Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (23): Hanya Syariat Tanpa Tarekat

Bait ke-23, Bab Sinom, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Anggung anggubel sarengat,

Saringane tan den weruhi,

Dalil dalaning ijemak,

Kiyase nora mikani,

Ketungkul mungkul sami,

Bengkrakan mring masjid Agung,

Kalamun maca khutbah,

Lelagone Dandhang Gendhis,

Swara arum ngumandhang cengkok palaran.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Hanya menggeluti soal syari’at saja,

Dasar pedoman hukumnya tak diketahui,

Dalil sampai kepada ijma’,

Qiyasnya tak dipenuhi,

Terlena dalam suatu tindakan,

Bertingkah cari perhatian di Masjid Agung,

Bila membaca kutbah,

Berirama indah seperti Dandhanggula,

Suaranya merdu bergaya palaran.


Kajian per kata:

Anggung (hanya) anggubel (menggeluti) sarengat (syariat saja). Hanya menggeluti syariat saja, mengutamakan fikih, tanpa peduli bagaimana sebuah hukum diambil.

Saringane (dasar dan pedoman hukum) tan (tidak) den (di) weruhi (ketahui). Dasar pedoman hukumnya tak diketahui, hanya mendasarkan pada hukum fikih atau fatwa-fatwa saja.

Dalil (dalil-dalil) dalaning (sampai kepada) ijemak (ijma’). Dalil sampai kepada ijma’. Dalil dan pertimbangan hukumnya tak diketahui.

Kiyase (Qiyase) nora (tidak) mikani (menguasai). Pengambilan hukum melalui qiyas juga tak dikuasai.

Ini adalah gejala pendangkalan agama pada masa itu. Ketika seseorang terlalu berpegang pada hukum-hukum fikih tanpa memahami benar dasar-dasar hukum dan perimbangan apa saja yang dipakai untuk mengambil suatu hukum. Bahwa sebuah produk hukum-hukum fikih harus melalui serangkaian ijma’ para ulama, dan apabila tidak memungkinkan paling tidak harus dilakukan ijtihad dengan qiyas oleh ulama yang mumpuni dalam ilmu-ilmu keislaman. Tidak bisa seseorang menyimpulkan hukum sendiri tanpa ilmu yang cukup.

Ketungkul (terlena) mungkul (terfokus suatu tindakan) sami (semua). Terlenalah mereka dalam suatu tindakan. Mereka hanya terlena dalam urusan syariat, fikih, tanpa belajar dasar-dasar hukum agama.

Bengkrakan (bertingkah cari perhatian) mring (di dalam) masjid Agung (masjid agung, masjid kraton). Waktu tersita dalam berbagai tindakan over acting, mencari perhatian di Masjid Agung.

Pemahaman yang hanya pada kulit luar tanpa memahami hakekat dari sebuah produk hukum akan menjadi sangat kaku dan susah diterapkan dalam masyarakat. Kerap menimbulkan sikap eksklusif, merasa benar sendiri dan kurang toleran terhadap pendapat yang berbeda. Akibatnya walau terlihat religius orang-orang ini bisa menimbulkan kesan tak nyaman, apatis, sinis atau malah merendahkan terhadap sesama.

Kalamun (jikalau) maca (membaca) khutbah (khutbah). Jikalau membaca khutbah.

Lelagone (berirama seperti tembang) Dandhang Gendhis (dandhanggula). Berirama seperti lagu Dandhanggula. Swara (suara) arum (merdu) ngumandhang (berkumandang) cengkok (bergaya) palaran (palaran, gaya lagu yang runtut dan bersemangat). Suaranya merdu bergaya palaran.

Ini kiasan ketika membaca khutbah sangat piawai, mempesona layaknya lagu Dandhanggula. Runtut, sangat lancar layaknya gaya palaran (nama garapan gendhing yang iramanya lancar, runtut dan bersemangat). Artinya mereka sangat fasih ketika berbicara tentang syariat, seolah sudah hapal di luar kepala, sangat runtut, bersemangat menggebu-nggebu.


Catatan tambahan:

Ini adalah fenomena keagamaan di jaman itu, ketika orang-orang muda bersemangat dalam menjalankan syariat tetapi kurang memperhatikan hakekat dari hukum-hukum agama, apalagi mereka juga sudah mulai meninggalkan laku prihatin, sebuah jalan hidup yang akan menghantarkan kepada ma’rifat, pengenalan akan Allah SWT.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/12/kajian-wedatama-23-hanya-syariat-tanpa-tarekat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...