Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Babad Prayud (2): R. M. Guntur Minggat dari Mangkunagaran

Sultan berkata lagi, “Hai Tumenggung Arungbinang, sekarang Haji Dullulu dan anaknya berada di mana? Apa masih hidup?”

Tumenggung Arungbinang berkata dan menyembah, “Haji Dullulu masih menetap di Palembang dan sekarang sudah menjadi mertua dari Prabu Palaretna. Adapun si Setrajaya sekarang pergi ke tanah Arab untuk naik haji, sekalian mencari guru dari bapaknya. Dia hendak pula berguru kepada Tuan Syekh Ahmad Qasasih. Ketika berpamitan kepada saya, saya beri bekal seratus riyal, tidak lebih. Dia sangat mengasihi hamba.”

Sultan berkata, “Arungbinang, engkau sungguh beruntung dia mengasihimu. Karena itu sebuah anugerah.”

Arungbinang berkata, “Ketika meramal seperti menguraikan ilmu gaib, si anak Haji Dullulu itu. Dia berkata, ‘Ki Tumenggung berhati-hatilah. Jangan sampai engkau terlena dalam melangkah, mustahil mencapai sempurna. Kelak ada pembesar yang mengalami kesejahteraan negeri. Pringgalaya, Sindurja, Mlayakusuma, Wiraguna, Mangkupraja dan Kartanegara tidak akan menyaksikan, juga Ki Natayuda. Hanya itu yang saya sebut, selainnya akan mengalami semua. Harap waspada kelak, tak boleh gugup. Bagi sesama darah Mataram, perhatikanlah. Yang sudah pasti adalah Pangeran Arya Mangkubumi, karena dia wataknya berbeda dari yang lain.”

Kangjeng Sultan menanggapi, “Andai engkau dulu mencolekku, pasti aku ingat. Aku menjadi tidak takabur dan tidak kalah dalam perang. Kalau sudah kehendak Tuhan akan rusak, tak bisa lagi ditahan. Ketika aku mengawali perang, selalu melawan musuh yang empat kali lipat. Kalau aku kalah dua kali, gantinya akan menang lima kali. Aku menjadi terlena, mengira dapat melawan musuh yang lima kali lipat, lima puluh kali lipat atau seratus kali lipat. Aku menjadi takabur. Aku lupa akan pertolongan Tuhan.”

Kangjeng Sultan bicara ke soal lain, “Arungbinang, engkau saksikanlah! Anakku Si Beng, namanya aku ambil. Dan nama suaminya aku kembalikan menjadi Suryakusuma. Nama pemberianku Adipati Mangkunagara aku cabut. Dan anakku Si Beng kembalilah memakai nama Ratu Bendara.”

Tumenggung Arungbinang lalu mengumumkan kepada pasukan Surakarta, bahwa sekarang Raden Ayu Mangkunagara kembali memakai nama Ratu Bendara. Payung kuning lalu diberikan, disertai tiga ratus riyal hasil negeri Pamagetan sudah diberikan.

Sultan berkata lagi, “Arungbinang, semua punggawaku yang akan ke Surakarta sebaiknya menghubungi engkau dahulu.”

Arungbinang berada di Yogya selama sembilan belas hari. Selama itu sudah enam kali Arungbinang dipanggil ke pura dan bicara dengan Sultan. Apa saja yang dibicarakan tidak lain dari pengalaman masa lalu. Setelah sembilan belas hari Ratu Bendara berada di Yogyakarta, sang putri minta pamit dan sudah diizinkan. Sultan sudah mempercayakan semua kepada Tumenggung Arungbinang.

Pada tanggal dua puluh lima, bulan Dulkangidah, rombongan berangkat menuju Surakarta. Punggawa Yogya yang ikut mengantar adalah Pangeran Jayakusuma, Ki Tumenggung Singaranu dan Tumenggung Mangunnegara, dengan diiringi sepuluh mantri dari kesatuan; Ketanggung, Patangpuluh serta para prajurit keparak dari kesatuan Nirbaya, Jagabaya, Wirabraja, Brajanala. Sejumlah dua ratus kerabat dari Yogya mengatar sampai di jalan. Banyak sekali barang bawaan sang ayah kepada Ratu Bendara. Cincin kembar seharga tujuh ratus riyal dan busana berwarna-warni. Juga para kaliwon Ki Tumenggung Arungbinang sudah diberi pakaian ganti semua. Raden Tirtakusuma juga diberi hadiah yang bermacam-macam.

Rombongan pengantar Ratu Bendara sudah sampai di Sambilegi. Rombongan kemudian berhenti. Para kerabat kemudian kembali ke Yogya. Adapun pengawalan di jalan disertai empat puluh drangoder Kumpeni. Berangkat dari Yogya hari Senin, dua hari kemudian, pada hari Rabu tanggal dua puluh tujuh sudah sampai di Surakarta. Kepulangan Ratu Bendara dari Yogya juga membawa dua putri Pangeran Mangkunagara dari istri selir. Kedua putri semula diambil oleh sang kakek Kangjeng Sultan. Sekarang sudah dewasa dan bermaksud mengabdi kepada sang ayah. Kedua putri bernama Raden Ajeng Bonjot dan Raden Ajeng Semplep, nama pemberian sang kakek.

Rombongan Ratu Bendara sudah sampai di Surakarta, sepanjang jalan menjadi tontonan penduduk negeri. Rombongan masuk kota dan menuju Mangkunagaran. Banyak penduduk menyambut kedatangan rombongan dari Yogya. Setelah mendapat jamuan di Mangkunagaran ketiga punggawa Yogya kemudian dibawa menuju Kepatihan. Arungbinang lalu melapor kepada Oprup Beiman di Loji bahwa Ratu Bendara telah datang diserta tiga punggawa Yogya. Arungbinang menyarankan agar besok saja Oprup menyambut dan membawa menghadap ke istana. Rombongan kemudian bubar dan pulang ke rumah masing-masing.

Pagi harinya, Ratu Bendara mendahului masuk ke istana. Ratu Bendara menyerahkan oleh-oleh dan kiriman hadiah dari Yogya. Ada banyak hadiah yang dikirim oleh Sultan. Kedua putra Adipati Mangkunagara juga dibawa menghadap untuk melakukan sungkem, Raden Ajeng Bonjot dan Raden Ajeng Semplep. Sang Raja menerima sungkem dari kedua putri dengan sukacita.

Bertanya Sang Raja, “Anakku, engkau ikut siapa ketika ayahmu bermusuhan dengan kakekmu? Mana yang lebih engkau cintai dari keduanya?”

Dua Raden Ajeng menyembah dan berkata, “Kami tidak pernah mendengar kalau ayah masih ada. Sejak kecil yang mengasuh kami adalah Mbah Kyai Sultan. Baru setelah dewasa kami tahu kalau anak dari Mangkunagara. Tidak cinta sebenarnya karena kami tahunya hanya Mbah Kyai Sultan. Dulu ketika masih berkelana di hutan pernah kami menderita kalah perang. Katanya musuhnya bernama Mangkunagara. Kangjeng Eyang sangat bersedih waktu itu.”

Sang Raja tertawa, “Benar anakku, orang seluruh dunia mencela bapakmu. Seperti tak ada baiknya. Bahkan semut dan rayap pun mencela. Sampai bapakmu heran.”

Dua Raden Ajeng menyembah, “Atas perintah kakek kami disuruh berbakti kepada yang menurunkan kami. Kalau tak ada perintah kami tak mau.”

Orang-orang yang mendengar tertawa. Di tengah perbincangan Nyai Lurah keparak memberi tahu bahwa Oprup akan menghadap dengan membawa tiga punggawa dari Yogya.  Sang Raja segera turun ke pendapa dan bertahta di singgasana gading. Oprup, Tumenggung Arungbinang, Tirtakusuma dan ketiga punggawa dari Yogya sudah diizinkan menghadap.

Oprup sudah masuk dan bersalaman dengan Sang Raja, lalu mengambil tempat duduk. Sang Raja mengisyaratkan agar Arungbinang membawa para punggawa mendekat. Pangeran Jayakusuma maju dan meletakkan keris.

Berkata Sang Raja, “Jangan letakkan kerismu. Engkau akan sungkem. Kyai Sultan tidak berkenan jika orang sungkem meletakkan keris, walau kepada utusan dari negeri lain. Sedangkan engkau masih sepupu denganku, maka jangan letakkan kerismu. Seperti itu berita yang kudengar tentang Paman Sultan.”

Sang Raja berpaling kepada Ki Mangunnagara dan bertanya, “Hai Mangunnagara, engkau yang tua dan lama mengikuti Paman Sultan, apa benar berita itu?”

Mangunnagara berkata, “Benar paduka. Dulu ketika paman paduka menemui utusan dari Madura Kuda Pranglangit, dia tidak dibolehkan meletakkan keris. Seperti itu pula ketika beberapa kali menerima duta dari negeri lain.”

Sang Raja berkata, “Kanda Mangkunagara kalau kedatangan tamu dari orang lain, kalau mendekat harus meletakkan keris. Kalau tak meletakkan keris hanya ditemui dari jauh.”

Tuan Oprup Beiman tersenyum, “Memang wataknya serba was-was, semua hal dicurigai. Sampai mati sepertinya takkan sembuh. Tak seperti Tuan Sultan yang hatinya sentausa. Sekarang pun, setelah lama paduka rengkuh sebagai punggawa, setiap ke Loji masih membawa banyak tombak. Seperti tidak segan kepada Kumpeni. Apa mungkin Kumpeni akan punya maksud buruk kepadanya.”

Para yang hadir tertawa mendengar penuturan Oprup Beiman.

Sang Raja kembali bertanya kepada Pangeran Jayakusuma, “Dinda Jayakusuma lahir di mana?”

Yang ditanya menjawab, “Saya lahir di tanah Jawa, kemudian disapih di Betawi.”

Sang Raja berkata, “Sungguh kalau tidak tahu akan mengira engkau lahir di Ceylon karena hitam kulitmu. Beda dengan saudaramu yang lain. Paman Natakusuma dan Paman Pakuningrat kulitnya kuning-kuning, pantas kalau lahir di Jawa.”

Tuan Oprup menyela lagi, menyambung membicarakan watak Pangeran Mangkunagara yang dia anggap aneh, “Saya dulu bertanya kepada kakak paduka Pangeran Mangkunagara, ‘Wahai Pangeran, kalau ke Loji sebaiknya tidak usah membawa banyak tombak. Kurang pantas bila dilihat. Ayah paduka Kangjeng Sultan kalau duduk bersama Kumpeni sudah hilang rasa was-was, tak ada curiga lagi.’

Pangeran Mangkunagara tertawa dan berkata, ‘Memang sudah watak saya seperti ini. Manusia setanah Jawa tidak ada yang seperti Kyai, gampang percaya dan banyak berkata. Kalau ada dari kerabatku yang bisa mengimbangi seperti itu, aku minum air kencingnya.’

Sungguh Pangeran wataknya sombong dan sok jago. Kurang cakap tapi berlagak.”

Ramai tawa para hadirin yang mendengar perkataan Oprup.

Sang Raja berkata, “Arungbinang, Arungbinang, bagaimana pesan Paman Sultan kepadamu?”

Ki Tumenggung menyembah dan berkata, “Ayah paduka Sultan minta kesaksian dalam beliau menyerahkan kepada sang putri, dua ratus riyal penghasilan dari pesisir dan dari negeri Pamagetan. Yang lain-lain ada banyak barang bawaan tapi tidak dipersaksikan kepada hamba. Dan juga, ketika saya datang di sore hari, paginya diizinkan menghadap.

Ayah paduka bertanya, ‘Siapa yang memakai kain itu?’

Saya jawa, “Dia si Kusuma, putra Mlayakusuman.’

Oleh Sultan lalu dipanggil ke depan untuk sungkem. Lalu Sultan memanggil para penabuh gamelan dan Remeng disuruh menari. Sultan suka melihatnya.”

Sang Raja berkata, “Paman itu suka menari, dan walau sudah sepuh masih suka berkuda.”

Demikianlah, selama sepuluh hari utusan dari Yogya berada di Surakarta. Tiga kali mereka dipanggil menghadap untuk berbincang dengan Sang Raja. Setelah sepuluh hari mereka minta pamit. Selama sehari kemudian mengunjungi Mangkunagaran. Di pura Mangkunagaran mereka dijamu dengan pesta yang meriah. Semua bersuka-suka. Pada tanggal dua puluh delapan bulan Dulkaidah rombongan kembali ke Yogya. Dua putri Mangkunagaran sudah sungkem kepada orang tuanya.

Singkat cerita, rombongan sudah sampai di Yogya. Sultan menanyakan perjalanan para pengantar selama di Surakarta. Sudah diceritakan semua yang terjadi. Sultan merasa bersukacita.

Bulan sudah berganti, masuk ke bulan Besar. Ada cerita tentang menantu Pangeran Mangkunagara yang bernama Raden Mas Guntur. Raden Mas Guntur adalah putra dari Raden Wiratmeja, putra Pangeran Tepasana, Putra Sunan Amangkurat Mas yang dibuang ke Ceylon atau dikenal dengan nama Sunan Kendhang. Jadi Raden Mas Guntur terhitung cucu canggah dari Sunan Amangkurat Mas.

Pada waktu itu Raden Mas Guntur mendapat amarah dari sang mertua Pangeran Adipati Mangkunagara. Sebab mendapat amarah karena Raden Mas Guntur menggoda istri selir Raden Arya Endranata yang bernama Larasati. Pangeran Adipati Mangkunagara sangat marah ketika mendengar berita ini. Kemarahannya seperti ditampar muka dan ditendang belikatnya. Tangan Pangeran sampai bergetar. Andai saja si menantu di hadapannya, pasti sudah diselesaikan sekarang juga. Pangeran Mangkunagara lalu memanggil sang putra Pangeran Prabuwijaya.

Setelah sang putra menghadap, berkata Pangeran Mangkunagara, “Hai, iparmu itu sungguh binatang. Sungguh bukan manusia. Raden Arya Endranata adalah sesepuh orang Surakarta, dan suami dari bibiku. Jadi dia itu masih kakekmu. Mengapa iparmu itu berani berbuat rusuh di rumah tangganya. Aku tak sudi lagi melihat muka saudaramu itu.”

Sementara itu Raden Guntur Wiratmeja pada saat itu sedang mengintip pembicaraan mereka. Melihat sang mertua sangat marah dan menyebutnya sebagai kotoran dunia, Guntur langsung ngacir. Pada hari Senin, setelah matahari turun ke barat, Guntur pergi ke arah barat laut. Semua istri dan selir dibawa serta, termasuk selir Arya Endranata yang bernama Larasati.

Pangeran Mangkunagara ketika mendengar Guntur telah lolos menjadi semakin marah. Pukul setengah tiga Pangeran melapor kepada Sang Raja dan Oprup Beiman bahwa sang menantu telah minggat dari kota. Oprup lalu menghadap ke istana. Sesampai di puri Sang Raja telah menggelar pertemua.

Berkata Sang Raja, “Hai Oprup, bagaimana soal minggatnya si Wiratmeja ini. Kanda Pangeran jangan sampai kena getahnya.”

Oprup berkata, “Kakak paduka sudah ikhlas kalau si menantu akan dipukul perang. Saya akan memberi tahu ke Semarang bahwa si Wiratmeja telah minggat dari kota.”

Pangeran Mangkunagara menyahut, “Aku sendiri kalau harus dituntut untuk menangkapnya, sangat suka hati.”

Sang Raja menyambung, “Terlalu besar itu, kalah Kanda yang menangkapnya.”

Oprup berkata, “Benar, biar para wadana saja yang berangkat memukul si Wiratmeja.”

Sang Raja segera memerintahkan wadana untuk melaksanakan tugas. Yang ditunjuk adalah Arungbinang dan Mangkuyuda. Kedua punggawa segera berangkat bersama para kaliwonnya. Hari Senin tanggal sepuluh si Guntur Wiratmeja lolos, hari Rabu tanggal dua belas sudah dikejar pasukan dua wadana. Keduanya disertai pembesar dari kerabat raja, yakni Pangeran Pakuningrat. Pangeran Adipati Mangkunagara menyertakan seratus prajurit Sarageni merah dengan pimpinan mantri dalam Jayasuwarna. Pasukan segera berangkat dari Surakarta.

Sementara itu, Raden Wiratmeja sudah menaklukkan Blora. Namanya kemudian berganti Pangeran Anom Pramukeng Jurit. Sudah masyhur di seluruh Kendeng. Penduduk sekitar sudah tunduk dan patuh. Karena selain masih kerabat Mangkunagara, Guntur Wiratmeja juga masih keturunan Pakubuwana I, maka penduduk sekitar Blora pun tunduk dengan sukarela.

Ada seorang pembesar dari Warung, bernama Tumenggung Candrakusuma. Di Warung dia sudah mempunyai dua ribu delapan ratus cacah tanah garapan. Walau demikian masih tergiur ramalan orang yang mengatakan kalau kelak keturunan Amangkurat yang keempat akan mencabut kekuasaan raja Jawa melalui perang. Keturunan Pakubuwana akan sial dalam perang dan berhasil dikalahkan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/06/14/babad-prayud-2-r-m-guntur-minggat-dari-mangkunagaran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...