Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (27): Bawur Tyas Lir Kiamat

Bait ke-27, Bab Sinom, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Marang ingkang asung pangan,

Yen kesuwen den dukani,

Abubrah bawur tyas ing wang,

Lir kiyamat saben ari,

Bot Allah apa Gusti,

Tambuh-tambuh solahingsun,

Lawas lawas nggraita,

Rehne ta suta priyayi,

Yen mamriha dadi kaum temah nista


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Oleh orang yang memberi makan,

Bila terlambat dimarahi,

Rusak dan bingung hatiku,

Bagai kiamat tiap hari,

Berat Allah atau majikan,

Ragu-ragu tindakan saya,

Lama-lama terpikir,

Karena anak bangsawan,

Apabila ingin menjadi juru doa kurang elok,


Kajian per kata:

Marang (oleh) ingkang (yang) asung (memberi) pangan (makan, gaji). Oleh orang yang memberi makan. Yen (kalau) kesuwen (kelamaan) den (di) dukani (marahi). Kalau kelamaan dimarahi.

Pada jaman dahulu calon-calon pejabat, yang umumnya juga anak-anak pejabat, setelah menyelesaikan pendidikan dasar kemudian harus magang (suwita) pada pejabat tertentu. Di situ dia harus latihan mengerjakan beberapa tugas pemerintahan di bawah arahan sang pejabat yang disuwitani. Biasanya memang pelatihan yang diterimanya sangat keras dan disiplin dan harus menurut. Inilah yang membuat mangkunera IV muda tak kusyu’ dalam ibadah, maupun tak sempat lagi memperdalam ilmu agama.

Abubrah (rusaklah) bawur (bingung, galau) tyas (hati) ing wang (saya). Rusak dan bingung, galau hati saya. Lir (seperti) kiyamat (kiamat) saben (setiap) ari (hari). Seperti kiamat setiap hari.

Rusaklah hati, bingung dan galau disebabkan kehendak hati kepada agama tak kesampaian. Setiap hari laksana kiamat karena bimbang dan ragu. Sungguh tak enak!

Bot (Lebih berat) Allah (kepaa Allah) apa (atau) Gusti (majikan). Lebih berat kepada Allah atau majikan (yang disuwitani). Lebih memilih kepada beribadah kepada Allah atau menuruti perintah majikan.

Tambuh–tambuh (selallu ragu-ragu) solahingsun (tindakan saya). Selalu ragu-ragu tindakan saya. Kegalauan hati terpancar dalam tindakan, menjadi serba ragu dalam bertindak.

Lawas lawas (Lama-lama) nggraita (berpikir, merenung). Lama-lama kemudian berpikir.

Merenungkan bagaimana yang seharusnya mengambil keputusan agar hati tak galau dan tak ragu lagi dalam bertindak. Biar mantap jalan yang dipilih.

Rehne (oleh karena) ta (nyatanya) suta (anak) priyayi (bangsawan, pejabat). Oleh karena terlahir sebagai anak bangsawan.

Menjadi bangsawan harus memikul tugas negara yang tak boleh dihindari. Demikian juga anak-anak bangsawan pun akan memikul tanggung jawab kelak. Dan itu bukan tugas yang sepele dan ringan. Di jaman itu menjadi kesatria berarti harus cakap secara fisik dan menguasai strategi kemiliteran. Apalagi jaman itu masih sering terjadi perang. Nah ini pun panggilan tugas yang tak kalah mulia.

Yen (kalau) mamriha (mengharap) dadi (menjadi) kaum (juru doa) temah (akan) nista (nista, tak elok). Kalau mengharap menjadi juru doa kurang elok.

Ini bukan karena enggan beribadah kepada Allah, tetapi karena panggilan tugas negara tak kalah terpuji. Misalnya ayahanda Mangkunegara sendiri gugur dalam perang melawan Belanda. Bukankah ini juga suatu kebaikan menurut syariat agama? Hal-hal inilah yang kemudian memantapkan pilihan Sri Mangkunegara IV untuk meneruskan karir di pemerintahan. Karena jika mengharap menjadi ulama akan terasa kurang elok, seperti lari dari tanggung jawab yang dibebankan negara.

Kesimpulan bait ini:

Bait ini menceritakan pergulatan spiritual sang penggubah Wedatama. Antara dorongan untuk memperdalam ilmu agama dan panggilan tugas kenegaraan. Bahwa di jaman kerajaan dahulu orang yang terlahir sebagai anak bangsawan memang sejak lahir telah dibebani tugas kemasyarakatan. Harus belajar ilmu-ilmu pemerintahan kepada para pembesar dengan cara magang (suwita), belajar ilmu sastra kepada para pujangga, belajar kemiliteran dengan masuk pelatihan militer (legiun  Mangkunegaran) dan belajar ilmu agama kepada para ulama.

Diantara ilmu-ilmu itu tentu ada salah satu yang menarik minat, tetapi karena tugas-tugas kenegaraan yang harus diemban terpaksa mengabaikan kecenderungan hati. Beruntung Sri Mangkunegara IV sempat menyelesaikan beberapa karya piwulang dan sastra yang kelak berguna untuk generasi kemudian.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/13/kajian-wedatama-27-bawur-tyas-lir-kiamat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...