Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Kalatidha (5): Wong Hambeg Jatmika Kontit

 Bait ke-5, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya pujangga agung Ranggawarsita:

Ujaring panitisastra,

awewarah asung peling.

Ing jaman keneng musibat,

wong hambeg jatmika kontit.

Mengkono yen niteni.

Pedah apa amituhu,

pawarta lelawara.

Mundhak angreranta ati,

angurbaya angiket cariteng kuna.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Sudah termaktub dalam Panitisastra,

yang menasihati dan memberi peringatan.

Di jaman yang penuh malapetaka,

orang berbudi halus akan tersingkir.

Demikian jika diperhatikan.

Apa gunanya menuruti,

kabar yang tak jelas,

hanya tambah menyusahkan hati.

Lebih baik merangkai cerita tentang jaman dahulu kala.


Kajian per kata:

Ujaring (termaktub dalam) panitisastra (buku Panitisastra), awewarah (menasihati) asung (memberi) peling (peringatan). Sudah termaktub dalam Panitisastra, yang menasihati dan memberi peringatan.

Panitisastra atau serat Panitisastra adalah kitab kuna yang disusun kembali dan diterjemahkan dari bahasa Kawi ke bahasa Jawa atas perintah Sunan Paku Buwana IV. Pengarang kitab ini tidak diketahui, tetapi isinya banyak dipakai pedoman dalam bersikap sebagai punggawa negara. Di dalamnya termuat nasihat-nasihat tentang bagaimana harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Ing (di) jaman (jaman) keneng (yang penuh) musibat (malapetaka), wong (orang) hambeg (berbudi) jatmika (halus, tenang) kontit (tersingkir). Mengkono (demikian) yen (jika) niteni (perhatikan). Di jaman yang penuh malapetaka, orang berbudi halus akan tersingkir. Demikian jika diperhatikan.

Orang-orang yang berbudi halus akan tersingkir di jaman pernuh malapetaka, karena mereka tak sampai hati berebut periuk nasi. Hati mereka terlalu halus untuk diajak berperilaku mburog, ngusruk, mepet sesama. Padahal di jaman terkutuk ini orang-orang yang tak tahu malulah yang paling sering tampil, lebih berpeluang mendapat jabatan dan kursi. Itulah yang terjadi.

Kontit artinya tersingkir dengan memalukan. Ibarat pertandingan lari dia ketinggalan jauh hingga disoraki penonton.

Pedah (guna, faidah) apa (apa) amituhu (menuruti), pawarta (kabar) lelawara (angin, tak jelas), mundhak (tambah) angreranta (menyusahkan) ati (hati). Apa gunanya menuruti, kabar yang tak jelas, hanya tambah menyusahkan hati.

Pada gatra ini sang pujangga sudah menunjukkan tanda-tanda melupakan kesedihan dan mulai move on. Beliau sadar bahwa mempercayai kabar yang tak jelas tidak ada gunanya. Jika tak sesuai harapan malah akan membuat hati semakin susah saja.

Angurbaya (lebih baik) angiket (merangkai, menyusun) cariteng (cerita) kuna (tentang jaman dahulu). Lebih baik merangkai cerita tentang jaman dahulu kala.

Inilah langkah yang akhirnya ditempuh sang pujangga. Dan ini tampaknya bukan sekedar angan-angan. Beliau banyak menelurkan karya-karya bermutu selain serat Kalatidha ini. Termasuk juga tentang kisah-kisah kuno seperti Serat Pustaka Raja Purwa, yang sering dipakai sebagai pakem pedalangan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/10/04/kajian-kalatidha-5-wong-hambeg-jatmika-kontit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...