Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (68): Urub Pangareping Budi

 Bait ke-68, Pupuh Gambuh, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Ning aywa salah surup,

kono ana sajatinig urub.

Yeku urub pangarep uriping budi.

Sumirat sirat narawung,

kadya kartika katonton.


 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tetapi jangan salah terima,

di situ ada cahaya sejati.

Ialah cahaya yang memimpin hidupnya sanubari.

Bercahaya memancar benderang,

bagaikan bintang nampaknya.


 Kajian per kata:

Ning (tetapi) aywa (jangan) salah surup (salah terima), kono (di situ) ana (ada) sajatinig (sejatinya) urub (cahaya). Tetapi jangan salah terima, di situ ada cahaya sejati.

Pembahasan bait ini masih tentang alam kanyut, yang sebenarnya dalah alam tempat bertemunya dua alam, alam materi dan alam ruh. Filosof muslim Ibnu ‘Arabi secara metafora menyebut alam ini sebagai alam imajinal atau barzakh atau alam antara. Sebagaimana alam barzakh yang sering kita dengar adalah alam antara dunia dan akhirat, barzakh yang dimaksud Ibnu Arabi adalah alam antara materi dan ruh. sifat alam imajinal ini merupakan campuran keduanya, kadang masih bercampur sifat materinya, kadang bersifat ruhaniah.

Walau demikian kedudukan alam ini adalah lebih tinggi dari alam material, hanya saja perlu sebuah upaya yang sungguh-sungguh agar tidak terpeleset ketika masuk ke wilayah ini. Yakni harus selalu menjaga agar tetap dalam keadaan emut, ingat akan posisi kita di dalam konstelasi wujud sebagai hamba Allah. Sebuah pengakuan yang dahulu pernah kita ucapkan dalam alam pra-kreasi.

Jika keadaan emut tersebut tak tercapai atau kadang hilang kita bisa tergelincir karena alam ini sangat mudah menghanyutkan, oleh karena disebut alam kanyut. Contoh ketergelinciran adalah apa yang dilakukan Al Hallaj dan Syeikh Siti Jenar, dalam riwayat-riwayat yang sudah sering kita dengar.

Maka keadaan emut tadi harus senantiasa kita upayakan dengan sungguh-sungguh, agar kita tidak hanyut dan kemudian meracau tak karuan seperti para mistikus yang trance yang mengira cahaya diri sebagai sifat ketuhanan, sehingga terlontar ucapan: “Ana Al Haqq!”

Yeku (yaitu) urub (cahaya) pangarep (pemimpin, penuntun) uriping (hidupnya) budi (sanubari, akal budi). Ialah cahaya yang memimpin hidupnya sanubari.

Pangarep berarti yang didepan, ini berarti cahaya yang kita lihat seharusnya kita sikapi sebagai pertolongan Allah yang membuat jalan menjadi terang. Hendaknya kita selalu emut dengan posisi kita tadi sebagai hamba Allah, maka cahaya apapun yang kita lihat dapat menjadi pangarep, penuntun dalam melangkah ke depan.

Sumirat (bercahaya) sirat (memancar) narawung (benderang), kadya (bagaikan) kartika (bintang) katonton (nampaknya, terlihat). Bercahaya memancar benderang, bagaikan bintang nampaknya.

Urub (cahaya) tadi apabila kita mampu menempatkan dengan benar akan menjadi penerang hidup kita, membawa kita dari kegelapan menuju terang, sehingga laku kita menjadi semakin mudah, tujuan kita menjadi jelas karena jalan yang ditempuh menjadi terang benderang.

Sumirat-sirat berarti cahaya yang memancar-mancar, sebagai pertanda keadaan terang benderang. Secara metafora ini adalah keadaan ketika manusia tidak lagi bingung dalam membedakan antara yang haq dan batil. Sehingga menjadi jelas, tanpa perlu bujukan, perintah dan ancaman lagi, ke mana kaki harus melangkah.

Ini adalah rahasia terdalam dari pengamalan syariat. Ketika di tingkat syariat kita memerlukan motivasi dalam berbuat yang berupa pahala surga dan daya dorong yang berupa ancaman siksa neraka, namun ketika kita sudah mengenali yang haq secara hakiki segala pahala dan siksa kehilangan makna. Yang tersisa adalah ketertundukan yang sukarela, ikhlas dan tanpa pamrih.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/11/kajian-wedatama-68-urub-pangareping-budi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...