Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (21): Keris pusaka Majapahit Kyai Condhongcampur Diketahui Mempunyai Cacat

Sang Raja Majapahit Prabu Brawijaya berkenan mengadakan upacara siraman pusaka kerajaan. Pusaka-pusaka kerajaan berupa keris, tombak, golok, lembing, panah, perisai, gada sudah dikeluarkan dari gedung pusaka. Para brahmana, pendeta dan wiku sudah masuk ke dalam puri bagian belakang. Tempat penyiraman pusaka telah penuh oleh para punggawa Majapahit.

Sang Raja duduk di balai Sasana Cipta. Tak lama kemudian peti-peti pusaka sudah disiapkan di tempat siraman. Sang Raja sendiri yang akan memulai acara siraman. Sang Raja lalu mengambil keris Kyai Condongcampur dari peti dan menghunusnya. Kaget Sang Raja ketika melihat keris Kyai Condongcampur. Sampai beberapa saat Sang Raja tak mampu berkata-kata, tertegun seperti orang dari bangun dari mimpi. Keris Kyai Condongcampur putus kembang kacangnya dan patah ujungnya sepanjang tiga luk. Bilah keris tampak pucat, biru seperti logam aus.

Sang Raja berkata kepada Patih Wahan dengan menahan air mata, “Wahan, majulah ke sini. Ada perkara besar. Apa sebab Kyai Condongcampur sampai cacat seperti ini. Pasti ada pencuri masuk dan merusaknya. Kembang kacangnya lepas dan patah ujungnya sepanjang tiga luk. Mustahil bila tidak ada orang yang merusaknya. Coba perhatikan!”

Patih Wahan maju dan memeriksa keris Kyai Condongcampur.

“Ini bukan perbuatan pencuri, paduka. Mustahil bila sampai berani masuk ke puri dan melakukan perbuatan ini. Bila tidak atas kehendak dewata semua ini tidak akan terjadi,” kata Patih Wahan.

Sang Raja lalu bertanya kepada para guru yang hadir, apa sebab Kyai Condongcampur sampai menderita seperti ini.

Ajar Cemaratunggal berkata, “Rusaknya pusaka ini menjadi tanda akan muncul huru-hara besar. Pertanda dari Tuhan Yang Maha Tinggi ini cocog dengan isi rontal Jayabaya yang berisi perjumpaan antara Prabu Jayabaya dan Kangjeng Sultan Ali Syamsu. Disebutkan bahwa rusaknya negeri Majapahit, diawali tanah Jawa berganti agama.”

Sang Raja mengangguk-angguk dan berkata, “Hai Paman guru, apa yang Anda utarakan cocog dengan pesan Hyang Triyatra yang aku terima. Nanum bagi seorang raja, tidak elok bila lari dari peperangan. Lebih baik musuh dihadapi dalam medan perang.”

Ki Patih menyela, “Duh Tuanku, benar apa yang paduka katakan. Patih pun tiada beda, walau hancur tetap bertekad membela negeri. Darah yang mengucur ke tanah menjadi pupuk negeri Majapahit. Sudah sekian lama menjadi panutan dan sesembahan orang seluruh negeri, sepantasnya menunjukkan bakti kepada negara. Sudah lazim orang berperang akan kalah atau menang. Yang menang menguasai, yang kalah menjadi tawanan. Namun, itu tidak terjadi jika kami kalah. Kami akan bertempur sampai hancur.”

Heboh para bupati menyahut pernyataan Ki Patih, “Apa yang dikatakan Ki Lurah benar. Kami para punggawa tidak beda dalam tekad dan kesetiaan. Kami memilih mati membela negeri.”

Sang Raja terharu mendengar pernyataan Ki Patih dan para punggawa Majapahit. Mereka tampak kompak dan siap berperang membela negeri.

Sang Raja melanjutkan, “Hai Patih, bagaimana perkara Kyai Condongcampur ini. Dan para pendeta, apa pendapat kalian? Apakah keris ini dilarung di lautan, atau disimpan saja? Karena wujudnya sudah tidak patut lagi.”

Ki Tumenggung Supadriya berkata, “Duh dewata di bumi, bila paduka setuju sebaiknya dilebur dan dibentuk ulang. Jika dilarung tidak elok, karena ibarat membuang pusaka. Jika disimpan juga tidak baik karena sudah cacat. Pasti menimbulkan hawa buruk. Maka sebaiknya dilebur dan diperbaiki agar dapat digunakan lagi. Dan yang akan melakukan saya dan Kanda Supagati.”

Sang Raja sepakat, lalu memerintahkan agar segera dilaksanakan. Ki Supagati, Ki Supadriya, Pangeran Sendhang, Ki Supa Anom dan Adipati Surengrana sudah berkumpul untuk melaksanakan pekerjaan melebur Kyai Condongcampur. Perapian sudah dinyalakan. Sang Raja menyerahkan keris kepada Tumenggung Supadriya.

Ki Tumenggung Supadriya menghunus keris Kyai Condongcampur dan meletakkan ke dalam api. Api terus membesar sehingga keris memans. Semakin lama semakin panas hingga berwarna jingga kehijauan, lalu memerah agak  kebiruan. Ki Supadrinya bersiap mengangkat dan meletakkan ke paron. Palu telah disiapkan untuk membentuk ulang Kyai Condongcampur. Namun tiba-tiba Kyai Condongcampur melesat ke angkasa dan berputar-putar di atas kedaton. Sang Raja dan para punggawa kaget.

Keris terus berputar-putar di atas kedaton, lalu terdengar suara keluar dari keris itu, “Hai Prabu Brawijaya, engkau  berbuat aniaya dengan berniat menghancurkanku. Aku tak berbuat kerusakan, mengapa dihancurkan? Aku melakukan semua atas perintah Sang Pencitpa. Hai Prabu Brawijaya, engkau akan mendapat hukuman Tuhan. Sirna keutamaanmu. Para kawulamu akan kebingungan dan lari ke timur barat utara selatan mencari hidup. Negerimu akan sirna tanpa ada penolaknya. Hai Prabu Brawijaya, segera pergilah. Tinggalkan negerimu. Aku akan pulang ke asal-usulku di alam Tejamaya.”

Kyai Condongcampur menghilang tak terlihat lagi. Terus menapak alam gaib dan bermaksud masuk ke Tejamaya. Namun Hyang Endra mencegahnya.

“Hai Condongcampur, kembalilah. Engkau sudah menjadi racun dan menimbulkan kerusakan besar di Majapahit. Engkau menjadi teluh atas kehendakmu sendiri. Perintah Hyang Sidajati, engkau sekarang menjadi pusaka hina. Tempatmu berada di antara langit dan bumi. Menjadi teluh bajra. Kediamanmu di bintang berekor, selamanya sampai hari kiamat. Jika engkau kebetulan lewat di bumi, akan banyak penyakit; gabag dan gatal-gatal,” titah Hyang Endra.

Demikian nasib keris Kyai Condongcampur, selamanya menjadi teluh braja yang menyebarkan penyakit ke seluruh orang di bumi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/21/sajarah-jati-21-keris-pusaka-majapahit-kyai-condhongcampur-diketahui-mempunyai-cacat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...