Translate

Minggu, 18 Agustus 2024

Kajian Wedatama (32): Aywa kongsi Njunjurkenkapti

Bait ke-32, Pupuh Sinom, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Ing jaman mengko pan ora,

Arahe para taruni,

Yen antuk tuduh kang nyata,

Nora pisan den lakoni,

Banjur njujurkenkapti,

Kakekne arsa winuruk,

Ngandelaken gurunira,

Panditane praja sidik,

Tur wis manggon pamucunge mring makripat.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Di jaman sekarang tidak demikian,

Sikapnya anak muda,

Apabila mendapat petunjuk yang nyata,

Tidak pernah sekalipun dijalani,

Lalu menuruti kehendakhatinya,

Kakeknya akan diberi pelajaran,

Mengandalkan gurunya,

Seorang pendita negara yang pandai,

Dan juga sudah menguasai ilmu ma’rifat.


Kajian per kata:

Ing (di) jaman (jaman) mengko (nanti) pan ora (tidak demikian). Di jaman sekarang tidak demikian.

Ini merujuk pada bait sebelumnya. Bahwa yang dapat bersikap seperti pada bait ke 31 di postingan yang lalu di jaman sekarang ini sudah langka ditemukan. Ini hanya sentilan saja, kiasan bahwa isi bait ini mesti diperhatikan, terutama bagi anak muda.

Arahe (sikap, kelakuan) para taruni (para anak muda). Sikapnya anak muda jaman sekarang. Yen (kalau) antuk (mendapat) tuduh (petunjuk) kang (yang) nyata (nyata, benar). Apabila mendapat petunjuk yang nyata. Nora (tidak) pisan (sekali) den (dia) lakoni (jalani). Tak pernah sekalipun dia jalani.

Sikap anak muda jaman sekarang yang suka mengabaikan petuah orang-orang tua. Apabila diberi pengertian oleh mereka berdasarkan pengalaman nyata mereka, anak-anak muda sering mengabaikan. Tak mau sekalipun menjalani. Maido, menyangkal, dan menganggapnya kuno, tak sesuai keadaan jaman kini. Padahal anak-anak muda itu sebenarnya masih belum mengerti tantangan jaman yang akan datang.

Banjur (lalu) njujurkenkapti (menuruti kehendak sendiri). Lalu menuruti kehendak sendiri. Kakekne (kakeknya) arsa (akan) winuruk (diajari). Bahkan, kakeknya akan diberi pelajaran. Karena sudah merasa pandai sekali.

Lalu menuruti kehendak sendiri, berdasar pengetahuan yang dia terima. Merasa sudah pintar, malah-malah kakek mereka akan mereka ajari. Ini bener-bener sikap yang sudah melampaui batas dan tidak seyogyianya dilakukan. Mengapa mereka melakukan itu? Ya, karena memang jiwa muda sering kali berlebihan dalam merespon pengetahuan yang baru diterima dari luar.

Ngandelaken (mengandalkan) gurunira (gurunya). Mengandalkan gurunya.

Mengandalkan guru mereka. Anak-anak muda ketika baru belajar sering mengalami kekagetan, oh kok ternyata begini, oh berarti aku salah selama ini, oh kok aku tidak dibiasakan seperti ajaran para guru, berarti ayah-kakek tak mengerti cara yang benar. Begitulah kira-kira jalan pikirannya. Padahal apa yang diajarkan guru-guru mereka baru sebagian dari keseluruhan ilmu-ilmu yang ada.

Panditane (pendetanya) praja (negara) sidik (pandai). Seorang pendeta negara yang pandai. Tur (dan) wis (sudah) manggon (menempati, sampai pada) pamucunge (penguasaan) mring (pada) makripat (tingkat ma’rifat).

Mereka, anak-anak muda tadi terlalu mengidolakan guru-guru mereka yang punya jabatan prestise di kerajaan, terlihat mentereng dan sangat pandai. Selalu tampak bijaksana dan menguasai semua ilmu ma’rifat. Tentu kesan itu jauh berbeda dengan ayah atau kakek mereka yang orang-orang sederhana dan tidak tampil sholeh. Mungkin itulah yang menyebabkan mereka abai terhadap nasehat dari orang tua mereka sendiri.

Tambahan:

Dengan selesainya bait ke-32 ini selesailah Pupuh sinom dari serat Wedatama. Secara garis besar pupuh Sinom berisi petuah bagaimana seharusnya orang hidup yang bermartabat dan terpuji. Di dalamnya ditekankan untuk mengambil laku lebih dari sekedar kulit luar dari sebuah ajaran, termasuk ajaran agama atau petuah leluhur. Sehingga dicapailah kemampuan diri yang punjul ing apapak, lebih dari sekedar orang-orang kebanyakan.

Ini adalah hal yang berat dan melelahkan. Bersikap kstaria dengan memelihara keluhuran budi seringkali tidak populer dan mengundang cibiran di dunia yang kebanyakan orang hanya melihat kulit luarnya saja. Kebanyakan orang lebih terpesona dengan gebyaring kadonyan, misalnya lebih takjub jika melihat seorang kaya raya meski kekayaannya didapat dengan curang, dibanding dengan orang yang jujur dalam mencari nafkah.

Pesona duniawi yang begitu menyeret manusia hanyut di dalamnya itulah yang seringkali menjerumuskan seseorang pada perilaku yang leluwihan, berlebihan dalam mengejar dunia. Penggubah Wedatama menawarkan solusi untuk mengatasi hal tersebut, yakni tiga hal: berpegang teguh pada syariat agama, lelaku tirakat dengan menahan hawa nafsu dan mengasingkan diri untuk mencapai ma’rifat.

Dan di jaman ini, tiga hal tersebut juga kurang populer, terutama dua yang terakhir. Itu dia sadari sejak semula seperti terangkum dalam bait ini. Dan juga disadari oleh yang mengkajinya di sini. Tetapi hal baik mesti disampaikan, sebagai kewajiban orang yang tahu. Adapun hasilnya, terserah kepada Allah sebagai pemilik segala kehidupan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/15/kajian-wedatama-32-aywa-kongsi-njunjurkenkapti/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...