Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (87): Den Sembadeng Sedya

 Bait ke-87, Pupuh Kinanthi, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Aywa sembrana ing kalbu,

wawasen wuwuse sireki.

Ing kono yekti karasa,

dudu ucape pribadi.

Marma den sembadeng sedya,

wewesen praptaning uwis.


 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Janganlah ceroboh dalam kalbu (hati),

perhatikanlah kata (hati)mu.

Di situ akan benar-benar terasa,

bahwa yang disuarakan bukanlah ucapan pribadi.

Maka dari itu hendaklah dituruti niat (yang terbersit) itu,

paksakan sampai datangnya akhir (kehidupan).


 Kajian per kata:

Aywa (jangan) sembrana (ceroboh) ing (dalam) kalbu (hati), wawasen (lihatlah, perhatikanlah) wuwuse (perkataan) sireki (engkau). Janganlah ceroboh dalam kalbu (hati), perhatikanlah kata (hati)mu. Di situ akan benar-benar terasa, bahwa yang disuarakan bukanlah ucapan pribadi.

Dua bait sebelumnya berbicara tentang latihan untuk menajamkan akal budi, membuka tirai kegaiban, menyingkirkan hijab Allah sehingga tampaknya yang Haq, atau kasunyatan. Jika latihan sudah berhasil maka hati menjadi sangat peka terhadap tanda-tanda keagungan Allah. Di sini yang berperan kemudian adalah hati, rasa, akal budi, yang sanggup menerima “bisikan ghaib” dari langit, semacam ilham atau pencerahan. Maka hati yang sudah terhubung dengan kebenaran langit tadi bagaikan bersinar, kita sering mendengar istilah itu dalam kehidupan sehari-hari, yakni hati nurani.

Sesungguhnya konsep hati nurani ini bukan hal yang asing karena kita sudah sering mendengarnya dalam perckapan orang awam sekalipun. Tetapi apa dan bagaimananya banyak dari kita yang belum begitu paham. Hati nurani ini akan menangkap kebenaran sejati manakala seseorang mengasah kemampuan akal budinya dengan cara yang telah diuraikan pada banyak kesempatan di kajian ini. Namun apabila seseorang cenderung pada kejahatan hati nurani ini akan padam dan tidak peka dalam menangkap kebenaran. Oleh karena itu kita mesti berhati-hati, tidak boleh ceroboh dalam mendengarkan bisikannya. Lihatlah dengan seksama (wawasen), apa yang dikatakan hati nuranimu!

Ing (di) kono (situ) yekti (benar-benar) karasa (terasa), dudu (bukan) ucape (ucapannya) pribadi (sendiri). Di situ akan benar-benar terasa, bahwa yang disuarakan bukanlah ucapan pribadi.

Jika latihan kita benar-benar berhasil, akan terlihat jelas bahwa apa yang disuarakan hati nurani bukanlah ucapan kita pribadi, tetapi bisikan Tuhan yang halus, sebagai pengingat manusia agar tak tersesat. Hati nurani yang terasah baik tidak akan menjadi bisikan palsu, yang sejatinya adalah bisikan nafsu rendah yang dibungkus kesalehan. Untuk membedakannya cukuplah dengan melihat pada diri sendiri apakah dalam kehidupan sehari-hari sudah bisa mengendalikan nafsu angkara yang timbul dari keinginan diri? Jika belum maka perbaikilah cara kita hidup agar hati nurani bersinar kembali.

Marma (maka dari itu) den (hendaklah) sembadeng (turutilah) sedya (niat itu), wewesen (paksakan sampai) praptaning (datangnya) uwis (akhir). Maka dari itu hendaklah dituruti niat (yang terbersit) itu, paksakan sampai datangnya akhir (kehidupan).

Gatra ini berisi petuah agar kita selalu menuruti kehendak hati nurani tadi dalam kehidupan sehari-hari. Kata sembada di sini bermakna menuruti dengan sentausa, dengan kekuatan, dengan pilihan yang mantap, tidak ragu-ragu. Jika masih agak-agak ragu paksakan untuk menuruti itu sampai datangnya akhir kehidupan, artinya sampai selesainya masa kita di dunia ini.

Kami ringkaskan dalam satu paragraf agar menjadi simpulan:

Hendaknya engkau tidak ceroboh dalam mendengarkan kata hati. Perhatikan dengan seksama agar kata hatimu menyuarakan sesuatu yang bukan kepentinganmu peribadi, bukan bias nafsumu. Jika sudah demikian, hendaklah engkau turuti dengan kekuatan, singkirkan keraguan, paksakan dirimu untuk mengikutinya sampai akhir hidupmu!


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/26/kajian-wedatama-87-den-sembadeng-sedya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...