Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (17): Mesu Reh Kasudarman

Bait ini masih melanjutkan bait terdahulu tentang perilaku Panembahan Senopati yang gemar tirakat, menjalani tapa brata, mencegah makan-tidur dan suka berkelana di tempat sepi. Ini jelas bukan perilaku yang umum dilakukan para raja yang biasa bersikap hedonis, bermewah-mewahan dan memperturutkan hawa nafsu. Mungkin karena kecenderungan hati yang demikian beliau kemudian memilih untuk bergelar Panembahan Senopati. Raja yang suka manembah kepada Allah yang Maha suci.

Selengkapnya bait ke-17, Bab Sinom dari Serat Wedatama adalah sebagai berikut.

Saben mendra saking wisma,

Lelana laladan sepi,

Ngingsep sepuhing supana,

Mrih pana pranaweng kapti,

Tis tising tyas marsudi,

Mardawaning budya tulus,

Mesu reh kasudarman,

Neng tepining jalanidhi,

Sruning brata kataman wahyu dyatmika.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Setiap pergi meninggalkan istana,

Berkelana ke tempat yang sunyi,

Menghisap berbagai ilmu yang baik,

Agar jelas yang dikehendaki,

Maksud hati tercapai,

Kelembutan hati yang utama,

Berusaha mempelajari tentang kebajikan,

Di tepi samudra,

Karena kerasnya bertapa mendapat anugerah Ilahi.


 Kajian per kata:

Saben (setiap) mendra (keluar) saking (dari) wisma (rumah, dalam hal ini adalah istana), lelana (berkelana) laladan (tempat, wilayah) sepi (sunyi). Setiap keluar dari istana, berkelana di tempat sepi.

Setiap keluar dari istana, sang raja selalu berkelana ke tempat yang sunyi. Gatra ini mengesankan sang raja “tak betah” untuk berada di istana. Setiap ada kesempatan selalu bersegera menyepi, seolah-olah hatinya sudah terpesona dengan kesepian, dengan laku tirakat.

Ngingsep (menghisap) sepuhing (apuh, tuntas, sesuatu yang dihisap sampai tak tersisa saripatinya) supana (ilmu yang baik). Mempelajari ilmu yang baik sampai tuntas.

Sang raja ke tempat sepi selain hendak tirakat juga sering berguru kepada para ahli ma’rifat. Ada banyak cerita bahwa Panembahan Senopati kerap ditemui oleh Sunan Kalijaga ketika sedang menyepi, untuk diberi wejangan ilmu. Seperti kita ketahui bahwa Sunan Kajiga adalah Waliyullah yang berumur sangat panjang, dan masih sugeng ketika Mataram berdiri.

Sunan Kalijaga adalah wali yang sangat peduli atas nasib para penguasa di tanah Jawa. Sejak berdirinya kerajaan Demak dilanjutkan Pajang sampai akhirnya Mataram muncul, sunan Kalijaga selalu njangkungi, memantau para raja-raja tersebut. Oleh karena itu Sunan Kalijaga juga sering dipanggil sebagai Syaikh Jangkung.

Mrih (agar) pana (mengetahui) pranaweng ( pranawa ing, terang, jelas) kapti (kehendak). Agar mengetahui dengan jelas yang dikehendaki (hati).

Bahwa seseorang itu terdinding dengan hatinya. Apa keinginan hatinya sendiri seringkali tidak disadari. Oleh karena itu perlu terus mengasah akal budi agar nalar kita peka terhadap kehendak hati.

Tis tising (yang dituju, maksud) tyas (hati) marsudi (berusaha sungguh). Mardawaning (kelembutan) budya (budi, pikiran) tulus (tulus). Maksud hati mencapai kelembutan budi yang tulus.

Jika kita bersungguh-sungguh melatih diri dengan berguru dan menjalani berbagai laku maka akan tercapai kelembutan hati, setulus-tulusnya. Sehingga apa yang tersembunyi dari kehendak hati menjadi terang.

Mesu (berusaha keras, memaksa diri agar mampu) reh (segala hal) kasudarman (tentang kebajikan). Darma adalah perbuatan yang dilakukan untuk orang lain atau disebut kebajikan, kasudarman bermakna segala sesuatu tentang kebajikan. Berusaha keras untuk mempelajari ilmu tentang kebajikan.

Karena kebajikan bukan teori semata-mata, maka memperlajari ilmu kebajikan adalah sebuah tindakan praktik, atau disebut laku. Di awal-awal telah saya singgung tentang suluk. Nanti akan bertemu tentang bait bahwa ilmu adalah laku.

Neng (di) tepining (tepinya) jalanidhi (samudra). Di tepi samudra. Ini adalah tempat yang sering dipakai oleh Panembahan Senopati untuk menyepi. Di tempat inilah Sunan Kalijaga pernah hadir memberi wejangan kepada Senopati bagaimana harus menjadi raja yang baik.

Sruning (karena kerasnya) brata (bertapa) kataman (mendapat) wahyu (anugrah) dyatmika (halus, kerohanian, Ilahiah). Karena kerasnya bertapa sehingga mendapat anugrah Ilahi.

Wahyu dalam konsep budaya jawa adalah anugrah Ilahi yang berupa pencerahan atau penyingkapan sehingga yang menerima wahyu menjadi naik derajat spiritualnya. Dalam kisah klasik semisal pewayangan wahyu dipersonakan sebagai senjata yang ampuh sehingga dapat dipakai untuk mencapai tujuan tertentu, misal menjadi raja. Tentu saja ini hanya kiasan saja agar penonton lebih mudah dalam memahami.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/09/kajian-wedatama-17-mesu-reh-kasudarman/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...