Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Kalatidha (1): Kalulun Kalatidha

 Di tengah budaya feodal yang paternalistik beliau masih sanggup menyuarakan kritik terhadap penguasa. Posisinya sebagai bawahan tak membuat ketajaman hatinya kabur. Serat ini menjadi bukti sebuah perlawanan yang disampaikan secara apik, sekaligus refleksi sikap mupus. Sebuah sikap untuk selalu mencari hikmat yang terkandung dalam setiap kejadian, dan mencari tindakan yang terbaik. Dialah sang pujangga besar, Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Serat Kalatidha  ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1860. Ketika itu karir beliau mentok dan tampaknya hubungannya dengan raja kurang harmonis. Ada ketidak puasan dalam dirinya sehingga lahirlah serat Kalatidha ini.

Kita tidak akan mengupas terlalu panjang tentang latar belakang sang pujangga. Bagaimanapun diperlukan riset yang mumpuni untuk mengambil kesimpulan sejarah yang tepat. Dan saya tak punya kemampuan untuk itu. Maka kami cukupkan dengan mengkaji isi serat Kalatidha secara tekstual saja.

Alasan lain dari kajian Kalatidha ini adalah serat ini cukup populer di kalangan masyarakat. Beberapa bulang yang lalu saya mendapatkan rekaman gending sinom parijatha yang memuat serat ini. Jadi serat ini cukup akrab terdengar di telinga banyak orang Jawa. Karena itu kami merasa perlu untuk mengkajinya agar generasi muda yang sudah tak begitu paham kosa kata Jawa lama menjadi sedikit mengerti.

Inilah bait ke-1, dalam tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Mangkya darajating praja,

kawuryan wus sunyaruri.

Rurah pangrehing ukara,

karanatanpa palupi,

atilar silastuti.

Sujana sarjana kelu,

kalulun kalatidha.

Tidhem tandhaning dumadi,

andayengrat dene karoban rubeda.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Keadaan keluhurang negara,

terlihat sudah semakin samar.

Rusak kepemimpinannya,

karena tanpa teladan baik,

(pejabat) meninggalkan aturan terpuji.

Orang cerdik cendekia terseret,

ikut tergulung jaman keragu-raguan.

Sepi dari tanda-tanda kehidupan,

membuat seolah dunia tenggelam dalam kerepotan.

Kajian per kata:

Mangkya (keadaan sekarang) darajating (keluhuran, martabat) praja (negara), kawuryan (terlihat) wus (sudah) sunyaruri (secara samar). Keadaan keluhurang negara, terlihat sudah semakin samar.

Kata sunyaruri sering dipakai untuk menyebut alam gaib, yang tidak terlihat atau samar bagi kita. Karena itu saya lebih sreg menerjemahkan kalimat itu sebagai terlihat makin samar. Hal ini berkaitan dengan kewibaan pemerintah yang sudah merosot, keluhuran pemerintahan mataram seperti yang dicita-citakan pendirinya semakin samar-samar.

Rurah (rusak) pangrehing (pengendalian) ukara (perkataan), karana (karena)tanpa (tanpa) palupi (teladan baik), atilar (meninggalkan) silastuti (aturan terpuji). Rusak kepemimpinannya, karena tanpa teladan baik, (pejabat) meninggalkan aturan terpuji.

Pangrehing ukara, pangreh artinya mengendalikan, ukara artinya perkataan dalam hal ini berarti peraturan karena pada jaman itu perkataan raja atau pejabat adalah aturan yang berlaku. Jadi kalimat ini lebih tepat diterjemahkan sebagai kepemimpinan. Silastuti dari kata sila dan astuti. Sila adalah aturan, asas atau pedoman, seperti pada Panca Sila. Astuti  artinya terpuji, silastuti adalah aturan yang terpuji, yang dimaksud adalah aturan moral karena kata ini lebih sering dipakai untuk menyebut sikap atau tatakrama.

Sujana(orang cerdik)  sarjana(cendekia)  kelu (terseret), kalulun (ikut tergulung) kalatidha (jaman keragu-raguan). Orang cerdik cendekia terseret, ikut tergulung jaman keragu-raguan.

Orang-orang serba ragu, perbuatan apa yang seharusnya diambil. Mau berbuat ini takut salah, tidak berbuat juga disalahkn. Mengambil opsi A dihujat kelompok sana, mengambil opsi B dihujat kelompok sini. Akibatnya para cerdik pandai pun terseret arus pasar. Kira-kira mana yang akan disukai orang itulah yang akan disuarakan. Padahal yang dikatakan belum tentu sesuai hati nurani. Para cendekia pun memilih ikut arus yang menguntungkan.

Tidhem(sepi)  tandhaning(dari tanda) dumadi (kehidupan), Andayengrat (membuat seolah dunia) dene (seperti) karoban (tenggelam) rubeda (dalam kerepotan). Sepi dari tanda-tanda kehidupan, membuat seolah dunia tenggelam dalam kerepotan.

Saking tidak jelasnya keadaan negara sampai berkesan tidak ada kehidupan di situ. Yang dimaksud adalah daya hidup yang menjiwai setiap kebijakan. Segala keputusan diambil seolah mengabaikan kecerdasan. Lha iya wong para cedik-pandai sudah memilih ikut arus. Keadaan orang-orang yang loyo ini membuat seolah dunia sedang dirundung malang, penuh kerepotan.

Repot adalah kondisi seseorang yang terlalu sibuk mengurus diri sendiri, hingga tak mampu peduli kepada orang lain. Sekedar empati pun tak sempat. Bagaimana kalau para pejabat berada dalam kondisi demikian. Anda bayangkan sendiri, kalau tak sanggup membayangkan lihat saja contohnya yang banyak bertebaran disini. 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/10/04/kajian-kalatidha-1-kalulun-kalatidha/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...