Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (70): Karasa Wosing Dumadi

 Bait ke-70, Pupuh Gambuh, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Samengko ingsun tutur,

gantya sembah ingkang kaping catur.

Sembah rasa karasa wosing dumadi.

Dadine wis tanpa tuduh,

mung kalawan kasing batos.


 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Sekarang saya berbicara,

beralih kepada sembah nomer empat.

Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan ini.

Terwujudnya tanpa petunjuk,

hanya dengan kesentausaan batin.


 Kajian per kata:

Samengko (sekarang) ingsun (saya) tutur (berbicara), gantya (beralih) sembah (sembah) ingkang (yang) kaping (ke-) catur (empat). Sekarang saya berbicara, beralih kepada sembah nomer empat.

Sampailah sekarang pada sembah yang terakhir, sembah rasa. Apakah rasa itu? Ada banyak padanan kata dari rasa ini: rahsa, rahasa, rahasya, sir, raswa, driya, dll. Kesemua kata itu merujuk pada inti terdalam dari manusia yang tersembunyi.

Disebut sir yang berarti kecenderungan yang halus atau lembut (dari bahasa Arab sirr), seperti pada kata: atiku sir karo bocah wadon kae, hatiku mempunyai kecenderungan suka pada anak perempuan (gadis) itu.

Rasa disebut juga rahsa, rahasa, rahasya, raswa  yang artinya rahasia terdalam. Yang menarik kata rahsa ini juga dipakai untuk menyebut wiji manusia manikem, alias air mani. Manikem sering kali juga disebut sebagai intisari dari seorang lelaki.

Disebut driya yang artinya perasa, ini bisa berarti fisik atau non fisik. Secara fisik rasa adalah apa yang terjadi pada lidah jika bersentuhan dengan sesuatu: amla (kecut), kayasa (sepet), kathuka (pedhes), sarkara (legi) lan tikta (pahit). Instrumen dari rasa dalam arti fisik adalah lidah. Secara non-fisik rasa sering dipakai untuk menyebut hal-hal yang terjadi pada hati: senang, gembira, sedih, haru, dll.

Jadi kata rasa bisa mempunyai banyak arti, tetapi kesemua arti itu selalu merujuk kepada intisari dari manusia. Rasa mempunyai makna yang berbeda dengan kalbu meski kadang dua kata ini dapat dipertukarkan untuk menggambarkan keadaan pada diri manusia. Rasa bersifat lebih halus, lebih dalam, lebih lembut daripada kalbu yang sering berbolak-balik.

Rasa juga berbeda dengan jiwa, dan letaknya lebih dalam pada struktur wujud manusia. Ia berkaitan dengan sejatinya manusia, pusat terdalam yang menjadi inti dari manusia itu, maka seringkali disebut dengan kata majemuk: rasa sejati.

Dalam bahasa lain rasa ini dekat dengan kata intelek (Inggris), atau juga dekat dengan kata ulul albaab (Arab). Disebut intelek karena mampu menangkap bukan saja fenomena tetapi juga noumena. Disebut ulul albaab karena mampu menangkap ayat-ayat.

Sembah rasa (sembah rasa) karasa (terasalah) wosing (inti, hakekat) dumadi (kehidupan). Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan ini.

Sembah rasa dengan demikian berati menyembah dengan intisari (wosing) atau hakekat terdalam dari kehidupan manusia. Wosing adalah inti atau bisa diartikan makna diciptakannya (dumadine) manusia. Rasa adalah puncak atau pencapaian akhir dari: raga yang tunduk, kalbu yang mantep (artinya sudah tetap, tidak berbolak-balik lagi, sudah tsabit) dan jiwa yang telah awas, eling dan emut.

Dadine (terwujudnya) wis (sudah) tanpa (tanpa) tuduh (pituduh, petunjuk), mung (hanya) kalawan (dengan) kasing (kesentausaan) batos (batin). Terwujudnya tanpa petunjuk, hanya dengan kesentausaan batin.

Sembah rasa ini merupakan akhir dari laku yang dijalani raga, kalbu dan jiwa. Jika ketiga sembah terdahulu terpenuhi maka sembah rasa akan mewujud dengan sendirinya, tanpa petunjuk lagi. Ini bisa disebut buah dari kesentausaan (kasing) batin.

Namun demikian sembah rasa juga mengandung jebakan betmen yang perlu diwaspadai agar kita tak salah mengenali seperti yang bisa terjadi pada sembah jiwa, atau yang disebut salah surup. Dua bait berikutnya akan menerangkan hal tersebut. Jangan lewatkan kajian berikutnya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/12/kajian-wedatama-70-karasa-wosing-dumadi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...