Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (25): Masih Sibuk Cari Nafkah

 Bait ke-25, Bab Sinom, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Nanging enak ngupa boga,

Rehne ta tinitah langip,

Apata suwiteng nata,

Tani tanapi agrami,

Mangkono mungguh mami,

Padune wong dhahat cubluk,

Durung weruh cara Arab,

Jawaku wae tan ngenting,

Parandene paripaksa mulang putra.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia.

Namun masih harus mencari nafkah,

Karena tercipta sebagai orang yang lemah,

Bisa mengabdi pada raja,

Bertani ataupun berdagang,

Begitulah menurut pendapat saya,

Itu karena saya orang bodoh,

Belum mengerti tatacara di tanah Arab,

Sedangkan pengetahuan tatacara Jawa saja tak memadai,

Namun memaksa diri mendidik anak.


Kajian per kata:

Nanging (namun) enak (yang nyaman, kiasan untuk kata harus) ngupa (mencari) boga (makan, nafkah). Namun masih harus mencari nafkah.

Ini sambungan dari bait sebelumnya, bahwa meniru perilaku hidup Kanjeng Nabi sebenarnya dapat mendatangkan rahmat, tetapi masih harus mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan.

Rehne (karena) ta tinitah (tercipta sebagai ) langip ( laif, dari kata dhaif, orang lemah, miskin). Karena tercipta sebagai orang yang lemah, jadi masih harus mencari nafkah untuk hidup.

Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa meniru Nabi menjadi sangatr sulit, karena kita masih disibukkan perkara mencari nafkah. Sedangkan nabi sudah sampai pada maqom tidak memikirkan nafkah lagi, melainkan hanya menerima rejeki hari itu untuk hari itu juga. Lha pemahaman kita tentang hidup belumlah setinggi itu. Kita masih orang yang lemah dalam berkeyakinan dan secara ekonomi juga sulit.

Apata (bisa berupa) suwiteng (mengabdi) nata (raja, menjadi pegawai negeri). Bisa mengabdi pada raja, menjadi pegawai negeri. Tani (bertani) tanapi (ataupun) agrami (berdagang). Bertani atau berdagang.

Bekerja dengan menjadi pegawe negeri, yang berarti akan sangat sempit waktu untuk beribadah. Atau bekerja menjadi petani maupun berdagang, akan lebih-lebih sempit lagi waktu untuk beribadah sesuai teladan Nabi.

Mangkono (begitulah, yang demikian) mungguh (menurut) mami (pendapat saya). Begitulah menurut pendapat saya.

Dengan demikian mencontoh kehidupan Nabi hendaklah dilakukan semampunya, agar keduanya (ibadah dan bekerja) sama mendapat perhatian. Itulah pendapat saya (pengarang kitab Wedatama ini).

Padune (itu karena) wong (orang) dhahat (sangat) cubluk (bodoh). Itu karena saya orang sangat bodoh. Durung (belum) weruh (melihat, mengerti) cara (tatacara kehidupan) Arab (orang Arab). Yang belum mengerti tatacara kehidupan orang di Arab sana.

Pendapatku tadi tidaklah mutlak benar, karena saya adalah orang yang bodoh, tidak mengerti tentang tatacara perikehidupan orang Arab. Ini adalah pernyataan penulis kitab Wedatama yang rendah hati. Walau beliau mempunyai pendapat tentang bagaimana seharusnya mencontoh kehidupan nabi, namun pendapatnya tidak diklaim sebagai kebenaran mutlak, malah beliau menyatakan kurangnya pengetahuan tentang hal itu. Sebuah sikap ilmiah yang mesti dicontoh generasi sekarang.

Jawaku wae (sedangkan jawaku saja) tan (tidak) ngenting (memadai). Sedangkan pengetahuanku tentang tatacara Jawa saja tak memadai.  Parandene (namun) paripaksa (memaksakan diri) mulang (mendidik) putra (anak-cucu).

Sedangkan terhadap pengetahuan tatacara yang baik menurut budaya Jawa saja pengetahuanku tak memadai. Namun memaksakan diri mendidik anak cucu, lewat penulisan kitab ini.

Inilah pernyataan yang rendah hati, merasa bahwa walau sudah berkeras usaha namun masih ada kekurangan. Semoga sikap rendah hati ini bisa kita contoh di kemudian hari.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/12/kajian-wedatama-25-masih-sibuk-cari-nafkah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...