Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (91): Atetamba Sawuse Bucik

Bait ke-91, Pupuh Kinanthi, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Lumrah bae yen kadyeku,

atetamba yen wus bucik.

Duweya kawruh sabodhag,

yen tan martani ing kapti.

Dadi kawruhe kinarya,

ngupaya kasil lan melik


 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Wajar saja kalau seperti itu,

berobat kalau sudah terluka.

Walau mempunyai ilmu sebakul besar,

kalau sikapnya tidak menyejukkan hati.

Sehingga pengetahuannya hanya dipakai,

untuk mencari harta dan meraih pamrih (kepentingan).


Kajian per kata:

Lumrah (wajar) bae (saja) yen(kalau) kadyeku (seperti itu), atetamba (berobat) yen (kalau) wus (sudah) bucik (terluka). Wajar saja kalau seperti itu, berobat kalau sudah terluka.

Kebanyakan kita lalai dalam banyak urusan penjagaan. Tidak bersiap-siap dalam menghadapi marabahaya. Baru tersadar kalau sudah terluka. Ternyata berjaga-jaga itu perlu. Tapi tetap dalam batas yang wajar. Kewaspadaan adalah suatu sikap untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Ini suatu tindakan nyata, bukan sekedar waham atau paranoid. Jadi setelah bersiap-siap sebaiknya tawakal dan tidak usah terlalu khawatir. Inilah sikap yang benar.

Tetapi yang menjadi kelaziman seseorang baru kelabakan kalau sudah tertimpa marabahaya. Setelah pernh jatuh baru berhati-hati. Seperti sebuah kampung yang baru menggalakkan ronda setelah ada pencurian. Seperti sebuah negara yang kemudian melakukan mitigasi setelah ada bencana. Padahal sebelumnya abai terhadap potensi yang mengancam. Ini diibaratkan dalam peribahasa atetamba yen wis bucik, berobat setelah lecet. Ada juga peribahasa lain, beboreh sawise benjut, berbedak  setelah benjol. Tampaknya sikap abai terhadap bahaya ini sudah menjadi watak yang muncul sejak dahulu. Yang demikian harus dihindari. Mulai sekarang bersiap-siaplah untuk menyambut potensi bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu, tetapi harus tetap tawakal, tidak boleh berwaham atau was-was.

Duweya (walau punya) kawruh (pengetahuan) sabodhag (bakul, tenggok besar), yen (kalau) tan (tidak) martani (menyejukkan) ing kapti (kehendak, hati). Walau mempunyai ilmu sebakul besar, kalau sikapnya tidak menyejukkan hati.

Gatra ini menyoroti watak lain dari manusia yang jauh dari harapan, tetapi juga masih menjadi kelaziman, yakni tentang seseorang yang mempunyai banyak ilmu. Sabodhag artinya sebakul besar, atau tenggok besar. Tenggok adalah bakul dari anyaman bambu yang sering dipakai untuk membawa sesuatu. Bodhag  adalah tenggok besar. Biasanya jarang yang punya karena ukurannya yang besar tidak akan kuat diangkat satu orang apabila diisi beras misalnya.

Walaupun punya ilmu yang banyak tetapi kalau sikapnya tidak menyejukkan, bahkan membuat resah dengan ilmunya itu, hal demikian juga tidak baik. Jika mempunyai ilmu di bidang agama, bukan mengajari agar orang bertambah baik, malah menakut-takuti dengan neraka. Sedikit-sedikit bicaranya ini dosa, itu dosa, ini salah, itu salah. Hal yang demikian sangat tidak bijak. Akan lebih bermanfaat apabila ilmunya dipakai untuk pengarahan tentang yang baik dan buruk, dengan tetap mengingat kemampuan belajar orang banyak. Ada yang mampu menyerap banyak ilmu, ada yang cuma sedikit. Nah, diseuaikan saja sebatas kemampuan mereka. Terhadap hal-hal yang kurang sempurna, apabila tidak sangat urgen semoga Allah memaafkan. Ini lebih baik daripada hamtam krama ini salah, itu salah, yang malah berujung antipati.

Dadi (sehingga) kawruhe (pengetahuannya) kinarya (hanya dipakai), ngupaya (mencari) kasil (harta) lan (dan) melik (pamrih). Sehingga pengetahuannya hanya dipakai untuk mencari harta dan meraih pamrih (kepentingan).

Semestinya hal-hal di atas yang harus dilakukan oleh orang berilmu. Kalau ada orang berilmu justru membuat resah itu pantas dicurigai, jangan-jangan ketinggian ilmunya hanya untuk mendapatkan suatu kepentingan pribadi. Misalnya mengancam-ngancam orang berharta yang tidak segera pergi haji atau umrah akan mendapat siksa, eh ujung-ujungnya dia mendirikan biro travel umrah. Mengancam orang-orang yang tidak bersedekah dengan siksa kubur, eh ujung-ujungnya membuat lembaga penampung sedekah, dan lain-lain. Jika ada, sekali lagi, jika ada yang demikian itu, dialah orang yang telah menjual agamanya dengan murah. Tak patut diikuti.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/26/kajian-wedatama-91-atetamba-sawuse-bucik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...