Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (72): Kumandel Marang Takdir

 Bait ke-72, Pupuh Gambuh, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Meloke ujar iku,

yen wus ilang sumelanging kalbu.

Amung kandel kumandel marang ing takdir.

Iku den awas den emut,

Den memet yen arsa momot.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Terlihatnya yang dibicarakan itu,

Bila sudah hilang keragu-raguan hati.

Hanya percaya dengan sebenarnya kepada takdir.

Itu harap awas dan ingat,

yang cermat apabila ingin menguasai seluruhnya.


Kajian per kata:

Meloke (terlihatnya) ujar (yang dibicarakan) iku (itu), yen (bila) wus (sudah) ilang (hilang) sumelanging (kekhawatiran) kalbu (hati). Terlihatnya yang dibicarakan itu (maksudnya sembah rasa), bila sudah hilang keragu-raguan hati.

Orang yang sudah mengetahui rahasya penciptaan, rahsa posisi dan kedudukan sebagai hamba Allah, takkan menyisakan keragu-raguan dalam hati. Tidak ada kekhawatiran, tidak pula ada rasa sedih di hati karena memikirkan hari esok, la tahinu wala tahzan.

Amung (hanya) kandel (percaya) kumandel (dengan sebenarnya) marang (kepada) ing takdir (takdir).  Hanya percaya dengan sebenarnya kepada takdir.

Kandel di sini dari kata andel, andal. Orang jawa sering mengatakan senjata dengan kata sipat kandel, artinya kalau sudah memegang senjata kepercayaan diri meningkat karena keselamatannya lebih terjamin. Jadi kandel kumandel di sini bermakna percaya dengan sangat terhadap ketentuan (takdir) Allah. Inilah sifat seorang yan sudah berhasil dalam sembah rasa.

Iku (itu) den (yang) awas (awas) den (yang) emut (ingat), den (yang) memet (cermat, teliti) yen (jika) arsa (ingin) momot (memuat, menguasai). Itu harap awas dan ingat, yang cermat apabila ingin menguasai seluruhnya.

Kedua hal itu, hilangnya rasa khawatir (sumelang) dan percaya sepenuhnya (kandel kumandel) terhadap takdir, hendaknya selalu diawasi dengan cermat apakah sudah ada dalam diri kita. Apabila belum berarti sembah rasa yang kita lakukan belum sempurna, berlum berhasil, maka harus diupayakan lagi. Apabila sudah ada rasa itu maka silakan membuat pengakuan atas penguasaannya, silakan melakukan klaim. Meski langkah terakhir juga sebenarnya tidaklah seyogyanya dilakukan, karena muara akhir dari rangkaian sembah yang dilakukan manusia tidak berhenti di sini. Ada tugas lain yang menanti apabila sudah paripurna dalam melakukan semua sembah itu.

Sampai di sini perjalanan menuju Tuhan sudah selesai. Catur sembah merupakan fungsi manusia dalam kedudukan sebagai hamba Allah. Sekarang ada dharma lain yang masih harus disandang, ialah memasuh malaning bumi (membersihkan penyakit di bumi) dan memayu hayuning bawana, memperidah keindahan semesta, dua tugas terakhir adalah tugas manusia sebagai fungsi khalifah (pengganti) Allah di bumi.

Bait ke-72 ini merupakan bait terakhir dalam naskah baku serat Wedatama. Hal ini karena pada naskah asli tertulis kata TITI yang berarti tamat. Para pakar berpendapat bahwa sisa bait dalam Wedatama dari bait ke-73 sampai bait ke-100 adalah naskah tambahan. Terdapat silang pendapat berkaitan dengan siapa penulis bait tambahan ini. Namun kami tidak akan masuk ke pembahasan tersebut. Sesuai niat awal kajian ini hanya mengkaji dari sisi gramatikalnya saja, dengan tujuan agar mudah dipahami.

Kita tetap akan melanjutkan kajian sampai bait ke-100 karena sudah umum dikenal bahwa serat Wedatama terdiri dari 100 bait tersebut. Namun ijinkan saya ambegan dulu, kajian ini membuat saya ngos-ngosan, tiap malam tidur larut karena memikirkan makna per kata. Meski saya juga memegang terjemahan Wedatama karya maestro budaya jawa Bpk Anjar Any, tetapi dalam banyak hal saya berbeda tafsir dari beliau. Walau begitu terjemahan beliau sangat membantu saya dalam memahami kandungan serat ini.

Untuk postingan berikutnya saya akan menyelingi dengan kajian serat Wulangreh. Agar sampeyan para pembaca (jika ada) tidak bosan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/12/kajian-wedatama-72-kumandel-marang-takdir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...