Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Kajian Wedatama (92): Melok Yen Arsa Muluk

 Bait ke-92, Pupuh Kinanthi, Serat Wedatama karya KGPAA Sri Mangkunegara IV:

Meloke yen arsa muluk,

muluk ujare lir wali.

Wola-wali ora nyata,

anggepe pandhita luwih.

Kaluwihane tan ana,

kabeh tandha tandha sepi.


Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Terlihat jelas kalau hendak menguasai,

perkataannya meninggi seperti (ujaran) wali.

Namun berkali-kali (yang dikatankannya) tidak terwujud,

menganggap diri sebagai pandhita yang mempunyai kelebihan.

Kelebihannya tak ada,

semua tanda-tanda (yang menunjukkan bahwa ia pandhita) tidak nampak.


Kajian per kata:

Meloke (terlihat nyata) yen (kalau) arsa (hendak) muluk (menguasai), muluk (terbang, meninggi) ujare (perkataannya) lir (seperti) wali (orang pintar agama). Terlihat jelas kalau hendak menguasai, perkataannya meninggi seperti (ujaran) wali.

Bait ini masih melanjutkan bait sebelumnya yang menguraikan tentang perilaku tak baik dari seorang yang berilmu tinggi, sabodhag, tetapi mencari pamrih dan keuntungan untuk diri sendiri. Bait ini menguraikan lebih lanjut ciri-ciri manusia seperti itu. Maka hendaklah diperhatikan agar tidak terkecoh.

Di sini ada susunan kata yang sangat apik. Dua kata muluk digunakan dengan dua arti yang berbeda. Kata muluk pada gatra pertama berarti mengepal makanan untuk dimasukkan ke mulut, sebuah kiasan dari menguasai sesuatu untuk diri sendiri. Kata muluk pada gatra kedua berarti terbang, kiasan untuk sebuah perkataan yang membumbung tinggi ke langit, meninggalkan kenyataan. Kata yang lebih sederhananya adalah umuk, ngethupruk, ngethuprus, yakni banyak bicara yang besar-besar, yang tinggi-tinggi, yang belum tentu nyata terjadi.

Yang dimaksud pada gatra di atas adalah tanda-tanda orang yang ingin menguasai sesuatu untuk diri sendiri, terlihat jelas dari perkataannya yang tinggi-tinggi di awang-awang seperti janji-janji atau harapan yang setinggi langit (muluk). Perkataannya sama sekali tidak berpijak pada kenyataan, seorang bodoh yang berlagak seperti wali (ahli agama, merujuk para wali pada jaman dulu, seperti wali sanga,dll)

Wola–wali (namun berkali-kali) ora (tidak) nyata (terwujud), anggepe (menganggap diri) pandhita (pandita) luwih (lebih, hebat). Namun berkali-kali (yang dikatankannya) tidak terwujud, menganggap diri sebagai pandhita yang mempunyai kelebihan.

Lagi-lagi kita menemui permainan kata yang indah, kali ini tentang kata wali. Pada gatra kedua kata wali dipakai untuk merujuk pada ahli agama pada jaman itu, sedangkan pada gatra ketiga kata wali dipakai sebagai kata majemuk wola-wali, yang artinya berkali-kali.

Orang-orang yang hatinya sarat pamrih tersebut walau kelihatan pintar (karena bicaranya) atau memang pintar beneran (tapi keblinger oleh nafsu) berkali-kali perkataannya tak terwujud. Menyebar isu ini dan itu, tetapi ternyata hoax. Menduga ini dan itu tetapi ternyata tak didukung data akurat yang terpercaya. Walau demikian mereka sedemikian percaya diri menganggap diri mereka pandhita (atau ulama, orang berilmu agama) yang mempunyai kelebihan.

Kata pandita berarti pemuka agama lain, tetapi dalam serat Wedatama ini dipakai untuk menyebut seseorang yang menjalankan agama Islam dengan tekun dan berilmu tinggi. Hal ini sesuai konteks dan agama penggubah serat yang adalah beragama Islam. Jadi istilah pandhita adalah istilah pinjaman saja.

Kaluwihane (kelebihannya) tan (tak) ana (ada), kabeh (semua) tandha tandha (pertanda) sepi (tak nampak). Kelebihannya tak ada, semua tanda-tanda (yang menunjukkan bahwa ia pandhita) tidak nampak.

Jika ada orang yang mengaku-aku pintar, mengaku-aku ulama, mengaku-aku imam besar, maka perhatikan tanda-tanda dari pengakuan itu. Apakah orang yang mengaku-aku itu mempunyai tanda-tanda atau sifat-sifat dari yang diklaimnya itu? Apabila tidak terdapat tanda-tanda itu maka nyatalah bahwa dia seorang penipu. Hendaklah diri ini teliti agar tak dimanipulasi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/09/26/kajian-wedatama-92-melok-yen-arsa-muluk/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...