Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (22): Prabu Brawijaya Mengutus Arya Pecattandha Memanggil Adipati Natapraja

Di kedaton Majapahit, Sang Raja masih berada di belakang kedaton. Belum hilang rasa kaget atas peristiwa yang baru saja terjadi. Kyai Condongcampur yang hendak dilebur mendadak melesat ke angkasa dan menghilang dengan meninggalkan ramalan yang kurang menggembirakan.

Para punggawa, empu dan para pendeta masih duduk di hadapan Sang Raja, bersiap menerima perintah selanjutnya. Mereka semua sudah mendengar perkataan Kyai Condongcampur yang cocok dengan ramalan yang telah mendengar dari Sang Raja dengar sesuai pesan Hyang Triyatra.

Ki Patih Wahan berkata, “Duhai paduka yang penuh kasih kepada para hamba, jangan paduka berkata hendak maju ke medan perang. Kami para punggawa yang akan menghadang datangnya musuh. Paduka silakan tinggal di istana dan menikmati tarian bedaya. Hamba dan teman-teman yang akan berperang sampai mati. Paduka tidak boleh ke medan perang. Bila kami kalah paduka sebaiknya meloloskan diri dari istana. Nista bila seorang raja gugur di medang perang. Menurut cerita Ramayana, ketika Sri Dasamuka raja Alengka berperang melayan Sri Rama titisan Wisnu dan gugur di medang perang, para dewa bersorak dan mencelanya. Maka tidak seyogyanya paduka berperang. Hamba pribadi sudah tak sabar menanti datangnya ramalan, tentang  negeri yang akan menyerang Majapahit. Di Bintara ada orang yang selalu membujuk putra paduka. Mereka adalah para santri yang sungguh merupakan musibat negeri. Putra paduka terus didorong untuk melawan paduka. Putra paduka sudah mabuk lafadz dan mematuhi perintah palsu. Sekarang Bintara sudah mulai menaklukkan negeri di kanan-kiri. Putra paduka sudah menyiapkan pasukan perang dan berlatih olah keprajuritan. Maka, hamba meminta izin paduka. Sebaiknya sekarang Bintara segera dipukul perang. Ibarat api belum membesar dapat mudah mati disiram air. Bila terlambat akan sulit dipadamkan.”

Sang Raja berkata, “Benar katamu, Patih.”

Adipati Pecattanda menyembah dan berkata, “Dun Tuanku, bila paduka izinkan, sepertinya belum saatnya Ki Patih maju ke medan perang bila hamba masih ada. Bagi hamba Ki Patih ibarat raja, tugasnya sangat banyak di istana. Mengelola negeri dan memerintah seluruh punggawa. Bila hamba masih ada, sebaiknya hamba yang menyelesaikan urusan di medan perang.”

Sang Raja sangat gembira menyambut usulan Adipati Pecattanda.

“Bila demikian, aku minta engkau ke medan perang. Namun sebaiknya engkau bujuk kakakmu dengan perkataan manis agar mau menghadap ke Majapahit. Bila mangkir, aku serahkan kepadamu untuk menyelesaikannya. Nah, berangkatlah. Bawalah seluruh pasukan. Dan engkau aku izinkan membawa keris Kyai Segarawedang,” titah Sang Raja.

Adipati Terung menyembah dan sungkem kepada Sang Raja lalu bergegas keluar menuju alun-alun. Tanda perang telah dipukul. Para prajuti heboh, segera berkmpul dengan senjata lengkap. Ki Patih menyusul ke alun-alun. Para prajurit telah berbaris sesuai kesatuan masing-masing. Alun-alun telah penuh prajurit berseragam warna-warni. Dari kejauhan tampak seperti hamparan bunga. Ki Patih didampingi Adipati Terung berkeliling memeriksa kesiapan pasukan Majapahit.

Ki Patih berkata, “Hai kawan-kawan para prajurit Majapahit. Kalian sudah lama hidup mulia di bawah kemasyhuran negeri Majapahit. Sandang pangan tiada kurang, juga kedudukan dan harta benda. Sekarang negeri Majapahit meminta baktimu. Ada musuh yang bersiap menyerang. Negeri Demak dibantu para santri telah menyiapkan pasukan hendak menyerang negeri kalian. Sang Raja telah menyerahkan keselamatan negeri pada kalian. Serahkan hidupmu, darah dan dagingnya untuk Majapahit. Jangan serahkan negerimu ke tangan musuh bila lehermu belum putus. Walau aku Patih dan para punggawa juga akan melakukan hal yang sama. Lebih suka hancur menjadi tanah daripada harus menyerah.”

Para prajurit menyambut seruan Ki Patih dengan penuh semangat. Mereka lebih suka mati di medan perang. Mereka sudah berniat takkan kembali. Kapanpun berangkat mereka telah siap. Adipati Pecattanda lalu membubarkan barisan. Pasukan Majapahit kembali ke barak, bersiap menerima perintah selanjutnya.

Sementara itu para wali sudah tiba di Bintara. Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Benang, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar, Pangeran Tembayat, Syekh Domba, Pangeran Modan Cirebon, Sunan Muryapada, Syekh Maulana Maghrib, Sunan Geseng, Syekh Benthong dan Syekh Majaagung sudah berkumpul di Masjid Demak. Adipati Natapraja menyambut mereka dan menghaturkan sungkem. Para wali dan Raden Adipati kemudian mengadakan sidang.

Raden Adipati Natapraja berkata, “Saya beritahukan bahwa sekarang Sang Raja di Majapahit sudah mengumpulkan para prajurit. Yang bertindak sebagai panglima adalah Adipati Terung Arya Pecattanda. Adipati Terung diberi tugas untuk memanggil saya. Bila saya tidak mau hadir diizinkan untuk memukul perang.”

Sunan Ampel berkata, “Bila demikian persiapkan pasukanmu. Tapal batas di selatan berilah prajurit pengintai. Tempatkan prajurit yang muda dan cakap. Perintahkan bila melihat pasukan Majapahit tiba segera melapor. Adapun pasukan Bintara yang bersiap ke medan perang sebaiknya dipimpin Sunan Ngudung. Dia yang akan menghadang Adipati Terung dengan memakai baju pusaka Kyai Antrakusuma. Mintalah baju itu kepada Nak Syekh Malaya. Bila dia memberikan kelak dapat menjadi penguat hati para prajurit. Dan engkau mintalah bantuan kepada orang dari Tarub yang saat ini dipimpin Ki Getaspandhawa. Seberapa jumlahnya mintalah untuk ikut serta berperang. Latihlah para prajurit untuk berperang habis-habisan karena musuh kali ini berat. Sekarang mundurlah Nak Adipati, persiapkan segala sesuatunya.”

Adipati Natapraja undur diri dan kembali ke puri Bintara. Segera Raden Adipati memerintahkan Ki Patih Wanasalam untuk melaksanakan saran dari para wali.

Pada saat yang sama Adipati Terung sudah bersiap memberangkatkan pasukan Majapahit. Para prajurit sudah berbaris rapi sejumlah 4.000 orang. Sebelum berangkat Adipati Terung melapor kepada Ki Patih Wahan.

“Ki Lurah, pasukan saya sudah bersiap berangkat,” kata Adipati Terung.

Patih Wahan berkata, “Nak, sebaiknya minta pamit kepada Sang Raja agar mendapat restu.”

Kedua pembesar Majapahit lalu masuk ke istana untuk menghadap Sang Raja.

“Duh paduka, abdi paduka Adipati Terung siap melaksanakan perintah menangkap para santri yang ikut agama sia-sia. Bila mereka melawan sungguh akan hamba pukul sampai tuntas,” kata Adipati Terung.

Sang Raja berkata, “Hai Adipati Terung, kakamu si Patah walau melawan raja, panggillah dengan perkataan yang baik. Namun bila melawan terserah apapun kehendakmu, walau sampai terjadi peperangan. Sudah hukumnya orang memberontak diperangi. Aku serahkan padamu seberapa banyak prajurit yang akan kau bawa. Sekarang berangkatlah.”

Adipati Terung menyatakan kesiapan. Adipati Terung lalu minta pamit undur diri. Ki Patih dan para punggawa turut memberi doa restu. Pasukan Majapahit berangkat ke arah barat menuju Demak Bintara. Bergemuruh suara pasukan Majapahit memenuhi jalan. Senjata mereka bermacam-macam. Ada tombak, pistul, kalantaka, keris dan lain-lain. Adipati Terung naik kuda sebagai panglima besar.

Pasukan Majapahit telah mencapai perbatasan negeri Bintara. Prajurit pengintai dari Demak segera memberi tahu ke pasukan induk. Tanda perang lalu dipukul. Para prajurit bergegas mengumpul. Seluruh prajurit sudah bersiap dengan persenjataan lengkap. Para punggawa Bintara sudah hadir.

Adipati Natapraja berkata, “Wahai Paman Patih, bagaimana sebaiknya. Kita hadang atau kita tunggu mereka menyerang?”

Ki Wanasalam berkata, “Bila paduka setuju, sebaiknya paduka kirim surat dulu kepada panglima perang mereka, yang tak lain adik paduka sendiri, Arya Pecattanda dari Terung. Bujuklah agar dia memilih berpihak ke Bintara. Jangan mengikuti raja kafir. Di Bintara dia tidak akan kehilangan kemuliaan.”

Raden Adipati Natapraja menuruti saran Patih Wanasalam. Rontal sudah diambil dan ditulis surat kepada Adipati Terung. Empat mantri senior kemudian diutus untuk menyampaikan surat kepada Arya Pecattanda yang bermarkas di perbatasan. Tidak lama keempatnya sudah bertemu Adipati Pecattanda. Surat segera diserahkan dan dibaca sang adipati dengan seksama.

Setelah membaca surat Adipati Pecattanda tersenyum dan berkata, “Hai para utusan, aku berterima kasih dipanggil menghadap Kanda Adipati. Katakan, bila Majapahit sudah sirna saya bersedia.”

Adipati Terung kemudian membuat surat balasan. Setelah selesai lalu diserahkan kepada keempat utusan. Keempat utusan sudah diizinkan kembali ke Bintara. Keempat utusan sudah menghadap Adipati Natapraja. Surat sudah diserahkan dan dibaca oleh Sang Adipati.

Isi suratnya: “Sembah dari adik paduka di Terung, Arya Pecattanda yang menjadi panglima pasukan Majapahit. Saya sudah memahami surat paduka yang memanggil saya agar berpihak kepada paduka dan memusuhi Sang Raja karena kafir. Saya sangat berterima kasih atas belas kasih paduka. Namun saya keturunan bangsawan yang tidak bisa begitu saja mengingkari kesetiaan yang telah terucap. Sang Raja sangat berbelas kasih kepada saya dan telah memberi kedudukan dan amanat. Sekarang bumi Majapahit memanggil dan membutuhkan pengabdian saya. Tidak ada yang bisa saya persembahkan selain jiwa dan raga. Saya tidak berhitung pada sanak saudara. Seorang ksatria harus berhati kokoh dan mantap dalam kesetiaan. Maka saya bertekad membela negeri Majapahit walau bersama seorang raja yang memeluk agama Buddha. Saya sekali-kali tidak akan berbalik atau menyerah kepada Bintara. Saya menepati watak ksatria dan menghindari watak nista. Sungguh saya sayangkan bahwa paduka tergesa-gesa dalam melangkah. Andai paduka tidak menuruti keinginan para santri yang ingin segera menguasai negeri, maka sudah pasti Majapahit akan menjadi milik paduka. Tidak pantas meminta negeri dengan cara paksa. Saya telah diutus Sang Raja agar membawa paduka menghadap ke Majapahit. Bila paduka menolak, saya diberi kuasa untuk memerangi paduka. Wahai Kanda, marilah bersama saya menghadap ke Majapahit. Paduka pasti kelak menjadi raja, tidak harus berperang dengan alasan agama. Bila paduka tetap menolak sudah pasti kita akan berhadapan dalam perang. Sudah ada contoh kejadian di zaman lalu dua orang saudara bertempur. Dahulu Sang Dananjaya berebut hidup melawan Suryatmaja. Padahal keduanya saudara satu ibu seperti paduka dan saya. Semua itu terjadi karena Suryatmaja sudah mengenyam kemuliaan di Astina. Dia harus membalas kebaikan raja Astina dengan nyawanya. Seperti itulah jalan keperwiraan yang saya tempuh. Walau saya sudah tahu ramalan Sri Jayabaya bahwa ayah paduka Sang Raja Brawijaya adalah raja terakhir di Majapahit. Namun kami tidak akan menyerah begitu saja. Walau menjadi debu kami tetap akan melawan. Saya ulangi lagi Kanda, marilah bersama saya menghadap ke Majapahit. Bila dalam dua hari tidak ada jawaban, akan ada kalantaka meletus.

Tamat isi surat, tertanggal 1 Kasa, Julungpujud, Taliwangke, Mawulu, ditandai suryasangkala: nembah janma tri karsa[1]. Tertanda Adipati Terung, adik paduka Arya Pecattanda.”

Setelah selesai membaca Adipati Natapraja menyerahkan surat kepada Kangjeng Sunan Ampel, lalu diedarkan merata kepada para wali.

Sunan Cirebon berkata, “Hai Adipati Natapraja, adikmu Adipati Terung sungguh pandai merangkai kata. Pantas bila dia diserahi tanggung jawab. Ingat, jangan engkau sakit hati. Sekarang susunlah siasat untuk menyambutnya di medang perang. Adapun yang menjadi panglima adalah Sunan Ngudung dari Kudus yang bijaksana. Dengan memakai baju Antrakusuma dan dibantu para wali. Karena engkau yang menjadi pemimpin kami semua, jangan engkau maju ke medan perang. Engkau harus tetap berada di dalam puri sebagai simbol kejayaan negeri.”

[1] 1312 tahun surya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/21/sajarah-jati-22-prabu-brawijaya-mengutus-arya-pecattandha-memanggil-adipati-natapraja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...