Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (69): Kang Wengku-Winengku

 Bait ke-69, Pupuh Gambuh, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Yeku wenganing kalbu.

Kabukane kang wengku winengku.

Wewengkone wis kawengku neng sireki,

Ning sira uga kawengku,

Mring kang pindha kartika byor.


 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Itulah terbukanya hati.

Terbukalah yang kuasa dan dikuasai.

Daerahnya sudah kau kuasai,

tetapi kau juga dikuasai,

oleh cahaya yang seperti bintang gemerlap.

 

Kajian per kata:

Yeku (yaitu) wenganing (terbukanya) kalbu (hati). Itulah terbukanya hati.

Apabila di dalam luyut, yakni batas antara lahir dan batin yang juga disebut sebagai alam kanyut tadi, kita sudah mampu melihat cahaya memancar (sumirat) sebagai petunjuk jalan, maka artinya sudah terbuka hati kita untuk menerima kebenaran sejati.

Terbukanya hati memunculkan kesadaran baru bahwa antara hanya ada SATU WUJUD di alam semesta ini, ialah Wujud Tuhan Sang Pencipta. Ini bukan sebuah kemenyatuan atau manunggaling kawula-Gusti, tetapi sebuah kenyataan bahwa wujud kita berasal dari-Nya, bukan dari sesuatu yang lain. Kita adalah manifestasinya di alam materi ini.

Hendaklah berhati-hati dalam memahami persoalan ini. Banyak orang terjebak pada doktrin pantheisme  akibat salah paham tentang kesatuan wujud Tuhan-manusia. Pada saatnya nanti kami akan menjelaskan ini secara lebih detail.

Kabukane (terbukanya) kang (yang) wengku (kuasa) winengku (yang dikuasai). Terbukalah yang kuasa dan dikuasai.

Sesudah kita sampai di batas alam (luyut) dan menguasai makna di dalamnya, maka diri kita pun dibuat takjub oleh sinar kebenaran yang memancar. Keagungan Tuhan di alam itu benar-benar menguasai diri kita, sehingga kita tak mampu memalingkan muka karena ketakjuban.

Wewengkone (wilayahnya) wis (sudah) kawengku (dikuasai) neng (oleh) sireki (engkau), ning (tetapi) sira (engkau) uga (juga) kawengku (dikuasai), mring (oleh) kang (yang) pindha (seperti) kartika (bintang) byor (gemerlap). Daerahnya sudah kau kuasai, tetapi kau juga dikuasai, oleh cahaya yang seperti bintang gemerlap.

Meski kita mampu menjangkau alam kanyut dan menguasainya, namun kita juga dikuasai oleh pesona keindahan cahayanya yang menakjubkan. Kita tak mampu beranjak lama-lama dari situ. Hati kita senantiasa kemanthil-kanthil.

Di awal serat Wedatama ini, dalam Pupuh sinom, disebutkan tentang laku Panembahan Senopati yang  kayungyun eningingtyas. Kata kayungyun sering dipakai untuk menyebut orang yang sedang dimabuk asmara, siang malam merindukan kekasih hati, selalu ingin jumpa. Frasa kayungyun eningingtyas menggambarkan keadaan seorang yang selalu rindu untuk menyepi, melakukan komunikasi dengan Tuhan. Keadaan seperti inilah yang dimaksud dalam bait ini.

Orang yang telah menyaksikan cahaya Ilahi ini akan senantiasa kecanduan untuk berlama-lama menikmatinya. Jika pun dia kembali ke alam materi hatinya selalu terpaut di sini. Membuat dia tak sabar untuk meluangkan waktu agar dapat kembali. Mungkin hal inilah yang dialami Panembahan Senopati sehingga beliau selalu, di sela-sela kesibukannya sebagai Raja Mataram, meluangkan waktu untuk menyepi. Beliau seolah-olah kecanduan dan dikuasai oleh sesuatu yang begitu indah sehingga sulit untuk ditinggalkan. Kata kayungyun sangat tepat untuk menggambarkan keadaan itu.

Bait ini adalah akhir dari pembahasan tentang sembah jiwa. Laku-nya adalah awas dan eling, mengingat fitrah kesejatian kita sebagai hamba Allah. Outputnya adalah kesadaran wujudiyah, bahwa hanya Wujud Allah-lah yang ada.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/11/kajian-wedatama-69-kang-wengku-winengku/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...