Translate

Minggu, 18 Agustus 2024

Kajian Wedatama (45): Kadya Buta Buteng

Bait ke-45, Pupuh Pucung, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Nora uwus, kareme anguwus uwus,

Uwose tan ana,

Mung janjine muring-muring,

Kaya buta buteng betah nganiaya.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Tiada henti-hentinya, kesukaannya mencaci maki,

(Perkataannya) tak ada isinya,

Hanya asal marah-marah,

Seperti raksasa mudah naik darah dan menganiaya.


 Kajian per kata:

Nora (tiada) uwus (uwis, berhenti), kareme (sukanya) anguwus  uwus (bicara terus). Tiada henti-hentinya, kesukaannya bicara terus.

Anguwus dari kata angwuwus (bicara), anguwus-uwus adalah kata majemuk yang berarti menyangatkan. Ini umumnya dilakukan seorang yang tak puas atau sedang marah sehingga berkata-kata terus, terus saja tak henti-henti sampai puas rasa di hati. Nah karena kadar perkatannya sebenarnya sudah over, maka biasanya perkataannya asal-asalan saja.

Uwose (isinya) tan (tak) ana (ada). (Perkataanya) tak ada isinya.

Intinya apa tak jelas, hanya meracau. Karena hanya sekedar menumpahkan kekesalan maka yang diomongkan pun tak ada pokok-pokok maksudnya, asal njeplak, asal mangap. Yang demikian itu sering dilakukan oleh orang yang kecewa, baik dalam kehidupan mayarakat sehari-hari maupun dalam kehidupan berpolitik di tingkat elit. Kalau Anda perhatikan ada beberapa politisi yang suka bicara terus, menohok sana, menyikat sini, nyinyir sana kritik sini. Kadang ucapannya tak proporsional, hanya asal beda (waton sulaya).

Mung (hanya) janjine (janji, perkataan) muring–muring (marah-marah). Hanya berkata asal marah-marah.

Yang penting menumpahkan rasa amarah di dada. Tak peduli perasaan orang lain. Tak peduli kerja dan dedikasi orang lain.

Kaya (kaya) buta (raksasa) buteng (gelap mata, naik darah) betah (suka) nganiaya (menganiaya). Seperti raksasa mudah naik darah dan menganiaya.

Wataknya seperti raksasa yang sudah gelap mata, cepat naik darah. Jika sudah begitu tak peduli orang lain. Tak ada rasa empati, tepa slira, bertindak di luar batas alias aniaya. Dan tampaknya suka sekali berbuat demikian.

Buta adalah raksasa. Dalam budaya Jawa buta adalah species lain, jadi bukan manusia. Meski kadang ada sedikit interaksi dan bisa juga kawin campur. Watak dari raksasa yang paling dominan adalah pemarah. Biasanya perilakunya briga-brigi, pecicilan, penyunyukan, tak nyaman diam, tak bisa tenang, tidak sopan. Dan yang paling membuat jengkel suka sekali berisik, berkata kasar dengan volume maksimal. Kalau dalam pewayangan buta selalu digambarkan bermulut lebar menganga dengan siyung (gigi panjang) mencuat siap mencabik lawan.

Ada lagu bahasa Jawa tentang buta ini yang dahulu sering didendangkan anak-anak sewaktu bermain di terangnya sinar bulan:

Buta-buta galak, solahe lunjak-lunjak,

Sarwa sigrak-sigrak, nyandhak kanca nuli tanjak,

Bali ngadeg maneh, rupamu ting celoneh,

Iki buron apa, tak sengguh buron kang aneh.

Lha wong kowe..we..we..we!

Sing mara-marai hi-hi……

Aku wedi, ayo kanca padha bali!


Galo kae-galo kae…..

Matane plerak-plerok,

Kulite ambengkerok, hi..hi..

Aku wedi, ayo kanca padha bali!

Orang yang sukanya berkata terus, mengumpat-umpat tanpa henti, bicara kasar, marah-marah tanpa proporsional wataknya pastilah seperti buta tadi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/20/kajian-wedatama-45-kadya-buta-buteng/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...