Translate

Minggu, 18 Agustus 2024

Kajian wedatama (39): Elok, Jawa Denmohi?

Bait ke-39, Pupuh Pucung, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Kang kadyeku, kalebu wong ngaku aku,

Akale alangka,

Elok Jawa denmohi,

Paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah.


Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Yang seperti itu, termasuk orang yang mengaku-aku,

Pandangannya tak masuk akal,

Aneh, tak suka pada kejawaan,

Memaksa diri melangkah seperti pengetahuan orang di Mekkah.


Kajian per kata:

Kang (yang) kadyeku (seperti itu), kalebu (termasuk) wong (orang) ngaku (mengaku) aku (aku). Yang seperti itu, termasuk orang yang mengaku-aku.  

Dalam bait ke-38 pada postingan sebelumnya tentng fenomena orang-orang yang sok tahu. Mereka sekedar mengaku-aku berilmu saja. Tidak berdasar mulat sarira hangrasa wani, melihat diri dan berani menilai diri sendiri. Inilah waham yang sering hinggap pada orang-orang pemula yang baru belajar sedikit. Mereka menjadi merasa pintar sekali, seolah-olah orang lain tak mempunyai pengetahuan sepertinya.


Dalam belajar ilmu agama pun kadang waham seperti ini juga sering menjangkiti para murid yang baru belajar. Akibatnya banyak perilaku mereka yang justru menjauh dari sifat-sifat seorang yang menjalani agama. Sombong, berlagak pintar bak orang alim dari Mesir dan meremehkan ilmu orang lain.

Akale (akalnya) alangka (tak ada). Tak ada akalnya, pandangannya tak masuk akal.

Wawasannya dangkal, pandangan hidupnya menjadi aneh. Karena sepotong-sepotong dalam memahami ajaran agama, maka yang terjadi justru terkesan menggelikan, tak masuk akal. Padahal orang beragama harus menggunakan akalnya  secara maksimal untuk menangkap isyarat alam, tanda-tanda kekuasanNya.

Elok (aneh) Jawa (jawa, kejawaan) denmohi (tak mau, tak suka). Aneh, kejawaan tak disukai.

Yang lebih aneh lagi kemudian membuang segala hal yang berbau kejawaan dan menggantinya dengan segala hal ke-Arab-Araban. Walau sebenarnya secara konteks tidak cocok dan tidak perlu, karena pokok ajaran agama adalah moral yang baik, akhlak mulia. Memang ada beberapa hal dalam diri manusia yang bersifat abadi, tidak berubah sejak pertama kali diciptakan sampai hari ini. Nah, dalam hal yang seperti ini agama membuat peraturan yang universal juga. Namun untuk hal-hal yang sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan maka ada beberapa hal yang harus disesuaikan.

Misalnya, sejak dahulu seorang anak adalah tanggungan orang tuanya dalam mengasuh dan memberi makan, maka berbakti kepada orang tua adalah ajaran agama yang tidak memandang tempat dan waktu. Dimana saja sejak dahulu sampai sekarang menghormati orang tua adalah wajib. Namun bentuk-bentuk penghormatan itu berlainan di tiap tempat, bergantung pada budaya setempat. Jadi tak harus kemudian ikut-ikutan dengan tatacara di tanah Arab sana.

Paksa (memaksa) langkah (melangkah) ngangkah (menjangkau) met (sampai) kawruh (pengetahuan) ing (di) Mekah (Makkah, Arab). Memaksa diri melangkah seperti pengetahuan orang di Mekkah.

Memaksakan satu kebiasaan suatu bangsa kepada bangsa lain tidak akan selalu cocok. Apalagi Jawa dan Arab terpisah jarak yang jauh, berbeda iklim dan lingkungan maka jelas akan ada perbedaan yang sangat jauh. Misalnya dari segi jenis tanaman pokok yang tumbuh. Di Arab kurma tumbuh subur berbuah lebat, di Jawa walau bisa subur tapi tak dapat berbuah. Makan kurma bagi orang Arab adalah keutamaan, bagi orang Jawa makan kurma adalah bermewah-mewahan, karena harus didatangkan dari Arab, tentu biayanya mahal.

Di rab pakaian lelaki yang cocok adalah baju panjang, ghamis. Di sana tidak menjadi masalah karena iklimnya cocok. Orang dengan pakaian itu juga tidak sumuk karena kelembaban udara rendah. Juga masih bisa bercocok tanam karena tanah di sana keras dan berpasir. Jenis tanaman pun lain. Coba jika dipakai orang Jawa, sebentar sudah risih karena sumuk. Juga tidak bisa bekerja di sawah karena kondisi tanah becek dan berlumpur. Bayangkan seorang membajak sawah pakai ghamis, warna putih lagi. Pasti sepulangnya dari sawah sudah tak karuan bentuknya.

Nah, dalam hal inilah beberapa adat kebiasaan di Arab sana mesthi disesuaikan dengan konteks Kejawaan. Meski demikian agama selalu membawa nilai-nilai universal yang harus diterapkan pada setiap manusia, untuk yang ini kita memang harus tunduk, sami’na wa atho’na.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/18/kajian-wedatama-39-elok-jawa-denmohi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...