Translate

Senin, 19 Agustus 2024

Kajian Wedatama (2): Sepa Asepah Samun

Dalam postingan terdahulu yang berjudul Agama Ageming Aji saya sudah sedikit memberi gambaran tentang perlunya sikap batin yang tulus dalam ngrasuk agama bagi seseorang. Karena agama adalah pakaian orang mulia, hendaknya sebelum memakainya terlebih dulu membersihkan diri melalui pertobatan. Mengapa ini perlu? Agar ilmu luhung turun menghias (kretarta) diri kita. Sebab jika tidak walau telah berusia tua, orang tidak mencapai kedewasaan, seperti disinyalir dalam bait ke-2 berikut.

Apakah kedewasaan manusia berbanding lurus dengan usianya? Bisa juga iya, bisa tidak. Karena dewasa lebih mencerminkan sikap batin, melibatkan rasa atau emosi. Orang yang tidak melatih diri, meper babahan hawa sanga akan cenderung nguja rasa alias memperturutkan kehendak sendiri tanpa maelu (peduli) perasaan orang lain. Tanpa peduli pendapat orang tentang dirinya. Akibatnya justru mempermalukan diri sendiri.

Itulah butir-butir mutiara hikmat dari Serat Wedatama karya Sri KGPAA Mangkunegara IV yang tersaji pada Bab Pangkur bait ke-2. Selengkapnya dari bait tersebut adalah sebagai berikut:

Jinejer ing Wedatama,

Mrih tan kemba kembenganing pambudi,

Mangka nadyan tuwa pikun,

Yen tan mikani rasa,

Yekti sepi asepa lir sepah samun,

Samangsane pasamuwan,

Gonyak-ganyuk nglilingsemi.


Terjemahan per kata dari bait di atas dalam Bahasa Indonesia adalalah:

Disajikan di Wedatama,

Agar jangan kurang pengertian,

Bahwa sebenarnya walau telah lanjut usia,

Jika tak mengerti tentang rasa,

Benar-benar tanpa guna bagai ampas tak berguna,

Bila dalam pertemuan,

Bertindak ceroboh memalukan.


Terjemahan di atas tidak dapat menyalin makna yang terkandung dalam bait aslinya. Karena terjemahan per kata kadang sulit untuk mencari padanan katanya dalam bahasa  yang beda. Namun yang terpenting adalah makna apa yang ingin disampaikan oleh si penulis Wedatama. Untuk itu marilah kita kupas satu per satu secara rinci.

Gatra 1,2: Jinejer ing wedatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi

Disajikan dalam Wedatama, nama kitab yang sedang kita kupas ini. Mrih (agar) tan (tidak) kemba (berkurang, putus asa) kembenganing (penuhnya) pambudi (usaha mempertajam akal budi). Jadi dalam kitab Wedatama ini disajikan petuah-petuah agar manusia tidak berkurang dalam upaya mempertajam akal budi. Kata kembeng biasanya dipakai untuk menggambarkan kandungan tanah yang jenuh air sehingga airnya meluap, contoh pada kata: sawahe wis kembeng banyu (sawahnya sudah jenuh air).

Frasa kembenganing pambudi menggambarkan orang selalu penuh dengan upaya mempertajam akal budi. Perlu ditekankan di sini yang penuh adalah upayanya. Kalimat di atas tidak merujuk pada kondisi akal budi yang telah tajam, tetapi upaya yang keras untuk menajamkan akal budi. Kelak kita akan bertemu dengan ungkapan: memasah mingising budi yang artinya selalu mempertajam akal budi.

Gatra 3,4,5: Mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepa lir sepah samun

Mangka (bahwa sebenarnya) nadyan (walaupun) tuwa pikun (lanjut usia), yen tan (kalau tidak) mikani (mengerti) rasa (perasaan, rasa dalam konteks kalimat juga cenderung berarti etika, sopan santun), yekti (benar-benar) sepi asepa (hatinya sepi tanpa rasa) lir (seperti) sepah (ampas) samun (samar, tak kelihatan).

Pengertian dari gatra di atas adalah walaupun seseorang telah lanjut usia, jika tidak pernah mengolah rasa, hatinya akan sepi dari kebijaksanaan, tidak tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, selayaknya ampas yang tak berguna.

Frasa sepi asepa berarti hatinya sepi tanpa rasa. Sepa sering dipakai untuk menyebut rasa makanan yang kurang bumbu, rasanya tak enak seperti tak dibumbui. Maknanya adalah hati yang tumpul tak mampu mengenali situasi, perasaan orang lain, tak mampu menangkap isyarat atau tanda-tanda zaman. Lir sepah samun, artinya seperti ampas yang samar, tak kelihatan, tak ada gunanya.

Gatra 6,7: Samangsane pasamuwan, gonyak-ganyuk nglilingsemi

Samangsane (jika pada waktu) pasamuwan (pertemuan). Gonyak-ganyuk (bertindak ceroboh, bertingkah konyol) nglilingsemi (memalukan, membuat malu kawan atau saudara).

Jadi orang yang tidak terbiasa mengolah rasa tidak akan punya kepekaan terhadap lingkungan, manakala dalam pertemuan atau bertemu dengan orang banyak, atau dalam pergaulan luas seringkali bertindak ceroboh, bertingkah konyol sehingga membuat malu sanak saudara dan kawan-kawan.

Demikian makna yang terkandung dalam bait ke-2 Serat Wedatama. Kami haturkan sebagai tambahan pengertian bagi kaum mudha agar kelak terhindar dari kondisi seperti di atas.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/04/kajian-wedatama-2-sepi-asepah-samun/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...