Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Gugon Tuhon: Makna, Tujuan dan Beberapa Contohnya

Disusunnya kajian Gugon Tuhon ini merupakan upaya untuk melestarikan kearifan lokal orang Jawa dalam memandang dunia. Sebagian masyarakat tidak mengerti makna dari gugon tuhon dan menganggapnya klenik bahkan dianggap mengandung unsur sirk. Yang demikian itu tidak benar. Gugon tuhon ada sebagai respon terhadap kebutuhan untuk mendidik generasi muda agar mempunyai sikap yang baik dalam perilaku sehari-hari.

Namun karena anak-anak belum mampu berpikir rasional cara untuk mengarahkan mereka kepada perbuatan baik adalah melalui gugon tuhon. Gugon tuhon sendiri berasal dari kata gugu dan tuhu, artinya diturut dan dipatuhi tanpa tanya lagi. Oleh karena itu terhadap gugon tuhon anak-anak harus patuh dan tidak boleh bertanya, tetapi jelas hal itu tidak mungkin karena sifat anak-anak adalah penasaran dan selalu ingin tahu.

Orang-orang zaman dahulu kemudian membuat penjelasan singkat tentang apa yang terjadi jika melanggar gugon tuhon tersebut. Misalnya larangan; aja nglungguhi bantal, kemudian diteruskan dengan akibatnya, mundhak udunen. Udunen adalah penyakit bisul yang besar dan menyakitkan. Anak-anak pasti takut kalau kena udunen ini maka kemudian antara percaya dan tidak percaya, mereka patuh terhadap larangan itu.

Mungkin sebagian pembaca menilai kalau orang-orang dahulu sengaja berbohong dengan membuat gugon tuhon ini. Bisa juga memang begitu, tetapi melarang seseorang agar tidak melakukan sesuatu dengan cara menakut-nakuti adalah cara yang paling efektif. Dan sampai tua pun kita tidak berbuat jahat juga karena takut neraka bukan?

Memang bisa saja orang tua menjelaskan mengapa seseorang tidak boleh duduk di atas bantal. Namun jelas bahwa penjelasannya akan panjang dan si anak mungkin sulit untuk mengerti. Cara yang paling efektif adalah menakuti mereka dengan akibat yang sering mereka lihat. Dengan harapan agar si anak kelak jika sudah besar dapat mengerti sendiri mengapa hal itu dilarang. Yang penting mereka sudah terbiasa melakukannya.

Dalam kajian ini kami sertakan 50 contoh gugon tuhon yang beredar dalam masyarakat. Materi gugon tuhon tersebut kami ambil dari buku Serat Gugon Tuhon karya R. Prawirawinarsa dari Yogyakarta, cetakan Papirus, Betawi, 1911. Arti dan penjelasan oleh pengkaji. Selamat membaca.

Lima puluh contoh gugon-tuhon dalam masyarakat Jawa:


Gugon Tuhon (1): Aja sok lungguh ing bantal, mundhak lara wudunên.

Artinya: jangan duduk di atas bantal, nanti bisa sakit bisul.

Bantal adalah peralatan untuk tidur, gunanya untuk menyangga kepala. Bagi orang Jawa kepala itu bagian dari tubuh yang dimuliakan. Orang Jawa akan marah apabila kepala mereka disentuh sembarangan oleh orang lain, apalagi oleh anak-anak. Padahal kalau duduk di atas bantak berarti menempatkan bantak di bawah pantat, bagian tubuh yang dianggap tidak pantas dan tempatnya di belakang. Ini jelas mengurangi penghargaan terhadap kepala. Duduk di atas bantal adalah perbuatan yang sangat tidak sopan, kurang ajar dan tidap patut dikerjakan. Karena menerangkan hal-hal tentang etika terhadap anak-anak itu sulit maka orang-orang zaman dahulu kemudian menakuti mereka dengan penyakit bisul. Cara ini lebih efektif bagi anak-anak dan menghindari pidato yang menjemukan bagi mereka.


Gugon Tuhon (2): Aja sok nêkuk bantal, mundhak ora ilok.

Artinya: jangan menekuk bantal, tidak elok.

Tidur atau hanya sekedar berbaring kalau bantalnya ditekuk maksudnya agar posisi kepala lebih tinggi agar terasa nyaman. Namun tidur dengan posisi kepala lebih tinggi itu tidak baik. Leher menjadi tertekuk sehingga aliran darah ke kepala tidak lancar. Kalau terlalu lama dalam posisi ini kepala bisa pusing, leher bisa tengeng. Kalau bernapas pun susah sehingga kalau tertidur dalam posisi ini bisa ngorok. Dan juga bantal bisa cepat rusak dan kempes.

Kalau menerangkan hal yang begitu rumit ini kepada anak kecil tentu sulit. Namun anak kecil butuh penjelasan yang ringkas dan efektif sehingga mereka patuh. Maka lahirlah gugon tuhon ini. Kata ora ilok artinya tidak elok, sangat tidak pantas dikerjakan.


Gugon Tuhon (3): Aja sok jagjagan ana ngambèn, mundhak ora ilok.

Artinya: jangan sampai berlarian di tempat tidur, tidak elok.

Jagjagan adalah berdiri atau berlarian di tempat tidur. Tempat tidur adalah perabot untuk tidur. Kalau di zaman dahulu tempat tidur tidak terletak di kamar, tapi juga di ruang keluarga.  Hanya tempat tidur utama saja yang terletak di kamar. Anggota keluarga lain, yakni anak-anak tidur di ruang keluarga beramai-ramai. Maka, selain untuk tidur dipan di ruang keluarga juga untuk duduk-duduk bersantai. Kalau berlarian di atasnya maka akan berantakan. Kasur selimut bisa kusut dan kalau tidak kuat gelagar penyangga bisa patah. Jagjagan juga merupakan perbuatan yang tidak sopan, tidak menghormati pemilik tempat tidur. Apalagi kalau kaki kotor oleh debu dan kotoran lain, tempat tidur bisa lecek dan kumal.

Namun menerangkan hal itu kepada anak-anak juga tidak mudah, maka dibuatlah gugon tuhon seperti di atas.


Gugon Tuhon (4): Yèn mapan turu aja nganti gupak upa, mundhak ngimpi ditampêl lintah.

Artinya; kalau tidur jangan sampai terkena upa, nanti mimpi ditempel lintah.

Upa adalah butiran nasi. Lintah adalah hewan yang menjijikkan, juga menakutkan karena bisa menghisap darah. Kalau sudah menempel di kulit sukar dilepaskan. Jangankan anak-anak, orang tua pun jijik dan takut dengan lintah ini. Membayangkan lintah saja bisa membuat bulu kuduk merinding karena jijik. Maka mimpi ditempel lintah juga merupakan mimpi buruk.

Gugon tuhon ini mempunyai maksud agar anak-anak membiasakan diri untuk menjaga kebersihan sebelum tidur.


Gugon Tuhon (5): Aja sok turu malang-megung, mundhak ora ilok.

Artinya; jangan tidur malang megung, tidak elok.

Seperti yang sudah kita ketahui, orang Jawa zaman dahulu seringtidur bersama-samaantaraanggota keluarga. Jadi kalau tidurnya malang megung atau melintang di tempat tidur maka akan memenuhi tempat tidur. Bisa juga menendang temannya. Bisa juga terjatuh dari tempat tidur.

Gugon tuhon ini membiasakan agar anak-anak tertib dalam tidurnya. Tidak berjumpalitan ke sana ke mari, mengganggu teman tidurnya.

Gugon Tuhon (6): Aja sok turu nganggo bantal dhuwur, iku anggêdhèkake kamuktèn, besuk bojone mundhak brewok.

Artinya: jangan tidur dengan memakai bantal yang tinggi (disusun), itu membesarkan kesejahteraan, kelak suaminya brewokan. Anggedhekake kamukten maksudnya berperilaku seperti orang yang sudah sejahtera.

Gugon tuhon ini maksudnya sama dengan gugon tuhon no: 2, yakni agar posisi leher waktu tidur tidak menekuk yang bisa berakibat sirkulasi darah ke otak tidak lancar. Selain itu juga tidur dengan bantal tinggi pasti dengan cara menyusun beberapa bantal. Karena di zaman dahulu anak-anak sering tidur beramai-ramai dan biasanya keluarga Jawa anaknya banyak, memakai beberapa bantal akan membuat anak-anak yang lain tidak kebagian bantal.


Gugon Tuhon (7): Aja sok mangan ana paturon, mundhak lara gudhigên.

Artinya: jangan makan di tempat tidur, nanti  bisa sakit gatal.

Gudhig adalah penyakit gatal-gatal di kulit yang membuat penderitanya terlihat jorok dan kotor. Bagi sebagian orang menjijikkan. Penyakit ini sering dikaitkan dengan kebiasaan hidup ceroboh. Maka gugon tuhon ini pun bermaksud demikian, yakni membiasakan anak hidup bersih. Makan dan minum di tempat tidur bagi anak-anak pasti akan membuat sebagian makanan tercecer di tempat tidur, juga kadang sebagian minuman tumpah. Jelas akan membuat hewan-hewan seperti semut dan lainnya datang. Ini membuat tempat tidur kumuh dan tidak sehat.


Gugon Tuhon (8): Aja mêmangan karo teturon, mundhak adoh malaekate.

Artinya: jangan makan-makan sambil tiduran, bisa dijauhi malaikat.

Maksud gugon tuhon ini sama seperti no 7, agar terbiasa hidup bersih. Bagi orang Jawa malaikat adalah pembawa berkah, petunjuk dan rezeki. Dijauhi malaikat akan membuat hidup seseorang susah dan jauh dari petunjuk. Hidup jadi menderita secara jasmani dan susah hatinya.

Maksud dari gugon tuhon ini adalah membiasakan untuk hidup dengan adab yang baik. Makan dan minum dengan posisi tiduran kurang memenuhi tatakrama atau etika. Orang yang kurang tatakrama tentu jauh dari malaikat. Selain itu makan dengan posisi tidur apalagi sambil tengkurap membuat aliran makanan dari mulut sampai perut tidak lancar. Tenggorokan harus bekerja ekstra agar makanan sampai ke perut. Keadaan ini tidak baik bagi kesehatan.

Gugon Tuhon (9): Aja sok mangan nyôngga ajang, pincuk, takir, godhong lan sêjene, mundhak kêmaga

Artinya: jangan makan dengan menyangga piring (atau tempat makan lainnya), nanti mendapat kekecewaan.

Tempat makan tradisional zaman dahulu ada bermacam seperti: pincuk, terbuat dari daun pisang yang dilipat kemudian ditusuk dengan biting (tulang daun kelapa). Takir, daun pisang yang dibentuk seperti kotak, diperkuat dengan biting. Semua tempat makan di atas sangat rawan jatuh. Jika tersenggol sedikit saja bisa tumpah isinya.

Adapun arti kemaga adalah mendapat kecewa, menyesal kemudian. Kalau makanan yang hanya sedikit tadi tumpah maka acara makan menjadi tidak tuntas, padahal perut masih lapar. Yang terjadi kemudian pasti akan sangat kecewa, jengkel, marah dan menangis. Agar yang demikian tidak terjadi maka muncul gugon tuhon ini. Tujuannya agar anak-anak makan di meja makan, agar bisa tuntas makannya.


Gugon Tuhon (10): Yèn nêngah-nêngahi madhang aja sok ngombe, iku dibasakake anggêdhèkake kamuktèn

Artinya: kalau sedang makan jangan diselingi minum, itu membesarkan kesejahteraan (bergaya sok sejahtera).

Orang yang makan kadang mengalami kesereten, yakni sulit menelan karena terlalu semangat ketika makan. Kesereten bisa karena akibat dari cara makan yang njuju, yakni memasukkan makanan ke mulut sebelum makanan yang ditelan sebelumnya sampai ke perut. Akibatnya makanan berhenti di tenggorokan. Itulah kesereten.

Obat dari kesereten adalah dengan minum air. Dengan demikian anak menjadi minum air di tengah-tengah makan. Buat anak kecil ini menjadi kebiasaan tidak baik. Juga bisa membuat anak hanya kenyang air saja, sedangkan makanan besarnya menjadi tidak habis. Orang-orang tua tidak menghendaki yang demikian, maka dibuatlah gugon tuhon ini.

Tujuan dari gugon tuhon ini agar anak tidak tergesa-gesa dalam makan, sehingga njuju. Jika ada gugon tuhon ini, anak berusaha agar tidak minum di tengah makan. Sehingga makannya menjadi pelan-pelan.

Inilah beberapa gugon tuhon yang sering kita dengar dari para orang-orang terdahulu. Semua mempunyai maksud yang baik. Hanya saja memang disampaikan dengan cara yang sesuai dengan zamannya. Kalau kita menilai dari sudut pandang zaman kini mungking terasa janggal dan aneh. Semua terpulang kepada masing-masing. Paramenkawi hanya mengupas dari sisi maksud dan tujuan, agar para anak-anak muda di zaman kini bertambah wawasan tentang kebudayaan leluhur mereka.


Gugon Tuhon (11): Yèn madhang aja sok nyisa, mundhak mati pitike.

Artinya: kalau makan jangan sampai menyisakan makanan, nanti ayammu mati.

Kalau anak-anak makan dan tidak habis, maka sisa makanan menjadi makanan ayam. Dahulu hampir setiap rumah mempunyai piaraan ayam. Memang kegunaan ayam adalah untuk menghabiskan makanan sisa agar tidak terbuang percuma. Namun terhadap anak-anak orang tua mengajarkan bila sisa makanan diberikan kepada ayam, maka ayam tersebut bisa mati. Maksud dari gugon tuhon ini adalah agar anak-anak tidak menyisakan makanan mereka. Agar mereka selalu menghabisakan makanannya. Karena kalau tidak habis nanti sisa makanan dibuang di kebun, bisa-bisa termakan oleh piaraan mereka dan ayam yang memakannya mati.


Gugon Tuhon (12): Yèn nêngahi mamah, nanêdha aja cêcaturan. Mundak kêsêlak.

Artinya: kalau sedang makan, jangan sambil berbicara. Nanti bisa tersedak.


Soal ini sudah jelas dan sesuai dengan pengetahuan kita selama ini. Kalau makan sambil berbicara makanan yang ditelan bisa salah jalan ke saluran jalan napas. Akibatnya akan tesedak.

Selain itu sebenarnya ada maksud lain, yakni agar anak tidak bicara di waktu makan. Karena suara bicara seseorang yang makan menjadi tidak jelas, sehingga maksudnya tidak tertangkap sesuai keinginan yang berbicara. Apalagi anak-anak banyak maunya, kadang kalau orang tua tidak mengerti maksud pembicaraannya si anak bisa jengkel dan kemudian menangis. Maka kalau mau bicara telan dulu makanannya.

Tentu saja hal ini beda dengan orang dewasa yang sudah bisa mengatur kapan harus bicara dan kapan harus menelan. Bagi orang tua makan sambil bicara malah banyak manfaatnya. Bisa dipakai untuk sarana pendekatan bagi yang punya gebetan. Bisa menjadi sarana negosiasi politik bagi para poli tikus. Dan bisa mencairkan acara transaksi bagi para pedagang sapi, biar urusannya mulus-lus.


Gugon Tuhon (13): Aja madhang ana petengan mundhak diiloni setan.

Artinya: jangan makan di tempat gelap, nanti bisa diikuti syetan.


Makan di tempat gelap tidak baik dilakukan karena acara makan menjadi tidak nyaman. Juga kalau ada sesutu di makanan tidak dapat terlihat. Misalnya, kok ndilalah ada kecoa nemplok di piring, malah ikut terbawa ke mulut. Hoek!

Selain itu jika pakai sendok pasti makannya juga tidak bisa bersih dan rapi. Banyak yang tumpah dan mengotori ruangan. Tatakrama makan juga menjadi tidak terkontrol, asal masuk ke mulut saja. Kalau dipikir memang benar larangan itu, ada banyak syetan kalau makan di tempat gelap. Karena watak syetan selalu menghalangi sesuatu menjadi baik.


Gugon Tuhon (14): Aja sok nucup banyu kêndhi, mundak ora ilok

Artinya: jangan minum langsung air dari kendi, tidak elok.

Bagian kendi yang mengucurkan air ada di samping, pada pipa kecil yang memanjang. Air bisa mancur dari pipa keluar itu sehingga kadang orang langsung memasukkan pipa ke mulut. Istilahnya nyucup. Ini sebenarnya kurang baik. Pertama, tidak sopan dan meninggalkan bekas mulut ke orang lain yang minum setelahnya. Kedua, sering kali ada hewan kecil di dalam kendi, seperti semut kecoa, ulat atau hewan melata lain yang ikut minum dan tinggal di kendi. Kalau kita langsung minum dan tiba-tiba ada kecoa di dalamnya dan langsung tersedot ke mulut, bagaimana? Hoek! Jijik kan?

Oleh karena itu minum dari kendi ya sebaiknya memakai gelas. Kalau misalnya dalam keadaan darurat, seperti ketika di tengah sawah, maka tindakan yang masih ditolerir adalah mengucurkan air kendi dan ditadah langsung ke mulut, tanpa bibir kita menyentuh pipa kendi. Istilahnya adalah nglangga atau nggogok. Dengan cara demikian kita tidak meninggalkan bekas mulut di pipa kendi. Namun teknik minum seperti ini sulit dan rawan tersedak. Ini pun juga tidak dianjurkan, apalagi untuk anak-anak. Sebaiknya hanya dipakai dalam keadaan darurat saja.


Gugon Tuhon (15): Aja sok anglôngga, (anggogok) banyu kêndhi, mundhak ora ilok.

Artinya: jangan nglangga atau nggogok air kendi, tidak elok.

Cara minum nglangga atau nggogok sudah diterangkan dalam bahasan sebelumnya. Cara ini tidak dianjurkan, bahkan sebaiknya dihindari dalam keadaan normal. Karena cara ini adalah cara minum yang tidak sopan. Mulut menengadah ke atas mirip corong minyak, mata melotot karena memperhatikan aliran air, dan rawan sekali kelebihan air masuk ke mulut sehingga tersedak.

Selain itu minum cara seperti itu menimbulkan bunyi gluk-gluk, seperti bunyi kuda ketika minum air di kolam. Saru kalau minum seperti ini sampai dilihat orang.


Gugon Tuhon (16): Yèn mangan sêmôngka, sawo lan sanèsipun ingkang mawi isi alit-alit, aja nganti katut isine, mundak thukul ana ngêmbun-êmbunan.

Artinya: kalau makan semangka, sawo dan sebagainya, yang buahnya ada isinya kecil-kecil, jangan sampai ikut termakan. Nanti bisa tumbuh di ubun-ubun.

Tentu saja ini tak masuk akal, tetapi efektif untuk menakuti anak kecil. Maksudnya agar anak berhati-hati jangan sampai biji-bijian kecil tadi ikut tertelan. Karena perut bisa kesulitan mencerna biji yang keras tadi. Bisa-bisa perut terasa sakit dan sebah. Diharapkan kalau anak takut akan lebih berhati-hati dalam memakan buah-buahan tadi.


Gugon Tuhon (17): Aja sok turu mêngkurêp, mundhak pangling sing momong.

Artinya: jangan tidur tengkurap, nanti tidak mengenali pengasuhnya.

Tidur tengkurap memang tidak baik. Karena perut tertindih berat tubuhnya sendiri. Padahal rongga perut selalu penuh aktivitas pencernaan, sehingga bisa terganggu. Orang tidur tengkurap juga pasti kepalanya miring ke kanan atau ke kiri. Ini bisa mengakibatkan sakit leher atau tengeng.

Bagi anak kecil tidur tengkurap memang nyaman, tetapi kalau terbiasa sampai besar tidak baik. Bantal bisa kotor oleh air liur jika si bocah sampai ngiler.


Gugon Tuhon (18): Aja sok turu nganggo klambi, apa kowe ora wêruh yèn wong mati nganggo klambi, iku klambine banjur dikèkrèk.

Artinya: jangan tidur memakai baju, apa kamu tidak takut kalau orang mati memakai baju, mencopotnya dengan disobek.

Klambi di sini adalah pakaian resmi, seperti kemeja, seragam atau jas. Kalau tidur tidak dianjurkan memakai pakaian tersebut. Pakai saja kaos atau piyama, baju khusus tidur. Tujuan gugon tuhon ini agar anak disiplin dalam berpakaian. Tidak sembarangan memakai baju atau kemproh. Tujuan lain agar pakaian resmi tadi awet, tidak cepat lebus dan kumal. Anak juga terbiasa merawat baju dengan baik.


Gugon Tuhon (19): Aja turu krukup, mundhak pangling sing momong.

Artinya: jangan tidur dengan menutup seluruh tubuh.

Orang yang tidur dengan menutup seluruh tubuh tanpa kecuali, termasuk kepala, tampak seperti mayat. Yang melihat pun takut. Selain itu tidur dengan menutup seluruh tubuh juga membuat sulit bernapas. Udara di dalam selimut tidak lancar menglir keluat sehingga tubuh kekurangan oksigen. Napas menjadi tersengal-sengal karena keplepeken, kurang pasokan osksigen ke dalam darah. Esok harinya badan bisa sakit dan tidak enak rasanya.


Gugon Tuhon (20): Aja sok sasêrit ing wayah bêngi, iku iku andhandhang matine wong tuwa.

Artinya: jangan berserit di malam hari, itu mempercepat kematian orang tua.

Serit adalah sisir yang mata sisirnya sangat rapat. Juga sering disebut suri. Gunanya untuk mencari kutu di kepala. Dengan menyisir pakai serit kutu-kutu akan tersangkut di serit sehingga mudah diambil.

Menyisir dengan serit di malam hari tidak dianjurkan karena kutu malah bisa menjalar ke mana-mana. Bisa juga jatuh ke baju dan menular ke orang lain. Selain itu juga tidak akan kelihatan kalau mendapat kutu, karena saking kecilnya. Mengenai hubungannya dengan kematian orang tua, sungguh tidak masuk akal sama sekali. Namun memang biasanya gugon tuhon bersifat seperti itu. Akibatnya sering tidak masuk akal.


Gugon Tuhon (21): Aja lungguh ana têngah lawang, mundhak jodhange bali.

Gugon tuhon di atas untuk anak perempuan, untuk anak lelaki: mundhak siyal olèhe golèk bojo.Artinya: jangan duduk di tengah pintu, nanti jodhangnya bisa kembali.

Jodhang adalah nampan berisi seserahan untuk pengantin wanita. kalau seorang anak gadis biasa duduk-duduk di tengah pintu, kelak bisa-bisa jodhang atau seserahan kembali di jalan. Artinya seserahan itu tidak sampai ke tempat mempelai wanita. Bagi anak lelaki ancamannya adalah sulit mendapat jodoh.

Kebiasaan duduk ditengah pintu ini memang sering terlihat dilakukan para gadis. Apalagi kalau sambil ngerumpi di pintu luar yang elevasi lantainya berbeda, serasa duduk di kursi. Karena pintu adalah sarana untuk lalu lintas di rumah, kalau duduk-duduk di tengah pintu bisa menganggu orang yang akan lewat. Dan ini sangat menjengkelkan. Maka orang-orang tua membuat gugon tuhon seperti di atas.


Gugon Tuhon (22): Yèn nyapu ora rêsik, besuk bojone brewok.

Artinya: kalau menyapu tidak bersih, kelak mendapat suami brewokan.

Seorang lelaki brewok sebenarnya keren, tetapi mungkin dahulu tidak disukai. Sehingga dipakai menakut-nakuti anak gadis. Maksud dari gugon tuhon ini adalah agar anak-anak gadis terbiasa menyapu dengan rapi, bersih tanpa meninggalkan sisa kotoran. Keinginan orang tua agar si anak dalam melakukan pekerjaan dilakukan dengan sempurna. Kalau menyapu tidak bersih akan mindhogaweni, harus mengulang dua kali pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dalam satu waktu. Hal ini kalau dibiarkan akan menjadi kebiasaan kelak ketika dewasa.


Gugon Tuhon (23): Aja ngrusuhi wong adang, nèk dandange rubuh mundhak dipangan Bathara Kala.

Artinya: jangan menganggu orang menanak nasi, kalau dandangnya roboh nanti dimakan Bathara Kala.

Adang adalah menanak nasi dengan cara dikukus. Alat yang dipakai adalah dandang, panci besar dan tinggi. Di atas dandang diletakkan kukusan berbentuk kerucut terbuat dari anyaman bambu. Cara masak adang ini membuat susunan dandang dan kukusan menjadi tinggi, rawan roboh jika tersenggol. Menanak nasi dengan cara adang ini umumnya dilakukan di rumah orang yang punya hajat. Nasi hasil dari adang lebih pulen dan awet. Rasanya pun lebih nikmat.

Jika sampai dandang roboh maka akan menderita kerugian yang besar. Selain jumlah nasi dalam kukusan lumayan banyak, juga karena adang memerlukan waktu yang lama. banyak pekerjaan menjadi sia-sia kalau sampai dandang roboh. Juga waktu yang diperlukan takkan cukup, semisal kalau adang pada rumah orang yang punya hajat. Bisa-bisa waktu tamu  sudah datang nasi belum masak. Maka anak-anak dilarang berkeliaran di samping orang adang.


Gugon Tuhon (24): Aja sok mundhak wong tuwa, mundhak marahi lalèn.

Mundhak artinya menyentuh bagian tubuh dari pundhak (bahu) ke atas. Dikatakan kalau seorang anak menyentuh bahu orang tua nanti bisa menjadi pelupa.

Sering kita lihat kalau dua orang berjalan beriringan, dan keduanya akrab, kemudian salah satunya merangkul pundhak (bahu) yang satunya. Yang demikian itu jangan dilakukan oleh seorang anak muda kepada yang lebih tua. Menyentuh bagian atas tubuh seorang tua bagi seorang anak dalah perbuatan yang tidak pantas, alias kurang ajar. Sikap itu terkesan meremehkan. Dalam budaya Jawa disebut nranyak, tanda kurang menghargai terhadap orang tua. Mungkin maksudnya baik, yakni menunjukkan keakraban, tetapi kalau dilakukan terhadap orang tua menjadi tidak elok. Maka munculah gugon tuhon seperti di atas.


Gugon Tuhon (25): Aja sok malerok, besuk ana kanane, matane mundhak dicukil malaekat, andolèh (molèr) têkan ing githok.

Artinya: jangan sekali-kali melerok, besok di akhirat matanya dicungkil malaikat, sampai menjulur ke tengkuk.

Larangan ini ditujukan kepada anak-anak gadis. Orang yang melerok atau melihat dengan melirik dan mata melebar. Biasanya karena dua sebab. Pertama, karena marah atau tidak berkenan hatinya. Kedua, dengan maksud menggoda pada lelaki. Kedua sebab itu tidak baik. Orang yang melerok karena marah menandakan kurangnya pengendalian diri. Sedangkan gadis yang melerok dengan maksud menggoda lelaki, sangat-sangat tidak pantas. Gadis yang mempunyai kebiasaan seperti itu terkesan sebagai gadis murahan, atau gampangan.


Gugon Tuhon (26): Aja sok mèncêp, besuk ana kanane lambene mundhak digunting malaekat.

Artinya: jangan memonyongkan bibir, nanti dia akhirat bibirnya digunting malaikat. Gugon tuhon ini mirip dengan nomor sebelumnya, hanya beda antara mata dan bibir.

Mencep adalah memonyongkan bibir. Biasanya juga pelakunya perempuan. Terutama ketika digoda oleh lelaki. Sikap demikian tidak baik karena tidak menyelesaikan masalah. Lelaki yang menggoda pun malah senang melihatnya sehingga terpancing untuk mempermainkannya. Sebagai wanita hendaknya menjuhi sikap ini, sebagai ganti bersikaplah yang anggun dan tenang.


Gugon Tuhon (27): Aja sok ngliling bayi saka dhuwur sirah, mundhak pangling sing momong.

Artinya: jangan mengajak bercanda bayi dari atas kepala, nanti tidak mengenali pengasuhnya.

Ngliling bayi adalah mengajak bercanda dengan maksud agar si bayi tertawa. Maksud dari atas kepala adalah jika bayi terbaring dengan kepala di utara, yang mengajak bercanda dari sebelah utara bayi. Dengan posisi ini kepala bayi menjadi ndangak mengikuti posisi orang yang mengajak bercanda.

Bagi bayi yang pengihatannya belum sempurna melihat dengan posisi seperti ini akan kesulitan. Kalau melihat dengan posisi demikian wajah orang kelihatan terbalik. Wajar saja kalau kemudian tidak mengenali pengasuhnya. Maksud dari gugon tuhon ini adalah agar mata bayi berkembang normal dengan membiasakan melihat sesuatu secara wajar.


Gugon Tuhon (28). Aja sok madhang ajang cêthing, mundhak ngêntèk-ngêntèkake kamuktèn.

Artinya: jangan memakai bakul nasi untuk makan, nanti menghabiskan kesejahteraan.

Kadang kalau bakul nasi isinya tinggal sedikit kita sekalian pakai sebagai tempat makan. Itung-itung hemat mencuci piring. Sebenarnya tidak masalah kan? Namun cara seperti itu tidak sopan. Lebih-lebih kalau sampai dilihat orang. Akan terkesan pelakunya sebagai orang yang tamak dan rakus. Apa tidak cukup makan dengan satu piring saja?

Adapun ancaman ngentekake kamukten maksudnya kalau kita berbuat yang tidak pantas nanti hidup kita akan mengalami kesulitan, bahasanya kesejahteraan hidup akan habis (ngentekake kamukten). Kamukten dari kata mukti yang artinya hidup berkecukupan pangan (dan kebutuhan lainnya), atau sejahtera.


Gugon Tuhon (29): Aja sok ngadêg wuda ana paturon, mundhak ngadohake malaekat.

Artinya: jangan berdiri telanjang di tempat tidur, nanti malaikat menjauh.

Seringkali anak-anak kalau sehabis mandi tidak segera berpakaian. Malah berkeliaran ke sana kemari saling canda. Kadang juga sampai jagjagan di tempat tidur. Ini tentu tidak baik dan tidak sopan. Gugon tuhon ini mirip dengan yang telah disampaikan dalam uraian nomer 3 pada pos yang lalu.


Gugon Tuhon (30): Aja sok dhêmên ngreyab, mundhak kaya Bêthari Durga.

Artinya: jangan sering mengurai rambut, agar tak kelihatan seperti Bathari Durga

Dalam dunia pewayangan Bêthari Durga adalah ratu lelembut, syetan brekasakan yang berkeraton di hutan Setra Gandamayit. Durga digambarkan sebagai sosok raksesi (raksasa perempuan) yang mengurai rambut. Maka kalau ada anak gadis mengurai rambut setelah mandi, akan kelihatan seperti Bathari Durga, menakutkan.

Gugon tuhon ini mengajarkan agar anak-anak perempuan merapikan diri setelah mandi. Menyisir dan menggelung rambut mereka. Kalau zaman sekarang tidak model lagi rambut digelung, maka bila rambutnya panjang dikucir saja agar kelihatan rapi.


Gugon Tuhon (31): Aja sok dhêmên dhidhis, mundhak ngêdohake malaekat.

Artinya: jangan mencari kutu diri sendiri, nanti dijauhi malaikat.

Dhidhis adalah kegiatan mencari kutu di kepala sendiri. Tentu saja dilakukan dengan meraba-raba kepala saja, tanpa dapat melihat letak kutunya. Mungkin hanya meraba bagian yang terasa gatal dan berharp jari-jarinya yang menggaruk mengenai kutu itu.

Kegiatan dhidhis ini walau sepele tetapi tidak baik dilakukan. Membuat kesan pelakunya adalah orang malas, karena melakukan pekerjaan yang tingkat keberhasilannya kecil. Kalau niatnya menghilangkan kutu di kepala sendiri kan bisa memakai serit (suri).

Kegiatan dhidhis ini banyak dilakukan anak gadis. Juga sering dilakukan perempuan dewasa akibat kebiasaan sejak kecil. Para orang-orang tua berusaha mencegahnya dengan membuat gugon tuhon ini.


Gugon Tuhon (32): Yèn jungkatan aja ambuwang bodholan rambut saênggon-ênggon, besuk yèn ana kanane, mundhak ngribêdi ênggonmu mlaku munggah nyang suwarga.

Artinya: kalau bersisir jangan membuang rambut yang rontok di sembarang tempat, kelak di akhirat akan menghalangi ketika berjalan menuju surga.

Rambut yang rontok waktu bersisir sering kita temui di sembarang tempat. Di sudut0sudut ruangan, menempel di pakaian atau kadang malah mampir ke makanan. Tentu saja ini menimbulkan kesan jorok dan membuat jijik. Bayangkan kalau sedang makan tiba-tiba rambut ikut masuk ke mulut. Bisa eneg dan gumoh.

Oleh karena itu para orang tua membuat gugon tuhon ini. Tujuannya agar anak-anak gadis yang sering bersisir selalu menjaga kebersihan. Tidak membuang rambut yang rontok seenaknya.


Gugon Tuhon (33): Aja sok ngobong rambut mundhak ngambon-amboni.

Artinya: jangan sekali-sekali membakar rambut, nanti menimbulkan bau tak enak.

Gugon tuhon ini artinya sudah jelas. Rambut yang terbakar menimbulkan bau yang menyengat dan tidak enak. Mirip-mirip plastik yang terbakar. Jadi jangan sekali-kali membakar rambut.


Gugon Tuhon (34): Aja sok sôngga uwang, mundhak nyôngga susahe wong patang puluh.

Artinya: jangan bertopang dagu, nanti menanggung kesusahan empat puluh orang.

Bertopang dagu adalah bahasa tubuh dari orang yang sedang susah, kecewa atau menyesal. Jadi kalau tidak susah jangan sekali-kali melakukannya, nanti dikira susah beneran. Ini adalah ajaran yang penuh hikmat dari para orang tua di zaman dahulu. Jika hati tidak susah jangan sekali-kali melakukan sesuatu yang dilakukan orang yang sedang susah, karena bisa mengundang kesusahan datang. Sebaliknya malah dianjurkan, yakni jika sedang susah beneran bersikaplah seolah tidak susah, malah lakukan hal yang dilakukan orang ketika senang, maka susahnya akan hilang. Tentu saja maksudnya bukan kok terus tertawa sendiri, nanti dikira gila, tapi lakukan kegiatan lain. Misalnya dengan mengajak saya makan-makan di warung bebek goreng yang mak nyuss dekat pabrik gula itu…


Gugon Tuhon (35): Aja sok sadhakêp, mundhak diêdohi rijêki.

Artinya: jangan bersedekap, nanti dijauhi rejeki.

Bersedekap adalah bahasa tubuh orang yang susah, nganggur atau malas. Sangat dianjurkan untuk tidak bersedekap. Lebih baik kalau mencari kesibukan dengan melakukan hal-hal yang berguna. Atau membereskan pekerjaan yang ada, di sekitar kita sehari-hari. Orang-orang tua memang benar ketika mengatakan gugon  tuhon ini. Orang yang malas sudah pasti jauh dari rezeki.

Gugon tuhon ini mempunyai pengertian yang hampir sampai dengan nomor 34 yang telah diuraikan di atas. Prinsipnya, jangan meniru-niru perbuatan yang tidak baik, nanti bisa tumus (menjadi kenyataan).


Gugon Tuhon (36): Aja sok adus wayah têngange, mundhak mati tanggung

Artinya: jangan sekali-kali mandi di tengah hari, nanti bisa mati mendadak.

Tengange dari akronim kata tengah wayah srengenge, artinya waktu tengah hari. Saat ini cuaca sedang panas-panasnya. Banyak aktivitas membuat orang berkeringat. Kalau tiba-tiba mandi maka pori-pori tubuh menjadi menutup. Aliran keringan sebagai bagian dari proses metabolisme tubuh bisa tiba-tiba berhenti. Akibatnya si pelaku bisa sakit atau bahkan mati mendadak.

Gugon tuhon ini sebenarnya masuk akal. Hanya saja tetaplah disebut gugon tuhon karena alasan atau penjelasannya tidak disertakan. Jadi sifatnya harus dipercaya begitu saja.


Gugon Tuhon (37): Aja sok nginang utawa udud, besuk yèn pasah mundhak murub

Artinya: jangan sekali-kali nginang atau merokok, kelak kalau pasah gigi bisa menyala.

Kebiasaan nginang atau merokok sudah lama dipraktekkan orang Jawa. Ketika belum populer rokok pabrik pun mereka melinting tembakau sendiri, istilahnya rokok tingwe, nglinting dhewe. Lain halnya dengan nginang, kebiasaan ini justru lebih tua. Dahulu nginang menjadi gaya hidup hampir setiap orang, lelaki dan perempuan. Kalau ada orang tidak nginang malah dianggap kurang gaul. Namun bagi anak-anak nginang dan merokok tidak dianjurkan. Selain tidak pantas juga memakan biaya yang mahal. Padahal mereka belum produktif. Sebaiknya belajar dahulu. Inilah alasan timbulnya gugon tuhon ini.

Pasah yang dimaksud adalah meratakan gigi dengan pangur, sejenis gerinda. Tujuannya agar penampilannya menarik. Gigi kelihatan rapi dan rata. Pasah juga menjadi gaya hidup zaman dulu yang cukup populer. Kalau sekarang pasah tidak dianjurkan, karena merusak gigi.


Gugon Tuhon (38): Aja sok ngombe nganggo layah, besuk nèk ditontoni rupaa ayu dikayangapa kae iya dadi katon ala

Artinya: jangan sekali-kali minum dengan layah, kelak kalau engkau cantik tetap akan terlihat jelek.

Gugon Tuhon ini mengajarkan agar anak perempuan selalu cermat dalam tatakrama. Minun dengan layah itu tidak elok. Antara yang diminum dengan wadahnya terlalu besar wadahnya. Karena terkesan seperti orang rakus. gugon tuhon ini ditujukan kepada anak perempuan. Dalam versi anak lelaki ancamannya adalah nanti kalau sudah waktu menikah bisa ditolak perawan.


Gugon Tuhon (39): Aja sok nguyuh karo ngadêg, mundhak besuk ora kêna dikekahi

Artinya: jangan sekali-kali kencing sambil berdiri, nanti tidak bisa diakikahi.

Akikah di sini maksudnya adalah aqiqah, ritual penyembelihan kambing bagi anak yang baru lahir. Kebiasaan di zaman dahulu aqiqah sering dilakukan ketika anak sudah besar. Ada kepercayaan dalam masyarakat bahwa kambing yang disembelih nanti akan menjadi kendaraan di akhirat. kalau si anak yang diakikahi tadi sering kencing dengan berdiri nanti si kambing tidak mau dinaiki.

Ini adalah gugon tuhon, tidak perlu dinilai kebenarannya. Itulah cara orang Jawa merekayasa peristiwa sosial agar tujuannya tercapai, yakni membiasakan anak tidak kencing berdiri.


Gugon Tuhon (40): Aja sok dhêmên mamisuh, besuk ana kanane lambene mundhak digunting malaekat

Artinya: jangan suka mengumpat, kelak di akhirat bibirnya digunting malaikat.

Mengumpat atau mencela orang lain atau sekedar ngomong sendiri dengan perkataan yang jorok adalah perbuatan yang tidak baik. Anak-anak yang terbiasa melakukan itu kelak akan menjadi watak sampai tua. Juga akan menyangkut nama baik orang tuanya, dikira tidak bisa mendidik sopan santun. Cara ampuh agar mereka segan adalah dengan memberikan ancaman seperti di atas.


Gugon Tuhon (41): Aja sok dhêmên jothakan, mundhak dadi wong kapir

Artinya: jangan suka jothakan, nanti jadi orang kafir.

Jothakan adalah saling tidak menyapa antara dua orang yang semula kawan karib atau keluarga. Biasanya dilakukan setelah bertengkar. Ini adalah perbuatan yang tidak baik. Dalam bergaul dengan teman atau saudara berselisih itu biasa, bertengkar pun kadang tak bisa dihindari. Namun jangan kemudian saling mendiamkan satu sama lain. Selesaika setiap masalah secara baik dan biasakan untu menghargai perbedaan.

Lalu apa hubungannya dengan orang kafir? Kapir atau kafir adalah orang yang mengingkari petunjuk. Kalau seseorang diberi tahu dan sudah mengerti suatu kebenaran tetapi dia menutupi kebenaran itu atau mengingkarinya maka dia kafir. Jadi orang kafir adalah orang yang buruk perangainya. Jothakan adalah juga sifat buruk, dan hanya orang kafir yang pantas menyandang sifat itu.


Gugon Tuhon (42): Aja sok dhêmên nonton wong para padu, mundhak kêtempelan duraka.

Artinya: jangan suka melihat orang bertengkar, nanti ikut tertempel sifat durhaka.

Orang Jawa terkenal akan sikapnya yang santun dan lemah lembut. Suka menghindari konfontrasi. Namun apabila sudah tidak mampu menahan marah akan saling caci. Sikap buruk ini disebut padu atau paben. Ketika padu orang Jawa sudah kehilangan kejawaannya. Mencaci sambil berteriak-teriak. Kata-kata kasar pun keluar. Semua isi kebun binatang dibawa-bawa. Hal yang demikian jelas tidak baik kalau dilihat anak-anak. Maka muncullah gugon tuhon ini.

Melihat orang padu bagi anak-anak sangat tidak pantas bagi anak-anak. Mereka akan mendengar berbagai makian dan cacian orang dewasa yang kasar dan jorok. Secara tidak langsung melihat orang padu ibarat sedang belajar. Satu dua kosa kata terlarang pasti akan mereka ingat selalu. Apalagi padu adalah peristiwa yang dramatik, kenangannya akan lama ngendon di kepala. Jadi sebaiknya anak-anak memang dijauhkan dari orang padu.


Gugon Tuhon (43): Aja sok tumbak cucukan, mundhak dadi wong kapir.

Jangan berlaku tumbak cucukan, nanti jadi orang kafir.

Tumbak cucukan adalah tombak yang bisa mematuk, maknanya orang yang suka mengompori seseorang sehingga sakit hati kepada orang lain. Disebut juga sebagai tukang adu-adu. Orang yang berwatak tumbak cucukan ini suka sekali kalau ada orang bertengkar. Ini adalah sifat buruk yang hanya pantas disandang orang kafir. harap melihat definisi kafir sesuai kajian nomer 41 di atas.

Orang yang berwatak tumbak cucukan akan diciri sebagai orang yang tidak pantas dijadikan teman oleh siapapun. Maka gugon tuhon ini timbul, agar anak-anak menjauh dari watak buruk yang satu ini.


Gugon Tuhon (44): Aja sok dhêmên ngandhakake alaning uwong, mundhak cinathêt ing malaekat.

Artinya: jangan sekali-kali menceritakan keburukan orang lain, nanti dicatat malaikat.

Menceritakan keburukan orang lain atau ghibah adalah perbuatan yang sangat tercela. Itu menjadi larangan agama dan juga tidak disukai oleh orang lain, lebih-lebih orang yang keburukannya diceritakan. Bagi orang yang sudah paham, bila diajak membahas keburukan orang lain juga takkan senang. Orang yang suka menceritakan keburukan orang lain pada kita suatu saat juga bisa menceritakan keburukan kita kepada orang lain. Jadi orang seperti itu tidak usah diambil sebagai teman.

Kepada anak-anak, harus selalu diingatkan bahwa keburukan atau hal tak pantas apapun yang kita lakukan kepada orang lain maka akan ada catatan buruknya kelak. Malaikatlah yang mencatat. Gugon tuhon ini sepenuhnya benar, dari makna dan tujuannya.


Gugon Tuhon (45): Aja sok ngokop kokohan, mundhak pêtêng atine

Artinya: jangan makan langsung dari piring, nanti gelap hatinya.

Ngokop kokohan artinya makan atau minum langsung dari tempat makan semisal piring. Ini tidak sopan, apalagi  di dalam jamuan umum ketika disaksikan orang banyak. Makan seharusnya memakai sendok, atau bisa pakai tangan. Makan langsung dari tempat piring (ajang) lansung ke mulut menandakan suatu sifat rakus. Anak-anak jangan dibiasakan melakukan seperti itu, nanti kalau besar menjadi kebiasaan yang buruk.


Gugon Tuhon (46): Aja sok kakêcèh, mêngko bêngi nèk turu mundhak ngompol.

Artinya: jangan main-main air, nanti kalau tidur bisa ngompol.

Bermain air memang menyenangkan bagi anak kecil. Namun anak-anak sering tidak memperhatikan kebersihan. Kadang air kotor dari limbah pun dipakai bermain-main. Setelahnya juga tidak mencuci tangan langsung makan. Hal-hal yang tidak mengindahkan aturan kebersihan dapat memicu timbulnya penyakit seperti, penyakit kulit, kudis, kadas, bisul. Juga bisa memicu sakit perut kalau setelahnya tidak mencuci tangan dengan bersih. Gugon tuhon ini berusaha membatasi agar anak kecil tidak terlalu sering main air.

Mengenai hubungan main air dengan kebiasaan ngompol, apakah ada hubungannya? Biar dokter yang menjelaskan. Yang jelas orang-orang dahulu tujuannya agar anak-anak patuh. Inilah gugon tuhon. Kebenarannya tidak sepenting tujuannya.


Gugon Tuhon (47): Surup-surup aja adus wuwung, mundhak ngêlu.

Artinya: sore-sore jangan mandi keramas, nanti sakit kepala (pusing).

Walau disebut gugon tuhon yang satu ini tampak masuk akal. Mandi dikala sore hari membuat rambut basah dan sampai malam tidak kering, terutama bagi yang berambut panjang. Kepala menjadi dingin sebagian, sehingga aliran darah tidak seimbang. Ini bisa memicu sakit kepala. Selain itu rambut tidak kering sempurna sehingga berbau apek.


Gugon Tuhon (48): Aja sok mangan pêpanganan kang panas-panas, mundhak gêlis ompong

Artinya: jangan makan makanan yang panas, nanti cepat ompong.

Makan ketika makanan masih panas tidaklah baik. Kalau terlalu panas bisa mengakibatkan gigi ngilu dan selaput mulut terkelupas. Lidah bisa bengkak akibat mlonyoh, yakni kepanasan. Selain itu makan makanan panas juga kurang nyaman. Kadang harus dengan meniup agar terasa lebih dingin. Dan ini kurang baik. Kalau di jamuan resmi juga kurang elok dilihat orang banyak. Jadi anak-anak jangan dibiasakan makan makanan yang masih panas. Lebih baik ditunggu sebentar, hitung-hitung sambil melatih kesabaran.


Gugon Tuhon (49): Aja sok pêpanas, mundhak malêthèk gundhule

Artinya: jangan sering di tempat panas-panas, nanti retak kepalanya.

Tempat panas yang dimaksud adalah berjemur di bawah terik matahari. Bagi anak-anak ini kurang baik. Kulit bisa hitam dan mbengkerok, tubuh bisa dehidrasi sehingga kepala pusing dan pingsan. Mengenai ungkapan mlethek gundule, itu adalah ungkapan untuk menunjukkan suhu yang panas. Orang jawa sering bilang, “Wah panase kaya mlethekake gundhul!” Kalimat itu adalah ungkapan bahwa cuaca sedang panas sekali.


Gugon Tuhon (50): Aja sok tangi kêdhisikan pitik, mundhak sêbêl ing samubarang

Artinya: jangan sampai bangun kedahuluan ayam, nanti serba sial dalam segala hal.

Ayam bangun dan beranjak dari kandangnya sekitar jam 5 pagi. Kalau bisa sejak anak-anak dibiasakan untuk bangun pagi di waktu subuh, saat ayam belum bangun. Selain untuk shalat subuh juga bermanfaat untuk kesegaran. Di waktu pagi udara sedang bersih dan segar, itu baik untuk kesehatan. Dengan bangun pagi juga pekerjaan rumah dapat diselesaikan. Tidak buru-buru jika nanti punya urusan. Untuk anak-anak yang masih sekolah dapat diisi dengan hal-hal yang berguna, mengaji atau belajar sebelum bersiap berangkat sekolah.

Anak yang terbiasa bangun pagi pasti menjadi anak yang rajin dan tidak pemalas kelak.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2019/04/28/gugon-tuhon-makna-tujuan-dan-beberapa-contohnya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...