Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (62): Gagare Ngunggar Kayun

 Pada atau bait ke-62, Pupuh Gambuh, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Gagare ngunggar kayun,

Tan kayungyun mring ayuning kayun,

Bangsa anggit yen ginigit nora dadi,

Marma den awas den emut,

Mring pamurunging lelakon.


 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Gagalnya membiarkan kehendak,

Tidak tertarik kepada keindahan tujuan,

Hal yang direka-reka bila dirasakan tidak terwujud,

Maka dari itu harap waspada dan ingat,

Terhadap penghalang di perjalanan.


 Kajian per kata:

Gagare (gagalnya) ngunggar (membiarkan) kayun (hati, kehendak). Gagalnya membiarkan hati.

Melihat konteks kalimat di atas lebih tepat jika diartikan sebagai: gagalnya mewujudkan potensi hati, gagalnya meraih potensi maksimalnya. Hati kita sebenarnya dapat berpotensi untuk meraih hal-hal yang telah disebutkan dalam bait sebelumnya, tetapi hal tersebut dapat gagal karena berbagai sebab. Jadi membiarkan hati dalam gatra ini lebih tepat diartikan sebagai membiarkan hati meraih potensi terbaiknya.

Tan (tidak) kayungyun (tertarik, terpesona) mring (pada) ayuning (kindahan) kayun (hati).

Antara lain sebab gagalnya adalah; hati tidak tertarik pada keindahan bentuk sempurnanya. Hal ini merujuk pada kisah Panembahan senopati pada bait ke-16 yang kayungyun eningingtyas, terpesona kaheningan hati sehingga beliau terpacu semangatnya untuk menyepi. Apa hubungan ening dan ayu? Keduanya sama-sama bentuk puncak dari potensi hati yang diasah melalui pertapaan, atau mengurangi hawa nafsu. Jadi kurang lebih keduanya serupa.

Bangsa (semacam hal) anggit (direka-reka) yen (kalau) ginigit (digigit, dirasakan) nora (tidak) dadi (terwujud).

Hal tersebut (tidak tertariknya hati) membuat hati enggan, seolah terpaksa untuk meraih ayuningtyas, sehingga cenderung untuk mereka-reka (nganggit). Bisa jadi hal ini karena enggan menempuh laku sembah kalbu karena kemalasan sehingga merasa sudah mencapai tujuannya. Padahal itu hanya tujuan semu, yang kalau dirasakan (ginigit) tidak ada wujudnya (nora dadi).

Marma (oleh karena itu) den (harap) awas (awas) den (dan harap) emut (ingat), mring (terhadap) pamurunging (penghalang) lelakon (diperjalanan). Maka dari itu harap waspada dan ingat, terhadap penghalang di perjalanan.

Ghirah dalam beribadah secara fisik (sembah raga) kepada Allah dapat naik-turun, kadang sangat bersemangat tetapi kadang tak bergairah, loyo. Hal itu bisa karena berbagai kondisi, mungkin terlalu lelah fisik sehingga hati menjadi kendur, mungkin karena hati terlalu terpaut pada dunia sehingga tak lagi cenderung pada ibadah, maka tubuh yang kuat pun tak mampu tergerak.

Dalam hal sembah kalbu, godaan lebih berat lagi karena sembah kalbu adalah ibadah yang tak tampak oleh orang lain. Tidak ada istilah riya’ dalam sembah kalbu karena sembah kalbu tak dapat dilihat oleh orang lain. Yang memotivasi adalah diri sendiri.

Beberapa hal yang membuat gagalnya sembah kalbu adalah ketidaksabaran, kurang hati-hati dan merasa cukup. Maka perlu kiranya selalu menjaga hati agar senantiasa bersikap tata, titi, ngati-ati, sareh dan telaten. Pengertian masing-masing sikap telah diuraikan dalam bait-bait sebelumnya.

Bait ini adalah bait terakhir yang membahas sembah kalbu, bit selanjutnya akan berbicara tentang sembah jiwa. Apakah itu? Silakan terus mengikuti kajian ini.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/26/kajian-wedatama-62-gagare-ngunggar-kayun/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...