura sudah mendengar kalau Pangeran Mangkubumi telah sampai di Butuh. Martapura lalu mengirim utusan untuk menjemput Pangeran Mangkubumi. Pangeran lalu dipersilakan untuk tinggal di desa Jatitengah. Sesampai di desa itu Pangeran membuat markas. Namun Raden Martapura akan menemui Pangeran Mangkubumi. Martapura sangat berhati-hati, karena barangkali Pangeran tidak bersungguh-sungguh dan hanya menjebaknya. Martapura lalu menunjuk dua tumenggung yang dia angkat untuk menjaga dan melayani kebutuhan Pangeran Mangkubumi. Dua tumenggung itu adalah Tumenggung Suradigdaya dari Jatitengah dan Tumenggung Santareja dari Gonggang Galungan. Kedua tumenggung merasa nyaman melayani Pangeran Mangkubumi. Banyak orang merasa suka dengan Pangeran, terutama dari orang kalang atau ahli bangunan. Pangeran Mangkubumi lalu mengambil mereka semua sebagai abdi. Martapura pun menyerahkan semua orang kalang kepada Pangeran.

Ada menantu Raden Martapura yang bernama Raden Suryanagara atau nama kecilnya Mas Suwanti, anak dari Raden Anggakusuma Buminatan. Suryanagara waktu itu punya pasukan yang berbaris di Pajambean. Ketika mendengar bahwa semua orang kalang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi, Raden Suryanagara segera menemui mertuanya untuk menyampaikan pendapat. Namun ketika bertemu belum sempat bicara Martapura mendahului bicara.

Berkata Martapura, “Hai Nak, ketahuilah. Semua orang kalang sekarang diambil Pangeran Mangkubumi.”

Suryanagara berkata, “Sangat-sangat saya meminta para orang kalang itu karena sedang saya pekerjakan. Mengapa Anda berikan kepada Pangeran?”

Martapura berkata, “Aduh Nak. Aku sudah telanjur menyerahkannya. Bagaimana caranya meminta kembali?”

Suryanagara berkata, “Anda tinggal di sini saja. Saya yang akan memintanya.”

Suryanagara lalu mohon diri dan segera menuju ke Jatitengah. tempat kediaman Pangeran Mangkubumi. Dengan membawa dua ratus prajurit Suryanagara menuju pondokan orang kalang. Tanpa banyak bicara Suryanagara langsung menjarah semua milik orang kalang dan memukuli orangnya, lalu membawanya. Pangeran Mangkubumi kaget, lalu mendekati Suryanagara dan diajak masuk pendapa. Suryanagara masuk pendapa dan bertemu Pangeran Mangkubumi.

Berkata Suryanagara, “Anda ini bagaimana, mengapa semua orang kalang Anda ambil?”

Pangeran Mangkubumi berkata, “Aku tidak mengambilnya begitu saja. Aku sudah minta kepada ayahmu si Martapura. Aku tak bermaksud seperti itu. Aku memintanya untuk memberi tempat karena aku tak bisa tinggal di Kartasura.”

Suryanagara berkata, “Anda ini belum seberapa lama keluar dari kota.”

Suryanagara segera berlalu tanpa pamit. Merasa diremehkan, Pangeran Mangkubumi sakit hati. Pangeran lalu bertanya kepada Suradigdaya dan Santareja apakah berani melawan Martapura dan menantunya.

Kedua tumenggung berkata, “Kami merasa tak kalah kalau diadu melawan Suryanagara dan Martapura.”

Pangeran Mangkubumi berkata, “Kalau demikian, semua orang kalang yang punya sakit hati yang sama karena dijarah dan dianiaya, kumpulkan segera.”

Sementara itu Suryanagara mendengar kalau Pangeran Mangkubumi telah mengumpulkan para orang kalang yang ditinggalkan. Suryanagara segera menyiapkan prajurit berkuda sejumlah lima ratus dengan berbagai senjata dan tiga ribu prajurit darat. Mereka pun berangkat menuju tempat Pangeran Mangkubumi. Tumenggung Suradigdaya dan Tumenggung Santareja memberi tahu perihal kedatangan pasukan Suryanagara.

Pangeran Mangkubumi berseru, “Bagaimana rencana kalian?”

Kedua tumenggung berkata, “Kalau paduka izinkan saya akan menghadapi mereka. Paduka saya persilakan berada di markas saja. Jangan menyertai kami.”

Pangeran Mangkubumi berkata, “Baiklah aku turuti kalian, tapi berhati-hatilah.”

Kedua tumenggung segera berangkat membawa sisa-sia orang kalangan semuanya. Mereka sudah bertekad takkan lari. Tak lama kemudian kedua pasukan sudah bertemu. Pertempuran pun pecah. Kedua kubu saling tembak dan saling tombak. Perang berlangsung sengit. Prajurit Suryanagaran banyak yang tewas. Karena terus terdesak mereka pun lari. Pasukan dua tumenggung terus mengejar sampai ke pondokan mereka. Pondok-pondok dijarah dan dibakar. Para orang kalang yang sudah merasa sakit hati lalu mengajak terus ke Sumberan, markas Raden Martapura.

Kedua tumenggung lalu membuat tipudaya. Bendera Suryanagaran yang mereka ambil dari markas Suryanagara mereka kibarkan. Dari jauh mereka tampak seperti pasukan Suryanagara sehingga prajurit Martapura tak merasa akan diserang. Namun ketika dekat tiba-tiba pasukan dua tumenggung langsung menembaki markas Martapura. Prajurit Martapura gugup dan tak sempat melakukan perlawanan. Mereka dibantai dengan leluasa. Ki Martapura dan pasukannya lari. Pondok-pondok mereka pun dibakar.

Pasukan dua tumenggung lalu kembali ke Jatitengah dan melapor kepada Pangeran Mangkubumi bahwa mereka menang perang. Pangeran Mangkubumi sangat bersukacita. Dia memuji keberanian dua tumenggung. Ada seorang kalang dari Kaseren yang bagus sepak terjangnya dalam perang. Oleh Pangeran Mangkubumi kemudian diangkat sebagai tumenggung dengan nama Brajamusthi. Tanah Sukawati telah dikuasai sepenuhnya oleh Pangeran Mangkubumi. Semua penduduk Sukawati tunduk dan patuh, tak ada lagi yang melawan.

Pangeran Mangkubumi lalu mengirim surat ke Kartasura. Utusan diperintahkan menuju kediaman Raden Adipati Pringgalaya. Sesampai di rumah Pringgalaya, surat diterima dan dibaca dengan seksama. Surat kemudian dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja segera menyuruh untuk membacakan surat dari sang adik.

Isi suratnya: “Sembah hamba untuk paduka Sang Raja. Hamba haturkan hidup dan mati. Yang kedua, hamba beritahukan bahwa tanah milik paduka di Sukawati sekarang sudah saya rebut dari tangan Martapura. Si Martapura sudah lari tidak diketahui rimbanya. Sekarang saya serahkan kepada paduka. Hamba meminta perintah selanjutnya.”

Sang Raja kemudian membalas surat Pangeran Mangkubumi. Isi suratnya: “Salam untuk Dinda Pangeran. Engkau mengirim surat kepadaku, sudah aku terima dan aku pahami maksudnya. Aku sangat berterima kasih atas pekerjaanmu. Sekarang Dinda pulanglah ke Kartasura. Begitu surat ini sampai, Dinda segera berangkatlah.”

Surat sudah diberikan kepada utusan lalu disuruh segera kembali ke Sukawati. Singkat cerita surat sudah diterima oleh Pangeran Mangkubumi. Setelah membaca surat dari Sang, Raja Pangeran bertanya kepada tiga tumenggung.

Berkata Pangeran Mangkubumi, “Bagaimana pendapat kalian. Surat dari Sang Raja tidak menyebutkan status tanah Sukawati. Tidak pula menyerahkan tanah. Hanya aku dipanggil pulang ke Kartasura. Bagaimana menurut kalian?”

Ketiga tumenggung menjawab, “Kami berserah pada keputusan paduka. Kami akan patuh pada apa yang paduka kehendaki.”

Pangeran memutuskan untuk kembali ke Kartasura. Ketiga tumenggung pun patuh. Pasukan Pangeran Mangkubumi pun bersiap menghadap Sang Raja di Kartasura. Sesampai di Kartasura Pangeran diterima Arya Pringgalaya dan Hohendorff, lalu dibawa menghadap Sang Raja. Sang Raja kemudian memerintahkan Pangeran Mangkubumi untuk membuat pemukiman bagi pasukannya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/04/babad-tanah-jawi-187-pangeran-mangkubumi-dapat-merebut-tanah-sukawati/

Babad Tanah Jawi (188): Mengulang cerita penyerahan diri Prabu Kuning kepada Kumpeni

Mengulang cerita penyerahan Prabu Kuning kepada Kumpeni. Ketika lolos dari Randhulawang Prabu Kuning pergi ke Madiun. Pangeran Buminata dan Pangeran Prangwadana masih mengikutinya. Kedua pangeran menyarankan agar Prabu Kuning kembali ke Pajang. Lebih baik berputar dan berkejaran dengan musuh di Pajang dan Mataram saja. Kalau nanti terdesak toh bisa lebih aman kalau mengungsi ke Gunung Kidul. Namun Kapten Sapanjang menyarankan agar Prabu Kuning berkeraton di Kediri saja dan menaklukkan wilayah mancanagara. Kalau nanti terdesak bisa lari ke Blambangan. Sapanjang tak menyarankan Prabu Kuning menyerah kepada Kumpeni. Para pengikut Prabu Kuning belum sepakat. Masih ada pula usulan lain, menyerah kepada Kumpeni di Surabaya.

Prabu Kuning lalu menuruti usulan Kapten Sapanjang, yakni berangkat ke Kediri. Pangeran Buminata tak mau ikut, dia pulang dari Madiun dan menuju Gunung Kidul. Pangeran Prangwadana juga tak mau ikut, dia memilih pergi ke Matesih dan menaklukkan wilayah sekitar sampai Nglaroh.

Sementara itu Prabu Kuning sudah sampai di Kediri. Bupati Kediri adalah orang dari Pasuruan. Dia merasa tak mampu melawan pasukan Prabu Kuning. Dia lalu memilih menyingkir dari kota dan bersembunyi di pedesaan. Prabu Kuning kemudian menduduki kota Kediri. Prabu Kuning lalu mengirim surat ke Surabaya. Isi suratnya menyatakan akan menyerah dan sanggup meringkus Kapten Sapanjang kelak bila sudah sampai di Surabaya. Kapten Sapanjang mengetahui isi surat tersebut. Pada malam hari dia kemudian meloloskan diri dari Kediri bersama pasukannya. Mereka menuju Blambangan.

Di Surabaya, Kumpeni sudah menerima surat Prabu Kuning. Juru bahasa segera menerjemahkan surat itu. Isi suratnya: Prabu Kuning menyatakan akan menyerah dan minta dijemput karena sangat kerepotan dalam perjalanan. Mayor Kumpeni di Surabaya sangat gembira mengetahui Prabu Kuning akan menyerah. Mayor segera memerintahkan pasukan bupati Surabaya untuk menjemput. Dua bupati Surabaya, Sasranagara dan Secanagara bersiap mengirim pasukan penjemput. Ada abdi Surabaya pegawai Mayor yang asalnya dari Kediri, namanya Katawengan. Dia kemudian ditunjuk menjadi pemimpin pasukan penjemput. Kepadanya telah diberi surat balasan dan pesan-pesan secukupnya. Pasukan pun segera berangkat dengan lima kapal.

Sesampai di Kediri, Katawengan bertemu dengan Prabu Kuning. Surat dari Mayor sudah diserahkan dan dibaca dengan seksama. Isi suratnya: Pertama, Mayor menyampaikan salam. Yang kedua, Mayor bersedia menampung Prabu Kuning dan memberi perlindungan dari musuh-musuhnya.

Setelah membaca surat Mayor Surabaya, Prabu Kuning kemudian menyampaikan kepada para prajurit. Para prajurit menyarankan agar Prabu Kuning segera berangkat ke Surabaya. Dari tiga ratus prajurit Prabu Kuning, yang menyertai ke Surabaya hanya seratus orang karena kapalnya tidak muat. Sisa prajurit yang tertinggal semua menangis. Mereka akhirnya bubar mencari pengungsian sendiri-sendiri. Prabu Kuning akhirnya sampai di Surabaya. Mayor menyambutnya dan mempersilakan masuk ke Loji. Satu pekan di Surabaya Prabu Kuning lalu diantar ke Semarang. Katawengan kemudian diangkat sebagai bupati di Kediri dengan nama Tumenggung Katawengan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/05/babad-tanah-jawi-188-mengulang-cerita-penyerahan-diri-prabu-kuning-kepada-kumpeni/

Babad Tanah Jawi (189): Martapura bersekutu dengan Pangeran Prangwadana

Alkisah di Sukawati, Raden Martapura kembali menaklukkan wilayah Sukawati yang kosong karena ditinggalkan Pangeran Mangkubumi ke Kartasura. Raden Martapura ketika itu bersekutu dengan Pangeran Prangwadana yang menggelar barisan di Nglaroh. Walau telah menjalin persekutuan Martapura juga belum menemui Pangeran Prangwadana karena kehati-hatiannya. Mereka berdua tetap menjaga jarak karena sama-sama belum saling percaya.

Pangeran Mangkubumi telah mendapat laporan dari abdinya di Sukawati kalau Martapura dan Pangeran Prangwadana sudah saling sekongkol dan mulai masuk ke Sukawati. Pangeran Mangkubumi lalu meminta izin Sang Raja untuk kembali ke Sukawati, tetapi Sang Raja tak mengizinkan bila Pangeran sendiri yang pergi. Sang Raja minta Pangeran Mangkubumi cukup mengirim utusan untuk membereskan keadaan di Sukawati. Pangeran lalu mengutus tiga tumenggung andalannya, Tumenggung Santareja, Tumenggung Suradigdaya dan Tumenggung Brajamusthi. Ketiganya segera berangkat ke Sukawati bersama pasukannya. Adapun yang mengawal Pangeran Mangkubumi di kota adalah sisa pasukan Sukawati yang disebut Kombang Ambruk. Mereka adalah mantan para durjana yang sering beraksi di waktu malam. Mereka itu dipilih dan dipelihara. Jumlahnya ada dua ratus orang.

Sementara itu Tumenggung Suradigdaya sesampai di Sukawati mendapati bahwa orang Sukawati sudah banyak yang menjadi pengikut Martapura. Di selatan mereka banyak yang ikut Pangeran Prangwadana. Ketiga tumenggung malu kalau mundur. Mereka tetap bertahan di Sukawati.

Di kubu Martapura, pada suatu pagi mereka telah bersiap menyerang pasukan tiga tumenggung. Pasukan Martapura datang bersama pasukan Prangwadana. Pangeran Prangwadana datang sendiri karena mengira kalau Pangeran Mangkubumi yang datang ke Sukawati. Ketika pasukan Martapura dan Prangwadana datang ketiga tumenggung bersiap menghadang. Ketiganya keluar dari pondokannya dan menghadapi musuh yang datang. Pertempuran pun pecah. Kedua kubu saling tembak. Banyak korban tewas berjatuhan di kedua pihak. Tumenggung Suradigdaya pun tewas. Setelah kematiannya dua tumenggung merasa ciut hatinya. Keduanya lalu membawa pasukan mundur. Markas Jatitengah kemudian dibakar oleh pasukan Martapura.

Tumenggung Santareja lalu melaporkan kekalahannya kepada Pangeran Mangkubumi. Sang Pangeran kaget. Pangeran Mangkubumi lalu melaporkan kejadian tersebut kepada Sang Raja dan dengan sedikit memaksa minta izin untuk turun sendiri ke Sukawati. Sang Raja kali ini tak menolak permintaan sang adik.

Pangeran Mangkubumi kemudian bersiap berangkat ke Sukawati. Pasukan Mangkubumi langsung menyerang markas Raden Martapura.  Terjadi pertempuran dahsyat antara kedua pasukan. Raden Martapura mundur. Pangeran Mangkubumi terus mendesak sampai ke timur bengawan. Namun malam menjelang. Pangeran lalu membuat pondok untuk bermalam.

Pagi hari berikutnya pasukan Pangeran Prangwadana gantian mendatangi pondok Pangeran Mangkubumi. Ketika melihat musuh datang Pangeran Mangkubumi lalu bersiap. Hanya pasukan Kombang Ambrok yang dimajukan. Tak lama kemudian pertempuran pun pecah kembali. Kedua pasukan sama-sama berani. Prajurit Kombang Ambrok sangat berani. Mereka mengamuk seperti orang buta, tak peduli melawan siapapun. Pasukan Nglaroh dan Matesih kewalahan menghadapi Kombang Ambrok. Setelah pasukan Prangwadana terdesak, gantian pasukan Martapura kembali maju. Prajurit Kombang Ambrok tak memberi ampun. Pasukan Prangwadana lalu maju kembali mengeroyok pasukan Kombang Ambrok. Kali ini pasukan Mangkubumi terdesak. Pangeran Mangkubumi pontang-panting menata prajurit. Namun karena musuh terlalu banyak pasukan Kombang Ambrok tak mampu melawan. Banyak prajurit Kombang Ambrok tewas. Pangeran sampai harus menceburkan diri ke bengawan karena terdesak musuh. Ketika malam menjelang Pangeran Mangkubumi hanya tinggal dikawal empat prajurit saja. Mereka berhasil selamat oleh gelapnya malam.

Pagi hari berikutnya Raden Martapura bermaksud kembali ke Sumberan. Adapun Pangeran Prangwadana kembali ke Nglaroh. Sementara itu Pangeran Mangkubumi bersembunyi di Butuh. Untuk beberapa lama Pangeran Mangkubumi tidak melapor kepada Sang Raja karena merasa malu. Sebab ketika berangkat dulu Pangeran setengah memaksa kepada Sang Raja. Di Butuh Pangeran Mangkubumi selalu hidup prihatin. Setelah beberapa lama para abdinya yang masih setia berdatangan. Dua tumenggung, Santareja dan Brajamusthi, pun sudah bergabung. Makin hari makin banyak prajurit Sukawati yang terkumpul. Sudah mencapai tiga ratus orang dengan seratus orang diantaranya prajurit berkuda.

Raden Suryanagara sudah mendengar kalau kekuatan Pangeran Mangkubumi bangkit lagi di Butuh. Suryanagara segera melapor kepada Raden Martapura. Segera Martapura dan Suryanagara bersiap menyerang ke Butuh. Tumenggung Santareja mengetahui kalau Martapura akan menyerang. Santareja segera memberi tahu Pangeran Mangkubumi.

Berkata Pangeran Mangkubumi, “Engkau Santareja dan Brajamusthi, hadapilah musuh. Semua temanmu bawalah serta. Tinggalkan saja delapan puluh orang untukku dari prajurit Kombang Ambrok. Tinggalkan mereka bersamaku. Dan pesanku untuk kalian, kalau nanti sudah terjadi pertempuan, kalau sudah dua kali kalian saling tembak segeralah berlari. Namun larinya jangan ke arah sini.”

Santareja dan Brajamusthi sudah diberi pesan strategi yang akan diterapkan. Kedua tumenggung segera berangkat. Di tengah jalan mereka bertemu dengan pasukan Martapura. Pertempuran pun pecah di tengah jalan. Ketika sudah terjadi pertempuran Santareja ingat pesan Pangeran Mangkubumi. Santareja segera membawa lari pasukannya. Pasukan Suryanagara mengira musuh takut, mereka pun mengejar.  Setelah lari beberapa jauh Santareja berbalik menyerang kembali. Pertempuran kembali pecah. Namun kali ini pasukan Martapura telah berkurang jumlahnya karena sebagian tidak ikut mengejar. Ketika pertempuran kembali terjadi, prajurit Martapura yang berada di belakang segera mengirim bantuan. Melihat musuh mendapat bantuan Santareja kembali membawa pasukannya lari. Sebagian prajurit musuh pun mengejar. Dengan cara ini Santareja telah memecah pasukan Martapura menjadi berceceran di jalan. Setelah lari agak jauh Santareja kembali berbalik melawan. Pertempuran berlangsung sampai menjelang malam.

Di belakang, Martapura tak ikut mengejar pasukan musuh. Mereka berhenti dan bermarkas di Majarata. Jumlah pasukannya sedikit karena sebagian besar masih mengejar Santareja. Tiba-tiba datang pasukan Pangeran Mangkubumi dengan prajurit Kombang Ambrok.

Ada seorang prajurit Martapura berkata, “Siapa yang datang itu, jangan-jangan pasukan musuh?”

Yang lain menjawab, “Tidak mungkin, pasukan musuh sudah lari ke depan sana. Kalau itu musuh pasti cari mati. Akan aku tembak dengan kalantaka.”

Pasukan Martapura tak mengira masih ada pasukan lain yang menyerang dari belakang. Pasukan Mangkubumi langsung menerjang. Karena gugup dan tak siap pasukan Martapura pun bubar berlarian. Kalantaka tak sempat menyalak. Ki Martapura pun lari dengan tergesa-gesa dengan naik kuda tanpa pelana.

Tempat yang semula dipakai bermarkas pasukan Martapura kemudian diduduki pasukan Mangkubumi. Hari sudah menjelang malam. Pangeran Mangkubumi lalu berpesan kepada pasukan Kombang Ambrok agar nanti kalau pasukan Martapura yang tadi mengejar Santareja kembali mereka berpura-pura menjadi pasukan Martapura. Kalau separuh pasukan sudah masuk ke markas, maka seranglah mereka.

Setelah waktu Isya’ datang pasukan Martapura yang tadi mengejar. Setelah mereka melihat sekumpulan orang di markasnya, mereka mengira sebagai teman sendiri.

Mereka bertanya, “Di mana Panembahan Martapura?”

Yang dari dalam menjawab, “Ada di dalam sini.”

Yang tadi bertanya berkata, “Lhoh mulut siapa itu yang lancang menjawab. Kok seperti pasukan si Mangkubumi?”

Yang dari dalam berkata, “Maafkan Kyai, kami orang kecil suka lupa tatakrama.”

Mereka yang baru datang kemudian masuk ke dalam. Baru saja sepertiga pasukan masuk prajurit Kombang Ambrok merebut kerisnya dan mengamuk. Mereka yang baru masuk ditikam dengan tombak. Sementara yang berada di luar tahu kalau di dalam ada musuh. Segera mereka bertolak dengan buru-buru. Mereka lari pontang-panting jatuh bangun. Pasukan Martapura dan Suryanagara sudah bubar berlarian.

Pagi harinya Ki Santareja menghadap Pangeran Mangkubumi bersama pasukan Kombang Ambrok. Mereka tertawa-tawa menceritakan peristiwa tadi malam.

Pangeran Mangkubumi berkata, “Santareja, sebaiknya aku segera mengirim kabar ke Kartasura. Dulu aku malu mengirim kabar karena kalah perang.”

Ki Santareja berkata, “Benar paduka.”

Pangeran Mangkubumi lalu melaporkan kalau tanah Sukawati sudah kembali dikuasai. Hati Sang Raja pun merasa lega.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/07/babad-tanah-jawi-189-martapura-bersekutu-dengan-pangeran-prangwadana/

Babad Tanah Jawi (190): Merencanakan kepindahan keraton Kartasura ke desa Sala

Alkisah, kala itu negeri Kartasura sudah kembali tenteram. Orang kecil dan para punggawa merasa nyaman. Yang masih menjadi persoalan adalah Pangeran Prangwadana masih menggelar barisan di desa Segawe, di sepanjang Nglaroh sampai Matesih. Mereka kadang menganggu wilayah sekitar dan juga tanah Mataram. Dan juga yang masih menjadi ganjalan adalah Pangeran Buminata yang berada di Gunung Kidul.

Membangkangnya para pangeran ini tak urung menimbulkan persoalan baru. Banyak para bupati mancanagara kemudian ikut-ikutan tak menghadap ke Kartasura. Di Kedu pun terjadi pembangkangan sejak perang di Randhulawang. Ki Mangkudirana berdiri sebagai bupati atas kehendak sendiri, kemudian memakai nama Mangkuyuda. Raden Mangkupraja pun ikut-ikutan berbuat kisruh di wilayah barat. Dia telah menduduki Wates. Ketika kedua bupati dipanggil mereka hanya berbasa-basi. Menyatakan sanggup menghadap, tetapi tak kunjung muncul batang hidungnya.

Situasi ini membuat Kapten Hohendorff merasa kerepotan. Hohendorff dan Patih Pringgalaya kemudian meminta izin untuk melaporkan perilaku orang Kedu ke Semarang. Sang Raja pun mengizinkan. Hohendorff dan Pringgalaya pun berangkat ke Semarang.

Di Semarang Hohendorff, Tuan Kumendur dan Pringgalaya berembug bagaimana mereka mengatasi ulah orang Kedu. Mereka sepakat akan mengirim surat dari Semarang. Utusan sudah berangkat ke Kedu dan berhasil menemui Ki Mangkuyuda dan Ki Mangkupraja. Surat dari Kumendur kemudian diserahkan kepada Ki Mangkuyuda dan Ki Mangkupraja. Isi surat dari Kumendur memerintahkan agar Ki Mangkuyuda dan Ki Mangkupraja segera menghadap ke Kartasura dengan membawa orang Kedu. Mereka diminta segera berangkat dan akan ditunggu kedatangannya oleh Kapten Hohendorff di Salatiga. Pagi hari berikutnya utusan langsung kembali ke Semarang untuk melapor bahwa Ki Mangkuyuda dan Ki Mangkupraja menyatakan siap sedia melaksanakan perintah.

Kapten Hohendorff kemudian minta pamit kepada Kumendur. Sepulang dari Semarang Kapten Hohendorff berhenti di Salatiga untuk menunggu Mangkuyuda dan Mangkupraja. Namun setelah ditunggu-tunggu hanya Mangkupraja yang muncul. Kapten Hohendorff menanyakan keberadaan Mangkuyuda. Dijawab oleh Mangkupraja bahwa kakaknya tidak ikut karena sudah mempercayakan semua urusan kepadanya. Kapten sangat marah.

“Itu sungguh tak patut. Mengajarkan kepada watak celaka. Aku pesan Anda jangan ikut-ikutan seperti itu. Anda ini kerabat Sang Raja yang dituakan. Sebisa mungkin ikut mendampingi Sang Raja di Kartasura,” kata Kapten Hohendorff

Mangkupraja berkata, “Memang benar yang tuan katakan. Selama ini saya khilaf.”

Kapten berkata, “Syukur kalau Raden sudah menyadari. Namun Anda sekarang saya tolak. Kembalilah ke Kedu dan ajaklah serta Ki Mangkuyuda.”

Keduanya telah sepakat. Mangkupraja minta pamit kembali ke Kedu. Kapten Hohendorff pun meneruskan perjalanan ke Kartasura. Ketika Mangkupraja sampai di Kedu dan menyampaikan pesan Hohendorff, Ki Mangkuyuda menanggapi dengan dingin. Mangkuyuda kukuh tak mau menghadap. Mangkupraja hanya bisa menurut kepada sang kakak. Kedua penguasa Kedu itu pun berlarut-larut tidak menghadap ke Kartasura. Malah Ki Mangkuyuda kemudian berganti nama sendiri dengan memakai nama Tumenggung Amangkureja.

Sementara itu di Kartasura, setelah kepulangannya dari Semarang Kapten tak kunjung mendapati orang Kedu menghadap ke Kartasura. Sampai berganti tahun orang Kedu tidak muncul. Bahkan ketika Pangeran Adipati dikhitan dan diadakan acara selamatan pun orang Kedu tidak hadir. Acara khitan Pangeran Adipati pada hari Sabtu, bertepatan dengan tanggal empat belas bulan Muharam tahun Jimawal. Peristiwa itu ditandai dengan sengkalan: wadana nênêm ngrasani prajanya[1].

Beberapa waktu setelah acara khitan putra mahkota, Kapten Hohendorff dipanggil ke Betawi. Posisi komandan kemudian digantikan oleh seorang opsir bernama Kurnet. Ketika Hohendorff pergi sampai lama di Kartasura tak terjadi perang. Pasukan Kumpeni hanya berjaga-jaga keamanan.  Kepergian Kapten Hohendorff sampai berbulan-bulan. Ketika kembali ke Kartasura Hohendorff sudah menyandang pangkat mayor. Dia berhak mempunyai terompet. Dia kemudian menempati posisi lama sebagai komandan Kumpeni Kartasura.

Beberapa saat setelah datang Mayor Hohendorff menghadap ke istana. Mayor menyarankan agar Sang Raja memanggil sang keponakan Pangeran Prangwadana. Sang Raja pun menurut saran Hohendorff. Sang Raja kemudian mengutus seorang lurah wanita bernama Mbok Secapati. Bersama beberapa abdi wanita Mbok Secapati ditugaskan menemui Pangeran Prangwadana. Mereka dikawal Ki Wirajaya, Ki Naladirja, Ki Saradipa dan Ki Mertangga. Kepergian mereka menemui Pangeran Prangwadana disertai surat yang isinya bujukan agar Pangeran Prangwadana mau pulang ke Kartasura. Kepadanya dijanjikan akan diambil sebagai menantu Sang Raja. Pangeran boleh memilih antara putri Sang Raja yang bernama Ratu Alit atau Raden Ayu Kedaton. Walau andai bukan menantu pun engkau adalah keponakanku. Demikian tulis Sang Raja.

Sesampai di markas Pangeran Prangwadana surat segera diberikan. Pangeran mengangkat surat di atas kepala sebagai tanda hormat, lalu dibaca. Pangeran merasa bersukacita. Timbul keinginan untuk pulang kembali ke Kartasura.

Pangeran berkata, “Anda sampaikan kepada Sang Raja, saya siap melaksanakan perintah. Namun saya punya permintaan kalau benar Sang Raja hendak mengambil saya sebagai abdi, para mantri saya yang jumlahnya empat puluh orang berilah juga kedudukan. Kalau Sang Raja sanggup memenuhi permintaan saya, pasti saya akan menghadap ke Kartasura.”

Utusan segera kembali ke Kartasura dan melaporkan kepada Sang Raja. Pangeran Prangwadana lalu berembug dengan para mantrinya. Namun mereka tidak mencapai kata sepakat. Pengasuh Pangeran yang bernama Wiradiwangsa sangat menentang kalau Pangeran kembali ke Kartasura. Para abdi Pangeran khawatir jika nanti mereka malah mendapat hukuman. Akhirnya keinginan Pangeran Prangwadana kembali ke kota pun reda.

Sementara itu utusan Sang Raja sudah menghadap ke istana. Kepada Sang Raja dilaporkan segala yang terjadi. Juga kesanggupan Pangeran dan permintaannya. Sang Raja pun tak keberatan. Sang Raja lalu mengirim surat yang isinya mengabulkan permintaan Pangeran Prangwadana. Ketika utusan sampai di Segawe Pangeran mengatakan akan segera menghadap bila semua abdinya sudah lengkap. Sekarang ini masih banyak abdinya yang pergi. Si utusan menangkap gelagat kalau Pangeran Prangwadana tidak jujur. Si utusan segera mohon pamit kembali ke Kartasura. Sesampai di Kartasura utusan melaporkan semua yang dialaminya. Sang Raja pun punya dugaan bahwa janji Pangeran Prangwadana takkan terbukti.

Tidak lama berselang Pangeran Ngabei Loring Pasar meninggal dunia. Kejadianya masih di tahun yang sama dengan hajat Sang Raja mengkhitan putra mahkota. Peristiwa wafatnya Pangeran Ngabei diperingati dengan sengkalan tahun: gapura nênêm arêtu ning praja[2].

Sudah dua tahun Mayor Hohendorff pulang dari Betawi. Ketika baru saja datang dari menaklukkan Randhulawang dulu Sang Raja pernah menyatakan kegalauan hatinya perihal keraton Kartasura. Keraton dinilai sudah tidak memberikan ketenangan. Pertama, pernah diduduki pasukan Cina. Yang kedua, pernah diacak-acak pasukan Madura. Ketika itu Hohendorff menyatakan pendapat yang sama. Namun belum terbersit di hati Mayor untuk menyarankan pindah keraton. Ketika tiga bulan kemudian Tuan Komisaris Prisel berkunjung ke Kartasura banyak tanah kerajaan dikurangi sebagai kompensasi bantuan Kumpeni. Setelah Komisaris Prisel pulang ke Semarang, Sang Raja menjadi sangat bersedih. Ketika kemudian Mayor dipanggil ke Betawi Mayor pernah menyampaikan kesedihan Sang Raja kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia. Juga Mayor membuka kemungkinan untuk menyarankan agar keraton dipindahkan. Saat itu Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia menyerahkan keputusan kepada Mayor. Bila itu membuat hati Sang Raja menjadi lebih nyaman, tidak mengapa dilaksanakan. Mayor kemudian kembali Ke Kartasura. Sesampai di Kartasura Mayor menyarankan agar Sang Raja memanggil sang keponakan yang memberontak, Pangeran Prangwadana. Dan ternyata ketika dipanggil sang Pangeran tidak mau datang. Inipun sudah tidak menjadi perhatian Sang Raja lagi. Yang masih mengganjal adalah suasana negeri yang belum sepenuhnya tenang. Oleh karena itu Mayor bermaksud menghadap Sang Raja untuk membicarakan perpindahan keraton. Mayor pun bergegas menuju ke istana. Setelah diizinkan menghadap, Mayor pun segera masuk.

Berkata Mayor Hohendorff, “Mohon maaf paduka. Bila berkenan dan paduka merasa mampu melaksanakan, saat ini tepat bila paduka memindahkan keraton dari Kartasura. Karena keraton lama sudah terbukti beberapa kali menimbulkan masalah.”

Sang Raja tertegun dan menjawab, “Hai Dinda Hohendorff. Sementara biarlah dulu. Aku belum memikirkan hal ini. Aku masih merasa kerepotan. Kelak bila situasi sudah aman dan tenang, baru aku pikirkan.”

Hohendorff kembali berkata, “Paduka, bila paduka urung beralih keraton bagaimana nasib diri hamba nanti. Saya sudah telanjur melapor Gubernur Jenderal ketika di Betawi. Kalau memang paduka ingin berpindah keraton, sekarang saat yang tepat, paduka. Bila paduka masih ada kekhawatiran sebaiknya dipikirkan nanti setelah pekerjaan pindah keraton selesai.”

Sang Raja terdiam sesaat mendengar perkataan Hohendorff. Setelah berpikir agak lama Sang Raja kemudian menyerahkan kepada Hohendorff.

Berkata Sang Raja, “Dinda, kalau engkau berpendapat demikian, aku masih tak ingin membicarakan. Tapi coba katakan kepada Arya Pringgalaya dan Sindureja. Kalau kalian sudah sepakat segera laporkan hasilnya kepadaku.”

Mayor kemudian diperintahkan untuk keluar melaksanakan apa yang menjadi rencanya. Pagi harinya, ketika hari Kamis, Mayor, Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja pergi ke Loji untuk berembug.

Mayor Hohendorff berkata, “Saya mengemban perintah untuk membicarakan perihal kepindahan keraton.”

Patih Pringgalaya berkata, “Memang sudah ada pemikiran seperti itu dari Sang Raja. Ketika zaman Patih Danureja pun sudah ada pemikiran pindah keraton karena keraton Kartasura dianggap sudah tua. Dulu sudah pernah dibicarakan bakal keraton yang akan dibangun. Kalau di sebelah selatan letaknya di sekitar Pokak. Kalau di barat letaknya di sekitar Pengging. Kalau sebelah utara yang bagus di Kadinding, dekat kali Pepe. Adapun sebelah timur tidak dibicarakan karena di sana bekas keraton Pajang. Kalau sampai berkeraton di bekas keraton Pajang ibarat mengambil kembali tinja. Karena Pajang dulu pernah ditaklukkan oleh raja Mataram. Maka dari itu menjadi tempat larangan.”

Adipati Sindureja menyambung, “Benar yang dikatakan Raden Adipati. Dan saya juga mendengar ramalan, kalau keraton berpindah ke timur bengawan maka negeri Jawa akan berubah menjadi kerajaan Buddha kembali.”

Raden Pringgalaya berkata, “Paman, kalau begitu tidak baik.”

Tuan Mayor Hohendorff berkata, “Lalu bagaimana kita akan melapor kepada Sang Raja?”

Raden Adipati Pringgalaya berkata, “Kalau setuju, mari kita tinjau dulu lokasinya. Nanti kalau sudah mendapat tempat yang bagus baru kita menghadap Sang Raja.

Mayor Hohendorff berkata, “Baiklah, besok pagi kita berangkat.”

Keesokan harinya Mayor Hohendorff kembali bertemu dengan kedua patih. Mereka berdua terlihat sudah bersiap.

Mayor berkata, “Sebaiknya jangan membawa banyak orang. Ajak saja beberapa punggawa dengan berkuda.”

Kedua patih pun sepakat. Mereka kemudian berangkat menuju Pengging. Setelah dari Pengging mereka langsung ke utara menuju Kadinding. Lalu mereka pun berbelok ke timur untuk menjelajah wilayah Pajang. Pokak tidak diperiksa karena sudah terbukti airnya sulit. Dari Pajang lalu menuju desa Sala. Dari Sala mulai dari perumahan Ngabei Kartinagara urut sepanjang bengawan ke atas sampai berhenti di desa Panusupan. Lalu mereka kembali ke Sala. Di pasar Sala mereka berhenti di bawah pohon bibis.

Tuan Mayor berkata, “Bagaimana pandapat saudara Adipati Sindureja dan Raden Adipati Pringgalaya, dari semua yang sudah kita periksa mana yang pantas dijadikan keraton. Juga di mana letak Loji yang akan dibangun.”

Kedua patih menjawab, “Terserah Anda saja.”

Mayor Hohendorff berkata, “Kalau Anda berdua setuju, dan juga nanti disetujui Sang Raja, hanya di sini yang pantas menjadi keraton. Walau tanahnya sedikit buruk tapi kira-kira bisa diperbaiki nanti. Maka sekarang saya punya pendapat kalau kelak Sang Raja mendatangkan kayu jati dari Gunung Kidul tidak akan menyusahkan. Dan lagi, kelak beras dari Ponorogo pasti akan mudah sampai ke sini. Juga kalau akan mengirim utusan ke Gresik atau Surabaya bisa langsung melewati bengawan.”

Ki Patih Arya Pringgalaya menyela, “Semua itu benar, tapi ada sedikit masalah. Menurut orang sini di Sala ini kalau musim hujan tanahnya terendam air.”

Tuan Mayor berkata, “Itu tidak mengapa Raden. Di sini sudah banyak orang yang bermukim. Bagi Kumpeni lebih merepotkan kalau membuka lahan kosong yang belum banyak orangnya.”


Setelah ketiga pembesar Kartasura sepakat mereka pun pulang ke kota. Sepulang mereka orang-orang Sala kemudian menggali barang-barang simpanan yang mereka timbun. Ada pula yang menangisi kuburan kakek-neneknya karena pasti akan terkena panggusuran.

Sementara itu di Kartasura, kedua patih dan Mayor segera dipanggil menghadap Sang Raja. Ketiganya lalu melaporkan hasil peninjauan yang mereka lakukan. Juga kesepakatan yang telah mereka ambil untuk mendirikan keraton baru di desa Sala.

Sang Raja berkata, “Pringgalaya dan Sindureja, bagaimana sebaiknya, apakah kalian perlu memberi tahu kepada Kumendur Semarang?”

Kedua patih berkata, “Hamba berserah kepada kehendak paduka. Namun ada baiknya minta pendapat kepada saudara paduka Mayor Hohendorff.”

Mayor kemudian ditanya pendapatnya. Mayor sangat mendukung bila Sang Raja memberi tahu kepada Kumendur Semarang bila memang Sang Raja sudah berkenan memulai pekerjaan. Sang Raja kemudian memanggil jurut tulis dan memerintahkan untuk membuat surat kepada Kumendur. Setelah surat jadi utusan segera berangkat ke Semarang. Sesampai di Semarang surat segera dihaturkan kepada Tuan Kumendur. Saat itu juga Tuan Kumendur membuat surat balasan. Isi suratnya menyatakan persetujuan atas kehendak Sang Raja yang akan memindahkan keraton ke Sala. Surat lalu dibawa oleh utusan yang akan kembali ke Kartasura.

Di Kartasura Sang Raja telah menerima surat balasan dari Kumendur. Sang Raja kemudian memanggil Mayor Hohendorff.

Berkata Sang Raja, “Hai Dinda Hohendorff, engkau pergilah ke Sala bersama dengan Arya Pringgalaya, Sindureja dan Wirajaya. Tentukan letak keraton dan Loji yang akan dibangun. Aku sudah percaya kepada kalian. Engkau si Pringgalaya, kalian berdua berembuglah dengan Dinda Mayor. Jangan sampai berselisih.”

Semua punggawa yang ditunjuk menyatakan siap melaksanakan perintah. Keesokan harinya mereka berangkat menuju desa Sala. Mereka membawa tali dan alat ukur. Sesampai di desa Sala mereka melakukan pengukuran. Kyai Wirajaya bertugas menerapkan alat ukurnya. Letak keraton dan Loji sudah ditentukan. Sampai sore hari mereka baru kembali ke Kartasura. Peristiwa pengukuran ini terjadi di tahun Je, dan diperingati dengan sengkalan tahun: sirnaning gunung angobahakên pratala[3].

Alkisah, di Semarang terjadi pergantian kumendur. Kumendur yang baru bernama Sterenbereh. Tuan Kumendur sudah lama ingin pergi ke Kartasura untuk menghadap Sang Raja. Kemudian segera dilaksanakan. Tuan Kumendur berangkat ke Kartasura dengan diiringi Ki Rangga Yudanagara dari Semarang dan saudaranya. Ketika perjalanan sampai di Boyolali Kumendur bermalam selama sehari. Pagi hari berikutnya langsung berangkat.

Sementara itu di Kartasura, Sang Raja sudah meninggalkan kota untuk menyambut Kumendur di Banyudana. Selama perjalanan para pasukan pengawal memenuhi jalanan. Sesampai di Banyudana Sang Raja duduk di tenda besar. Tak lama kemudian rombongan Kumendur tiba. Ketika melihat Sang Raja menyambut, Kumendur turun dari kuda. Kedua pembesar lalu bersalaman dan berangkulan. Kemudian Tuan Kumendur dibawa masuk ke dalam tenda. Jamuan segera dikeluarkan. Mayor tak boleh duduk jauh dari Sang Raja. Tak lama kemudian kedua pembesar melanjutkan perjalanan ke Kartasura. Kumendur bermalam di Loji. Pagi hari esok berencana akan meninjau desa Sala.

Pagi hari dengan diiringi Mayor Hohendorff Kumendur meninjau bakal keraton di Sala. Posisi Loji diperiksa, juga jaraknya dari istana Sang Raja. Setelah  ditentukan letaknya segera dipasang pathok sebaga penanda. Setelah acara pemancangan patok selesai Kumendur kembali ke Kartasura.

Sesampai di Kartasura Kumendur dan Mayor kembali membicarakan perihal pembangkangan Mangkuyuda dan Mangkupraja dari Kedu. Kumendur menyatakan sanggup berangkat ke Kedu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pagi hari berikutnya Kumendur dan Mayor berangkat ke Kedu dengan pengawalan dragonder. Rangga Yudanagara tak ketinggalan ikut serta bersama para saudaranya.

Perjalanan mereka dipercepat. Setelah melewati gunung Merapi Mayor dan Kumendur semakin memacu kudanya. Para pengiringnya banyak yang tertinggal. Tidak lama mereka pun sampai di pondokan Mangkuyuda dan Mangkupraja. Mayor dan Kumendur telah bertemu dengan kedua bupati Kedu tersebut. Mereka pun kemudian berbincang dengan nyaman. Mas Rangga Yudanagara dan sisa rombongan baru sampai beberapa saat kemudian.

Rombongan Tuan Kumendur dan Mayor kemudian menginap malam itu. Malam hari mereka mendapat jamuan dari tuan rumah. Tampak mereka menikmati jamuan dengan nikmat. Mangkuyuda dan Mangkupraja tak merasa khawatir mereka akan dibawa ke Semarang.

Pagi harinya Kumendur dan Mayor berpamitan. Kumendur meminta agar Mangkuyuda dan Mangkupraja mengantar sampai di jalan. Syukur bila mau mengantar sampai Semarang. Kalau tak sampai di Semarang tidak apa sampai sekuatnya. Raden Mangkupraja sudah bersiap, tapi Mangkuyuda mogok. Mayor menjadi jengkel. Lalu menyuruh pasukan melepaskan tembakan. Mangkuyuda jatuh terkulai pura-pura pingsan. Mangkupraja sudah berangkat. Mangkuyuda lalu dibawa dengan tangga. Tubuhnya diikat ke tangga dan dipikul. Rombongan Kumendur pun berangkat.

Ketika perjalanan sampai di Ungaran, Mayor Hohendorff memisahkan diri dan kembali ke Kartasura. Tuan Kumendur meneruskan perjalanan ke Semarang. Mangkuyuda langsung dipasung. Adapun Mangkupraja segera dimasukkan ke penjara. Senjatanya pun dilucuti.

Sementara itu Mayor Hohendorff sudah sampai di Kartasura. Semua yang terjadi sudah dilaporkan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bersukacita. Mayor lalu undur diri dan kembali ke pondokannya.

Pagi hari, Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja menemui Mayor Hohendorff. Mereka membicarakan rencana membuka lahan di Sala. Setelah mematangkan rencana mereka pun melapor kepada Sang Raja. Sang Raja sudah mengizinkan mereka untuk memulai. Pagi hari berikutnya Raden Pringgalaya, Raden Sindureja dan Mayor Hohendorff berangkat ke Sala. Peralatan kerja sudah dibawa lengkap dengan para pekerjanya. Lalu mereka pun memulai mengerjakan bakal keraton. Para prajurit menebang pohon dan membersihkan lahan. Ketika itu Mayor dan kedua patih setiap hari pulang ke Kartasura. Paginya mereka berangkat lagi ke Sala. Lama-lama mereka lebih suka membuat pondok di Sala dan tidak perlu pulang pergi setiap hari. Pondokan Raden Adipati Pringgalaya berada di sebelah selatan pasar Sala. Adapun Mayor Hohendorff datang ke Sala setiap tiga hari atau kadang setiap pekan.

Mayor kalau datang ke Sala mengawasi pengangkutan batu bata yang dibawa dari Bajang Lawiyan. Karena mendesak waktunya pengambilan bata sampai harus membongkar makam di Lawiyan. Juga sampai harus membongkar pagar masjid. Namun para pekerja tak berani mengambil bata dari masjid. Mayor juga memerintahkan mengambil kapur untuk membuat plesteran.

Pada saat itu Pangeran Prangwadana yang masih menjadi musuh selalu mengganggu pembuatan keraton baru. Selain masalah tersebut para punggawa juga memikirkan kepada yang punya tanah Sukawati, yakni Pangeran Mangkubumi. Sampai saat ini Pangeran Mangkubumi belum mengambil peran dalam pembuatan keraton baru. Raden Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja bermaksud menemui Pangeran Mangkubumi untuk meminta bantuan pekerjaan. Kedua patih lalu membicarakan hal tersebut kepada Mayor Hohendorff. Kedua patih meminta agar Mayor mengusulkan kepada Sang Raja untuk meminta karya Pangeran Mangkubumi. Namun Mayor tidak menyetujui. Mayor tak sepakat kalau Sang Raja nantinya terlalu banyak musuh. Maka Mayor sendiri yang akan mengirim utusan terlebih dahulu ke Sukawati. Mayor akan meminta Pangeran Mangkubumi ikut membuat Loji yang pekerjaannya lebih mudah.

Keesokan harinya, Mayor mengirim surat kepada Pangeran Mangkubumi. Utusan sudah sampai di Sukawati dan bertemu dengan sang Pangeran. Surat segera diserahkan. Pangeran Mangkubumi tak keberatan, segera dikabulkan permintaan Hohendorff. Si utusan pun diberi beberapa orang yang akan membantu melaksanakan pekerjaan. Utusan pun kembali dengan membawa orang Sukawati.

Sesampai di desa Sala utusan menyerahkan para pekerja kepada Patih Pringgalaya. Oleh Ki Patih mereka diberi tugas menyelesaikan pagar Loji sebelah timur laut, menyambung garapan orang Banyumas. Utusan kemudian meneruskan perjalanan ke Kartasura untuk melapor kepada Mayor Hohendorff bahwa bantuan Pangeran Mangkubumi dari Sukawati sudah turun. Para pekerja sudah ditempatkan oleh Patih Pringgalaya. Mayor sangat gembira.

Pada saat pengerjaan keraton baru ada seorang mantri bernama Ki Anggawangsa dari Sewu yang duduk agak terpisah. Teman duduknya adalah patih dari Raden Pringgalaya. Anggawangsa mengatakan kalau di Bagelen dulu ada seorang ahli ramal. Si ahli ramal telah meramalkan kalau Loji yang baru dibangun ini diramalkan kalau sampai ditempati Kumpeni maka orang Kedu dan Bagelen tidak akan datang menghadap ke Kartasura.

Si lawan bicara bertanya kepada Anggawangsa, “Apa sebab kalau Loji ditempati Kumpeni orang Bagelen dan Kedu tidak datang menghadap ke Kartasura?”

Ki Anggawangsa menjawab, “Belum jelas sekarang. Kedu dan Bagelen kelak kembali ke Pamaosan.”

Alkisah, Sang Raja telah mengirim gandek membawa surat ke Ponorogo untuk memanggil Adipati Suradiningrat. Perjalanan gandek dengan cara menyamar karena melewati wilayah yang dikuasai Pangeran Prangwadana. Di daerah Matesih dan sekitarnya banyak orang membegal punggawa yang lewat daerah itu. Adapun wilayah selatan Matesih sampai di Gunung Kidul telah dikuasai Pangeran Buminata. Kedua pangeran membuat repot karena setiap diserang mereka membubarkan diri. Kalau ditinggalkan mereka berkumpul kembali. Akhirnya gandek utusan Sang Raja berhasil mencapai Ponorogo. Surat telah diterima oleh Adipati Suradiningrat. Oleh Sang Adipati surat ditiup dan diangkat di atas kepala dan kemudian dibaca dengan seksama.

Setelah membaca surat Adipati Suradiningrat berkata, “Mana jalan yang engkau ambil untuk sampai ke sini?”

Gandek utusan menjawab, “Jalan yang lama, jalan yang Anda pakai ketika menghadap ke Kartasura. Jalan itu yang saya lewati.”

Berkata Adipati Suradiningrat, “Pangeran Prangwadana sekarang ada di mana?”

Gandek utusan berkata, “Di Nglaroh.”

Raden Suradiningrat sudah menyuruh membuat surat balasan untuk Sang Raja. Setelah surat jadi segera diberikan kepada gandek utusan. Gandek sudah diberi bekal dan segera kembali ke Kartasura. Sesampai di Kartasura surat dihaturkan kepada Sang Raja. Surat segera dibaca dengan seksama.

Isi suratnya: “Sembah bekti untuk paduka. Hamba diberi perintah, maka hamba siap melaksanakan. Namun hamba meminta tempo karena sedang mengumpulkan pasukan mancanagara. Kalau pasukan sudah terkumpul hamba segera berangkat menghadap paduka.”

Sang Raja berkata kepada Mayor Hohendorff, “Bagaimana ini si Ponorogo berkilah demikian?”

Mayor berkata, “Saran saya, itu gampang saja. Bila sampai pada janjinya kelak dipanggil lagi agar segera datang.”

Sementara itu di Majarata Sukawati, Pangeran Mangkubumi mendapat laporan kalau Pangeran Prangwadana semakin besar pasukannya. Wilayah yang dikuasainya semakin menjorok ke utara. Wilayah Sukawati bagian selatan sudah mulai dirambah. Pangeran Mangkubumi kaget mendengar laporan tersebut. Pangeran bangkit kemarahannya. Segera menyiapkan pasukan hendak menyerang ke selatan. Setelah pasukan Sukawati siap, Santareja memimpin pasukan Sukawati.

Pangeran Mangkubumi berkata, “Hai Tumenggung, aku ingin memberi tahu ke Kartasura dan meminta bantuan perwira sebagai pemimpin pasukan.”

Santareja berkata, “Itu lebih baik, paduka.”

Pangeran Mangkubumi lalu menunjuk utusan ke Kartasura untuk memberi tahu bahwa pasukannya akan menyerang Pangeran Prangwadana. Utusan berangkat bersamaan dengan berangkatnya pasukan dari Majarata. Pasukan Pangeran Mangkubumi menuju ke Kayuapak. Sesampai di Kayuapak pasukan membuat markas. Pasukan Pangeran Mangkubumi sangat besar sampai memenuhi lapangan. Orang di sekitar Kayuapak pun kemudian bergabung. Orang-orang yang baru saja bergabung kemudian dipimpin Ki Tirtayuda dari Gubug. Mereka menempati sebelah timur barisan.

Sementara itu utusan Pangeran Mangkubumi telah sampai di Kartasura. Utusan telah diterima oleh Sang Raja. Kepada Sang Raja utusan memberi tahu bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi sudah berangkat memukul pasukan Pangeran Prangwadana. Pangeran Mangkubumi meminta agar Sang Raja berkenan mengirim seorang pemimpin perang. Sang Raja lalu memanggil Mayor Hohendorff.

Berkata Sang Raja, “Dinda Mayor. Bagaimana pendapatmu? Ini utusan Dinda Mangkubumi meminta bantuan perwira untuk memimpin pasukan.”

Mayor berkata, “Kalau paduka hendak memberi bantuan, jangan tanggung. Lebih baik dikirim perwira Kumpeni agar tangguh dalam perang.”

Sang Raja berkata, “Terserah padamu. Siapa yang akan engkau tunjuk, aku serahkan kepadamu.”

Mayor lalu keluar dari istana dan segera melaksanapan perintah Sang Raja. Seorang opsir kemudian ditunjuk untuk memimpin pasukan bantuan. Dia adalah alperes Paremas. Adapun pasukan yang akan dipimpin Alperes Paremas adalah prajurit magang. Punggawa Jawa yang menyertai adalah Raden Endranata dan Citradiwirya. Pagi hari berangkat pasukan bantuan sampai di Sala pukul dua belas siang. Ketika matahari tergelincur mereka kembali meneruskan perjalanan. Bengawa sudah diseberangi lalu terus bergerak ke timur menuju Sukawati.

Sementara itu Pangeran Mangkubumi yang berada di Kayuapak sudah menyiapkan pasukannya. Tak lama kemudian pasukan Pangeran Prangwadana datang menyerang. Pasukan Mangkubumi menghadapi dengan gigih. Pertempuran berlangsung sengit. Pasukan Prangwadana terus mendesak, pasukan Mangkubumi bertahan. Pasukan Prangwadana akhirnya terdesak dan mundur ke selatan.

Hari berikutnya, pasukan pasukan bantuan dari Kartasura datang. Alperes Paremas datang membawa dua belas serdadu Belanda dan dua ratus Kumpeni Islam. Pangeran menyambut di luar markas. Setelah bersalaman Alperes dibawa masuk ke dalam. Dalam hati Pangeran Mangkubumi sedikit merasa repot, tetapi disamarkan. Pasukan bantuan dari Kartasura lalu ditempatkan ke pondok mereka masing-masing.

Hanya semalam pasukan Kartasura bermalam. Pagi hari mereka berangkat menuju Kartasura. Raden Endranata mengawal di belakang. Ketika itu pasukan bergerak melewati jalan selatan. Sambil pulang mereka bermaksud sekalian mengusir pasukan Prangwadana. Namun mereka tak menemukan pasukan Pangeran Prangwadana. Mereka pun terus bergerak ke selatan. Pasukan Pangeran Mangkubumi masih menyertai mereka.

Selama bersama pasukan Kumpeni orang Sukawati merasa repot. Yang menjadi sebab tak lain jatah makan para Kumpeni. Pasukan Pangeran Mangkubumi merasa tak mampu menyediakan jatah makan pasukan Kumpeni. Ditambah watak Alperes Paremas yang keras dan pemarah, membuat orang Sukawati tidak betah.

Pangeran Mangkubumi lalu mengirim surat kepada Sang Raja. Isinya memohon agar pasukan Kumpeni ditarik. Para abdi di Sukawati tak mampu melayani para serdadu Kumpeni. Kalau Sang Raja berkenan, Pangeran minta ganti dengan Sumayuda dari Puluhwatu dan Pulangjiwa. Sang Raja pun mengabulkan permintaan Pangeran Mangkubumi. Alperes Paremas segera ditarik ke Kartasura. Gandek Ki Wirasari kemudian mengantar  Pulangjiwa dan Sumayuda sebagai gantinya.

Ki Pulangjiwa dan Sumayuda yang diminta Pangeran Mangkubumi sudah sampai di Sukawati dan bertemu dengan sang Pangeran. Hati Pangeran Mangkubumi sudah tenang.

Pangeran berkata kepada kedua punggawa, “Ki Pulangjiwa dan Ki Sumayuda, teman kita si gandek telah menanyai kesanggupan kita. Barangsiapa tidak sungguh-sungguh menjalankan perintah Sang Raja, akan diberi hukuman. Termasuk aku sendiri jika berlaku seperti itu, maka ambillah kudaku.”

Kedua punggawa berkata, “Kami ikut  sekehendak paduka.”

Mereka kemudian berangkat dari markas Kayuapak. Sepanjang jalan mereka menjarah wilayah musuh. Perjalanan mereka cepat dan segera sampai di Aribaya. Pasukan kemudian bermarkas di Aribaya.

Sementara itu pasukan Pangeran Prangwadana tengah berada di Nglaroh. Ketika mendengar pasukannya didatangi sang paman, Pangeran Prangwadana segera bersiap menyongsong. Pangeran Prangwadana sengaja mendahului menyerang ke Aribaya. Tidak lama kemudian pasukan sudah saling berhadapan. Pangeran Prangwadana mendapat laporan kalau pasukan musuh dipimpin oleh sang paman Pangeran Mangkubumi sendiri. Pangeran Prangwadana kemudian menata barisan. Letak mereka di sebelah barat.

Pangeran Mangkubumi ketika melihat sang keponakan sudah bersiap, segera mengimbangi. Tidak lama kemudian pertempuran pun pecah. Kedua pasukan saling tembak dan saling desak. Prajurit Pangeran Mangkubumi banyak yang tewas. Bagian sayap yang dipimpin Santareja sudah didesak mundur. Mereka lalu lari jauh ke belakang sampai di desa Samedhangan. Pasukan Prangwadana terus mengejar. Para prajurit pengejar kemudian memutar di belakang Pangeran Mangkubumi. Kini posisi Pangeran Mangkubumi terkepung. Pangeran Prangwadana maju dan telah berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi berkata, “Hai Nak, engkau mundurlah. Engkau kalah tua denganku.”

Pangeran Prangwadana menjawab ketus dan segera melepaskan panah secara bertubi-tubi. Payung Pangeran Mangkubumi sampai patah terkena anak panah Prangwadana. Si pemegang payung terjatuh karena pahanya tertembus anak panah. Pangeran Mangkubumi kaget ketika melihat pembawa payung terluka. Seketika Pangeran Mangkubumi bangkit amarahnya.

Berkata Pangeran Mangkubumi, “Bocah ini sungguh tak bisa diajak baik. Mundurlah, kalau tidak mampus engkau aku tembak.”

Pangeran Mangkubumi membidik Prangwadana dengan senapan, tidak kena. Prangwadana masih terus memanah. Ada seorang prajurit Pangeran Mangkubumi dari orang kalang, namanya Tambakyuda. Si Tambakyuda turun dari kuda lalu memutar ke belakang Pangeran Prangwadana. Patih Prangwadana yang mendampingi tuannya sejak tadi tertegun melihat cara tuannya berperang. Tambakyuda lalu menikamnya dengan tombak, tepat terkena pahanya.

Si patih menjerit, “Tuan, saya terluka.”

Pangeran Prangwadana menengok ke belakang. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Pangeran Mangkubumi. Sang Pangeran mengambil tombak dan menerjang Pangeran Prangwadana. Pangeran Prangwadan menghindar mundur ke belakang sambil menyelamatkan si patih. Pangeran Mangkubumi terus mengejar. Prangwadana mundur ke gunung. Malam pun menjelang. Pangeran Mangkubumi kembali ke markas di Aribaya.

Keesokan harinya para prajurit yang kemarin lari sudah kembali ke markas. Mereka datang bersama Ki Santareja. Ki Santareja dan para prajurit lalu menghadap kepada Pangeran. Pangeran sedikit mengacuhkan kedatangan Santareja. Setelah diam sesaat Pangeran Mangkubumi memarahi Santareja. Sebab mendapat marah karena telah membawa pasukannya lari mundur dari medan perang. Hal yang sama pernah dia lakukan ketika tewasnya Ki Suradigdaya dahulu. Ini yang kedua kali Santareja melakukan hal itu. Pangeran Mangkubumi lalu menoleh kepada Ki Pulangjiwa dan Ki Sumayuda.

Berkata Pangeran Mangkubumi, “Nah, Sumayuda dan Pulangjiwa, mengapa engkau juga mengingkari pernyataanmu? Kalian kemarin sudah berjanji akan bersungguh-sungguh.”

Kedua punggawa dari Kartasura itu hanya bisa menunduk tanpa berani berucap satu patah kata pun. Keduanya pun disuruh kembali ke pondokannya. Malam harinya Pangeran memberi pesan kepada pasukan Kombang Ambrok dan Ki Tambakbaya.

Berkata Pangeran Mangkubumi, “Hai Tambakbaya, kalau aku tidak membuat mereka kapok pasti besok diulang lagi. Besok pagi kalau Santareja aku panggil segera ringkuslah dan ikatlah. Adapun Ki Sumayuda dan Pulangjiwa, ambillah kuda yang mereka pakai. Juga tombak mereka.”

Ki Tambakbaya dan pasukan Kombang Ambruk menyatakan siap. Pagi harinya semua sudah dipanggil menghadap. Raden Sumayuda dan Raden Pulangjiwa diberikan makan nasi. Setelah semua makan Ki Santareja disuruh maju ke depan. Baru saja meletakkan pantat Ki Santareja ditubruk prajurit Kombang Ambrok, lalu diikat.

Pangeran lalu berkata kepada Sumayuda dan Pulangjiwa, “Kuda kalian dan tombak kalian aku ambil.”

Prajurit Kombang Ambrok segera mengambil kuda dan tombak kedua punggawa dari Kartasura itu. Adapun Ki Santareja lalu dibunuh dan kepalanya dipenggal. Kepala Santareja lalu dipanjar di markas. Pangeran berkata setengah marah kepada Sumayuda dan Pulangjiwa. Keduanya lalu disuruh kembali ke pondokan.

Keesokan harinya Pangeran Mangkubumi memerintahkan pasukan untuk menyerang ke Tanjung, Paserenan sampai Papedan. Sepanjang wilayah tersebut telah ditaklukkan semua. Pangeran Mangkubumi lalu kembali lagi ke Sukawati dan membuat markas di Majarata. Setelah mengalahkan Pangeran Prangwadana dan kembali ke Majarata, Pangeran Mangkubumi merasa tenang dalam menata para abdi. Pangeran secara berkala meninjau para abdi yang mengerjakan Loji. Namun Pangeran tidak pernah menginap dan selalu pulang kembali ke Sukawati.

[1] Sengkalan: wadana nênêm ngrasani prajanya (1661 A.J., 1736/1737 A.D.)

[2] Sengkalan: gapura nênêm arêtu ning praja (1669 A.J., 1744/1745 A.D.)

[3] Sengkalan: sirnaning gunung angobahakên pratala (1670 A.J., 1745/1746 A.D.)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/13/babad-tanah-jawi-190-merencanakan-kepindahan-keraton-kartasura-ke-desa-sala/

Babad Tanah Jawi (191): Adipati Cakraningrat membantu Pangeran Prangwadana

Alkisah, Pangeran dari Sampang bergelar Adipati Cakraningrat ketika itu merasa diingkari janji oleh Kumpeni. Cakraningrat pernah membuat perjanjian secara lisan dengan pejabat Kumpeni bernama Nicholas Hartingh. Saat itu Hartingh menjadi juru bahasa di Surabaya. Si Hartingh ini berkedok mewakili pembesar Kumpeni di Betawi. Maka Cakraningrat mau membuat perjanjian yang menjadi syarat kesanggupannya menyerang pasukan Cina di pesisir timur sepanjang Gresik, Sidayu dan Lamongan. Sebagai upah jika berhasil mengusir pasukan Cina Kumpeni menjanjikan tiga hal. Yang pertama, Sumenep akan digabungkan kembali dengan Sampang. Kedua, Jepara dan Pasuruan diberikan. Dan ketiga, Jipang dan Lamongan disuruh memilih salah satunya.

Pangeran Cakraningrat menyanggupi, lalu segera melaksanakan kesanggupannya. Cakraningrat segera menyerang Badholeng. Pasukan Cina pun kalah. Malah bupati Jipang yang diangkat Cina berhasil dibunuh dan dipenggal kepalanya. Tidak lama kemudian Tuban pun takluk oleh pasukan Sampang. Tidak lama berselang Sang Raja Pakubuwana berdamai dengan Kumpeni dan terjadi peristiwa berdirinya Prabu Kuning sebagai raja di Pati. Kemudian mereka berhasil menaklukkan Kartasura. Raja Pakubuwana kemudian lari ke Ponorogo. Lalu di tahun yang sama Sang Raja berhasil merebut kembali Kartasura dengan mengandalkan pasukan Madura dan mancanagara. Semua itu atas jasa pasukan Madura yang menjadi andalan dalam perang.

Pada saat itu Raja Pakubuwana tidak segera masuk ke istana dan masih bermarkas di Gumpang. Sampai akhirnya pasukan Kumpeni datang ke Kartasura dibawah pimpinan Kumendur Semarang. Kumendur kemudian mengantar Sang Raja masuk istana. Setelah Sang Raja masuk istana pasukan Madura kembali pulang ke Sampang. Pasukan Kumpeni yang kemudian bertugas menjaga keamanan di Kartasura dengan komandan Kapten Hohendorff.

Adapun pasukan Madura, setelah mereka pulang ke Sampang segera melapor kepada tuannya Adipati Cakraningrat. Sang Adipati merasa bahwa jerih payahnya mengusir pasukan Cina tidak dihargai. Kumpeni mengusir begitu saja pasukan Madura dari Kartasura. Cakraningrat lalu ingat kepada perjanjian yang telah dia sepakati bersama Nicholas Hartingh. Cakraningrat segera mengutus seorang punggawanya yang bernama Tumenggung Mangundara untuk menemui Kumendur Semarang yang ketika itu berada di Sitinggil keraton Kartasura. Setelah diizinkan menemui Kumendur, Mangundara mengatakan kedatangannya diutus oleh Pangeran Cakraningrat untuk menagih perjanjian yang telah disepakati bersama Nicholas Hartingh dahulu.

Setelah itu Pangeran Cakraningrat menunjuk ketiga putranya untuk bersiap. Juga telah membagi para punggawa untuk mengikuti ketiga putranya. Raden Kartareja diperintahkan menggelar barisan di Lamongan. Lalu putra Pangeran Cakraningrat yagn bernama Wiradiningrat diperintahkan menggelar pasukan di perbatasan Gresik dan Lamongan. Tepatnya di desa Tumapel. Barisan Raden Wiradiningrat dijaga oleh Raden Kartareja dari Lamongan. Juga diperintahkan Ki Jiwaraga dari Tandes untuk turut menjaga barisan Raden Wiradiningrat. Adapun putra yang bernama Raden Sasradiningrat telah membawa serta Raden Wangsengsari, Raden Jayaprameya dan Ki Jayasudira serta pasukan orang Bali. Mereka kemudian diperintahkan menyerang Sumenep. Patih Raden Mangundara kemudian diperintahkan untuk menyerang Lasem. Pasukannya sudah berangkat dan berhadapan dengan pasukan Lasem.

Tidak lama setelah Pangeran Madura menggelar barisan, datang utusan dari Pangeran Prangwadana di Tumapel. Pangeran Prangwadana meminta bantuan pasukan. Setelah mendengar permintaan sang keponakan Pangeran Cakraningrat sangat bersukacita. Segera dikirim bantuan pasukan kepada Pangeran Prangwadana. Sejumlah lima ratus lima puluh prajurit dikirim dengan empat pemimpin mereka, Wirajaya, Surabinangun, Kebolawung dan Bangsatiarsa. Pasukan Madura langsung disuruh berangkat bersama si utusan. Perjalanan mereka kemudian berhenti untuk istirahat di Sangkul. Utusan segera mengirim kabar ke markas Pangeran Prangwadana. Separuh utusan disuruh pulang mendahului rombongan. Pangeran pun bersiap menyambut datangnya pasukan bantuan. Mereka lalu ditempatkan di pondokan masing-masing. Pangeran Prangwadana kini merasa tenang karena mendapat bantuan pasukan dari Madura.

Sementara itu, pasukan Kartasura yang dipimpin Rangga dari Baki atau namanya Rangga Supatra berisi orang-orang yang dikumpulkan dari wilayah sekitar Baki. Rangga Supatra telah diangkat sebagai tumenggung dengan nama Tumenggung Ranawijaya. Tumenggung Ranawijaya melaporkan bahwa Pangeran Prangwadana telah mendapat bantuan pasukan dari Madura. Prajurit sandi Ranawijaya yang mendapat informasi ini. Komandan Hohendorff yang menerima laporan ini menyangsikan. Walau demikian Mayor Hohendorff tetap melaporkan berita ini kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Bagaimana rencanamu Dinda?”

Hohendorff berkata, “Sebaiknya segera diperiksa. Bila memang demikian jangan tanggung, diselesaikan sekalian.”

Sang Raja berkata, “Aku serahkan kepadamu Dinda.”

Mayor lalu berpamitan dan segera melakukan persiapan. Paginya pasukan Mayor sudah bersiap melakukan penyerangan. Pasukan yang dibawa hanya dragonder Kumpeni dan pasukan Kumpeni Bali dibawah pimpinan Kapitan Barak. Pagi hari pasukan Hohendorff segera berangkat. Tak lama mereka sampai di desa Tangkisan.

Pangeran Prangwadana sudah mendengar kalau pasukan Kumpeni datang dibawah pimpinan Mayor Hohendorff sendiri. Pangeran Prangwadana pun bersiap menyambut kedatangan musuh. Pasukan Prangwadana ditempatkan di depan. Adapun pasukan Madura berbaris sembunyi-sembunyi di belakang.

Sementara itu Mayor Hohendorff sudah sampai di Tangkisan, sebelah barat barisan Tumenggung Ranawijaya Baki yang berada di garis depan. Pasukan Ranawijaya melihat ada sepasukan berkuda sejumlah tujuh puluh orang dipimpin Pangeran Prangwadana. Mereka pun segera melapor kepada Mayor bahwa musuh telah terlihat. Mayor segera menata barisan. Setelah siap Mayor segera menerjang musuh.

Pangeran Prangwadana bersama pasukan berkuda mencoba menahan serangan pasukan dragonder Kumpeni. Terjadi saling tembak yang sengit. Namun karena kalah jumlah pasukan Prangwadana terdesak. Pangeran membawa pasukannya mundur. Mayor memerintahkan pasukan Kumpeni untuk mengejar. Prangwadana sengaja mundur hanya untuk menjebak lawan. Di belakang orang Madura sedang menunggu dengan bersembunyi. Ketika pasukan Kumpeni telah masuk ke jebakan, pasukan Madura segera menerjang dari kanan-kiri dan belakang. Pasukan Kumpeni kaget, tetapi segera melakukan perlawanan dengan gigih. Mayor sudah turun dari kuda karena tempatnya sungguh tak menguntungkan. Kuda Mayor kemudian dipegangi juru kunci. Medan perang becek sehingga sulit bergerak. Pasukan Madura leluasa menembak.

Seorang punggawa Madura bernama Wirajaya menerjang seorang letnan dragonder. Dengan cepat si letnan mendahului menembak dengan pistol. Seketika Wirajaya terjungkal dan tewas. Namun si letnan mengira Wirajaya belum tewas. Dia lalu turun bermaksud menyelesaikan serangannya. Dengan menghunus pedang si letnan mengangkangi tubuh Wirajaya dan bersiap menghujamkan pedangnya. Tiba-tiba dari belakang seorang prajurit Madura menikam dengan tombak. Si letnan terjungkal ke jatuh depan menimpa tubuh Wirajaya. Keduanya tewas di tempat.

Punggawa Madura si Kebolawung dan Bangsatiarsa menyerang Mayor Hohendorff bersamaan. Si juru kunci terkena tombak dan tewas. Lalu Kebolawung menombak Mayor, terkena di bagian belakang telinga, tetapi tidak mempan. Mayor lalu membalas menembak dengan pistol. Kebolawung terkena pahanya dan jatuh. Mayor segera meloncat ke atas kuda. Kebolawung bangkit dan kembali menyerang Mayor dengan tombak. Tombakan Kebolawung mengenai paha Mayor, tetapi lagi-lagi tak mempan. Mayor lalu menghindar. Seorang ajudan Mayor berhasil ditikam dan tewas. Mayor lalu membawa pasukan Kumpeni mundur. Empat letnan Kumpeni telah tewas oleh serangan pasukan Madura.

Pasukan Kumpeni Bugis-Bali yang dipimpin Kapitan Barak masih terus bertempur. Banyak serdadu Kumpeni Bugis-Bali telah tewas, tetapi Kapitan Barak tak mau mundur. Mayor Hohendorff kembali ke depan dan mengajak Kapitan Barak mundur. Mereka kemudian kembali ke Kartasura. Sesampai di Kartasura orang-orang heboh karena mendengar Mayor kalah perang.

Sementara itu Pangeran Prangwadana yang baru saja menang perang memerintahkan agar mayat serdadu Kumpeni dan bangkai kuda-kuda dibuang ke bengawan. Mayat dan bangkai kuda dari pasukan Kumpeni yang hanyut terlihat oleh para pekerja yang sedang menggarap keraton baru di Sala. Seketika mereka geger. Mereka segera melapor kepada Arya Pringgalaya yang sedang mengawasi pekerjaan. Raden Arya Pringgalaya memerintahkan untuk mengambil mayat-mayat itu. Ada dua orang sersan serdadu Kumpeni yang berada di situ, namanya Karahu dan Slompret. Ketika keduanya melihat mayat-mayat teman sebangsanya hanyut, hatinya sangat bersedih.

Tidak lama kemudian datang utusan dari Kartasura memanggil Patih Pringgalaya. Sesampai di Kartasura Patih Pringgalaya bertemu dengan Mayor Hohendoff. Kepada Patih Pringgalaya, Mayor menceritakan apa yang terjadi ketika perang di Tangkisan.

Berita kekalahan pasukan Hohendorff membuat para penduduk menjadi was-was. Pangeran Prangwadana hendak memanfaatkan momen ini untuk menyerang Kartasura. Pasukan Prangwadana pun segera berangkat. Namun perjalanannya kemalaman. Pasukan Prangwadana kemudian bermalam di Biru. Penduduk Kartasura sudah mendengar kedatangan pasukan Prangwadana. Mereka menjadi amat takut. Banyak yang kemudian mengungsi ke Terantang atau Sima. Pasukan Kumpeni hanya ngumpet di dalam benteng saja.

Pagi hari pasukan Prangwadana bergerak maju. Pasukan telah sampai di wisma Dipanagaran. Pangeran Adiwijaya yang melihat gerakan pasukan Prangwadana segera melapor ke istana. Sang Raja kemudian memerintahkan Ki Anggawangsa dan Ki Cakrajaya untuk menghadang musuh. Namun pasukan Anggawangsa dan Cakrajaya tak mampu menahan serang pasukan Prangwadana. Segera Ki Anggawangsa meminta bantuan. Adipati Sindureja dan Kartanagara yang dikirim untuk membantu. Pangeran Prangwadana yang melihat ada bantuan datang memilih membawa pasukannya mundur ke selatan keraton. Dia mencoba menerapkan tipudaya seperti kemarin dengan pura-pura mundur. Di belakang, pasukan Madura telah menunggu dengan berbaris sembunyi-sembunyi.

Pasukan Adipati Sindureja terpancing untuk mengejar. Ketika sudah masuk jebakan pasukan Madura segera menerjang. Pasukan Sindureja dan Kartanagara terdesak. Salah seorang abdi Sindureja tewas tertikam tombak. Ketika hendak dipenggal kepalanya tiba-tiba datang pasukan bantuan dari Kumpeni yang dipimpin Alperes Tolong. Alperes Tolong mengamuk bersama pasukannya menerjang pasukan Madura. Gantian pasukan Madura yang terdesak. Mereka kemudian mundur ke seberang sungai. Alperes Tolong terus mendesak, tapi tidak sampai menyeberang sungai. Tolong tak mau menyeberang karena medannya sulit, terjepit di antara perumahan penduduk. Musuh pun leluasa pergi menjauh sampai ke Jamur. Alperes Tolong dan Ki Sindureja kemudian mundur ke alun-alun. Sesampai di alun-alun Tolong menyerahkan dua kalantaka dari hasil jarahan. Mayor menerima dengan suka hati. Mayor pun memuji dalam hati keberanian Alperes Tolong.

Keesokan harinya Mayor kembali menyiapkan pasukan. Raden Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja sudah bersiap. Juga para mantri telah berkumpul di Pancaniti. Para prajurit magang juga telah hadir. Pasukan Mayor Hohendorff berangkat melalui sebelah timur istana. Namun ekor barisan belum beranjak dari alun-alun pasukan garis depan telah diserang musuh. Pasukan Prangwadana pagi-pagi telah mendahului menyerang kota Kartasura dengan membawa pasukan Madura. Pasukan garis depan yang berisi prajurit magang telah bertempur dengan pasukan Madura. Pasukan Madura mengetahui kalau musuh jumlahnya banyak, lalu perlahan mundur ke selatan. Prajurit magang terus mengejar sampai ke Segaran. Karena yang mengejar sedikit pasukan Madura berbalik melawan. Kali ini gantian prajurit magang yang lari pontang-panting dikejar pasukan Madura. Dari arah belakang pasukan Kumpeni datang memberi bantuan. Prajurit Madura diberondong dengan tembakan. Namun mereka menembak dengan ngawur. Banyak peluru malah menyasar prajurit magang yang sedang lari. Beruntung tidak ada yang tewas. Pasukan Madura kemudian mundur ke induk pasukan.

Pasukan Madura telah bergabung dengan induk pasukan Prangwadana di selatan Jawinatan. Mereka kemudian menata barisan. Pasukan Madura menempati bagian dada. Bagian sayap ditempati pasukan berkuda. Pasukan Kartasura pun mengimbangi dengan gelar yang serupa. Adipati Pringgalaya menempati sayap kiri. Adipati Sindureja menempati sayap kanan. Pasukan Kumpeni menempati bagian dada. Kedua pasukan saling mendekat dan pertempuran kembali pecah. Kali ini kedua kubu sama-sama mengerahkan kekuatan penuh. Suara tembakan seperti halilintar yang memenuhi langit. Pasukan Madura tangguh bertahan, pasukan Kumpeni pun tak reda memuntahkan peluru. Malah semakin lama semakin deras peluru menerjang pasukan Madura. Sudah seperti hujan layaknya. Pasukan Madura tak kuat menahan, mereka pun mundur. Namun mereka masih mempertahankan formasi serangan. Sambil mundur mereka tetap bertahan, pasukan Kumpeni terus mendesak. Ada seorang Madura yang tercecer. Oleh pasukan Kumpeni dikeroyok dan ditembaki. Si Madura tak dapat bergerak, akhirnya tewas dan dipenggal kepalanya. Pasukan Kumpeni terus mendesak musuh ke arah selatan. Ketika musuh sudah mundur semua serdadu Kumpeni kemudian berhenti mengejar. Para prajurit Jawa yang kemudian melanjutkan pengejaran.

Pasukan Jawa mengejar sampai di markas Jamur. Mereka menemukan dua orang prajurit Madura yang sedang menderita sakit di markasnya. Keduanya lalu ditangkap dan diserahkan kepada Patih Pringgalaya. Oleh Ki Patih kemudian disuruh meneruskan kepada Mayor sebagai komandan perang. Mayor sangat bersukacita. Dua orang Madura lalu dibawa menyingkir untuk ditanyai. Raden Pringgalaya dan Sindureja kemudian menginterogasi si tawanan Madura. Ada berapa temannya. Mereka menjawab bahwa temannya yang berada di markas ini ada tiga ratus. Mayor kemudian menjamin keselamatan kedua tawanan asalkan mau memberikan informasi. Bahkan bersedia memulangkan ke Madura. Kedua tawanan kemudian dilaporkan kepada Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Bagaimana mereka sampai bergabung dengan Prangwadana?”

Mayor berkata, “Saya belum selesai memeriksa, paduka.”

Sang Raja berkata, “Lanjutkan engkau menggali informasi.”

Mayor kemudian keluar dari istana dan kembali menanyai si tawanan Madura. Bagaimana pesan Panembahan Madura kepada para pembesar pasukan Madura dulu ketika mengirim mereka ke pasukan Prangwadana. Si tawanan mengatakan kalau mereka dulu dipesan untuk berperang melawan Kumpeni. Juga diberi pesan agar mencari Ratu Maduretna.

Mayor kembali bertanya, “Apa sebab tuanmu ingin melawan Kumpeni?”

Si tawanan menjawab, “Kumpeni disebut Panembahan telah mengingkari perjanjian. Tiga hal yang dijanjikan tak satupun yang ditepati. Oleh karena itu tuanku Panembahan Madura berani melawan Kumpeni.”

Mayor terdiam tak bicara. Dalam hati teringat sudah beberapa kali berkirim surat ke Semarang dan Betawi untuk mengabarkan bahwa Panembahan Madura kecewa hatinya, tapi suratnya selalu diabaikan. Mayor lalu mengirim laporan ke Semarang untuk memberi tahu kalau telah menangkap dua tawanan Madura. Semua yang dikatakan oleh si tawanan telah dilaporkan dalam surat tersebut. Mayor telah selesai memeriksa dua tawanan Madura. Keduanya lalu diberi pakaian baru serta diberi jatah makan yang cukup.

Sementara itu prajurit sandi Raden Pringgalaya yang memata-matai perjalanan pasukan Pangeran Prangwadana telah kembali. Dia mengabarkan kalau Pangeran Prangwadana sekarang berada di desa Batur, sebelah selatan Waladana. Pangeran masih dikawal banyak prajurit berkuda. Ki Patih Arya Pringgalaya lalu membawa prajurit sandi menemui Mayor Hohendorff. Semua informasi yang didapat telah dilaporkan kepada Mayor. Oleh Mayor kemudian dilaporkan kepada Sang Raja. Mayor juga meminta izin untuk segera menyerang pasukan Prangwadana. Sang Raja pun mengizinkan bila Mayor akan mengejar pasukan Prangwadana.

Mayor telah keluar dari istana dan menemui kedua patih. Raden Arya Pringgalaya dan Raden Sindureja segera diberi tahu untuk menyiapkan pasukan. Semua punggawa dan mantri di Surakarta telah dikerahkan. Hanya empat wadana dalam yang ditinggal untuk menjaga Sang Raja. Adapun formasi pasukan Hohendorff tidak berubah dari kemarin ketika perang di Prajamukti.

Di markas Pangeran Prangwadana, sang Pangeran sudah mendengar kalau pasukan Kartasura akan menyerang. Pangeran segera menggerakkan pasukan dari Batur menuju Pule. Setelah semalam menginap di Pule, paginya berangkat menuju Wera.

Sementara itu pasukan Hohendorff telah berangkat dari Kartasura. Perjalanan pasukan Hohendorff sudah sampai di Kedhungjambal. Namun mereka tak mengendus keberadaan pasukan Prangwadana di sekitar wilayah itu. Malah sekarang posisi Pangeran Prangwadana tidak bisa dipastikan. Empat malam sudah pasukan Hohendorff menginap di Kedhungjambal, tetap tidak mendapat kepastian posisi Pangeran Prangwadana. Mayor lalu membawa pasukannya bergerak ke Panambangan.

Sesampai di Panambangan Mayor tetap tidak mendapat kepastian letak musuh. Mayor menjadi uring-uringan karena jengkel.  Pasukan Kartasura lalu dibawa menyeberang bengawan menuju Uter. Sesampai di Uter tetap tak mendapat posisi Pangeran Prangwadana. Lama tak kunjung bertemu musuh membuat pasukan kehabisan cadangan pangan. Para prajurit sudah jarang mendapat cukup makanan. Pasukan Hohendorff lalu bergerak menuju Segawe. Sampai tiga hari di Segawe pasukan Hohendorff tidak mendapat kemajuan yang berarti. Mayor Hohendorff memarahi Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja karena tak kunjung mampu melacak keberadaan musuh. Prajurit sandi yang mereka kirim tak kunjung membawa laporan.

Berkata Mayor Hohendorff, “Kalau seperti ini kalian berdua ikut saya tidak ada gunanya. Tugas kalian adalah melacak keberadaan Prangwadana. Sekarang segera kirim prajurit sandi lagi untuk melacak Prangwadana. Jangan diizinkan kembali kalau belum menemukan Prangwadana.”

Pringgalaya dan Sindureja lalu mengirim prajurit sandi lagi. Dua hari kemudian mereka telah kembali. Namun tetap tidak ada kabar keberadaan Prangwadana. Mayor menjadi jengkel dan sangat bersedih. Kedua patih lalu disuruh mengemas barang.

Berkata Hohendorff sambil menahan marah, “Tidak ada guna aku di sini Raden. Besok aku pulang ke Kartasura. Kalian berdua umumkan kita semua pulang besok pagi.”

Pagi hari, pukul lima mereka sudah berangkat dari Segawe. Sesampai di Kartasura Mayor segera melapor kepada Sang Raja sambil menyatakan penyesalan yang sangat karena letak musuh tak dapat dilacak.

Sang Raja berkata, “Kalau demikian Dinda, Si Pringgalaya dan Sindureja segera suruh mengirim prajurit sandi lagi untuk melacak keberadaan Prangwadana.”

Mayor segera keluar dan menyampaikan perintah Sang Raja kepada Pringgalaya dan Sindureja. Utusan pun dikirim dengan pesan dari Sang Raja; jangan pulang sebelum mendapat kepastian letak musuh berada.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/14/babad-tanah-jawi-191-adipati-cakraningrat-membantu-pangeran-prangwadana/

Babad Tanah Jawi (192): Keraton berpindah ke Sala dan diberi nama Surakarta Adiningrat

Alkisah. Pangeran Prangwadana dan pasukan Madura setelah terlibat pertempuran dengan pasukan Kartasura mereka lari ke utara. Yang dituju adalah Majarata di tanah Sukawati. Di Majarata mereka bertemu dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Sempat terjadi kontak senjata ringan. Namun pasukan Pangeran Mangkubumi terdesak dan mundur. Markas mereka kemudian ditempati pasukan Prangwadana. Pasukan Madura kemudian membuat markas sendiri yang letaknya terpisah dari markas Pangeran Prangwadana.

Di pondokan Pangeran Prangwadana sedang berbincang dengan patihnya yang bernama Kudanawarsa.

Berkata Pangeran Prangwadana, “Tempat ini sepertinya layak dijadikan negeri.”

Kudanawarsa berkata, “Tidak pantas Tuan. Buruk kejadiannya di masa lalu.”

Di pondok lain, orang Madura ciut hatinya karena temannya banyak yang tewas. Yang kedua, mereka merasa keadaannya tidak seperti bayangannya ketika berangkat dulu. Akhirnya pasukan Madura memutuskan untuk kembali ke Madura. Mereka kemudian mengirim utusan ke pondok Pangeran Prangwadana untuk meminta izin meninggalkan barisan. Pangeran Prangwadana pun mengizinkan. Pasukan Madura lalu membubarkan diri dan kembali ke Madura. Adapun Pangeran Prangwadana kemudian juga membubarkan pasukan dari Majarata dan beralih ke Lunge, lalu mereka bermarkas di Kebontritis. Sementara di tempat lain Pangeran Mangkubumi sudah mengumpulkan kembali pasukannya di desa Galagah.

Pasukan Madura yang baru saja pulang dari Majarata mendapati negeri mereka sedang berperang. Pasukan Pangeran Cakraningrat sedang menyerang Sumenep. Yang memimpin prajurit Madura adalah Raden Sasradiningrat, anak dari Cakraningrat. Perang berlangsung seru dan memakan banyak korban. Akhirnya Sumenep berhasil ditaklukkan. Pangeran Sumenep kemudian lari ke Surabaya meminta tolong Kumpeni. Adapun pasukan Sumenep yang tertinggal sudah menyerah kepada Raden Sasradiningrat. Mereka yang telah menyatakan menyerah lalu ditetapkan untuk menduduki jabatan lamanya. Warga Sumenep pun kembali tenang.

Baru saja penduduk Madura bisa hidup sedikit tenang pasukan Kumpeni menggelar barisan di perbatasan Sampang-Sumenep di bawah pimpinan Kumendur Kecil. Para prajurit memberi tahu kepada Raden Sasradiningrat kalau Kumendur menggelar barisan di tapal batas Sampang. Raden Sasradiningrat segera kembali mengerahkan pasukannya untuk menghadapi Kumpeni. Dengan bersegera pasukan Sasradiningrat menggempur pasukan Kumpeni. Pertempuran kembali pecah di Batubesi. Pasukan Kumpeni tangguh. Mereka mengamuk seperti raksasa mendapat bangkai. Senjata-senjata sudah tak berbunyi lagi, mereka berperang jarak dekat dengan tombak. Namun pasukan Madura terlalu banyak. Pasukan Kumpeni tak mampu mendesak pasukan Madura. Mereka akhirnya memilih lari dari Batubesi. Perbatasan kembali diduduki pasukan Sasradiningrat.

Sementara itu di Surabaya, pasukan Kumpeni mulai menyerang kantong-kantong pasukan Madura di pesisir Jawa. Tandes mereka serang. Pasukan Madura di Gresik dibawah pimpinan Ki Puspatruna menahan serangan pasukan Kumpeni dengan gigih. Puspatruna tak takut mati. Pasukan Kumpeni berhasil dipukul mundur.

Berita kekalahan Kumpeni Surabaya didengar oleh pasukan Kumpeni yang berada di atas kapal. Mereka pun mendarat di Madura pada sebuah pantai di desa Tunjungan. Mereka kemudian mengamuk di daratan Madura. Pasukan Madura kemudian menghadapi amukan Kumpeni. Pemimpin pasukan Madura bernama Surajaya. Surajaya mengamuk menerjang pasukan Kumpeni. Setelah terjadi pertempuran sengit pasukan Kumpeni berhasil dipukul mundur kembali ke lautan.

Ada seorang opsir Belanda di Kediri namanya Kapten Keser. Dia adalah mantan komandan pasukan dragonder di Kartasura. Kapten Keser diperbantukan ke Surabaya. Dari Kediri Kapten Keser bergerak menuju Surabaya. Kapten Keser kemudian menyerang Gresik. Terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Gresik yang dipimpin seorang pangeran dari Giri bernama Ki Jiwaraga. Setelah pertempuran sengit Ki Jiwaraga tewas. Gresik berhasil ditaklukkan.

Pasukan Kapten Keser kemudian bergerak ke Tumapel tempat Raden Wiryadiningrat bermarkas. Pasukan Madura di Lamongan di bawah pimpinan Raden Kartareja bergerak ke Tumapel untuk membantu pertahanan Raden Wiryadiningrat. Pertempuran kembali pecah. Namun lagi-lagi pasukan Kapten Keser mendapat kemenangan. Pasukan Kartareja dipukul mundur. Tumapel pun berhasil diduduki. Raden Wiryadiningrat melarikan diri.

Pasukan Kapten Keser terus bergerak memukul Sidayu. Di Sidayu saat itu bermarkas pasukan Madura di bawah pimpinan Raden Suryadiningrat. Tidak perlu waktu lama pasukan Kumpeni berhasil menaklukkan Sidayu. Raden Suryadiningrat menyerah dan penyerahannya diterima oleh Kumpeni.

Setelah kemenangan di pesisir Jawa, Kumpeni merencanakan serang besar-besaran ke pulau Madura. Seorang admiral diturunkan untuk memimpin serangan itu. Pasukan Kumpeni pimpinan Kapten Keser kemudian diperbantukan ke pulau Madura. Bersama Daeng Mabelah, veteran perang dari Kartasura lainnya, pasukan Kapten Keser menggempur pasukan Raden Sasradiningrat di Sampang. Pasukan Kumpeni juga mendapat bantuan pasukan Kumpeni Makasar di bawa pimpinan Kapten Jawar. Pasukan Kumpeni menyerang pasukan Sasradiningrat dengan serangan massif. Pasukan Sasradiningrat pun terdesak dan lari. Pasukan Kumpeni terus bergerak ke Balega. Di Balega pasukan Madura dipimpin oleh Raden Wangsengsari.

Raden Wangsengsari menghadapi serangan pasukan Kumpeni dengan gigih. Pasukan Madura bertekad takkan mundur. Tuan Admiral melihat pasukan Madura tangguh, lalu meningkatkan serangan. Raden Wangsengsari tetap bertahan. Serangan peluru tiktak pun tak membuatnya bergeser. Kapten Keser marah karena serangannya dapat ditahan pasukan Madura. Kapten Keser turun ke medan perang dan mengamuk bersama para serdadunya. Pasukan Kumpeni Islam ikut merangsek dengan tombak dan pedang. Akhirnya pasukan Madura berhasil dipukul mundur. Walau terus mencoba bertahan Raden Wangsengsari tak mampu lagi menahan serangan pasukan Kumpeni. Raden Wangsengsari dikeroyok para serdadu Kumpeni. Pada satu kesempatan Raden Wangsengsari didesak sampai terperosok ke dalam lubang. Kopral Trohi lalu mendekati dan memukul dengan gagang senapan. Wangsengsari tewas seketika. Setelah panglimanya tewas pasukan Madura bubar berlarian. Markas pasukan Madura di Balega diduduki Kumpeni.

Sementara itu Raden Sasradiningrat yang melarikan diri dari Batubesi telah sampai di kota Sampang. Segera Raden Sasradiningrat melaporkan kekalahannya kepada sang ayah Panembahan Cakraningrat. Juga kekalahan pasukan Wangsengsari di Balega telah terdengar oleh Sang Panembahan. Kedua hal itu membuat Panembahan sangat khawatir. Panembahan akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke Pulau Bawean. Semua yang ada segera dibawa naik kapal menuju pulau Bawean. Sesampai di Bawean mereka berhenti untuk mengambil persediaan air minum. Pelayaran mereka kemudian dilanjutkan ke negeri Banjar.

Di Madura, pasukan Kumpeni telah berhasil mengusai Pulau Madura sepenuhnya. Keadaan pulau Madura sudah tenteran. Salah seorang anak Panembahan Cakraningrat yang bernama Raden Ayu Wuku kemudian dibawa ke Kartasura oleh opsir Kumpeni bernama Tuan Anting.

Kita kembali ke Sukawati. Pasukan Pangeran Mangkubumi setelah terusir dari Majarata kemudian bermarkas di Galagah. Pangeran Mangkubumi sudah berhasil membangun pasukannya lagi. Pangeran lalu mengirim surat ke Kartasura, menyatakan kalau pasukan Madura sudah kembali ke negerinya. Adapun pasukan Prangwadana sudah kembali ke selatan. Orang-orang Sukawati sudah kembali tunduk kepada Pangeran Mangkubumi. Pasukan Mangkubumi kini sudah kuat kembali dan rasanya mampu untuk menggempur pasukan Prangwadana.

Kepada utusan yang membawa surat Sang Raja berkata, “Katakan kepada Dinda Mangkubumi, kalau pasukannya sudah kuat boleh menyerang musuh kembali. Kalau berhasil menang, sebaiknya musuh dikejar ke manapun larinya. Agar mereka kapok.”

Utusan segera kembali ke Sukawati untuk menyampaikan perintah Sang Raja. Sang Raja lalu memerintahkan Ki Tohjaya menemui Mayor di Loji. Ki Tohjaya memberitahukan bahwa Sang Raja telah memberi izin kepada Pangeran Mangkubumi untuk menyerang pasukan Prangwadana.

Mayor berkata, “Itu gampang nanti. Sekarang lebih baik mengerjakan pekerjaan yang lebih penting.”

Ki Tohjaya kembali ke istana dan menyampaikan pendapat Mayor. Sang Raja pun menyerahkan segala sesuatunya kepada Mayor, mana yang akan didahulukan. Mayor kemudian mengirim utusan kepada Pangeran Mangkubumi. Utusan segera berangkat ke Sukawati. Setelah sampai di Sukawati utusan menyampaikan salam dari Mayor untuk Pangeran Mangkubumi. Utusan menyampaikan pesan Mayor.

Berkata si utusan ,”Paduka dimohon berhenti mengejar musuh dahulu. Mayor akan berangkat ke Kedu dahulu untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di sana.”

Bertanya Pangeran Mangkubumi, “Mayor berangkat ke Kedu untuk urusan apa?”

Utusan menjawab, “Yang menjadi persoalan adalah pembangkangan Secanagara dan orang-orang Kedu. Mereka telah menggelar barisan di Elo dan sudah menyerang Kartadipa di Andong. Kartadipa sudah menyerah dan bergabung dengan Secanagara. Maka dari itu paduka diminta berhenti dulu mengejar musuh. Mayor meminta paduka jangan jauh-jauh dari Sala.”

Pangeran Mangkubumi tersenyum, “Ini maksud Mayor aku disuruh berjaga di Sala begitu? Baiklah, engkau pulanglah. Katakan kepada saudara Mayor kalau aku akan bermarkas di dekat Sala.”

Utusan segera kembali ke Kartasura dan menyampaikan semua pesan Pangeran Mangkubumi. Mayor sudah tenang hatinya sehingga bisa fokus memikirkan Kedu.

Di Kedu ada pemberontakan oleh Secanagara dari Sela. Orang-orang Kedu sudah ditaklukkan. Sepanjang barat sungai Progo sudah tunduk. Malah sudah menyeberang sungai Elo dan menaklukkan pasukan Kartadipa. Ki Kartadipa sudah menyerah kepada Secanagara.

Mayor berencana mengajak pasukan Patih Sindureja untuk menyerang Kedu. Saat ini Patih Sindureja berada di Salatiga. Patih Sindureja berangkat ke Salatiga setelah kembali dari Segawe dahulu. Ketika dahulu mengejar pasukan Pangeran Prangwadana tetapi tak ketemu musuh. Sepulang dari Segawe Patih Sindureja ditugaskan berjaga di Salatiga. Selain itu Patih Sindureja juga ditugaskan membuat Loji di Salatiga. Patih Sindureja juga ditugaskan ke Kedu untuk konsolidasi dengan Ki Mangkupraja dan Ki Natayuda. Namun rupanya kedua punggawa Kedu itu tak bisa diharapkan. Maka tak ada pilihan lain selain Mayor sendiri yang akan berangkat ke Kedu. Mayor kemudian menyampaikan rencananya tersebut kepada Sang Raja.

Mayor Hohendorff berkata, “Paduka, saya akan berangkat ke Kedu untuk merebut wilayah itu dari tangan Secanagara. Selain itu tanah paduka di Kedu sudah rusak tatanannya. Harus dibenahi kembali.”

Sang Raja berkata, “Baiklah Dinda. Segera padamkan sebelum berkobar.”

Mayor berkata, “Kalau paduka izinkan, besok pagi saya berangkat melalui Salatiga.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, semoga selamat perjalananmu.”

Mayor segera keluar dari istana dan menuju Loji. Raden Adipati Pringgalaya kemudian dipanggil Mayor ke Loji dan diberi tahu kalau Mayor akan melakukan perjalanan ke Kedu besok pagi.

Berkata Mayor Hohendorff, “Raden, saudara baik-baiklah dalam menjaga Sang Raja. Saya akan membawa pasukan dragonder dan Kumpeni Islam pimpinan Kapitan Tolong.”

Raden Arya Pringgalaya lalu memerintahkan Surawacana untuk menyediakan berbagai keperluan penunjang pasukan yang akan berangkat ke Kedu. Keesokan harinya pasukan Mayor Hohendorff berangkat menuju Salatiga. Sesampai di Salatiga Mayor menemui Adipati Sindureja.

Mayor berkata, “Saudara Adipati, sekarang posisi markas Secanagara berada di mana? Juga si Kartadipa berada di Andong atau bergabung dengan Secanagara?”

Ki Adipati Sindureja berkata, “Tuan, menurut laporan telik sandi, tempatnya sekarang berada di Samirana. Adapun Kartadipa masih berada di Andong. Kartadipa sudah kembali ke pihak Kartasura. Pasukannya kini berhadapan degan pasukan Secanagara, tetapi tidak berani memulai pertempuran.”

Mayor Hohendorff kemudian memerintahkan kepada Ki Mangkupraja, Natayuda dan Demang Urawan untuk mengirim utusan ke Kedu. Ketiganya lalu menjalankan telik sandi ke Kedu. Dua hari kemudian prajurit telik sandi sudah melaporkan hasil pengintaiannya. Menurut laporan telik sandi posisi pasukan Secanagara masih sama dengan laporan yang diterima Ki Sindureja kemarin, yakni di Samirana. Adapun Ki Kartadipa sekarang berada di Wiladasewu. Prajurit telik sandi juga menyebutkan kalau Ki Kartadipa akan menyambut pasukan Hohendorff di jalan. Setelah semua keterangan yang diperlukan didapat, Mayor pun segera bersiap. Keesokan harinya pasukan Mayor berangkat dari Salatiga. Semua punggawa di Salatiga dikerahkan, termasuk Adipati Sindureja.

Perjalanan pasukan Mayor Hohendorff  sempat bermalam di Tegalrandu. Pagi hari mereka langsung meneruskan perjalanan. Ki Kartadipa menjemput di jalan untuk bergabung.

Mayor berkata, “Hai Kartadipa, musuh sekarang berada di mana?”

Kartadipa menjawab, “Musuh tuan ada di Samirana. Mereka sudah bersiap menghadang. Rencana mereka akan mencegat di Elo dan bertempur habis-habisan.”

Pasukan Mayor kemudian melanjutkan perjalanan menuju Andong. Perjalanan mereka dipercepat agar segera sampai. Sesampai di Andong pasukan Hohendorff beristirahat di pondokan. Ki Adipati Sindureja kemudian mengundang para punggawa untuk merencanakan strategi yang akan diterapkan esok pagi bersama Mayor. Pada kesempatan itu Ki Kartadipa menyampaikan usulan.

Berkata Ki Kartadipa, “Bila tuan setuju, saya besok akan mendahului menyerang sendirian. Paduka semua beristirahatlah dulu di Andong sini.”

Ki Adipati Sindureja berkata, “Usulan Kartadipa tadi, saya tak setuju. Kalau dia berangkat sendirian lalu kalah, itu akan membuat malu kita semua. Sebaiknya tuan Mayor beristirahat dulu di sini selama satu hari besok. Adapun semua pasukan Jawa akan saya bawa menyerang musuh.”

Mayor merasa kerepotan menanggapi usulan para punggawa. Mayor sendiri masih menyangsikan kalau Adipati Sindureja mampu mengalahkan musuh.

Berkata Mayor Hohendorff, “Wahai Ki Sindureja, semua usulan saudara itu juga tidak akan saya pakai. Perintah saya sebagai komandan, semua pasukan Jawa dan Kumpeni bersama-sama berangkat menyerang musuh.”

Pertemuan malam itu pun selesai. Semua siap melaksanakan perintah Mayor Hohendorff. Keesokan harinya pasukan Kartasura yang terdiri dari pasukan Kumpeni, pasukan Adipati Sindureja dan pasukan Ki Kartadipa berangkat. Perjalanan mereka dipercepat agar segera sampai di Samirana. Yang bertindak sebagai pasukan garis depan adalah Ki Kartadipa dan pasukannya. Ketika sampai di timur Elo pasukan musuh sudah terlihat berjajar di sepanjang bibir sungai. Tampak Ki Secanagara berkacak pinggang dengan dipayungi. Semua pasukan Kedu sudah dikerahkan. Sebagian besar dari mereka adalah pasukan darat. Mereka sudah disumpah kalau sampai meninggalkan medan perang akan ditombak. Semua mantri dan prajurit menyatakan sanggup.

Kedua pasukan sudah saling berhadapan. Di antara mereka tinggal ada pembatas berupa sungai Elo. Saat itu sungai sedang banjir dan sulit untuk diseberangi. Kedua pasukan lalu menyerang musuh dengan senapan. Untuk beberapa saat mereka jual beli tembakan. Kedua pasukan royal peluru, seharian mereka saling berbalas tembak. Sementara jatuhnya peluru sudah tak lagi efektif mengalahkan lawan. Setelah melewati sungai peluru kehilangan kecepatannya dan hanya jatuh laksana kerikil saja. Yang terkena peluru pun tak terluka.

Mayor Hohendorff tak sabar dengan keadaan ini. Apalagi setelah melihat Secanagara enak-enak duduk berpayung. Mayor menjadi geregetan, tetapi sulit untuk menyeberang sungai. Mayor memerintahkan Kapitan Tolong untuk mencari tempat yang bisa diseberangi. Kapitan Tolong membawa pasukan menyisir sepanjang sungai ke arah selatan, mencari tempat yang dapat diseberangi. Mereka lalu menemukan tempat penyeberangan. Pasukan Kapitan Tolong lalu menceburkan diri ke sungai. Kapitan dan pasukannya sudah berada di seberang sungai Elo. Dari arah samping mereka menerjang pasukan Secanagara. Dalam sekejap mata pasukan Secanagara tak mampu membendung serangan pasukan Kapitan Tolong. Mereka bubar berlarian. Pasukan Kapitan Tolong terus mengejar. Dua orang prajurit musuh berhasil ditangkap. Lalu ditikam ramai-ramai dengan tombak.

Dari belakang pasukan dragonder telah menyusul ke seberang sungai Elo. Mereka beramai-ramai ikut mengejar musuh. Banyak prajurit Secanagara yang tertangkap. Ada seorang mantri yang tertangkap oleh seorang kuli bernama Kartahudaya. Si mantri lalu ditikam hingga tewas. Secanagara dan beberapa pengikutnya terus lari menuju gunung Sumbing.

Pasukan Kartasura sudah menduduki Samirana. Semalam mereka menginap. Paginya pasukan meneruskan perjalanan menuju Tepasaran. Ketika baru saja sampai di desa Pakiswiring mereka bertemu dengan Ki Mangkuyuda. Ki Mangkuyuda berjalan bersama ibunya. Maksud kedatangannya menemui Mayor adalah untuk menyerahkan diri. Mayor sudah menerima penyerahan diri Ki Mangkuyuda. Ki Adipati Sindureja kemudian diberi tahu bahwa Ki Mangkuyuda telah menyerah. Ki Adipati sudah lega hatinya. Mayor dan Ki Sindureja kemudian berangkat ke Tepasaran. Sungai Progo sudah diseberangi. Mereka pun sampai di Tepasaran.

Di Tepasaran pasukan Kartasura membuat markas. Mayor kemudian memerintahkan Ki Kartadipa untuk mengejar Secanagara ke manapun perginya. Keesokan harinya Ki Kartadipa berangkat ke Selapapang. Di Selapapang Kartadipa menemukan markas Secanagara telah sepi. Lalu ada kabar yang menyebut bahwa Secanagara naik ke gunung Sumbing. Namun Kartadipa tidak dapat melacak posisi Secanagara. Ki Kartadipa lalu kembali ke Tepasaran. Sepanjang perjalanan pulang Kartadipa menjarah wilayah musuh. Dua hari sudah Kartadipa melakukan perjalanan. Dia kemudian melapor kepada Mayor Hohendorff bahwa perjalanannya tidak mendapatkan hasil.

Mayor memerintahkan kepada prajurit Kedu untuk mencari kabar keberadaan Secanagara. Jangan mereka pulang sebelum mendapat kabar posisi musuh. Adapun Ki Mangkuyuda tidak diizinkan pergi jauh dari Mayor. Dia disuruh untuk tetap tinggal di Loji saja. Kedudukannya pun belum diubah, masih menempati jabatan lamanya.

Beberapa hari kemudian para prajurit yang disuruh mencari keberadaan Secanagara telah mendapatkan kepastian. Secanagara kini berada bersama Raden Mas Guntur di gunung Kelir.

Mayor berkata, “Kalau benar beritanya, tidak menjadi soal. Kalau kelak dia kembali Ki Wiraguna, Ki Natayuda dan Ki Mangkuyuda sanggup untuk melawannya.”

Mayor lalu bertanya kepada Ki Mangkuyuda, “Hai Ki Mangkuyuda, apakah pasukan saudara sudah berkumpul semuanya?”

Ki Mangkuyuda menjawab, “Sudah tuan. Mereka telah hadir semua.”

Ki Adipati Sindureja berkata kepada Mangkuyuda, “Saudara Mangkuyuda, Tuan Mayor ingin mengadakan acara bersuka-suka. Anda siapkan segala sesuatunya. Gamelan untuk tayub dan perabotan pecah belah untuk jamuan.”

Ki Mangkuyuda menyatakan kesiapan. Segera mundur dari hadapan Ki Patih dan melaksanakan tugas. Para pekerja telah mengangkut berbagai keperluan untuk pagelaran tayub.

Sementara itu Mayor dan Ki Adipati Sindureja sedang berembug. Yang mereka bahas adalah kedudukan Raden Mangkupraja. Dia akan ditetapkan sebagai bupati di Kedu bersama Ki Mangkuyuda. Adapun Ki Sutawijaya oleh Mayor disarankan untuk diangkat juga bersama Demang Urawan. Ki Adipati Sindureja setuju. Ketiga orang tadi kemudian dipanggil menghadap ke pondokan Mayor. Mereka ditanyai kesanggupannya. Juga Ki Wiraguna sekalian ditanyai. Apakah mereka berempat sudah siap bila ditinggalkan untuk menjaga wilayah Kedu. Apakah mereka sanggup menahan bila Raden Guntur dan Secanagara kembali menyerang Kedu. Semua yang ditanya menyatakan siap sedia.

Mayor lalu berkata kepada Patih Sindureja, “Kalau semua sudah siap besok lusa saya berangkat ke Kartasura. Yang saya tinggalkan di sini Ki Puspatruna dan Ki Setradipa.”

Pagi harinya semua punggawa melakukan persiapan untuk pulang ke Kartasura. Semua punggawa kemudian diundang untuk berkumpul. Tiba-tiba Mayor memerintahkan untuk menangkap Ki Mangkuyuda. Semua barang-barangnya lalu dijarah. Ki Mangkuyuda kemudian dipenjara bersama anak istrinya.

Keesokan harinya Mayor pulang ke Kartasura. Punggawa yang ditinggal adalah Natayuda, Wiraguna dan Mangkupraja. Adapun Ki Mangkuyuda dibawa ke Kartasura beserta anak istrinya. Singkat cerita Mayor sudah sampai di Kartasura. Mayor segera menghadap kepada Sang Raja untuk melaporkan perjalanannya ke Kedu.

Berkata Mayor Hohendorff, “Hamba selamat dalam perjalanan paduka. Abdi paduka si Mangkuyuda sudah saya bawa. Semua terserah kepada keputusan paduka.”

Sang Raja berkata, “Aku tak akan mengangkatnya sebagai punggawa lagi. Kalau tetap saya abdikan seperti kurang orang saja. Sepulangmu dari Kedu Dinda, siapa yang engkau tinggalkan di sana?”

Mayor berkata, “Abdi paduka si Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Natayuda dan Tumenggung Mangkupraja serta Demang Urawan.”

Setelah cukup laporan Mayor, Sang Raja mengizinkan Mayor keluar dari istana. Sesampai di luar Mayor menempatkan Ki Mangkuyuda. Pagi hari berikutnya Raden Adipati Pringgalaya datang dari Sala dan menemui Mayor untuk menanyakan keselamatannya. Mayor mengatakan bahwa musuh sudah lari dan bergabung dengan Raden Guntur di gunung Wilis. Wilayah Kedu sudah sepenuhnya dalam penguasaan Kartasura. Semua hal selama perjalanan sudah dituturkan oleh Mayor kepada Pringgalaya. Mayor kemudian mengutarakan keinginannya untuk meninjau bakal keraton di Sala.

Raden Pringgalaya berkata, “Baiklah, nanti saya persiapkan dulu.”

Raden Pringgalaya lalu dijamu Mayor di Loji. Setelah bersantap Raden Pringgalaya kembali ke Sala untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan ditinjau Mayor. Keesokan harinya Mayor berangkat menuju Sala. Sesampai di Sala Mayor memeriksa pembangunan Loji. Saat itu parit keliling baru dikerjakan oleh para pekerja dari Sukawati. Satu hal yang masih mengganjal di hati Mayor, batubata untuk Loji masih kurang. Mayor mengusulkan agar segera ditambah pekerja untuk mendatangkan batu bata dari Lawiyan. Namun Raden Patih Pringgalaya menyarankan untuk mencetak saja. Seberapa banyak kebutuhannya akan dicetak sendiri di Sala. Mayor setuju dan minta segera dipercepat. Setelah semua diperiksa Mayor pulang ke Kartasura. Setelah Mayor pulang Raden Adipati Pringgalaya segera memerintahkan para pekerja untuk mencetak batubata secukupnya.

Setengah bulan sudah berlalu sejak dikunjungi Mayor Hohendorff. Progres pengerjakan bangunan bakal istana baru sudah menunjukkan kemajuan pesat. Sang Raja berkenan untuk meninjau proses pembangunan bakal keraton dan Loji di Sala. Sesampai di Sala Sang Raja bertahta di bawah tenda sementara. Raden Adipati Pringgalaya dan Pangeran Mangkubumi ketika itu sedang mengawasi pembangunan bakal keraton.

Sang Raja berkata, “Hai Pringgalaya, proses pembangunan keraton baru ini segera engkau percepat. Aku ingin di tahun Dal nanti sudah bisa pindah keraton.”

Raden Adipati Pringgalaya menyembah dan menyatakan kesanggupan. Jamuan lalu dikeluarkan. Sang Raja kemudian bersantap siang. Setelah Sang Raja selesai selesai bersantap, jamuan diberikan kepada para punggawa dan seluruh pekerja. Semua sudah kebagian makan siang. Sang Raja kemudian kembali ke Kartasura. Kembalinya Sang Raja ke keraton disambut dengan tembakan meriam dari Loji.

Tahun Dal sudah menjelang. Pembangunan bakal keraton baru sudah selesai.  Sang Raja berkenan segera pindah keraton ke Sala. Perintah Sang Raja kepada para kawula untuk berpindah membuat heboh seluruh negeri. Sepanjang jalan rombongan besar penduduk Kartasura berbondong-bondong memenuhi jalan. Mereka membawa perabotan dan perlengkapan hidup sehari-hari. Kepindahan Sang Raja pada hari Rabu tanggal tujuh belas bulan Sura, tahun Dal. Peristiwa besar ini ditandai dengan sengkalan tahun: pratala arga obahe  janma[1]. Semua penduduk negeri Kartasura ikut pindah, tak ada yang mau tinggal di kota lama. Banyak dari mereka terpaksa meninggalkan rumah yang telanjur dibangun bagus. Mereka membedol dan membawanya ke kota baru. Namun beberapa dari mereka tak berpindah ke Sala. Ada yang kemudian menetap di Nglangkungan, Pajang atau Baturana.

Beberapa waktu kemudian perikehidupan kota baru di Sala sudah berjalan normal. Nama Sala kemudian diganti menjadi Surakarta Adiningrat. Negeri baru Sang Raja tenteram dan makmur. Adapun kota Kartasura setelah ditinggalkan namanya dikembalikan ke nama semula, yakni Wanakarta. Sudah masyhur ke seluruh negeri kalau Kartasura kembali bernama Wanakarta.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/02/15/babad-tanah-jawi-192-keraton-berpindah-ke-sala-dan-diberi-nama-surakarta-adiningrat/

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...