Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Kalatidha (2): Tan Dadi Paliyasing Kala Bendu

 Bait ke-2, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Ratune ratu utama,

Patihe patih linuwih,

pra nayaka tyas raharja,

panekare becik-becik.

Parandene tan dadi,

paliyasing Kala Bendu,

mandar mangkin andadra.

Rubeda angrebedi,

beda-beda ardaning wong sanegara.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Rajanya raja utama,

patihnya patih pilihan,

para punggawa berhati mulia,

para bawahannya baik-baik.

Walau demikian tidak menjadi,

penolak dari jaman Kutukan,

malah makin menjadi-jadi (kerusakannya).

Banyak halangan yang membuat kerepotan,

dari hasrat yang berbeda-beda setiap orang seluruh negara.

Kajian per kata:

Ratune (rajanya) ratu (raja) utama (utama), Patihe (patihe) patih (patih) linuwih (pilihan), Pra (para) nayaka (punggawa) tyas (berhati) raharja (mulia, baik), Panekare (bawahan, pejabat rendah) becik–becik (baik-baik). Rajanya raja utama, patihnya patih pilihan, para punggawa berhati mulia, para bawahannya baik-baik.

Inilah gambaran dari negara yang sedang kita bicarakan pada bait pertama, sebagai negara yang surut kewibawaannya, merosot keluhurannya. Padahal di dalamnya penuh dengan orang-orang baik. Rajanya seorang yang utama, Patihnya juga orang pilihan, punggawa negara berhati mulia dan pegawai-pegawai negara juga orang baik-baik semua. Sebuah negara yang sebenarnya ideal untuk memberi keadilan dan kemakmuran bagi penduduknya.

Sekedar informasi bahwa pemerintahan jaman serat ini digubah adalah sistem kerajaan dimana raja secara simbolis menjadi pemegang kekuasaan negeri dan berwenang menentukan kebijakan. Dalam hal ini yang bertindak sebagai pelaksana atau perdana menteri adalah Patih. Namun karena masa itu Belanda sudah sedemikian berkuasa kedudukan Belanda di atas raja. Jadi setiap kebijakan apapun harus disetujui oleh Belanda yang dalam hal ini diwakili Residen surakarta. Dengan demikian posisi raja sebenarnya terbelenggu, karena apapun kalau tidak disetujui Residen takkan terjadi.

Parandene (walau demikian) tan (tak) dadi (menjadi), paliyasing (penolak dari) Kala (jaman) Bendu (kutukan), mandar (malah) mangkin (makin) andadra (menjadi-jadi). Walau demikian tidak menjadi penolak dari jaman Kutukan, malah makin menjadi-jadi (kerusakannya).

Kalau dalam bait pertama keadaan negara baru disebut Kalatidha, artinya jaman penuh keraguan, di bait ini sudah disebut Kalabendu, jaman penuh kutukan. Kerusakan ada dimana-mana, penyimpangan merajalela. Walau negara diisi oleh para cerdik cendekia, raja, patih, punggawa dan pegawai yang baik-baik tetap saja tak mampu menolak datangnya kutukan ini.

Sebenarnya gatra ini mengandung sindiran kepada para pejabat itu: kalian ngapain aja? Orang-orang pintar kok nggak becus ngurus negara?

Rubeda (halangan) angrebedi (membuat kerepotan), beda–beda (berbeda-beda) ardaning (hasratnya) wong (orang-orang) sanegara (seluruh negara). Banyak halangan yang membuat kerepotan, dari hasrat yang berbeda-beda setiap orang seluruh negara.

Mungkin karena setiap orang punya hasrat yang berbeda-beda hingga banyak merepotkan. Mau begini kok  melanggar kepentingan kelompok sana, mau berbuat begini kok melanggar kepentingan kelompok sini. Setiap orang punya kepentingan berbeda-beda dan mereka semua mengejar kepentingannya masing-masing. Mungkin inilah yang membuat negara itu menjadi negara terkutuk.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/10/04/kajian-kalatidha-2-tan-dadi-paliyasing-kala-bendu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...