Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (30): Wenganing Rasa Tumlawung

Bait ke-30, Pupuh Sinom, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Kang wus waspada ing patrap,

Manganyut ayat winasis,

Wasana wosing jiwangga,

Melok tanpa aling-aling,

Kang ngalingi kalingling,

Wenganing rasa tumlawung,

Keksi saliring jaman,

Angelangut tanpa tepi,

Yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Yang sudah mengetahui caranya,

Menghayati aturan yang bijaksana,

Akhirnya inti pribadinya,

Terlihat nyata tanpa penghalang,

Yang menghalangi tersingkir,

Terbukalah rasa haru bercampur bahagia,

Terlihatlah segala keadaan,

Tampak jauh tak berbatas,

Itulah yang mendapat bimbingan Yang Maha Suci.


Kajian per kata:

Kang (yang) wus (sudah) waspada (mengetahui) ing (dalam) patrap (perilaku, cara-cara). Yang sudah mengetahui cara-caranya. Manganyut (menghayati) ayat (aturan) winasis (pengetahuan, bijaksana). Menghayati aturan yang bijaksana.

Yang dimaksud di sini adalah orang yang telah memahami cara melakukan perbuatan baik, dalam hal ini melaksanakan syariat, menahan hawa nafsu melalui tirakat, serta mengasingkan diri untuk berkomtemplasi atau muhasabah. Tiga hal itu sering kita temui secara berulang-ulang pada bait-bait yang lalu.

Sedikit saya tambahkan bahwa dikalangan orang Jawa ada 4 lapis pengamalan kebaikan yang bersumber dari ajaran agama Islam, yakni: Syariat, Tarekat, Hakekat dan Ma’rifat. Dua pertama berurusan dengan badan, karena syariat adalah aturan-aturan yang mengikat tubuh manusia. sedangkan tarekat atau tirakat dalam pelafalan lidah Jawa, adalah syariat yang diberlakukan khusus bagi seseorang di bawah bimbingan guru spiritual dengan tujuan mencapai kematangan spiritual bagi yang menjalaninya.

Jika syariat mengatur manusia secara umum, maka tarekat mengatur secara khusus. Tentu saja masih di dalam koridor syariat sebagai bingkai besarnya pelaksanaan agama. Tarekat memberdayakan spiritual seseorang secara khusus. Misalnya seseorang yang selalu tak tahan godaan untuk makan banyak, maka amalan apakah yang harus dilakukan secara intensif akan dipilihkan oleh sang guru. Seorang yang selalu menyombongkan diri setiap saat, sapa sira sapa ingsun, maka untuknya juga akan diterapi dengan amalan khusus yang dipilihkan oleh sang guru. Tentu saja semua amalan-amalan itu dalam batas-batas yang dibolehkan syariat dan tidak membahayakan hidup sang salik.

Dua yang terakhir, yakni Hakekat dan Ma’rifat adalah amalan yang berhubungan dengan hati (atau badan halus manusia). Hakekat manusia adalah hamba Allah, itu mudah dihapalkan, mudah diucapkan, tetapi kesadaran tentang itu takkan mudah dicapai tanpa pengamalan syariat secara umum dan tarekat secara khusus tadi, ditambah hati yang pasrah dan sepi dari pamrih. Oleh karena itu laku dari tahap hakekat adalah mengasingkan diri. Dengan harapan ketika diri terasing dalam sepi muncul kesadaran bahwa kita ini tiada, Yang Ada hanya Allah. Itulah ma’rifat!

Sebagai contoh saya akan ambil satu amalan yang menjadi rukun Islam, yakni puasa. Secara syariat berpuasa adalah menahan makan dan minum sejak terbit fajar sampai matahari terbenam. Jadi kalau sudah lewat maghrib mau makan sampai 6 kali juga boleh. Tetapi tarekat memberi tatacara lebih kepada pelakunya, tahanlah nafsu makanmu, meski dibolehkan tetapi makanlah sekadarnya saja agar tubuhmu tetap kuat, jangan berlebih-lebihan.

Nah ketika malam menjelang ditambah amalan shalat malam yang kusyu’ dalam kesunyian sehingga orang yang berpuasa tadi menyadari betapa kecilnya dirinya, betapa dia butuh Sang Pencipta, wong baru tidak makan sehari saja sudah lemah seluruh badan kok, inilah hakekat. Kesadaran akan lemahnya diri ini kemudian memicu terbukanya, tersingkapnya, wajah Allah yang Maha Kuasa, bahwa hanya Dia Yang Ada, inilah ma’rifat. Wallahu a’lam, kita lanjutkan kajian gramatikalnya saja.

Wasana (akhirnya) wosing (inti) jiwangga (pribadinya). Akhirnya inti pribadinya. Melok (terlihat) tanpa (tanpa) aling–aling (penghalang). Terlihat tanpa penghalang.

Bagi yang sudah menjalani tatacara yang bijaksana tadi, yang sudah diatur para guru dan ahli agama, maka terbukalah hakekat diri pribadinya, tanpa penghalang sedikitpun. Menjadi jelaslah siapa dirinya yang sejati.

Kang (yang) ngalingi (menghalangi) kalingling (tersingkir). Yang menghalangi bakal tersingkir, bersama tersingkirnya hawa nafsu.

Ini adalah buah dari laku tirakat tadi, yakni terbukanya pintu hakekat. Terbuka lebar dan tampak jelas dengan sendirinya, setelah tatacaranya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan penuh ketekunan dan keikhlasan.

Wenganing (terbukalah) rasa (perasaan) tumlawung (haru campur gembira, bahagia). Terbukalah rasa haru bercampur bahagia. Keksi (terlihat) saliring (semua) jaman (keadaan). Terlihatlah semua keadaan.

Setelah tercapainya hakekat dari segala sesuatu, tentu saja setelah menjalani amalan-amalan yang lengkap dan banyak, maka terbukalah perasaan haru bercampur bahagia, tersingkapnya rahasia alam semesta dan posisi masing-masing, tampak jelas.

Angelangut (tampak luas sekali)tanpa (tanpa) tepi (tepi). Tampak luas sekali tanpa batas, inilah kekuasaan Allah. Hanya ada Dia, kita tiada.

Yeku (itulah) aran (yang disebut) tapa (bertapa) tapaking (mendapatkan petunjuk) Hyang Sukma (Yang Mahas Suci). Yang demikian itulah yang disebut pertapaan (laku) yang mendapat petunjuk dari Allah yang Maha Suci. Inilah ma’rifat, pengenalan sejati akan Dzat Allah Azza wa Jalla.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/13/kajian-wedatama-30-wenganing-rasa-tumlawung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...