Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (6): Nalare pating saluwir

Kita lanjutkan lagi kajian tentang Serat Wedatama karya KGPAA Mangkunegara IV, kali ini sampai pada bait ke-6, masih termasuk dalam Bab Pangkur. Bait ini masih menerangkan keadaan orang bodoh, perumpamaan hidupnya yang mirip dengan deru angin, istilah yang dipakai adalah gumrunggung, berdengung tak beraturan. Selengkapnya bait ke-6 adalah sebagai berikut:

Uripe sepisan rusak,

Nora mulur nalare ting saluwir,

Kadi ta guwa kang sirung,

Sinerang ing maruta,

Gumrenggeng anggereng anggung gumrunggung,

Pindha padhane si mudha,

Prandene paksa kumaki.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Hidup hanya sekali berantakan,

Tidak berkembang, pikiran tercabik-cabik,

Ibarat goa gelap menyeramkan,

Terserang angin,

Suaranya bising berdengung-dengung,

Seperti keadaan anak mudha (yang picik tanpa pengetahuan),

Namun demikian sombongnya minta ampun.


Bait ini menggambarkan keadaan hati seorang yang kurang pengetahuan tapi banyak bicara, goyah dan tidak mantap akidahnya. Ibaratnya seperti goa gelap yang dalam, tertiup angin menimbulkan suara gaduh berdengung, tak jelas apa bunyinya. Seperti perilaku anak mudha yang masih labil, tetapi sombongnya minta ampun.

Untuk lebih mendalami maknanya mari kita kupas secara per kata agar didapat satu pengertian yang lebih jelas dan terang benderang.

Gatra 1,2: Uripe sepisan rusak, Nora mulur nalare ting saluwir

Uripe (hidupnya) sepisan (satu kali) rusak (berantakan), Nora (tidak) mulur (berkembang) nalare (akalnya) ting saluwir (tercabik-cabik, tercerai-berai).

Hidup orang bodoh yang tak menguasai ilmu rasa akan rusak berantakan. Akal budi tidak berkembang, tidak punya akidah yang membuatnya bisa berpikir benar. Akalnya bagai tercabik-cabik, tercerai berai. Frasa ting saluwir adalah keadaan seperti daun pisang yang sudah tuwa yang tertiup angin sehingga tercabik-cabik, tercerai berai jika angin datang. Begitulah jalan pemikiran orang-orang bodoh yang tak mengerti ilmu rasa tadi.

Gatra 3, 4: Kadi ta guwa kang sirung, Sinerang ing maruta, Gumrenggeng anggereng, anggung gumrunggung

Kadi  ta (seperti) guwa (goa) kang (yang) sirung (dalam, ceruk), Sinerang (terkena hembusan) ing (oleh) maruta (angin), Gumrenggeng anggereng (berderu-deru, seperti suara harimau), anggung gumrunggung (berdengung-dengung, seperti suara lebah).

Keadaan hati orang bodoh adalah laksana goa yang dalam ceruknya. Apabila tertiup angin menimbulkan suara berderu yang keras laksana suara harimau dan berdengung seperti suara lebah. Suara-suara yang tak beraturan dan berirama, membuat tak nyaman yang mendengar. Ini kiasan bahwa orang bodoh hanya menghasilkan pendapat yang tak berguna dan tak nyaman didengar.

Gatra 6,7: Pindha padhane si mudha, Prandene paksa kumaki

Pindha (seperti) padhane (sama keadaannya) si mudha (dengan anak mudha), prandene (namun demikian) paksa (memaksa) kumaki (sombong).

Keadaan orang bodoh juga mirip keadaan anak mudha yang belum dewasa. Ini jelas mengacu kepada senajan tuwa pikun pada bait ke-2, yakni orang yang sudah tua seharusnya memahami ilmu rasa, tidak berkelakuan seperti anak muda, yang memaksakan diri bertingkah sombong.


Catatan tambahan:

Bait ini menggambarkan isi hari orang bodoh. Nalarnya tidak berkembang, tercerai berai karena tak punya akidah yang mantap. Isi hatinya penuh dengan gejolak, berbolak-balik, penuh berbagai bisikan-bisikan liar, berdengung-dengung tak karuan. Ini jelas bukan pencapaian yang diharapkan bagi orang yang sudah lanjut usia. Bahkan, perilakunya juga masih seperti anak muda yang labil, bersikap sangat sombong.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/05/kajian-wedatama-6-nalare-pating-saluwir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...